NovelToon NovelToon

My Hubby

Chapter 1

“Tunggu!” seru pria yang turut melebarkan langkahnya saat wanita yang ia kejar mempercepat jalannya.

“Amira Adiba Az-zahra!” jerit Ardan saat Mira semakin cepat meninggalkannya.

Suara tegas itu membuat langkah Mira terhenti, hingga Ardan dapat menyusul dan berdiri di hadapan Mira.

Mira memejamkan mata, tak ingin menatap pria di hadapannya “Mira, aku..”

“Bersikaplah seolah kita tidak saling kenal, aku mohon” pinta Mira sembari menatap pria itu sendu.

"Dan melupakan apa yang terjadi diantara kita?"

"Ya!"

"Aku tidak bisa, Mira" putus Ardan final membuat Mira menghela nafas lelahnya.

"Setelah malam itu, kenapa kamu menghilang?" ucap Ardan mencoba mengingatkan hal yang selalu ingin Mira lupakan.

"Aku tidak pergi, kamu yang pergi, kamu menikah dengan ibu anak itu, keluarga kalian sangat harmonis" setelah mengucapkan itu Mira berlalu pergi saat air matanya akan luruh.

Mira tidak ingin Ardan melihatnya menangis, sudah cukup semua kesedihan yang ia rasakan akibat pria itu.

Ardan mengumpat dalam hati, dengan cepat ia kembali mencekal tangan Mira, "Mira apakah malam itu.. Apakah kamu hamil setelah malam itu?" tanya Ardan setelah menemukan kosakata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya.

"Tidak!" Ardan menatap mata Mira lamat-lamat, seolah mencari kebenaran di sana, namun Mira mengalihkan pandangannya.

"Tapi kenapa aku merasa kamu tidak mengatakan yang sejujurnya Mira?" tuduhan itu membuat Mira menatap Ardan dengan sengit.

"Apa urusanmu? Hamil atau tidak itu tidak ada sangkut pautnya denganmu" ucap Mira dengan penuh penekanan.

Ardan mengeratkan rahangnya marah, wajahnya pun memerah, tapi Mira tidak lagi takut dengan semua itu.

Tanpa kata Ardan pergi meninggalkan Mira yang segera masuk ke dalam ruangannya.

Setelah menutup pintu, tubuh Mira merosot jatuh sembari terisak, lalu memeluk kedua lututnya.

‘Kenapa mereka harus bertemu lagi?’ batin Mira bersamaan air mata yang meluncur deras dari pelupuk mata.

Beberapa waktu lalu...

“Buka mulutnya sayang, aaaaaa” Mira tersenyum saat manusia mungil dihadapannya membuka lebar-lebar mulutnya yang entah kenapa masih terlihat kecil di mata Mira.

“Nah pinter, kalau Arkan makannya banyak bisa cepat sembuh loh”

“Iya bu dokter?” tanya Arkan penasaran.

“Iya dong”

Suara pintu yang dibuka kasar membuat keduanya menoleh ke sumber suara.

“Daddyyyyyyyyy”

Keduanya stuck hanya bisa saling tatap tanpa bisa dicegah.

Bahkan Mira dengan tega mengabaikan pasien kecil yang meneriaki namanya saat ia tiba-tiba pergi begitu saja dari ruang rawat itu.

***

“Daddy!” Ardan yang melamun segera sadar dan sedikit menahan tawa saat pipi Arkan sudah kotor dengan bubur, ia salah menyuapi anak mungil itu.

“Sorry” tidak lagi menjawab Arkan melipat kedua tangannya dan membelakangi Ardan, tanda ia marah saat ini.

“Hey, Daddy minta maaf, ok?” Arkan bergeming di tempatnya, membuat Ardan memutari ranjang Arkan untuk berbicara dengan anak itu.

“Dimaafkan tidak?”

“Daddy nakal!”

“Tidak, Daddy tidak sengaja boy, maaf ya”

“Sungguh?”

