NovelToon NovelToon

Selena'S First Love

BAB 1 PERTEMUAN PERTAMA

"Aku tlah tahu hati ini harus menghindar. Namun kenyataan ku tak bisa. Maafkan aku terlanjur mencinta ...." Seorang gadis mengikuti lagu yang ia putar di audio mobilnya dengan suara yang lumayan merdu.

"Ah ... nasib jomblowati nyanyi lagu melow. Penghayatannya kurang." Gadis itu bermonolog. "Gini amat nasip lo Na, cantik, manis, banyak yang ngejar, tapi jomblo." Ia meratapi nasipnya.

"Gue gak belok, kan?" tanyanya.

"Ihhh ... jelas gak lah, standart gue aja yang terlalu tinggi." Bicara sendiri adalah salah satu cara untuk membun*h kegabutannya.

Ia menatap spion tengah, kaca mata hitam bertengger di atas kepalanya. "Uh ... gila, kecantikan lo selevel sama bidadari," ucap Nana pada bayangannya dirinya. Kenarsisan yang membuatnya mampu bertahan hidup selain oksigen dan uang.

Dialah Selena Kinara Wirya, gadis 17 tahun yang baru saja pindah rumah. Ia yang tinggal di bersama mamanya harus pindah ke rumah papanya.

Ya, Dia adalah anak korban broken home. Ayahnya telah menikah lagi dan punya seorang anak laki-laki berusia 4 tahun. Sementara ibunya baru 2 tahun menikah dengan duda beranak satu dan harus pindah domisili ke Bali karena pekerjaan suaminya.

Nana, saat ini dia sedang dalam perjalanan berkeliling kota dengan bermodalkan map di smartphonenya. Tidak ada guide ataupun supir pribadi. Daerah yang ia tinggali sejak 2 hari lalu ini ternyata cukup menarik untuk dieksplore. Terlebih 2 hari lagi ia harus kembali masuk sekolah, tentunya di sekolah baru.

Tanpa sengaja mata indahnya melihat seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Nana segera turun dan menemui balita laki-laki itu.

"Papaaaa ..." tangisnya.

"Sayang ... papanya kemana nak?"

Anak itu terus menangis dan menggeleng. Nana melihat sekeliling. Anak laki-laki ini berada di teras ruko yang dijadikan tempat usaha, mulai dari minimarket, barber shop, ruko kosong dan satu unit lagi adalah cafe yang masih tutup.

Nana menggendongnya. Otak cerdasnya berfikir kira-kira tempat apa yang didatangi seorang papa dan anak. Nana melihat rambut bocah ini terlihat rapi dan seperti baru dipotong.

Nana melangkah kearah barber shop 10 meter dari tempatnya berdiri. Nana mendorong pintu kaca itu.

"Permisi, apakah orang tua anak ini ada disini?"

Hampir semua orang menatapnya. Wajah cantik, rambut hitam bergelombang di ujungnya, kaca mata hitam bertengger di kepala, kaos putih sedikit kebesaran dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih membuatnya menjadi pusat perhatian.

"Loh, papanya tadi disini?"

"Papanya masih di toilet, tadi anaknya dititipin ke saya. Tapi saya lupa, gak perhatiin," ucap salah satu pegawai barber shop.

"Loh, kenapa nangis?" Seorang pria berlari dari arah belakang.

Nana menyerahkan balita laki-laki itu kepada pria yang tak lain adalah papanya.

"Tadi dia ada di luar, mas." Nana menunjuk arah luar. "Nangis-nangis nyari papanya."

"Makasih ya, mbak."

"Mungkin pas ada yang keluar dia ikut keluar, mas." Ucap pegawai itu. "Maaf ya mas. Saya lupa kalau dititipin anak." Lelaki itu mengangguk.

"Saya permisi dulu, mas."

"Terima kasih, mbak."

"Sama-sama mas, kebetulan aja pas saya lewat. Daa adek." Nana melambaikan tangan dan dibalas lambaian tangan oleh anak laki-laki itu.

Nana kembali melajukan mobilnya berkeliling. Hampir satu jam ia mengendarai mobilnya, menghafal jalan dan melihat-lihat beberapa tempat yang menurutnya penting seperti salon, pusat perbelanjaan, dan toko buku.

"Eh ... eh ... eh ... kenapa nih?" Ucapnya saat mobil tiba-tiba berhenti. Untung saja ia tidak melaju dengan kecepatan tinggi, dan ia sedang berada di jalan yang lumayan sepi.

