Terlahir dengan kekuatan sihir tingkat biasa saja sudah cukup. Aku masuk sekolah sihir bagus. Banyak pula temanku yang masuk ke sana.
Namun, rasanya takdir tidak setuju jika hidupku berjalan biasa-biasa saja.
***
Semuanya berawal dari masakan rumah ibuku yang enak.
"Sudah kenyang, Varrel?" Wanita paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepalaku.
Anggukan kepalaku yang sarat akan semangat dan meminta lebih sudah cukup menjadi jawaban untuk memuaskannya. Baru saja aku hendak mengambil jatah makanan tambahan sebelum ayah berseru memanggil, "Varrel, sudah selesai belum? Jangan sampai terlambat di hari pertamamu, lho!"
"Oh, benar juga!" Aku segera meraih gelas air putih dan menandaskannya. "Ibu, aku dan ayah pamit dulu!"
Ibu memelukku erat sesaat setelah aku menyalami tangannya. "Hati-hati di jalan, Sayang."
Setelah memberi senyum pasti, aku lantas berlari masuk ke dalam mobil di mana ayah sudah siap memegang setir kemudi.
Hari ini aku akan belajar bagaimana cara menjadi penyihir!
Yah, soal sihir menyihir dan karir tak lazim tersebut sesungguhnya sangatlah wajar bagi penduduk Nevada, terutama yang di bagian barat. Saat menginjak usia remaja, anak-anak memang dibebaskan untuk memilih jalan yang dituju mereka: menjadi penyihir atau penduduk biasa, dan aku sungguh tertarik dengan pilihan pertama.
Soal mempelajari sihir adalah perkara mudah, sebab ada begitu banyak asrama sihir yang menjamin murid-muridnya lulus dengan nilai dan bakat sempurna.
Karena Nevaddar secara teknis merupakan kota penyihir, maka pemimpin kami pun juga seorang penyihir. Ia bernama Agatha Stephanie; Penyihir Putih berkekuatan sihir dahsyat yang kabarnya mampu meluluhlantakkan satu kota sekalipun. Ia begitu kuat. Banyak golongan penyihir-penyihir muda sampai tua yang memandang Penyihir Putih sebagai role model mereka. Yah, walau begitu, ada saja orang yang justru melihat Penyihir Putih dari sudut yang berbeda.
Tidak usah jauh-jauh, aku adalah salah satu orang yang memiliki pandangan demikian. Daripada agung, konteks kekuatan yang dimiliki Agatha Stephanie lebih terdengar .... mengerikan. Tidak manusiawi.
Ugh, entah Penyihir Putih yang memang mengintimidasi atau aku yang terlalu paranoid, pemikiran mengenai dirinya selalu sukses membuat bulu kudukku meremang.
***
Di tengah perjalanan, saat sedikit lagi sampai ke sekolah, ponsel ayah berbunyi. Oh, ada pesan masuk.
"Ada apa, Yah?" tanyaku.
Mimik wajah ayah menjadi lesu. "Katanya nenek tiba-tiba pingsan, ayah jadi khawatir."
Aku mengetukan jari ke kaca mobil seraya berpikir. "Jenguk saja nenek. Aku bisa jalan sendiri."
"Tapi, Varrel—"
"Nggak apa-apa, Ayah. Lagi pula jaraknya sudah dekat, kok!" ujarku mencoba meyakinkan.
Lama menimbang, akhirnya ayah setuju. Aku pun segera turun dari mobil.
"Sampai jumpa, hati-hati!"
Aku melambaikan tangan. Sambil menggendong tas, aku berjalan menuju sekolahku yang jaraknya tinggal sedikit lagi.
Belum lama aku berjalan, seorang kakek tua berpakaian hitam agak koyak terseok-seok menghampiriku. Dari mana datangnya dia? Seingatku tidak siapa pun sejauh perjalanan ini. Meski perasaanku agak ngeri, sepertinya dia tidak berbahaya.
