NovelToon NovelToon

Synnefá: Into The Sky

Apa Itu "Langit"?

“Kriiingg… Kriingg…” Suara bel istirahat berbunyi. Tak biasanya perutku lapar jam segini. Aku pun turun ke kantin untuk membeli camilan sekedar mengganjal perutku. Aku menuruni tangga sambil melihat banyak murid-murid yang lain juga mengarah ke kantin. Kulangkah dengan sedikit tergesa-gesa agar tidak keburu sesak penuh di kantin.

Sesampainya di kantin, aku terkejut karena sudah penuh sekali. Orang-orang semua berkumpul dengan teman-temannya, riuh suara obrolan sana sini, hingga suara teriakan mereka yang saking asiknya mengobrol seperti pasar. Aku melihat-lihat warung mana yang terlihat cukup sepi. Tapi keadaan sudah ramai penuh sesak sehingga semuanya menjadi tak beraturan. Aku pun mengurungkan keinginanku untuk membeli camilan dan kembali ke atas sendirian. Kebetulan teman-teman sekelasku yang lain sedang asyik mengobrol di kantin, sedangkan aku kurang suka keramaian. Saat aku ingin mendaki tangga muncul perempuan teman sekelasku datang menghampiriku.

“Malka!” seru perempuan itu sambil berjalan cepat menuju kepadaku.

“Alya, ada apa?” tanyaku heran.

“Ku lihat, tadi kau hanya melihat-lihat kantin saja. Kau tak membeli apa-apa?” tanyanya yang tanpa kusadari kalau dia melihatku tadi di kantin.

“Kau melihatku? Iya, tadi aku hanya ingin membeli camilan tapi ramai sekali. Akhirnya aku tidak jadi membeli apapun dan ingin ke kelas,” jawabku kepadanya yang biasa-biasa saja.

“Baiklah, ini untukmu…” ucap Alya sambil memberikanku coklat kemasan.

“Coklat?” tanyaku heran dan terbenak di kepalaku untuk apa ia memberinya kepadaku dan kenapa.

“Ya… Kau mau camilan kan?” jawab Alya yang bahagia menegaskan kepadaku. Tidak baik menolak tawaran akhirnya aku terima saja.

“Terima kasih,” ucapku kepadanya sambil menerima tawarannya tersebut. Kemudian ia langsung lari ke arah kantin lagi “Mungkin mau bertemu teman-temannya” dalam benakku.

“Kriiingg… Kriingg…” bel masuk kelas sudah berbunyi dan aku pun segera menuju ke kelas. Saat aku masuk kelas, anak laki-laki sedang berkumpul mengobrol tapi entah apa yang mereka bicarakan. Aku kembali ke tempat dudukku sambil menikmati coklat pemberian teman sekelasku tadi. Tiba-tiba teman sebangkuku yang sedang berkumpul itu datang kepadaku, duduk di sebelahku, dan langsung bertanya padaku.

“Oi… tadi kau sedang apa dengan Alya?” tanya temanku itu dengan suara pelan dan penuh penasaran.

“Hanya mengobrol sedikit,” jawabku sinis kepadanya karena perilakunya seakan-akan menginterogasiku.

“Sungguh beruntung sekali kau…” saut temanku tadi masih dengan suara yang pelan, mungkin tidak enak membicarakannya apa kalau sampai kedengeran orang lain.

“Hah? Apanya yang beruntung dari itu?” tanyaku heran kepadanya karena menurutku ia semakin aneh.

“Apa?! Kau masih belum mengerti juga? Kau tadi baru saja mengobrol dengan perempuan paling cantik di kelas ini… bahkan di dunia. Apa kau tak sadar kalau mereka yang sedang berkumpul itu sedang membicarakanmu? Banyak orang yang suka kepadanya, dari yang hanya diam-diam sampai nekat dan memalukan Alya di depan banyak orang. Semenjak itu dia lebih protektif kepada laki-laki apalagi orang sepertiku. Makanya aku menyebutmu sebagai laki-laki paling beruntung di sekolah ini…” jelas teman sebangkuku yang heran, sedikit kesal, memuji, bercampur menjadi satu sambil menunjuk ke teman laki-laki yang sedang berkumpul itu.

Memang yang kukenal, Alya merupakan gadis cantik di kelas bahkan di sekolah ini. Aku sering melihat orang-orang memberikan makanan atau barang bagus lainnya kepada Alya. Badannya yang menawan dan "seksi", tak sedikit membuat para lelaki tergairahkan. Meskipun menggunakan seragam yang rapih dan sopan, tetap saja ada celah bagi orang-orang "nakal". Orang-orang juga banyak heran dan penasaran kepadaku karena aku sesekali mengobrol dengannya. Tapi aku menganggapnya hanya sebagai teman. Aku juga tidak ada perasaan apapun kepadanya. Mungkin karena aku lebih sering mengobrol dengannya daripada mereka yang bahkan tidak pernah mengobrol padanya. Sekalipun ada laki-laki yang mengajaknya mengobrol, dia memilih-milih dan sering hanya dibalas dengan balasan pendek dan langsung meninggalkannya.