Nana turun dari mobil dan bingung harus melakukan apa. Dia sama sekali tak mengerti masalah mesin mobil.

Dia kembali masuk kedalam mobil dan mengambil ponselnya di dalam tas. Menelpon papanya adalah pilihan tepat.

Dering ke dua langsung diangkat. "Hallo, Na."

"Pa, mobil Nana mogok, nih!" Ucapnya sambil menggigit kuku tangannya.

"Kok bisa?"

"Gak tau, pa."

"Kamu tunggu disana, ya. Papa suruh bengkel langganan buat benerin."

"Kamu dimana?"

"Di jalan Xx, pa."

"Ya udah, tunggu sebentar ya. Jangan kemana-mana."

"Iya pa." Nana meletakkan ponselnya di dasboard. Dan dua menit kemudian, papanya mengirim pesan.

Orang bengkel sedang dalam perjalanan. Kamu tunggu disana.

Huuuft... Nana dengan sabar menunggu bantuan datang. Cukup lama hingga gadis itu hampir tertidur. Namun matanya kembali terbuka saat sebuah motor sport yang dinaiki dua orang dengan helm full face itu berhenti di sebelah mobilnya.

"Mati gue! Begal!" Serunya dalam mobil. Nana langsung panik dan menegakkan tubuhnya.

"Gue harus apa?" Nana bingung. "Oke Na, inhale ... exhale ..." Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya.

Ia mencari sesuatu dalam mobilnya untuk melawan dua orang yang ia duga adalah begal.

Hanya ada ponsel dan air mineral yang tinggal setengah. "Iya kali gue pukul pake botol plastik begini?"

Tok... tok... tok...

Seseorang dengan helm full face mengetuk kaca jendela mobilnya.

"Mamp*s gue!"

"Kami dari bengkel D'Servis, mbak. Dengan mbak Selena kan?" Tanya pria itu. Sementara satu pria lain sudah berada di depan mobil dengan kotak besar, seperti miliknya yang ada di rumah.

Oh bukan, itu kotak make up semantara ini pasti isinya segala kunci dan peralatan bengkel. Nana bernafas lega dan segera turun dari mobil. Pria berhelm full face itu membuka helmnya dan...

"Oh may god," gumam Nana tanpa sadar.

Nana terpesona melihat pria tampan dengan rambut yang sedikit panjang dan jatuh menyentuh dahinya sementara bagian samping dan belakang kepalanya terlihat rapi seperti baru dipotong.

Nana langsung menutup mulutnya saat pria tampan bak dewa yunani itu menatapnya. "Kenapa, mbak?"

"Eh, anu ... itu ..."

Kanapa jadi gagap sih.

"Gak apa-apa." Nana cemberut saat pria itu justru tidak lagi manatapnya.

Nana bersandar pada pintu mobil dan dia dapat melihat dengan jelas, pria ganteng itu membuka jaketnya dan meletakkan di atas motor. Ia membuka kap mobilnya dengan satu tangan.

Gilaa! Nih cowok apa dewa! Ganteng pool. Gue rela mobil gue masuk bengkel tiap hari asal bisa lihat dia. Ototnya ... oh may god. Otak gue pliss, Jangan travelling!

Nana terus memperhatikan dua orang yang sedang memeriksa mobilnya. Salah, bukan kedua, tapi hanya salah satunya.

Nana sebelumnya tak pernah merasakan hal seperti ini. Tak ada pria manapun yang berhasil mengetuk pintu hatinya. Tapi sekarang, Ia tertarik pada pria ini, dia terpesona pada pandangan pertama.

Gue harus kejar!

Ya, gue harus kejar. Iya kali gue lepasin satu-satunya cowok yang buat hati gue jedag-jedug dan otak gue langsung teravelling ngajak bulan madu.

"Mbak ... sepertinya mobilnya harus diderek." Nana tak perespon pria itu.

"Mbak ... mbak ..." pria itu memanggil nana berulang kali.

"Eh...!" Nana tersadar dari lamunannya. "Iya... gimana?"

"Mobilnya harus diderek, mbak. Akan kita bawa ke bengkel."

Nana mengerutkan keningnya. "Gak bisa dibenerin disini?"

"Gak bisa mbak, spare partnya kebetulan kami gak bawa," jawab pria yang satunya lagi.

Gue gak tanya lo!