"Nak," katanya. Mencengkeram tanganku erat-erat. Aku merinding merasakan sentuhannya. "Ambil ini, jangan biarkan siapa-siapa merengutnya darimu. Ini milikmu sekarang."
Ambil apa?
Si kakek membuka mulutnya lebar-lebar, anehnya mulut itu kosong layaknya lubang kehampaan. Dari mulut itu keluarlah asap gelap yang mengeluarkan suara teriakan kesengsaraan. Aku tidak bisa teriak—oh, tunggu—apa mungkin ini karena memang tipikalku bukan cewek penjerit?
Mulutku terbuka sendirinya, asap gelap itu akhirnya masuk ke dalam mulutku. Beberapa detik kemudian, kakek itu lenyap jadi abu yang ditiup angin. Aku jatuh tersungkur sambil terbatuk-batuk. Tak lama setelah itu, semuanya menjadi gelap.
***
Di sinilah aku berakhir: Rumah Sakit Nevaddar Untuk Korban Serangan Sihir. Katanya aku pingsan selama seminggu penuh, padahal rasanya hanya beberapa jam saja.
Ayah dan ibuku tentu bersyukur, aku langsung diberi makan dan minum oleh mereka. Hm, aneh sekali, aku merasa sehat; aku merasa baik-baik saja. Sungguh.
"Dokter bilang semua organ tubuhmu memulih dengan sangat cepat," tutur ayah dengan nada, yang anehnya, khawatir. "Darahmu juga bukan lagi berwarna merah ... "
Aku tersedak ketika sedang makan. "Apa?"
"Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberi tahumu," desah ayah.
"Sebaiknya jangan!" Ibu mencegah.
"Kalau tidak, dia jadi tak tahu alasan kenapa ia dimasukan ke Asrama Xylone."
"Asrama Xylone?" Mataku membelalak. Apa mereka sedang bercanda?! Asrama untuk keturunan penyihir-penyihir tingkat dewa yang siswa-siswinya memiliki kemampuan sangat hebat! Mereka berada di asrama itu dari usianya tigabelas tahun. Apa yang sedang menimpaku di sini?
"Kamu telah memiliki kekuatan sihir hitam, Varrel," kata ayah. "Entah apa yang menimpamu, kau jadi sangat kuat dan cepat pulih."
"Sihir hitam?!" Aku makin terlonjak.
Untuk informasi, sihir hitam adalah yang terkuat dari segala sihir. Si pemilik sihir adalah orang terpilih yang kekuatannya mengerikan. Tapi kalau si pemilik sudah tua, ia harus segera memberikan sihirnya pada orang lain, kalau tidak ia akan terkutuk. Jiwanya tak pernah sampai ke surga atau neraka melainkan tetap di raganya sampai membusuk.
Masalah lainnya, setelah memberikan sihir itu pada orang lain, ia akan langsung lenyap.
Aku berpikir apa yang terjadi sampai aku jadi begini. Hari pertama sekolah ... sarapan lalu diantar ayah ... naik mobil lalu turun karena nenek pingsan ... ketemu kakek-kakek—tunggu, itu dia! Kakek itu pastilah si pemilik sihir hitamnya!
Ayah berdeham pelan. "Jadi, Varrel, bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Kamu mau, 'kan, tinggal di Asrama Xylone?" tanya ibu.
Menimbang sebentar, aku balas bertanya "Kalau aku tidak asrama di sana, apa yang akan terjadi?"
"Kamu tidak bisa mengendalikan kekuatanmu, kekuatan itu akan terus tumbuh hingga ia menguasaimu. Nggak ada sekolah atau asrama lain yang bisa menjinakan sihir hitam kecuali Asrama Xylone, metode belajarnya beda," jelas ayah.
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengangguk. Bisa kalian bayangkan jika aku menggeleng? Aku nggak jadi masuk Xylone, lalu sihir hitam ini mengambil alih diriku, aku jadi penjahat yang tak bisa dibunuh. Dan aku akan menguasai dunia dalam genggamanku, menunggu adanya pahlawan yang hendak mengalahkanku. Tapi hei, itu tak buruk juga.