Kali ini mata pelajaran kelasku sekarang adalah geografi. Namun guru geografi itu tak kunjung masuk kelas. Lebih lambat dari biasanya. Biasanya beliau datang lebih awal bahkan sebelum murid-murid kembali dari kantin. “Sudah lima belas menit, tumben sekali…” benakku heran karena beliau belum masuk kelas juga.

Tak lama kemudian beliau masuk sambil membawa buku pelajaran, tempat pensil, dan absensi serta laporan harian guru. Beliau duduk dengan penuh karisma dan mengabsensi murid-muridnya satu persatu. Aku sangat idola dengannya dan menjadi panutanku. Dari sekian banyak guru di sekolah ini yang terbaik, ini lebih terbaik dari yang terbaik bagiku. Beliau berpendidikan tinggi dan sangat tahu tentang pelajaran yang dianutnya itu.

“Baik anak-anak. Buka buku kalian halaman 117!” seru beliau dengan tegas dan berwibawa. “Baik, Pak!” jawab kami semua dengan lantang dan sigap. Kebetulan materi kali ini ialah tentang langit dan angkasa.

“Sekarang saya akan menjelaskan langit planet kita. Langit kita berbeda dengan planet-planet lainnya. Langit kita terdiri jadi tujuh lapisan, berguna melindungi planet ini dari segala benda angkasa yang ingin menabrak bumi. Menurut para ilmuwan, semenjak 1000 tahun yang lalu, tidak ada satupun benda angkasa yang menabrak bumi sampai sekarang. Padahal mereka sudah mendeteksi lebih dari tiga ribu benda angkasa menuju bumi, tapi entah kemana,” ucap guruku menjelaskan. Tapi tiba-tiba salah satu temanku bertanya.

“Maaf pak. Saya ingin bertanya. Kita semua pasti pernah mendengar rumor bahwa kita tidak bisa menembus langit karena ada pembatas. Namun mengapa kita masih dapat melihat angkasa?” Tanya temanku dengan serius dan penuh penasaran.

“Baiklah saya akan jawab. Langit memang memiliki pembatas seperti yang kau tanyakan. Tapi kita bisa menuju ruang angkasa dan melihatnya karena persamaan dimensi. Para ilmuwan dan saya percaya, ada sesuatu di langit yang tidak dapat kita lihat, rasakan, amati, apapun interaksinya, kita tidak akan bisa dan tidak akan pernah tahu,” jawab beliau dengan penuh rasa yakin.

“Tapi pak, bagaimana para ilmuwan bisa tahu kalau di sana benar-benar ada sesuatu itu?” lanjut pertanyaan dari temanku yang sama.

“Kriingg… Kriingg…” bel jam pelajaran selanjutnya telah berbunyi. “Baiklah anak-anak sampai sini dulu pertemuan kita. Maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Untuk hari ini kalian tidak ada tugas dari saya. Sekian~” ucap beliau lalu ia meninggalkan kelas. Aku yang tidak tahu apapun yang ditanyakan dan dijawab oleh guruku. Namun aku tertarik untuk mencari tahu akan itu. Selanjutnya kegiatan belajar belajar seperti biasa sampai pulang sekolah.

Setelah pulang sekolah, satu persatu teman-temanku meninggalkan kelas dan pulang kerumahnya masing-masing. Aku yang masih penasaran ingin pergi ke perpustakaan. Sekolah semakin sepi karena hari sudah semakin larut. Di depan perpustakaan ada Ibu perpustakaan bertanya kepadaku.

“Baru pertama kali kesini? Jangan menyesal bila tidak menemukan apa yang kau cari!” seru Ibu perpustakaan padaku. Aku hanya mengangguk sedikit kemudian masuk kedalam. Ketika aku masuk di dalam perpustakaan sekolah, aku terkejut ada Alya yang sedang mencari buku dan sedang berusaha menggapainya buku itu karena terlalu tinggi baginya. Aku mencoba membantunya untuk meraih buku itu.

“Hmph… Terima kasih,” ucap Alya yang sedikit kaget karena melihat aku yang tiba-tiba membantunya.

“Sedang apa kau di sini?” tanyaku heran karena semua teman-teman sudah meninggalkan sekolah.

“Aku memang hampir setiap hari kesini. Kenapa kau kesini?” jawab Alya sekaligus bertanya kepadaku kebingungan.

“Aku sedang mencari sebuah buku,” jawabku tenang sambil mengambil-menaruh buku-buku mencari apa yang kubutuhkan.

“Buku tentang apa? Langit? Kalau itu yang kau cari, sepertinya salah lemari…” tanya Alya yang menebak-nebak apa yang kucari.

“Bagaimana kau tahu? Aku belum memberi tahumu sebelumnya.” Aku bingung mengapa Alya bisa tahu apa yang kuinginkan.