“Sure! I’m sorry” Ardan bisa bernafas lega saat Arkan mau menatapnya, dan kegiatan mereka berlanjut dimana Ardan menyuapi Arkan, melanjutkan apa yang Mira lakukan sebelumnya.

Mira.

Pikiran Ardan tidak pernah terlepas dari wanita itu sejak pertemuan mereka beberapa waktu yang lalu.

“Daddy?!” lagi-lagi Ardan tersentak saat teriakan kecil itu memenuhi gendang telinganya.

“Ya boy?”

"Dokter tadi takut sama Daddy karena Daddy seperti monster, hihi" ucap Arkan sembari terkekeh lucu setelah mengatai Daddy-nya sendiri.

"Daddy seperti monster, hmm?"

"Iya"

"Hmmm baiklah monster ini akan menyerangmu" ucap Ardan yang setelah itu berperang menggelitiki Arkan.

"Aaaahh, Daddy stop, ini geli sekali, hahaha, stop Daddy"

setelah lelah, keduanya diam lalu tertawa bersama, tanpa sengaja Ardan memeluk tubuh kecil itu.

“Bu dokter tadi cantik dan baik ya Daddy? ” Ardan menyetujui hal itu dalam hati.

“Kalau memang Daddy sedang mencarikan Mommy untuk Arkan, boleh tidak jika Bu Dokter tadi saja yang menjadi Mommy Arkan?” Ardan tersedak liurnya sendiri seketika.

Mata Arkan yang mengerjap lucu membuat Ardan tak kuasa menolak namun juga tak bisa mengiyakan, akhirnya hanya senyuman yang bisa Ardan berikan.

Pria itu mengusap rambut Arkan dengan lembut hingga tak lama anak itu tertidur.

***

Ardan menegakkan tubuhnya saat melihat Mira yang kini berdiri kaku di hadapannya.

Ardan rela menunggui wanita itu di depan ruangannya, Ardan belum merasa puas dengan pertemuan mereka sebelumnya.

“Mira, boleh kita bicara?”

“Maaf jam praktek saya sudah habis” ucap Mira dengan memaksakan senyumnya dan bergegas dari hadapan Ardan.

“Sampai kapan kamu akan lari Mir?” langkahnya terhenti, Mira menarik nafas dalam hanya untuk membuatnya bisa tetap berdiri.

“Jika kamu ingin melakukan itu lagi, maka akan aku katakan kamu tidak akan bisa lari” langkah Ardan terdengar mendekat.

Mira menatap wajah itu yang sudah berada di hadapannya dengan jarak sebagai pemisah.

“Aku mencarimu selama ini” emosi Mira memuncak begitu saja.

Jika memang itu yang terjadi, kenapa mereka tidak pernah saling bertemu? Mira bukannya tidak tau siapa pria di hadapannya ini, Mira tau betul Ardan adalah pria beruang yang mudah saja membayar detektif handal untuk mencarinya.

Tapi itu tidak terjadi.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Mira berusaha menegakkan bahunya, perlahan mengambil nafas untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba sesak.

“Kita sudah bertemu sekarang, masalah selesai?” dengan tegas Ardan menggeleng.

“Masalah kita tidak sesimpel itu Mir, perlu ku ingatkan kejadian terakhir kali kita ketemu?”

“Aku sudah mengatakan tidak ada apa-apa setelah itu, tolong jangan memperkeruh semuanya, kamu sudah memiliki keluarga, jangan membuatku berada di posisi sulit karena dianggap sebagai perusak keluarga orang” setelah mengatakan itu Mira berlalu pergi meninggalkan Ardan yang terpaku di tempatnya.

Tak mau terlalu lama terlibat dengan Ardan membuat Mira memilih pergi tanpa menghiraukan pria itu, Ardan menggeram marah, tangannya mengepal, ia benci diacuhkan.

Dengan mengambil langkah lebar Ardan menyusul Mira, diraihnya tangan yang lebih kecil dari miliknya itu, lalu dengan cepat menghimpit tubuh Mira ke dinding.