Sayangnya, sudah terlambat untuk menolak. Kepalaku telah dianggukan dan kedua orangtuaku tak mungkin punya pertimbangan lain. Aku akan masuk Asrama Xylone besok.[]
Aku bangun di pagi hari dengan banyak perubahan: ada yang berbeda ketika aku bercermin. Rambutku yang awalnya berwarna cokelat mendadak menggelap, begitu pula nasibnya dengan sepasang iris mataku.
Yah, aku tak mempermasalahkan hal itu, sih. Asalkan aku tak punya aura seperti nenek pemakan anak kecil. Lagi pula aku kan mau pergi ke asrama sihir, bukan kontes peragaan busana.
Saat aku keluar dari kamar, ibu dan ayahku tidak kaget sama sekali. Katanya, setelah pulang dari rumah sakit, aku tertidur dan tiba-tiba warna rambut dan mataku berubah. Ini merupakan pengaruh dari sihir hitam.
Aku membasahkan rambutku ketika mandi pun warnanya takkan berubah.
Seragam Asrama Xylone rutin berganti setiap musimnya. Saat musim semi seperti sekarang, seragamnya berupa kemeja putih lengan pendek, dasi hitam, jubah hitam sepanjang lutut, dan rok hitam selutut untuk perempuan dan celana untuk laki-laki. Di musim panas, seragamnya sama saja, bedanya yang perempuan memakai kemeja lengan buntung. Di musim gugur, kemejanya lengan panjang. Sedangkan di musim dingin, kemeja diganti dengan sweater putih, semua perempuan diwajibkan berkaus kaki panjang. Lambang serta tulisan Asrama Xylone tertera dengan bangga di setiap dada kanan seragam bagian atas.
Aku merasa agak ganjil memakai seragam ini. Namun, ibu meyakinkan bahwa aku terlihat cocok dengan semua setelan. Bohong atau tidak? Hanya dirinya yang tahu.
Lepas itu, aku cepat-cepat menghabiskan sarapan lalu masuk ke mobil.
***
Mobil ayah dan ibu berhenti mendadak tepat di depan gerbang raksasa Asrama Xylone yang terbuka lebar. Di samping gerbang terdapat dua pelayan berpakaian formal yang tampak seperti ... zombi kembar yang benar-benar simetris.
"Kenapa berhenti?" tanyaku.
"Entahlah, ayah tidak tahu."
Tiba-tiba si salah satu pelayan zombi mendekati mobil ayah, lalu mengetuk pelan kacanya. "Maaf, hanya calon murid yang akan bersekolah di sini yang bisa masuk."
Aku menelan ludah. Namun, keraguanku luntur kala menerima tatapan penuh kepercayaan dari ayah dan ibu. Ini mudah, aku harus pergi, batinku pada diri sendiri sembari melangkahkan kaki ke luar mobil setelah mengucapkan salam pada kedua orangtuaku.
Pelayan-pelayan zombi mundur menjauh ketika aku menghampirinya. Hidungnya merengut seperti habis mencium bau bangkai. Aku balas merengut, kali ini gara-gara tersinggung.
Setelah melangkah masuk ke gerbang asrama, aku merasakan ada aura yang beda. Apa itu yang dirasakan setiap murid saat masuk ke area asrama?
"Lewat sini, Nona." Salah satu zombi memintaku mengikutinya dari jauh. Aku pun segera mengikutinya.
Wow, asrama ini benar-benar menakjubkan! Ada patung-patung gargoyle yang menghias di setiap sisi. Tapi ketika aku lewat, patung itu tampak menjaga jarak. Oh, nggak heran, deh, kalau patung di asrama semacam ini bisa bergerak.
Asrama bercat abu-abu-hitam ini bertingkat lima dengan atap datar, patung-patung gargoyle mengelilinginya. Ada dua lapangan, lapangan sihir yang berada di belakang asrama dan lapangan utama di tengah-tengah asrama. Di lantai satu adalah kelas-kelas pelajaran, ruang makan, ruang musik, kantor guru, dan sebagainya. Lantai dua sampai lima adalah kamar murid. Sang pelayan zombilah yang memberi tahuku seluruh informasi ini selagi kami berjalan-jalan mengelilingi asrama.