“Biasanya… orang-orang kesini tidak lain dan tidak bukan untuk mencari tahu tentang langit itu. Ibu perpustakaan yang mengatakanku begitu. Tapi tidak ada satupun yang mendapatkan apa yang mereka cari. Karena buku itu ditempatkan di tempat yang tidak semua orang tahu,” jawab Alya menjelaskan kepadaku.

“Mari… Ikuti aku,” ajak Alya padaku mengarahkanku kesebuah lemari di pojok perpustakaan.

Sangat sunyi di sini. Semoga tidak ada yang aneh-aneh di sini. Aku mengikutinya sambil melihat kekanan dan kekiri kelemari-lemari buku yang amat banyak itu. Aku tidak terlalu memperhatikan Alya, sampai ia memberikanku sebuah buku.

“Ini, ambillah,” ucap Alya sambil memberi buku kepadaku.

Aku pun mengambil buku itu dan melihat sampul buku fiksi ilmiah yang bertuliskan “Penjuru yang Bersembunyi”. Aneh bagiku karena ini hanya sebuah buku fiksi yang pada dasarnya hanya karangan si penulis.

“Ini hanya buku fiksi. Kau percaya?” tanyaku pada Alya.

“Mungkin seharusnya kau buka halaman terakhir sebelum menanyakannya kepadaku,” jawab Alya dengan yakin dan sedikit menyidir.

Aku membuka buku itu ke halaman terakhir. Aku terkejut bahwa buku ini sebenernya karya seorang jurnalis yang mendapatkan informasi yang bocor dari para ilmuwan yang pernah ia wawancarainya.

“Buku ini ditulis untuk orang-orang yang terpilih untuk menyelamatkan semesta, bukan hanya langit. Sengaja ku pampangkan dengan terang dan mencolok serta ku sebar ke publik bahwa ini hanya sekedar buku fiksi ilmiah. Aku yakin jika buku ini jatuh di tangan yang salah, akan ada banyak keserakahan dan semua akan berlomba-lomba mencari jawabannya. Cukup mereka saja yang tahu, jangan orang awam. Jika buku ini sampai di tangan yang benar, segeralah cari tahu jawabannya dan jadikanlah semesta seperti sedia kala.”

“Semesta? Langit? Apa maksudnya?” tanyaku heran.

“Yang kau sebutkan itu sepertinya berbeda makna dari orang awam,” balas Alya.

“Jadi tidak sama dengan yang ada di buku pelajaran?” lanjutku.

“Mungkin saja,” jawabnya.

“Berarti langit yang dijawab Pak Guru tidak seperti yang kita kenal selama ini?” Aku terkejut saat menyadarinya. Alya menganggukkan kepalanya ke arahku.

Aku yang setelah membaca pernyataan tersebut menjadi sangat bingung dan pusing dibuatnya. Pertanyaanku semakin banyak dan mungkin ini adalah awal sebuah petualanganku untuk menemukan jawabannya. Dalam hatiku aku percaya dan bertekad untuk menemukan jawaban itu. Di samping itu, ada beberapa yang ingin kutanyakan kepada Alya.

“Kau juga percaya ini?” tanyaku padanya.

“Ya, aku percaya semenjak aku masuk keperpustakaan ini pertama kali. Kau percaya?” balasnya.

Hari sudah semakin larut. Langit sudah mulai gelap. Aku ingin meminjam buku ini untuk di bawa pulang, namun kali ini buku-buku tidak boleh dipinjam karena sudah memasuki liburan musim panas. Di masa liburan yang cukup panjang murid memang tidak boleh meminjam buku perpustakaan dengan alasan agar tidak hilang. Aku yang penuh penasaran dan sudah bertekan untuk itu merasa berkecil hati karena tidak ada rujukan untuk aku mencari jawaban akan itu. Aku hanya bisa melihat buku ini sambil melihat beberapa halaman dengan singkat.

“Oiya, kau sudah terlanjur percaya kan? Untuk meyakinkan hatimu, kau boleh datang ke taman dan menemui kami di sana,” ajak Alya kepadaku yang masih menatap buku yang kupegang. Aku hanya bisa melihatnya dan bingung ingin menjawab apa.

“Hari sudah mulai gelap, waktunya pulang. Sampai besok, Malka!” ucap Alya berlari dan menyapa Ibu perpustakaan yang ingin menutup perpustakaan.

“Hai yang di sana! Cepatlah pulang! Perpustakaan ini mau tutup!” teriak Ibu perpustakaan dari depan perpustakaan melihat kepadaku yang masih menunduk melihat buku ini.

“Kau boleh membawanya pulang kalau kau mau!” seru Ibu perpustakaan dengan suara yang agak kencang.

“Oke, Bu! Terima kasih banyak!” ucapku terima kasih dengan hati penuh senang dan segera berlari kedepan perpustakaan dimana Ibu perpustakaan itu berada.

“Nampaknya kau sudah menemukan apa yang kau temukan, Nak,” kata Ibu perpustakaan yang mungkin terlihat bangga.