Mira ketakutan, merasa de javu dengan kejadian beberapa tahun yang lalu.

Tapi ia tidak ingin terlihat seperti itu, dengan berbagai keberanian yang ia punya Mira bisa membalas tatapan tajam Ardan padanya.

“Kamu tau betul aku bukanlah orang yang sabar, kamu tau betul itu Mira” ucapnya datar dengan tatapan yang Ardan buat mengintimidasi wanita di hadapannya.

“Kalau kamu pikir aku akan takut, kamu salah Dan, aku bukanlah Mira yang dulu yang bisa dengan mudahnya kamu hancurkan, aku bukan lagi wanita lemah beberapa tahun lalu!” jawab Mira tak kalah sengit.

Sekuat tenaga Mira melepaskan diri dari Ardan namun tidak bisa.

Mereka saling tatap dengan marah.

Kriiiinggg kriiing

Sadar ponselnya berbunyi, Mira mencoba sekali lagi mendorong tubuh Ardan yang menghimpitnya, kali ini berhasil!

“Halo?”

“Bundaaaaaaaa” keduanya menegang mendengar panggilan itu dari ponsel Mira, sadar Ardan yang masih di sampingnya membuat Mira berlari menjauh.

“Aiden sudah makan Nak?”

Samar-samar Ardan mendengarnya, 'Apakah itu darah dagingnya?'.

“Bunda?” Mira menoleh, saat tatapan mereka bertemu, Mira mendadak takut ketika Ardan berjalan ke arahnya.

TBC

Chapter 2

"Kamu berbohong padaku, Aiden, dia putraku kan?" tanya Ardan dengan sengit, bahkan ia dengan tega meremas pergelangan tangan Mira dengan kencang

“Dia putraku!!”

Ardan sungguh malas dengan perdebatan ini, dia menatap lawan bicaranya dengan tajam, sedikit mengikis jarak diantara mereka, "Kalau aku punya bukti bahwa Aiden adalah putraku, aku tidak akan segan-segan untuk merebutnya darimu Mira" bisik Ardan yang semakin membuat emosi Mira meledak.

"Kamu tidak bisa melakukan itu!"

"Aku bisa, sangat bisa, bersiaplah, kamu yang memilih untuk bermain-main denganku"

Setelah mengeluarkan semua ancaman itu Ardan segera berlalu meninggalkan Mira yang kini menangis tanpa suara.

Mira berlari secepat yang ia bisa agar segera pulang ke rumah, dia butuh Aiden, dia butuh putranya saat ini juga.

Setelah sampai di area parkiran Mira segera memasuki mobilnya, menyalakan mesin, mobil hitam itu segera keluar dari area parkir.

Mira benar-benar tidak menyangka hari ini akan terjadi, Mira juga tidak pernah berharap untuk kembali bertemu dengan pria masa lalunya.

Isakan-isakan kecil itu mewarnai perjalanan pulang Mira menuju rumah.

Sementara di tempat lain, terlihat dua pria tampan sedang bicara dengan serius.

"Harusnya kamu tidak sekasar itu padanya Bro, Mira akan semakin takut dan membencimu" ucap Edo, salah satu sahabat Ardan yang sedang menjenguk Arkan ke rumah sakit.

“Aku tau dia berbohong, dan jika itu benar aku tidak bisa menahan diriku untuk segera bertemu dengan Aiden dan membalas semua kebohongannya malam ini"

Edo tau apa yang dirasakan sahabatnya, tapi tetap saja, Ardan dan keras kepalanya adalah hal yang sulit dipisahkan.

***

Setelah beberapa kali berhenti untuk membeli makanan kesukaan sang Putra akhirnya Mira telah sampai di rumah yang ia beli sendiri dengan hasil keringatnya selama ini.

Pintu terbuka dan muncul pria kecil dengan wajah sama dengan pria yang membuatnya menangis beberapa waktu lalu.

“Bunda kok bengong didepan pintu sih?” tanya Aiden membuat rasa takut kehilangan pria kecilnya ini semakin besar.