"Sekarang pukul 07.50," kata si zombi. Eh? Bagaimana dia bisa tahu pasti? Dia tak memakai jam tangan. "Sepuluh menit lagi sarapan bersama dimulai, dan kau akan diumumkan sebagai siswi baru disini. Ayo, kuantar ke ruang kepala sekolah."
Aku mengangguk. Tak lama, ia berjalan tergesa-gesa menjauh dariku. Makin tersinggunglah hatiku. Apanya yang salah?
Pintu ruang kepala sekolah dihiasi oleh sebuah kepala banteng bertanduk emas. Sungguh indah dan berkelas, walau agak menyeramkan. Banteng itu seolah tampak hidup. Enggan menatap lebih lama, aku kemudian mengetuk pintu—yang secara ajaib langsung terbuka pada ketukan ketiga.
"Varrelisa Arianel, pemililik ilmu sihir hitam generasi ke seratus enam." Aku bergidik mendengar suara pria menyeramkan itu. Pasti kepala sekolah.
"Masuklah," katanya. Aku lekas melangkah ke dalam ruangan, tepat ketika pintu di belakangku kembali tertutup secara otomatis. Di atas kursi sederhana yang terbuat dari beludru, duduklah sang kepala sekolah lengkap dengan jubah kulit cokelat bertutul hitam-putih yang melapisi seragam semi formal miliknya. Kuduga harganya setara dengan seluruh isi lemari pakaianku.
"Aku Gurdyn, kepala sekolah Asrama Xylone," ujarnya. "Varrelisa, bagaimana perkembangan sihir hitammu?"
"Ehm—" Deham kecil, usap-usap tenguk; aku gugup luar biasa—"Sebenarnya, aku baru dapat sihir ini seminggu yang lalu, jadi aku belum tahu caranya menggunakan sihir ini."
"Pilihan bagus kau memilih asrama ini." Bibirnya mengukir senyum hangat. "Nanti saat sarapan bersama, kau majulah ke atas panggung. Perkenalkan dirimu kepada seluruh penghuni Asrama Xylone."
Aku berusaha semaksimal mungkin guna meminimalisir deru napas legaku. "Baik, Pak Gurdyn."
"Tetapi, Varrelisa, bisakah kau duduk di ruangan ini dulu? Aku punya banyak pertanyaan untukmu."
Kau dengar itu? Itu suara napasku yang mendadak berhenti akibat kepanikan mendadak. Apa yang Pak Gurdyn hendak tanyakan padaku? Ia barangkali akan bertanya bagaimana aku bisa dapat sihir ini, apa rasanya, siapa orang yang melakukannya, dan kenapa aku nggak mati. Pertanyaan bagus!
Semua golongan penyihir tau sihir hitam hanya bisa ditampung oleh tubuh keturunan pemilik sihir hitam yang pertama. Aku, 'kan, bukan dari keluarga kayak gitu!
Biasanya orang luar yang mendapat sihir hitam, tubuhnya dijamin bakal lansung hancur. Namun, entah mengapa, aku tidak. Aku hanya mengalami perubahan kecil pada pigmen rambutku yang berubah warna serta iris mataku yang turut menggelap. Pingsan cuma dalam seminggu merupakan suatu keajaiban.
Karena sihir ini jugalah mahkluk non manusia menjauhiku karena merasakan aura gelap yang kuat dariku. Ugh, bagus sekali, Varrel, sekarang aku bukan penyihir remaja biasa lagi. Aku takkan punya kesempatan memelihara hewan.[]
"Hari ini, kita kedatangan murid baru yang akan menempati kelas 3C," ujar Pak Gurdyn, dijawab oleh keramaian bisik-bisik dari mereka yang menempati ruang makan. Aku mengangkat sebelah alis, kalau sampai heboh begitu, pasti Xylone jarang kedatangan murid baru.