Aku berpisah dengan Ibu perpustakaan dan langsung bergegas pulang kerumah. Kulihat sekolah benar-benar sepi seperti hanya aku seorang di sini. Aku bisa meluangkan waktu banyak untuk membaca buku itu dan menemukan jawabannya terlebih lagi sekarang sudah memasuki liburan. Mungkin itulah sebabnya banyak murid-murid langsung pulang lebih cepat dari biasanya.

Mungkin inilah awal petualangan yang kuinginkan. Untuk menemukan jawaban itu. Besok aku harus menemui Alya di taman dekat sekolah. Sekolah sudah tutup selama liburan. Dan aku mendapatkan buku tersebut. Akan ada banyak rintangan yang mungkin menanti di depan sana. Hari ini mungkin hari terbaik bagiku selama ini.

Bersambung~

Pertemuan di Taman

Bangun…

Bangun…

Bangun…

A—d—n—th—R—s—io—s

“Ha!” Aku kaget dan terbangun dari tidur. Apa yang barusan terjadi? Seakan-akan ada yang membisikkanku entah darimana. Mungkin itu hanya halusinaku saja. Lagi pula itu hanya mimpi. Mimpi yang buruk.

Pagi cerah menyambut hari yang indah ini. Aku bangun dari tempat tidurku. Ibu sedang menyiapkan sarapan untuk kami dan Ayah membantu Ibu merapikan meja makan.

“Malka! Waktunya sarapan!” seru Ibuku memanggil dari bawah.

“Aku datang!” balasku ceria seraya menuju ruang makan.

Di meja makan sudah ada sup dan roti. Tapi aku belum pernah lihat sebelumnya. Mungkin Ibu sedang mencoba resep baru. Ibu sedang menyiapkan semuanya. Kemudian aku bertanya ke Ibuku.

“Ibu, itu apa? Aku baru lihat,” tanyaku penasaran makanan apa itu.

“Oh, ini namanya Chamnion Soup dan yang ini namanya Riunbread. Keduanya merupakan makanan legenda dan turun temurun di desa ini. Ibu tahu resep ini dari catatan punya Nenekmu. Saat Ibu membacanya, saat itu juga Ibu terpikir untuk membuatnya,” jelas Ibuku kepadaku.

Menurut legenda di tempat tinggalku, ada dua makanan yang sering dikonsumsi oleh orang-orang di sini. Keduanya punya latar belakang yang berbeda. Orang-orang percaya bahwa Chamnion Soup adalah makanan para baginda raja yang bijak dahulu kala. Sedangkan Riunbread adalah sejenis roti yang merupakan simbol reunion atau bersatu kembali. Dulu, orang-orang memberikan roti ini kepada orang yang dicintainya atau disayanginya seperti anggota keluar atau teman yang ingin berpisah dan meninggalkan tempat ini dalam waktu yang lama. Roti ini digunakan untuk menyimbolkan bahwa mereka yang sudah terpisah jauh di tempat yang berbeda, suatu saat akan bertemu kembali.

“Nak, Ayah ingin berbicara sesuatu padamu,” ucap Ayah tiba-tiba.

“Ada apa Ayah?” tanyaku bingung.

“Setelah kamu lulus nanti. Kita akan pindah ke kota,” lanjut Ayah lembut dan tenang. Mungkin supaya aku tidak kaget.

“Memangnya kenapa, Yah?” tanyaku heran dan sedikit sedih.

“Ayah ada pekerjaan di sana. Dan waktunya cukup lama, sekitar beberapa tahun. Jadi Ibu dan Ayah memustuskan untuk pindah kesana sementara waktu,” jelas Ayah menenangkanku.

Setelah beberapa perbincangan dan sarapan pagi, aku kembali ke kamarku dan mengambil buku yang kemarin aku pinjam di perpustakaan. Kemudian aku izin kepada Ayah dan Ibu kalau aku ingin pergi ke taman.

“Aku ingin pergi ke taman, ya…” ucapku sedikit keras sambil membuka kenop pintu.

“Baiklah… jaga dirimu baik-baik!” balas Ibuku yang tengah membereskan meja makan.

Aku keluar dari rumah membawa buku tersebut dan berlari menuju taman. Aku tak sabar membaca dan membahasnya bersama-sama. Ada banyak pertanyaan juga yang ingin kutanyakan ke Alya.

Saking bersemangatnya aku berlari sangat cepat sampai tidak melihat apapun di sekitarku. Tiba-tiba saja aku terjatuh tersandung batu dan aku tersungkur di jalan. Tapi seketika itu juga ada perempuan yang menadahkan tangannya kepadaku membantu untuk bangun. Aku meraih tangannya dan bangun kembali. Entah darimana perempuan itu datang, lantas aku bertanya padanya.

“Siapa kau?” tanyaku heran.

“Leora. Namaku Leora Seraphia. Kau bisa memanggilku Leora. Salam kenal!” jawabnya dengan penuh keceriaan dan bersemangat.

“Malka. Malka Syahnivir,” balasku kepadanya.