Mira berjongkok di hadapan anak berusia tujuh tahun itu lalu memeluknya erat, rasa nyaman semakin besar saat Aiden menepuk pelan punggung Mira dengan tangan kecilnya.

"Bunda sayang sekali sama Aiden, Bunda kangen"

"Aiden juga sayang Bunda, kangen juga" Mira tak bisa menahan dirinya untuk mencium sang putra.

Tak mau membuat putranya khawatir, Mira menghapus air matanya, melepas pelukan mereka lalu menangkup wajah kecil itu untuk menatapnya "Bunda belikan makanan kesukaan Aiden looohh"

"Asyiiiiikkk, terimakasih Bunda, saaaayaaaaang Bunda banyak-banyak"

Mira senang melihat Aiden yang girang setelah menerima beberapa bungkusan itu, setidaknya hari yang kacau ini ditutup dengan hal yang menyenangkan.

“Bundaaa kenapa tadi berangkat gak bangunin Aiden sih??? Kan Aiden pengen dimandiin sama bunda” kata Aiden dengan bibir penuh yang sudah mengerucut ke depan membuatnya tampak menggemaskan di mata Mira, hal inilah yang selalu membuatnya rindu rumah.

“Maaf sayang tadi ada panggilan darurat, maaf yaaa. Tapi tadi gak rewel kan sama mbok Minah?” Aiden menggeleng.

“Nggak dong bun, Aiden pinter hari ini” jawabnya dengan cengiran khas anak kecil lalu ia melanjutkan makan makanannya.

“Sudah selesai Bunda”

“Gosok gigi lalu tidur ya.. Sisanya Bunda taruh di kulkas ya, kalau Aiden ingin makan lagi tinggal ambil di kulkas” anak itu mengangguk dengan dua jempol kecil Aiden yang mengacung di hadapan Mira, dengan gemas Mira mencapit dua jembol Aiden itu hingga sang empu merengek.

“Sakit Bunda”

“Masak sakit sih?”

“Ihh Bunda lepas nanti jempol Aiden bengkak, siapa yang susah nanti?”

“Bunda kan?”

“Tidak dong, Aiden yang susah, nanti kalau bengkak sakit Bunda” Mira sedikit terkekeh mendengar itu.

“Nanti Bunda obatin, kan Bunda dokter” jumawanya.

“Tetap aja itu akan sakit” Mira mengalah, dan melepas tangan itu dengan tawa yang menguar, membuat wajah kecil itu semakin cemberut.

“Ahh akhirnya lepas”

"Maaf ya boy, bunda hanya bercanda"

"Bunda, Aiden mau susu"

"Okey siap" ucap Mira sembari berjalan ke kitchen set dan membuatkan susu pesanan Aiden.

Sementara anak itu duduk di kitchen bar memperhatikan Mira.

Mira tertegun, tujuh tahun sudah mereka hidup tanpa Ardan dan semuanya baik-baik saja, kenapa ia harus kembali bertemu pria itu lagi?

"Bunda, airnya sudah mendidih" Mira tersadar dari lamunannya dan segera mematikan kompor.

“Bunda kenapa melamun terus sih?” tanya Aiden yang hanya Mira hadiahi dengan gelengan pelan.

“Pasien hari ini banyak ya Bun?” dengan lemah Mira mengangguk.

Perlahan ia kembali teringat dengan pasien bernama Arkan yang ternyata putra dari pria masa lalunya.

Entah apa yang terjadi esok, yang jelas setelah separuh info tentang Aiden tadi Mira yakin Ardan tidak akan diam saja.

“Hari ini Aiden tidur sama Bunda ya?” pinta Aiden saat Mira memberikan botol susu miliknya.

Dulu saat Aiden pertama kali masuk sekolah dasar, Mira harus mati-matian meminta agar tidur sekamar dengan putra kecilnya.

Karena pria kecil itu menolak dengan alasan ingin mandiri sejak dini, Mira tertawa pelan saat itu, tapi tidak menolak keinginan Aiden.