BAB 2 DIANTAR PULANG

Akhirnya Nana menelpon papanya. "Coba tanya nama mereka, Na. Papa mau bicara."

"Sebentar pa."

"Nama kalian siapa?"

"Sambara," ucap pria yang berhasil membuat hati Nana jedag-jedug.

"Fahri," jawab pria yang lain.

"Papa mau bicara sama Sambara, Na," ucap papanya di seberang telpon.

"Nih, papa mau bicara." Nana memberikan ponsel keluaran terbaru miliknya kepada Sambara.

Sambara menerima ponsel Nana dan meletakkannya ditelinganya. Mulai mendengarkan suara lawan bicaranya.

"Baik, om."

"Iya, om."

"Iya. Sip om."

Haya itu yang keluar dari mulut pria berkaos hitam itu. Nana sampai mengerutkan keningnya.

Om? Dia kenal papa?

"Ri, tunggu disini. Kamu nanti ikut mobil derek dari bengkel." Perintah Sambara pada temannya. Sambara segera menghubungi temannya untuk membawa mobil derek dari bengkel.

"Loe! Ikut gue!" Sambara berbicara pada Nana setelah memasukkan ponselnya ke saku celananya.

Nana hanya bisa melongo. Dia ngajak gue?

Sambara sudah naik di atas motor dan memakai jaket serta helmnya. "Mau pulang gak?" Tanyanya dingin.

"Eh... mau lah." Nana langsung mendekat dan naik ke motor.

"Nih, pakai helmnya!" Perintahnya tanpa ekspresi.

Nana memakai helm itu dikepalanya. Baru dua menit sepeda motor yang membawanya itu melaju, Nana sudah menepuk-nepuk bahu Sambara.

"Berhenti.... berhenti sebentar." Pintanya dengan suara tak jelas.

"Kenapa?" Tanya Sambara dingin.

Nana langsung turun dan membuka helmnya.

"Hooekkk ... hooeek ...." Nana muntah-muntah di pinggir jalan. Ia bahkan sampai berjongkok di rerumputan.

"Lo hamil?" Tanya Bara to the poin.

Bukan menjawab, Nana malah terus berjongkok dan tak ada niat untuk berdiri.

Bara mau tak mau turun dari motornya dan memijat tengkuk Nana. "Hoekk ... hoekk.." Yang keluar hanya sedikit karena Nana hanya sarapan roti dan susu pagi ini.

Nana berdiri dan membersihkan mulutnya dengan tissu basah yang ia ambil di tasnya. Ia masih berpegangan pada motor dan memberikan helm itu pada Bara yang sudah lebih dulu naik ke atas motonya.

"Sumpah! Nih helm temen lo bau ******! Bisa mati gue pake itu lama-lama."

Sambara menatap gadis di depannya yang berbicara tanpa jaim dan tidak dibuat-buat.

"Kenapa gitu banget lihatin gue!" Nana mendelik. "Gak percaya?"

"Cium noh!" Nana kembali memegang helm itu dan mengarahkan ke wajah Sambara. Namun percuma, Sambara kan juga pakai helm.

Tapi Sambara tau, helm temannya itu memang sedikit berbau tak sedap akibat tak pernah dicuci.

"Udah, buruan naik!" Perintahnya dingin.

"Gak pake helm nih?"

"Gak perlu. Kalo ada razia, lo gue serahin sama polisi buat jaminan."

Nana naik ke motor dengan susah payah karena tingginya tak lebih dari 158 cm. "Sekalian aja lo gade'in gue di sono!" Tunjuknya pada sebuah gedung besar yang merupakan pusat perbelanjaan.

"Buat beliin temen lo helm baru!" Nana masih menggerutu dan Sambara segera melajukan motornya membuat Nana yang belum siap hampir terjengkang kebelakang.

"Tok!" Nana memukul helm pria di depannya.

Lo ganteng! Tapi ternyata ngeselin juga! Dan gue sukaaaa!

Nana adalah tipe gadis yang punya tekad kuat dan yang pasti memiliki rasa penasaran yang tinggi. Jika selama ini pria agresif yang mendekatinya, justru sekarang dia yang berusaha mendekati seonggok tugu perbatasan bernama Sambara.

Tugu perbatasan? Yes, lihat sendiri seberapa kakunya tuh cowok.

Motor sport itu berbelok ke sebuah rumah mewah. Rumah yang dua hari ini ditinggali Nana. Kediaman Hadi Wirya.