“Senang bertemu denganmu. Ini, makanlah. Dengan ini kau akan membaik,” ucapnya padaku sambil memberi sebuah roti dari kantung rotinya. Aku pun menerimanya.

“Kau jual ini?” tanyaku.

“Iya. Riunbread. Simbol reunion,” jawabnya.

“Reunion?” tanyaku bingung.

“Iya.”

Kemudian aku menanyakan berapa harganya.

“Biasanya aku memberi harga mahal ke orang-orang. Tapi bagimu, cukup kau membaik,” jawabnya dengan penuh senyum. Aku yang bingung dan masih menahan rasa sakit sedikit, lebih baik kuterima saja dan memakannya sebagai tanda rasa sopan.

“Terima kasih,” tuturku.

“Oiya, ini bukumu, kan? Tadi aku menemukannya tidak jauh dari tempatmu jatuh.”

“Iya. Aku sangat berterima kasih padamu.” Aku mengambilnya dan mengelap buku itu dengan tanganku.

“Aku juga,” balasnya. Namun setelah aku tegakkan kepalaku, perempuan itu sudah tidak ada. Aku masih penasaran siapa sebenarnya dia. Perempuan yang aneh.

Aku melanjutkan perjalananku ke taman. Tapi kali ini aku tidak berlari lagi karena kakiku masih sakit sedikit. Untungnya itu hanya luka lecet saja. Mungkin aku yang terlalu ceroboh sampai tidak dapat melihat ada batu di depanku. Kulanjutkan berjalan kesana sambil menahan sedikit rasa perih. Dan menghabiskan sisa roti pemberian perempuan aneh itu.

Di desa ini hanya memiliki satu taman yang berada di dekat sekolah, tempat aku belajar, berteman dengan orang-orang seumuranku, dan lain-lain. Di taman itu juga sering kali didatangi oleh anak-anak yang ingin bermain. Apalagi saat hari libur, ramainya minta ampun. Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar lima belas menit berjalan kaki. Begitupun dengan taman yang jaraknya tak jauh dari sekolah.

Di dalam perjalananku kesana aku kembali melihat seorang perempuan yang sepertinya juga sedang menuju ke taman. Aku yang sedang jalan sendiri, tiba-tiba dia datang kepadaku dan menyapaku seperti orang yang sudah kenal. Aku menanggapinya dengan biasa saja. Mungkin dia temannya Alya.

“Hai! Kau temannya Alya kan?” Raut wajahnya sangat ceria.

“Iya,” jawabku sambil memerhatikan jalan.

“Perkenalkan namaku Ellie. Orang yang paling ceria di Mennora dan pandai memasak!” serunya girang menghadapku, tapi aku menghiraukannya.

“Aku Malk—“

“Aku sudah tahu namamu. Alya mengenalkanku tentangmu,” potongnya.

Selama perjalanan aku dan Ellie mengobrol ringan. Semakin lama aku semakin akrab dengannya. Yang pasti kita berteman. Dia mengenalkan semua makanan yang dapat ia masak dan semua pengalamannya. Ellie sangat suka bercerita. Aku hanya menjadi pendengarnya yang baik dan tidak enak rasanya memotong pembicaraannya.

Dia periang penuh girang. Aku sampai malu saat ada orang lain melihatnya. Entah apa yang membuatnya menjadi seceria ini. Dan entah apa yang dapat membuatnya tenang. Seketika dia  berbicara kepadaku.

“Enak ya jadi Alya…” hembusnya spontan kepadaku.

“Maksudmu?” tanyaku bingung dengan perkataannya.

“Eh—lupakan… Oiya, buku apa yang kau bawa itu?” Aku masih tak mengerti tapi ia langsung mengalihkan pembicaraan.

“Ini buku tentang langit. Aku pinjam dari perpustakaan sekolah,” jelasku padanya.

“Oh ya? Kau tau… …“ Dia kembali berbicara tanpa henti. Aku tidak memerhatikannya. Yang kuperhatikan hanyalah jalan. Tapi aku berpura-pura seakan-akan aku mendengarkannya.

Taman sudah terlihat dari sini. Tak lama lagi aku sampai. Dia masih saja berbicara dengan cepat tanpa henti. Bercerita sana sini. Aku ingin menegurnya, tapi tidak jadi. Sedikit lagi sampai. Mungkin ia akan berhenti bicara kalau kita sudah sampai. Kulihat ada dua orang yang sedang duduk mengobrol di bangku taman. Tak lama kemudian Ellie berlari kesana. Aku pun mengikutinya. Tapi aku tidak melihat ada Alya di sana. Sepertinya dia masih di jalan dan belum sampai.

“Kalian sudah lama menunggu?” tanya Ellie pada dua orang ini.

“Tidak juga,” jawab salah satu dari mereka. Mereka menatapku bingung.

“Oh, ini Malka, temannya Alya dan temanku!” jelas Ellie bersemangat.

“Oh iya, Malka. Ini Gras, si 'Tukang Makan'. Dan ini Ethan si 'Jago Bertarung',” jelasnya lagi.