Namun kini ia dibuat heran karena ini kali pertama Aiden memintanya untuk tidur bersama seperti dulu.

“Kenapa mau tidur sama Bunda? Biasanya juga gak mau” ucap Mira pura-pura merajuk dan berjalan meninggalkan putranya.

Biar saja jika Aiden merasa kesal dengan penolakan itu, Mira ingin membalas dendam pada putra kecilnya itu, hihi.

“Eh, eh Bunda, Aiden belum selesai bicara”

Brug!

Mira kembali menahan tawa saat Aiden perlahan mengusap dahinya yang menabrak pinggang Mira saat wanita itu berhenti secara mendadak.

“Bunda kok berhenti gak bilang-bilang”

“Katanya Aiden belum selesai ngomong, makanya Bunda berhenti” Aiden mengerucutkan bibirnya kesal, Mira tak lagi bisa menahan tawanya.

“Say sorry please!” tawa Mira berhenti dan kini ia berjongkok di hadapan putranya.

“Maaf ya sayangnya Bunda”

“Dimaafkan”

“Oke, sekarang jelaskan kenapa Aiden mau tidur sama Bunda lagi” wajah anak itu seketika berubah.

“Aiden gosok gigi dulu Bunda, sampai jumpa nanti” ucap Aiden yang sudah berlari meninggalkan Mira dengan rasa penasarannya.

Mira menggelengkan kepala heran.

Namun ia akhirnya juga bergegas untuk mandi, dan mendengarkan alasan dari sang anak.

Aiden sudah duduk di head board saat Mira baru keluar dari kamar mandi dengan tampilan yang lebih fresh tentu saja.

Pria kecil itu membukakan selimut bagi sang Bunda, botol susu yang tadi penuh sudah tak bersisa.

Setelah berada di ranjang yang sama Mira memeluk erat tubuh kecil itu, penguatnya, alasan mengapa Mira masih memilih untuk tetap hidup hingga saat ini.

“Bunda kangen banget ya sama Aiden”

“Iya” setelah menerima jawaban itu Aiden juga mengeratkan pelukannya pada sang Bunda.

“Aiden juga kangen Bunda sangat-sangat” Mira terkekeh dalam pelukannya, putranya ini selalu bisa membuatnya bahagia, terharu dan segala macam emosi yang lain ada dalam diri Mira dalam waktu yang bersamaan.

“Oh ya, Aiden mau cerita sesuatu ya?” dapat Mira rasakan tubuh kecil itu menegang.

“Aiden” pria kecil itu merenggangkan pelukan mereka, kepalanya menunduk seakan takut pada sang Bunda.

“Aiden ada apa?”

“Bunda, sebentar lagi ada hari ayah” kini Mira juga menegang di tempatnya, ia sudah tau kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

TBC

Chapter 3

“Aiden mau berlibur kemana?” tawar Mira seperti tahun sebelumnya.

Mereka akan pergi berlibur berdua saat hari ayah itu tiba.

Alasannya karena Mira tidak bisa melihat anaknya yang akan diejek teman-temannya saat hanya dirinya yang tidak memiliki ayah, di hari ayah itu.

“Bunda, boleh tidak kalau tahun ini Aiden ikut acara itu?” nafas Mira tercekat saat wajah polos itu menatapnya penuh harap.

“Aiden ingin mengikuti acara itu?” dengan sigap Aiden mengangguk.

“Hari ayah tidak harus bersama Ayah, Bun, karena Aiden hanya punya Bunda, saat semua murid merayakan hari Ayah di sana, kita bisa melakukan Hari Bunda di sana” mata Mira berkaca-kaca seketika, terharu dengan perkataan putranya.

Betapa dewasanya pemikiran putranya ini.

Mira kembali tersadar saat jemari kecil itu mengusap air mata yang jatuh di pipinya.

“Tidak boleh ya Bunda?” cecar Aiden saat bundanya malah menangis, tidak mau mengecewakan sang putra kini tangan Mira membingkai wajah kecil itu dengan air mata yang masih berjatuhan.