Ah, dan sekadar informasi, sistem asrama ini menggunakan sistem usia—tidak jauh berbeda dengan akademi pada umumnya. Dimulai dari murid berusia tiga belas tahun yang akan masuk ke kelas 1, empat belas tahun yang masuk ke kelas 2, dan seterusnya hingga sampai ke kelas 6.
"Namaku Varrelisa Arianel, usiaku 15 tahun." Suaraku terdengar cukup lantang ketika aku memperkenalkan diri. Syukurlah, telapak tanganku sudah keringatan sejak tadi.
Sebelum memutuskan untuk melompat dari podium untuk menghindari tatapan-tatapan yang dilemparkan ke arahku, Pak Gurdyn mendadak bertanya, "Apa yang membuatmu masuk sini?"
Apa dia memancing?! Aku mengerang dalam hati, tetapi apa boleh buat? Semua tatapan ini harus disingkirkan secepat mungkin. "Aku ... aku pemilik sihir hitam."
Ruang makan seketika menjadi tak ubahnya acara lomba bersorak-sorak. Siapa yang berteriak, "Bohong!" paling kencang sambil menunjuk-nunjuk hidungku niscaya akan menjadi pemenangnya.
"DIAM!" Pak Gurdyn mengambil langkah cepat dan tepat untuk berseru menghentikan kehebohan. Wajahnya merah padam dan memercikan api. Tak lama selepas itu, warna kulitnya kembali berubah normal. "Varrelisa memanglah pemilik sihir hitam setelah pemilik sebelumnya, Frestuen, memindahkan sihir hitam padanya."
"Apa buktinya?" Salah satu murid bertanya lancang.
Pak Gurdyn melirikku, matanya berbinar menantang. Sial. Tidak seharusnya seorang kepala sekolah merasa terprovokasi. "Buktikan."
Aku ragu beberapa saat. Kekuatan ini belum pernah kugunakan sama sekali! Namun, sebab sudah ikut terprovokasi (terima kasih atas ulah Pak Gurdyn), aku memutuskan tidak ada salahnya mencoba sekarang. Kupejamkan mata, berkonsentrasi agar kekuatanku bertumpu di satu titik—di jari telunjuk; gerakan dasar bagi penyihir yang ingin melakukan sihir biasa.
Atap asrama menjadi targetku. Entah dari mana datangnya, api hitam muncul di tengah atap dan merayap cepat ke arah dinding. Para murid sontak berdiri dan menjauhi meja masing-masing, mengambil posisi untuk melidungi diri sekaligus bertahan dari serangan apa pun yang hendak datang.
Aku diam-diam bersiul kagum. Tidak heran Asrama Xylone menjadi asrama sihir terbaik. Jika ini di sekolah lain, barangkali para muridnya sudah kocar-kacir.
Api kemudian padam setelah Pak Gurdyn menyuruh seorang guru untuk memadamkannya lewat sihir air.
"Mau bukti lagi?" tanya Pak Gurdyn, semakin terdengar menantang dari sebelumnya. "Apa kalian baru percaya ketika asrama ini hancur?"
Keheningan menjawabnya. Akhirnya, akhirnya, Pak Gurdyn mempersilakan aku turun dari podium dan duduk di mana pun yang kusuka.
Sayangnya, sepertinya tidak ada yang suka jika aku duduk di mana pun.
Dengan hati-hati aku berjalan di antara meja-meja makan berbentuk bulat yang menampung kurang lebih lima orang murid. Tatapan yang kuterima tak jauh-jauh dari kebencian, seolah aku baru meninju wajah ibu mereka—atau kesinisan, yang kuputuskan untuk menafsirkannya sebagai rasa iri.
"Pasti dia bohong."
"Mana mungkin api dari sihir terkuat dan paling mematikan bisa dipadamkan?"
"Ha! Aku lebih cocok jadi pemilik sihir hitam."
"Bahkan aku bisa mengeluarkan api lebih hebat tadi."
Aku bukan orang yang tergolong sabar, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan cibiran-cibiran para murid asrama. Ugh, ini mimpi buruk buat murid baru.