“Hei! Kerjaku tidak makan saja, kau tau!” tegas Gras seperti anak-anak.

“Dan kita semua bisa bertarung. Tak hanya aku,” tambah Ethan.

“Tenang… Ini hanya perkenalan. Nah kau sudah kenal kan?” balas Ellie menenangkan Gras dan menepuk bahuku.

Kemudian kami berbincang untuk saling mengenal lebih dekat. Mereka sudah berteman dengan Alya sejak kecil. Tapi mereka sekarang tidak bersekolah dengan alasan ekonomi. Menurut mereka berkumpul, membantu masyarakat sekitar dan bereksplorasi merupakan hal yang lebih baik daripada sekolah. Mereka memang biasa berkumpul di taman untuk saling berbagi pengalamannya masing-masing. Selain itu, mereka juga sering membahas tentang langit. Tapi sampai sekarang mereka belum mendapatkan titik terang.

Sudah sekitar tiga puluh menit kami mengobrol sambil menunggu Alya yang tak kunjung datang-datang. Alya bilang bahwa dia akan datang ke taman hari ini. Ellie, Ethan, dan Gras juga bingung Alya belum juga datang. Biasanya dia yang paling awal datang ke taman. Kami semua cemas dan takut terjadi sesuatu padanya.

“Apa kau tadi tidak melihat Alya?” tanya Ethan cemas pada Ellie.

“Tidak. Aku hanya jalan berdua dengan Malka. Dan kami tidak melihatnya…” jawab Ellie.

“Aneh. Biasanya dia datang paling awal. Apalagi dia suka menepati janjinya. Apa yang terjadi padanya,” ucap Gras khawatir dan berkata seperti anak kecil yang ingin menangis.

“Mungkin sebentar lagi dia akan sampai,” jawabku dengan tenang.

Tak lama kemudian, nampak Alya dari kejauhan. Wajahnya menunduk dan berjalan agak tergesa-gesa. Dia menghiraukan sekelilingnya. Terlihat Alya seperti orang yang kelelahan. Kami hanya melihatnya dengan penuh kebingungan. Saat Alya sampai disini, Gras bertanya kepada Alya dengan raut muka masih cemas.

“Ada apa dengan Alya? Kau baik-baik saja kan?” tanya Gras penuh khawatir.

“Huh… Huh… Aku tidak tidak apa-apa. Ma—Maaf aku terlambat,” jawab Alya terengah-engah kelelahan sambil mengelap keringat di wajahnya.

“Aku tadi menyiapkan untuk besok. Kalian ingat kan?” ucap Alya kepada mereka. Aku tidak tahu apa-apa yang ia maksud.

“Oiya! Kami hampir saja lupa. Terima kasih banyak Alya,” Jawab Ellie penuh semangat seakan-akan tidak sabar.

“Kau sebagai tamu kerhomatanku, kutunggu kau di rumahku besok pagi. Oke?” ajak Alya padaku.

“Hmmph!” balasku mengangguk padanya. Padahal aku masih belum tahu apa-apa.

Perbincangan dilanjutkan bersama-sama. Kami membahas dan Alya menceritakan apa saja yang dia tahu. Dia menuturkan bahwa langit terdiri dari tujuh lapisan. Terdapat beberapa dimensi di seluruh semesta,

beberapa itu mungkin terdapat di langit. Ada dimensi yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Karenanya kita bisa melihat bintang-bintang di angkasa namun sebenarnya ada dimensi lain di langit yang menghalanginya.

Kita juga dapat pergi ke ruang angkasa tapi tidak melalui langit yang dimaksud. Alya menjelaskan begitu detail tentang apa yang ia tahu. Tapi dia tidak bisa mengkonfirmasi kebenarannya. Semua itu dia dapatkan dari buku-buku dan rumor orang-orang.

Tak terasa hari sudah sore dan taman sudah mulai sepi. Alya tidak bisa berlama-lama lagi di sini karena ia ingin menyiapkan semuanya untuk besok. Begitu pula dengan Ellie yang ingin mencoba resep barunya untuk besok. Gras yang sudah lapar dan ingin pulang. Sedangkan Ethan sudah aja janji untuk belajar bela diri. Kemudian kami saling memberikan salam pisah dan kembali kerumah masing-masing.

“Sampai jumpa!” teriak Ellie seraya melambaikan tangan.

Bersambung~

Desa Kecil "Mennora"

Saat perjalanan pulang ke rumah. Aku melihat orang-orang berinteraksi satu sama lain. Ada yang berjual-beli, menunggangi kuda, mengobrol, dan lain-lain. Aku sebagai orang yang jarang keluar rumah, dan keluar rumah hanya saat bersekolah saja. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang kakek yang sedang membawa perkakas besar dan terlihat berat. Kakek itu mengangkatnya terbungkuk dan terengah-engah. Aku menghampirinya karena kasihan dan ingin membantunya.

“Permisi, Kek. Ada yang bisa kubantu?” tanyaku menawarkan bantuan.