“Boleh kok, kalau Aiden ingin pergi ke acara itu Bunda pasti temani” wajah Aiden mendadak sedih.

“Tapi Bunda menangis, itu artinya Bunda tidak ingin menghadiri hari Ayah itukan?”

“Bunda mau kok, Bunda menangis karena Bunda baru sadar kalau putra Bunda sudah semakin pintar dan berani, ini air mata bahagia” ucap Mira sembari mengusak hidung mereka, kemudian mengecup kedua pipi Aiden bergantian

“Terimakasih Bunda” Mira mengangguk.

“Bunda bakal ajukan cuti ya biar bisa menemani Aiden nanti” Aiden tersenyum senang meski wajahnya masih terlihat tidak terima.

“Acaranya dua hari lagi kan?” anak itu kembali mengangguk.

“Oke, Bunda akan ajukan libur untuk dua hari lagi, Aiden senang?” Mira tau jika saat ini Aiden sedang memaksakan senyumnya.

“Baiklah mari tidur besok Aiden harus pergi sekolah kan?” dengan patuh anak itu merebahkan diri di samping Mira.

Mata Aiden perlahan tertutup saat Mira mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

Hal yang membuatnya selalu merasa bersalah pada anak itu, Mira bukan tidak tau apa yang sebenarnya Aiden inginkan.

Hari ayah selalu menjadi momok mengerikan bagi Mira meski Aiden pun tidak pernah menuntut apapun padanya.

Tapi bagi seorang ibu, Mira tetap merasa bersalah pada putranya sendiri.

Kalau tahun lalu ia bisa membuat putranya senang dengan mengajaknya berlibur, Kini Mira tak bisa melakukan hal yang sama.

Sadar saat putranya sudah tertidur, Mira merebahkan dirinya, berdiam diri menatap langit kamar sembari memikirkan hal berat yang akan terjadi di kemudian hari.

Mira tidak tau sampai kapan Aiden tahan untuk tidak bertanya keberadaan Ayahnya, meski anak itu sangat pintar menyembunyikan sesuatu tapi Mira tidak buta.

Terlalu berat memikirkan itu membuat Mira hanyut dalam angannya.

“Bundaaaa, hiks bundaaaa” isakan itu membuat Mira berjalan ke sumber suara.

Semakin lama tangis itu semakin jelas di telinga Mira.

Ada seorang anak disana, “Bundaa”

Mira terpaku di tempatnya saat anak itu berbalik dengan merentangkan tangannya.

Aisyah.

“Bunda kangen kamu nak” Mira memeluknya menuntaskan segala kerinduan yang ia punya, kemudian Aisyah mendongakkan kepalanya membuat pelukan mereka merenggang.

“Bunda jangan sedih yaa, kalau bunda sedih Aisyah sama Abang juga ikutan sedih Bun” kata Aisyah dengan senyuman yang manis.

“Iya sayang bunda janji gak bakal sedih lagi”

“Ikhlas ya bunda, aku sudah bahagia disini. Jangan ada rasa benci di hati bunda, maafin semuanya bunda” kata Aisyah yang membuat Mira terperangah hingga tak sadar jika Aisyah sudah pergi menjauh dari hadapanku, Mira yang melihat itu berusaha mengejar Aisyah yang semakin mendekati cahaya putih hingga akhirnya aisyah hilang ditelan cahaya putih itu.

“Aisyaaaaaah” pekik Mira berharap perempuan manis itu kembali, namun semuanya menggelap hingga Mira merasakan ada seseorang yang mengguncang tubuhnya.

“Bundaaaaaa, bunda kenapa teriak-teriak?” kata Aiden dengan mata berair yang ia punya

“Bundaaaaa, bunda kenapa sih, kok keringetan?? Bunda sakit ya??” tanyanya setengah terisak.

Mira memeluk tubuh kecil itu, masih mencerna apa yang ia lihat tadi, Aisyah sudah tidak ada, hanya Aiden yang kini di pelukannya.