Set!
Refleks aku berjengit, terkejut dan sakit, ketika sebuah bilah pisau menggores lenganku. "Hei, apa-apaan?!" bentakku.
"Oh, jadi benar-benar pemilik sihir hitam, ya?" Gadis bersurai merah yang tak lain adalah pelakunya melirik jijik darah hitam yang mengucur dari lenganku.
"Kalau bukan, aku takkan masuk sini," gerutuku sambil lalu, berjalan menghentakkan kaki menuju meja kosong di ujung ruangan. Hampir bersamaan dengan itu, guru penyihir yang tadi menyiram sihir apiku datang menghampiri. Tanda pengenal di dadanya tertulis Walter.
Bu Walter menyerahkan jadwal pelajaran kepadaku.
"Terima kasih," ujarku. "Um, maaf, nanti saya tidur di kamar mana, ya?"
"Kamar nomor 218 di lantai tiga," jawab Bu Walter dingin. "Masing-masing kamar ditempati tiga orang, di sana ada dua orang lagi. Kamu melengkapi kamar itu."
"Oh ... baiklah. Terima kasih." Lagi.
Bu Walter meninggalkanku begitu saja tanpa bicara lebih lanjut, padahal aku yakin omonganku sudah cukup kencang.
Aku menghela napas. Ah, aku baru sadar, koperku masih tertinggal di ruang kepala sekolah. Pak Gurdyn yang menyuruhku menaruhnya di sana untuk sementara. Akhirnya, setelah acara makan berakhir, aku pun kembali ke ruang Pak Gurdyn.
Suatu kejadian tak terduga terjadi ketika aku melintas di hadapan sebuah patung gargoyle raksasa. Patung itu mendadak mengeluarkan suara yang terdengar seperti geraman, lalu menerjang ke arahku seolah aku adalah seonggok daging buruan yang lezat.
Aku menunduk saat patung itu menukik. Kalau aku tak menghindar, pasti badanku remuk dihantam badannya yang sekeras batu itu. Namun, cakar si patung berhasil mengenai tanganku, yang habis digores pisau pula!
Aku tidak berpikir sejauh itu untuk menyerang si gargoyle menggunakan sihir hitamku.
Sedang asyik-asyiknya pasrah dengan keadaan sekaligus menunggu untuk menjadi daging buruan lezat sungguhan, serangan patung gargoyle tersebut tak kunjung datang. Aku mulai bosan. Saat mataku terbuka, berdirilah di hadapanku seorang laki-laki berambut dirty blonde. Si gargoyle tampak tenang sambil mendengkur di lantai.
Rasanya aku ingin menjerit, "Pahlawanku!" dan bersujud di kakinya.
Sebelum aku bisa merealisasikan hal tersebut, ia mengulurkan tangan kepadaku. "Kau tidak apa-apa?"
"Mmm," gumamku, menyambut uluran tangannya sembari berusaha menekan pekikan "Pahlawan! Pahlawan! Pahlawan!" jauh ke dalam tenggorokanku.
"Gargoyle ini pasti benci sekali padamu," katanya sambil melirik si gargoyle sial. Sekilas, matanya berwarna merah, tetapi kini berubah seutuhnya menjadi sewarna langit. "Sudah tidak apa-apa, sih, sekarang ia tertidur. Ia takkan menyerangmu untuk beberapa saat ke depan."
Hal terakhir yang kuinginkan adalah menghabiskan sisa waktuku di Xylone dengan kejar-kejaran bersama sesosok patung batu yang bisa menghancurkan tulangku sewaktu-waktu. "Err, terima kasih," ucapku akhirnya.
"Sama-sama. Omong-omong, siapa namamu tadi? Lisa?"
"Varrelisa," koreksiku. "Panggil saja Varrel."
Ia menggoyangkan tangannya yang masih menjabat tanganku sambil tersenyum lima jari. "Namaku Zack. Zack Avcend."
"Zack," ulangku. "Sekali lagi makasih banyak."