“Ti—Tidak usah, Nak. Kakek bisa mengangkatnya sendiri,” balas Kakek tersenyum sambil melanjutkan langkah kakinya.

“Tidak apa-apa, Kek. Biar kubantu. Kakek cukup beritahu arah jalannya.” Aku membantu mengangkat perkakas itu.

“Terima kasih banyak, Nak. Betapa baiknya kamu. Siapa namamu?” balas Kakek dengan langkahnya mengarahkanku ke jalan yang semakin jauh dari rumah.

“Malka. Salam kenal, Kek,” jawabku penuh hormat kepadanya.

Aku membantu kakek tersebut mengangkat perkakas yang besar ini. Untungnya tidak terlalu berat bagiku. Kakek memanduku ke sebuah stasiun usang dan sepertinya sudah tidak terpakai lagi. Aku baru tahu kalau di desa ini ada stasiun. Saat kami sampai di sana, aku menanyakan perkakas ini pada Kakek.

“Perkakas ini untuk apa ya, Kek?” tanyaku penasaran.

“I—Ini untuk memberi tanda bagi kereta yang akan melintas,” jawabnya.

“Stasiun ini masih dipakai?” tanyaku sedikit kaget.

“Sepertinya kau anak baru ya? Stasiun ini selalu ramai setiap harinya. Se—Setiap pagi banyak orang menunggu dan berangkat dari stasiun ini,” tutur Kakek menjelaskan dengan suaranya terpotong-potong. Masih ada pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya tapi sepertinya dia sedang sibuk. Lebih baik kutahan saja pertanyaanku.

“Baiklah, Kek. Aku harus pulang. Hari sudah semakin gelap,” ucapku pada Kakek yang sedang membetulkan alat-alat stasiun.

“Terima kasih ya…, Nak…” balas Kakek tersenyum kemudian melanjutkan perkerjaannya.

Saat aku keluar dari stasiun aku mendapat banyak informasi dari stasiun ini. Aku melihat rute dari kereta-kereta yang melintasi stasiun ini.

Stasiun ini menghubungkan desa Mennora, tempat kutinggal, dengan sebuah pemukiman kumuh di sisi selatan Metlehein. Mennora merupakan salah satu desa di sisi utara Metlehein. Stasiun ini juga menghubungkan dengan satu kota terdekat yaitu Lumiatia. Di sana ada sebuah bandara. Biasanya orang-orang di sini memiliki pekerjaan di metropolitan. Sebuah kota yang sangat besar dan menjadi pusat dari seluruh wilayah di planet ini.

Orang-orang yang bekerja di sana menggunakan transportasi kereta ini menuju Lumiatia kemudian disambung lagi dengan menggunakan pesawat. Selama hidupku, aku tidak pernah meninggalkan desa ini. Apalagi aku yang hanya anak rumahan. Jadi aku baru tau semua ini dari stasiun usang ini.

Hari semakit larut. Aku bergegas pulang ke rumah. Tapi kali ini aku tidak akan ceroboh seperti sebelumnya. Kulihat matahari terbenam dengan indah di semenanjung barat. Dan burung-burung berkicauan dan angin menyapu dan membisikkan iramanya seakan-akan semuanya menyatu menjadi sebuah harmoni yang mendamaikan.

Senang rasanya aku bisa tinggal di desa ini. Tempat kelahiranku dan tempat aku besar hingga sekarang. Tempat yang tidak akan pernah aku lupakan. Enggan rasanya aku meninggalkan desa ini. Terlebih teman-temanku yang ternyata membuatku melihat dunia lebih luas. Tidak sekedar melihat dunia dari buku dan jendela rumahku. Sungguh aku sangat beruntung.

Sesampainya di rumah, kulihat Ibu dan Ayah sedang menyiapkan makan malam. Tak lama kemudian semuanya siap. Seperti biasa kami makan malam bersama sambil berbincang hangat. Setelah semuanya selesai, aku menaiki tangga ke kamarku dan langsung bersiap menuju pulau kapuk. Tak sabar menunggu besok bertemu lagi dengan teman-teman.

~

Sshhh…

Kau dengar?

Kau ingin bertemu?

Tenanglah…

Akan tiba saat yang tepat…

A—d—n—th— R—s—io—s

"Aduh!" Seketika aku terjatuh dari kasur dan terbangun.

“Apa yang barusan terjadi?” Baru belakangan ini aku mimpi aneh. Sudah dua kali dengan ini.

“Ad—Ad—… Apa itu?”

Aku bicara dengan diriku sendiri dan aku berusaha mengingat apa yang ada di mimpiku barusan. Namun semuanya seketika lenyap begitu saja. Yang aku ingat hanyalah suara bisikan perempuan tapi suaranya tidak seperti yang kukenal. Aku semakin penasaran dengan apa yang aku alami. Seperti ada yang berusaha menyampaikan pesan kepadaku. Tapi aku tidak tahu siapa, apa, dimana, dan kenapa.