"Lo cenanyang?" Ucap Nana sebelum turun. Karena merasa heran Sambara tau rumahya tanpa dia mengarahkan.

"Ck!" Pria tampan itu hanya berdecak.

"Iya... iya... Mau mampir gak!" Nana menawari.

"Gak perlu." Sahut si tugu perbatasan.

Dan ia langsung melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah orang tua Nana.

Sambara Dharmawan, pria 17 tahun, putra dari pasangan Wawan Dharmawan dan Tamara Lestari. Dialah bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya.

Bara, seorang siswa kelas XI di SMA Cahaya Bangsa. Ia adalah pribadi yang cuek, dingin dan terkadang menyebalkan.

Bengkel D'Servis adalah milik papanya. Ia lebih senang menghabiskan waktu di sana bersama Fahri, Dadang, manager bengkel- Om Galuh, serta karyawan bengkel lainnya.

Kehidupan rumah tangga kedua orang tuanya tidak harmonis. Tinggal bersama tapi terasa seperti orang asing. Papanya sering keluar kota meninjau pabrik teh yang sudah 5 tahun dirintisnya. Sementara mamanya sibuk bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai sekretaris senior.

Pria berhidung mancung dengan bibir bawah sedikit tebal itu memiliki prinsip lebih baik kualitas dari pada kuantitas. Seperti lingkaran pertemanannya, ia lebih baik punya sedikit teman tapi yang benar benar mengerti dirinya.

Sambara, ia pintar dan berfisik nyaris sempurna tapi tak ingin menonjol di antara teman-temannya. Baginya, dikenal berarti diekspose. Dia tak ingin siapapun tahu kehidupannya, tentang hubungan orang tuanya, dan sisi dirinya yang berusaha ia sembunyikan.

Dia tetap irit bicara, tak ada bedanya antara di sekolah atau di luar. Tapi dari segi penampilan, ia berbeda. Ia berusaha berpakaian rapi ala goodboy, rambut tersisir rapi dan tali pinggang yang selalu setia melekat di tubuhnya.

Dia tak ingin terlihat keren di sekolah. Dia tak ingin merebut perhatian para gadis, dan dia benci jatuh cinta. Buat apa jatuh cinta kalau ditengah jalan saling meninggalkan, seperti orang tuanya.

Tapi semua berubah ketika ia bertemu Selena. Hatinya terketuk dengan rasa penasaran, karena gadis bernama Selena itu terlihat berbeda dari kebanyakan gadis yang ia kenal.

Gadis yang berbicara apa adanya. Ia juga terlihat tidak suka bersandiwara. Seperti tadi, saat ia tanpa malu, tanpa risih muntah-muntah karena bau helm yang tak sedap.

****

Kediaman Hadi Wirya.

Sudah dua hari Nana mencari cara untuk bisa kembali bertemu dengan pria bernama Sambara itu. Langsung datang ke bengkel adalah kesalahan besar.

Menaklukan pria sedingin dan sekaku Sambara harus dengan cara yang tepat, tidak agresif dan harus elegan. Tidak boleh terlalu berlebihan dan justru harus bersikap agak misterius untuk menarik rasa penasaranya. Itu hal yang Nana pelajari dari artikel yang ia cari di mesin pencarian di ponselnya.

"Hari pertama di sekolah baru. Sudah siap?" Tanya Hadi semangat saat mereka selesai sarapan.

"Siap dong pa!" Sahut Nana tak kalah semangat.

"Siap dong pa!" Suara anak kecil berusia 4 tahun mengikuti kata-kata Nana. Dialah Syakiel Kavindra Wirya, adiknya dari pernikahan kedua papanya.

"Semangat banget sayang." Wanita lembut itu, dia yang berhasil menggeser posisi mamanya di hati papanya. Dialah Ayudya, wanita berusia 32 yang sudah hampir 5 tahun diperistri oleh papanya.

"Harus dong, ma."

Nana tersenyum melihat bocah laki-laki yang tak akan mungkin hadir dalam rumah mamanya. Ya, alasan klasik yang membuat orang tuanya bercerai. Mama Salma tak lagi bisa punya anak karena suatu penyakit. Tapi syukurlah, ada sosok papa Haris yang mau menerimanya.

BAB 3 SEKOLAH BARU

"Kamu mau bawa bekal, Na?" tanya Ayudya. Hubungan Nana dengan ibu sambungnya memang belum terlalu dekat, meski Nana sudah menerima keberadaannya.