Zack mengangguk. "Tentu saja. Oh, bagaimana dengan lukamu itu?"
"Bukan masalah," ujarku. Aku tak tahu pasti bagaimana aku bisa melakukannya hanya dengan sekadar konsentrasi, tetapi darah hitamku berhenti mengalir, lukanya perlahan menutup.
"Kau memang pemilik sihir hitam." Zack memandangnya kagum.
"Hei, aku tidak bohong." Aku mendenguskan tawa. "Memangnya kenapa?"
"Well, itu menarik." Ia mengangkat bahu. Senyuman itu lagi-lagi hadir sebelum ia berbalik pergi. "Sampai nanti lagi, Varrel."
Aku hampir lupa tujuanku kemari. Jadi setelah Zack berlalu, aku lekas mengambil koperku kemudian naik ke lantai tiga—menyusuri setiap nomor kamar yang ada di koridornya, tentunya sambil mengingat-ingat rute yang ditunjukkan pelayan zombi sebelum ini.
"216, 217 ...,” gumamku. Ah, tiba juga di kamar nomor 218.
Aku mengetuk pintu sekali. Tak lama, pintu dibuka dan menghadirkan sosok gadis berambut sebahu. Aku menelan ludah. "Eh, halo."
"Oh, anak baru pemilik sihir hitam, ya? Ayo masuk!" ajaknya sedikit terlalu riang. Apa jangan-jangan dia takut aku akan membunuhnya usai insiden di ruang makan? "Omong-omong, namaku Sheila, dan yang di situ ada Fiora."
Aku masuk atas izin Sheila. Meski aura di dalam kamar cukup hangat dan nyaman, aku tidak bisa melenyapkan perasaan canggung yang sempat hinggap. Mataku memperhatikan ke sekeliling. Kamar ini menyediakan rak buku, tiga kasur, tiga lemari, satu kamar mandi, dan jendela berukuran sedang.
"Anak bersihir hitam, ya?" Perempuan berkacamata yang sedang membaca di atas ranjang menatapku.
"Fiora," tegur Sheila kemudian menghela napas singkat. "Maaf, ia memang agak dingin kalau bertemu orang baru."
Aku tersenyum kecil. "Tidak apa-apa," ucapku kepada Sheila sebelum berjalan ke arah Fiora. "Aku Varrelisa. Salam kenal."
"Kau tahu namaku." Fiora menyambut uluran tanganku. Kulitnya sedingin nada bicaranya.
Sheila yang sepertinya merasakan ketidaknyamananku berupaya mengalihkan perhatian dengan menarikku ke salah satu ranjang.
"Kasur ini kadang terpakai, kok! Aku dan Fiora bergantian tidur di kasur ini, jadi nggak akan ada penunggunya," tuturnya setengah bercanda. "Lemari yang kosong kupakai sebagai lemari baju keduaku. Aku akan memindahkan baju-bajuku. Sebentar, ya."
"Makasih, Sheila."
Selagi Sheila memindahkan pakaiannya dari lemariku ke lemarinya, aku iseng melihat-lihat rak buku, yang ternyata bukan cuma berisi buku. Ada tongkat sihir dan sapu terbang juga di sana.
"Kalau kau mau menggunakan tongkat sihir ini," kata Fiora tiba-tiba, "Kau harus membagi sebagian kekuatan sihirmu dengan tongkat. Tandanya kekuatanmu sebagian ada dalam diri sendiri, dan sebagian lagi di tongkat."
"Beberapa kekuatan sihir akan jauh lebih kuat ketika memakai tongkat, lho," timpal Sheila.
Aku manggut-manggut. Sebuah pikiran konyol setengah mengerikan tiba-tiba terlintas di benakku. Adalah aku yang berdiri di puncak Asrama Xylone sambil memegang tongkat sihir hitam berusaha menyihir setiap murid dan guru menjadi katak. Mungkin bakal mengasyikkan punya tongkat sihir ... seandainya saja tidak ada resiko sebatang kayu yang bisa berubah jahat apabika aku membagi kekuatan dengannya.[]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!