“Aku harus menanyakannya ke Alya! Mungkin dia tahu.”

Sarapan sudah siap. Seperti biasa aku turun ke ruang makan kemudian menyantap sarapanku dan mengobrol seru dengan Ayah dan Ibu. Tapi Ibu menanyakan sesuatu kepadaku.

“Kau ingin bertemu temanmu lagi?” tanya Ibu.

“Iya, Bu,” jawabku pelan sambil menyantap sarapanku.

“Siapa namanya? Mungkin Ibu kenal,” tanya Ibu sambil menatapku penasaran.

“Alya. Alya Willoughby,” jawabku.

“Ah… gadis cantik rupawan, pintar, ceria, tapi sedikit pemalu,” balas Ibu seketika setelah aku menyebut namanya.

“Ibu mengenalnya?” tanyaku penasaran.

“Iya. Ibu pernah menemuinya di taman. Dia sendirian, sedang menunggu sepertinya. Ibu menghampirinya lalu berkenalan dan mengobrol sedikit. Karena ada sesuatu yang harus Ibu kerjakan, jadi Ibu berpisah dengannya dan memberinya sebuah hadiah sebagai tanda saling kenal,” tutur Ibu menjelasakan kepadaku.

“Ini… Simpanlah. Dan jaga baik-baik. Dengan ini, kau tidak akan merasa sendiri,” tambah Ibuku dengan tangan memberikan sebuah logam kecil berbentuk burung merpati.

“Untuk apa?” tanyaku bingung dan tanganku menerima pemberian  dari Ibuku.

“Kau akan mengetahuinya kelak,” jawab Ibuku dengan senyumnya yang dalam.

“Baiklah… Mungkin temanmu sudah menunggumu,” tambah Ibuku menyuruhku segera kerumah Alya.

Setelah sarapan, aku bergegas ke rumah Alya. Rumahnya tidak searah dengan sekolah. Tapi lebih dekat daripada jarak rumahku dengan sekolah. Aku berjalan kerumah Alya dan menyimpan merpati kecil pemberian Ibu di saku. Aku berjanji, kemanapun aku pergi, aku harus membawanya dan berusaha untuk menjaganya. Aku seperti merasakan kehadiran Ibu hanya dengan merpati ini.

Terlihat banyak sekali orang-orang berlalu-lalang kesana kemari menjalankan aktivitasnya masing. Desa ini jauh dari kata "kota mati". Anak-anak berlarian dengan penuh kegembiraan. Bermain bersama-sama. Ketawa-ketiwi bersama. Indah rasanya. Aku sedikit sedih karena dulu aku tidak mempunyai teman bermain. Mungkin ini saat yang tepat bagiku untuk menjalin pertemanan yang akrab dengan Alya, Ellie, Ethan, dan Gras. Aku tidak akan sia-siakan pertemanan kita!

Saat aku melintasi sebuah toko perlengkapan dan perkakas. Tiba-tiba penjual dari toko tersebut teriak

memanggilku.

“Hai, Nak! Selamat pagi!” teriak penjual itu kepadaku. Aku berhenti sebentar dan menoleh kepadanya.

“Pagi!” balasku berteriak juga dari depan toko.

“Kau Malka, kan?” tanyanya.

“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyaku bingung. Sepertinya aku belum pernah bertemu dengannya.

“Kakek yang bantu kemarin mengenalkanmu padaku,” jawabnya kemudian ia bertanya lagi. “Kemana kau, Nak?”

“Kerumah Alya,” jawabku singkat.

“Oh… Perempuan 'taman' itu? Baiklah, hati-hati, Nak!” balasnya.

“Oke! Terima kasih!” seruku berteriak kepadanya.

Aku melanjutkan langkah kakiku menuju rumah Alya. Tak sedikit juga orang yang menyapaku dan memanggil namaku saat aku melintas. Sepertinya mereka sudah mengenaliku. Apakah semua ini dari kakek? Atau dari Alya? Karena banyak dari mereka sangat kenal dan dekat dengannya. Meskipun Alya orangnya sedikit pemalu, tapi kalau sudah kenal dan dekat, ia akan sangat akrab. Oleh sebab itu banyak dari mereka menyukainya karena sifatnya yang baik dan ramah.

Sepertinya sudah dekat. Tapi aku tidak tahu yang mana rumahnya. Aku melihat sekitar. Saat itu juga aku melihat Ethan keluar rumah dan aku memanggilnya. Ethan menoleh kepadaku dan mengajakku masuk ke dalam. Aku melihat rumah Alya. Rumahnya indah dengan bunga-bunga dan dekorasi cantik di depan rumahnya.

Saat aku masuk ke dalam, semuanya gelap. Bahkan aku tidak dapat melihat apa yang ada di depanku. Namun tiba-tiba berubah ketika ada yang menyalakan lampu.

“Selamat datang, anggota baru!” teriak mereka berempat dengan ceria dan mengejutkanku. Saat itu aku juga bingung dan bertanya.

“Anggota baru?”

Bersambung~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!