"Boleh, ma." Nana mengangguk. Bibi dirumah, juga selalu membuatkan bekal sekolah atas perintah mamanya. Jajanan kantin yang kadang kurang menyehatkan membuat Nana terbiasa membawa bekal, terlebih mama Salma adalah seorang dokter. Tentu ia memperhatikan pola makan anaknya.

"Kamu diantar mama, sekalian mama mau antar Syakiel kesekolah baru." Ucap Hadi setelah sarapan.

"Yeeee!!! Sama kakak." Syakiel mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kakinya juga bergerak karena kesenangan.

Semenjak Nana tinggal disini Syakiel terlihat bahagia. Bocah laki-laki itu merasa punya teman meskipun usia mereka jauh berbeda.

Nana tersenyum melihat balita itu bersorak. "Yang lengkap dong sayang."

"Ka-kak can-" Nana sengaja menggantung kalimatnya.

"Can-, can," ucap Syakil diulang-ulang. Bocah itu tampak berfikir. "Cantiiiiikkk" soraknya saat mengetahui maksud Nana.

"Anak pintar!" Nana mengusak rambutnya gemas.

"No... no... no... Syakiel harus rapi dan ganteng!" Bocah itu menggerakkan telunjukknya kekanan dan kiri di depan wajah Nana.

Nana tertawa puas. "Kamu masih kecil, jangan ganteng-ganteng entar banyak cewek yang suka."

Nana gemas, ia mengendong bocah itu ke depan. "Pergi dulu pa." Nana menyalami Hadi, dan Syakiel yang dalam gendongan Nana juga ikut menyalami papanya.

"Da papa." Teriak bocah laki-laki itu melambaikan tangan ke kanan dan kekiri.

"Itu papanya kakak." Goda Nana pada Syakiel.

"Papa Syakiel juga kak." Bocah itu cemberut karena Nana mengatakan itu papanya.

"Tapi kakak lebih gede. Jadi papanya banyakan untuk Kakak. Syakiel cuma dapet segini." Nana membuat jarak antara ibu jari dan telunjukknya menandakan jumlah yang sedikit.

Syakiel tampak berpikir. "Papanya kalau pagi untuk kakak, kalau malam untuk Syakiel. Oke?"

"Ih, masa kakak cuma dapet pagi doang?"

"Iya dong. Kalau malam kan papa boboknya sama Syakiel. Jadi kalau malam jadi papanya Syakiel."

Nana mencium pipinya berulang-ulang. "Pinter banget sih kamu. Adiknya siapa sih kamu?"

Syakiel tertawa keras merasa geli saat Nana terus menghujani pipinya dengan ciuman.

Keduanya masuk dalam mobil. Supir sudah standby dan mama Ayudya juga masuk dalam mobil. Ketiganya duduk di kursi belakang.

"Nanti siang, mama jemput, Na," ucap Ayudya pada anak sambungnya itu. Berbeda dengan mama Salma, mama Ayu justru tidak bekerja dan full di rumah. Mengurus rumah dan anak-anak.

Nana sadar, mungkin sosok seperti ini yang papanya butuhkan. Sosok istri yang menunggu suami pulang bekerja, menjaga dan mengurus anak. Tidak sibuk dengan pekerjaan dan urusannya sendiri.

Empat hari tinggal di rumah itu, Nana mulai memahami arti kebahagiaan dalam pernikahan. Contoh yang tak pernah dia lihat dari pernikahan orang tuanya dulu.

Sholat bersama, makan bersama dan yang pasti menonton tv dan bercerita kegiatan hari itu bersama-sama. Sesuatu yang hampir tak pernah ia dapatkan di rumahnya dulu.

Dibanding tinggal dengan mamanya, Nana merasa lebih hidup di sini. Tak perlu khawatir makan sendirian, tak perlu khawatir menunggu orang tua pulang bekerja hingga larut.

Pantas saja papanya makin terlihat bugar dan wajahnya berseri setiap hari. Ternyata kebahagiaan sederhana yang ia rasakan.

Nana tiba di sekolah yang lumayan luas ini. Ia langsung masuk kedalam dan diminta untuk menunggu diruang guru. Ia menunggu wali kelas membawanya ke dalam kelas.

Nana berjalan di belakang wanita bernama Ibu Gina seorang guru fisika yang menjadi wali kelasnya.