Itu hanya mimpi.

“Aiden takut bunda teriak-teriak tadi, Bunda kenapa?”

“Bunda gak apa-apa sayang, maaf ya Bunda bangunin Aiden” anak itu mengangguk.

Mira kembali melamun, hingga pandangannya tertuju pada jam di kamarnya.

Pukul 00.00

Pantas saja Aiden bangun dan menangis, anak ini pasti terkejut karena teriakannya tadi.

“Tidur lagi ya?”

“Bunda mimpi dek Aisyah lagi ya? Bunda pasti kangen kan sama dek Aisyah, Aiden juga kangen sama dek Aisyah, Bunda” ucap Aiden tanpa memperdulikan ajakan Mira sebelumnya.

“Iya sayang, bunda juga kangen” hanya itu yang bisa Mira katakan sambil mencerna mimpi tadi.

“Gimana kalau besok pagi kita kunjungin dek Aisyah bunda?” kata Aiden dengan wajah yang berbinar.

“Boleh, sekarang Aiden tidur ya” Aiden mengangguk dan kembali mengambil posisi di samping Mira.

Hingga keduanya kembali tertidur bersama.

***

Seperti yang sudah direncakan sebelumnya, kini Mira dan sang putra sudah berada di area pemakaman setelah mengajukan cutinya dua hari.

Jantung Mira kembali berdetak kencang saat menginjakkan kakinya di makam ini. Tempat putrinya dimakamkan, kembaran Aiden.

Aisyah Salsabila.

Nama yang Mira pilihkan untuk putri kecilnya yang tak selamat saat dilahirkan.

'Maaf Ibu, tapi putri Ibu telah berhenti berdetak, kami sudah melakukan yang terbaik'

Mira kembali merasakan momen itu, momen dimana hidupnya hancur saat tidak bisa merawat putrinya sekali lagi setelah keluar dari kandungannya.

“Hai adek, Abang datang sama Bunda nih, maafin kami baru bisa datang hari ini” Mira masih tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Aiden pada kembarannya yang telah tiada.

Mira memang sudah menceritakan semuanya pada Aiden, tepatnya saat itu menginginkan seorang adik.

Meski tak pernah bertemu keduanya seperti memiliki ikatan, tanpa bertanya lagi Aiden langsung percaya bahwa Aisyah memang adik kembarnya.

“Bun, jangan nangis terus dong, kata pak Ustad kita gak boleh sedih, nanti Adik Aisyah juga sedih loh” dengan kasar Mira menghapus air matanya, perkataan yang juga Aisyah katakan dalam mimpinya semalam.

“Iya sayang”

“Kita doain Adik ya Bun” lagi-lagi Mira mengangguk.

“Aamiin” Mira bisa lihat anak itu mengusap wajah saat setelah menyelesaikan do’anya.

“Bun..” cicit Aiden membuat Mira menatap putranya penasaran.

“Aiden mau beli itu boleh?” pandangan Mira tertuju kemana tangan mungil itu menunjuk.

Ada penjual es krim di sana, dengan senyum lucu Mira mengangguk, sembari mengerahkan uang Mira mengusap puncak kepala Aiden dengan gemas.

“Setelah itu kembali kesini ya?” Aiden mengangguk senang.

Mira kembali menunduk menatap pusara sang putri, masih teringat jelas bagaimana tangan mungil itu menggenggam jemarinya, saat tubuh yang lebih kecil dari Aiden itu menggeliat dalam pelukannya.

Mira masih mengingatnya.

“Maafkan Bunda sayang, Bunda akan selalu menyayangi kamu, Bunda akan tepati janji Bunda semalam, Bunda akan mengikhlaskan kamu meski itu sangat berat Bunda lakukan” ucap Mira yang sudah larut dalam tangisannya.

Perlahan ia menegakkan badannya, mengusap kasar air mata itu.

“Bunda akan lakukan apa yang kamu minta, Bunda akan berusaha dengan keras demi kamu dan demi Abang”

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!