Di kelas XI IPA 1 Nana diminta memperkenalkan diri. "Perkenalkan diri kamu kepada teman-temanmu."

"Selamat pagi semuanya." Nana menatap seluruh murid yang duduk di bangku mereka masing-masing.

Ini kelas IPA apa kelas model? Isinya cowok ganteng sama cewek cantik semua. Ini sih pemandangan yang mengandung vitamin A. Bagus untuk mata. Hahaha. Batin Nana.

"Nama Saya Selena Kinara Wirya. Kalian bisa panggil Selena atau Nana."

"Pindahan dari SMA Harapan. Senang bisa bergabung di kelas ini. Semoga kedepannya kita bisa berteman dengan baik." Nana menatap semua teman barunya dengan senyum termanis yang ia punya.

"Ada yang mau ditanyakan?" Tanya Bu Gina.

Seorang cowok mengangkat tangannya. "Punya pacar belum?"

"Huuuuuu!!!" Seisi kelas bersorak. Dialah Calvin, si kapten futsal, cowok tampan yang suka tebar pesona.

"Calvin! Tanyanya privat dong, jangan di depan kelas. Entar yang di pojokan cemburu." Canda bu Gina, guru muda berusia 27 tahun yang menjadi salah satu guru favorit di sekolah ini.

"Hahahah... yang dipojokan siapa buk?" Tanyanya sambil tertawa dan melihat kearah pojok kelas.

"Tuh, sapu ijuk." Tunjuk Bu Gina pada sudut ruangan dimana sapu dan alat kebersihan ada disana.

"Hahahahah... " Seisi kelas kembali tertawa.

"Masih ada yang mau bertanya?"

Karena sudah tidak ada yang ingin bertanya, Bu Gina menyuruh Nana untuk duduk dibangkunya.

"Selena, kamu duduk di ujung ya. Cuma itu bangku kosong di kelas ini."

"Iya bu."

Nana duduk di bangku paling belakang, di sudut kanan kelas bersama seorang murid laki-laki.

Nana duduk dan menatap cowok berpakaian rapi itu. Dan matanya membulat sempurna membaca name tagnya. Sambara Dharmawan.

"Elo!" Seru Nana menyita perhatian beberapa orang.

Gue berhari-hari mikir gimana bisa deket sama nih cowok. Dan sekarang Tuhan buka jalan lebar banget. Dia ada di depan gue dengan sendirinya! Oh thanks God! Batin Nana.

"Ck!" Sambara berdecak. "Lihat depan."

Mata lo hampir keluar pas lihat gue! Emang gue setan! Batin Sambara.

"Kita lanjut pemilihan ketua kelas, wakil, sekertaris sama bendahara, Ya!"

"Iya bu."

"Atau kita pakai jabatan tahun lalu aja?" Tanya buk guru lagi.

Seorang siswa mengacungkan tangan. "Saya gak bisa jadi ketua kelas lagi, Buk."

"Kenapa Dimas?"

"Saya mau nyalon jadi ketua OSIS bu." Jawab siswa bernama Dimas.

Bu Gina mengangguk faham. "Oke, kita naikkan Putra sebagai ketua kelas dan wakilnya kira-kira siapa yang cocok?" Sebelumnya Putra menjabat sebagai wakil ketua kelas.

Semua orang menunjuk gadis di depan Nana. "Sherly..!"

"Jangan Bu!" Tolaknya. "Nih Zahra aja!" Tunjuk gadis itu pada teman sebangkunya.

"Sherly... Sherly... Sherly..." teriak seisi kelas.

Sherly mengangkat tangannya. "Oke... oke... gue bisa apa kalau kalian maksa, guys!"

"Yeee, ada papa Putra sama mama Sherly, di jamin kelas aman, Buk." Cowok di meja sebelah kiri Nana mengundang gelak tawa. Nana ikut senyum-senyum sendiri.

"Oke, Putra, Sherly, jaga anak-anak jangn sampai keluar kelas di jam kosong, ya."

"Siip. Buk!"

"Bendahara kelas dan wakilnya tetap Alma dan Sasa, Ya."

"Iya Bu." Sahut dua murid wanita yang duduk tepat di depan meja guru.

"Sekertaris dan wakilnya, masih Kiki sama Fikha juga, kan?"

Seisi kelas setuju. Nana takjub melihat cara mereka menentukan perangkat kelas. Diskusi singkat tanpa perdebatan.

Gue makin penasaran dengan murid di kelas ini. Batin Nana

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!