NovelToon NovelToon

Jangan Ucapkan Cinta (BOOK 2)

Prolog

Seorang wanita tampak berlari menembus dinginnya udara malam. Pakaiannya yang tak lagi memiliki bentuk sempurna pun tak digubrisnya. Dinginnya angin malam tak menjadi rasa untuknya. Air mata terus menggenangi wajahnya kala ia terus menolehkan kepalanya ke belakang, dan berharap jika orang-orang itu sudah tak lagi mengejarnya.

Ketika ia melihat sebuah gang buntu yang gelap dan sempit, wanita itu berlari ke sana. Ia berjongkok dibalik dinding itu dan mempertajam pendengarannya. Sementara, hal yang bisa didengar olehnya hanya detak jantungnya yang menggila. Deru napasnya pun kalah dengan suara yang hanya bisa didengarnya sendiri. Selain suara gemuruh jantungnya, ada sesuatu yang terasa sakit didalam dadanya. Bayangan ketika dirinya menyadari bahwa ini semua hanyalah sebuah jebakan.

Hidup tak seindah kisah didalam Novel.

Kalimat itu masih enggan meluruh didalam otaknya. Ia bisa mendengar gemanya sampai sekarang. Wanita itu merasa bahwa kalimat itu seolah tengah menertawainya, mengejeknya yang masih mengharapkan cinta yang abadi.

Tidak ada. Semuanya hanyalah kesakitan dan kepahitan. Semua tak lebih dari sebuah bayangan semu yang hanya ia lihat sebagai keindahan. Kenyataan bahwa masa lalu indah bisa merubah masa depan fiktif adanya. Hingga kini, saat ini, detik ini kesakitan itu semakin menjalar menusuk ke tulangnya.

"Jadi, setelah kau lancang lari dariku, kau bersembunyi disini, Sayang?"

Tubuh wanita itu mendadak beku. Tangannya yang terkait terasa sangat dingin kala suara itu menusuk langsung ke inderanya. Wanita itu tak berani mengangkat kepalanya. Ia tak bisa melihat pria itu menatapnya dengan penuh kebencian seperti beberapa saat yang lalu. Ia tak bisa melihat kebencian yang melekat di mata pria itu. Ia tidak bisa.

'SRAK'

"Arrgh...!" Wanita itu meringis sejadinya saat kepalanya terangkat paksa dan yakin bahwa anak rambutnya sudah ada yang terlepas didalam genggaman kasar pria itu. Wajahnya terus merunduk, tak berani melihat si pemilik tangan yang kini berada dihadapannya. Ia tahu sebanyak apapun dirinya meminta pengampunan, pria itu takkan sudi mengampuninya begitu saja. Mata tajamnya yang menusuk sudah menjadi penanda dari kemarahannya.

"Kau sudah mulai berani mempermainkanku, Arnetta."

Tangan-tangan kecil itu mengikuti tangan pria yang tengah menjambak surainya dengan lemah. Ia berharap jika belas kasih yang selama ini ditunjukkan olehnya akan tampak sekarang. Tapi, saat ia mengintip dari balik celah kosong, pria itu tampak menyeringai mengerikan. Hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"A-Ampuni aku, Jullian. Aku mohon." Cicitnya. Wanita itu tak tahu lagi apa yang bisa diperbuatnya untuk mengurangi rasa sakit ini. Ia tak bisa berpikir dengan jernih, selain mengemis ampun darinya. Jullian harus mengampuninya, demi dirinya dan juga ibunya yang sedang menunggu saat ini.

Jullian melonggarkan jambakannya pada wanita itu. Ia membawa wajah Arnetta sedikit menekat ke arahnya dan menempatkan bibirnya didepan telinga wanita itu. "Akhirnya, ... kau tahu bagaimana posisimu sekarang. Kau tak lebih dari seorang ******, Arnetta. Aku sudah membelimu dengan sangat mahal."

DEG

Arnetta sekali lagi dibuat membeku. Rasanya dunia seperti baru saja menghantam kepalanya. Dingin yang bukan angin malam itu menjalar seketika ke sekujur tubuhnya tanpa sadar. Kalimat yang menyentak kesadarannya didengarnya sangat jelas dan baik dari bibir pria itu. Kata manis yang selama ini diingatnya hancur lebur seketika.

"Kalau kau tidak mau melayani para tamuku, baiklah ... Mulai detik ini kau harus melayaniku. Suka atau tidak, kau harus melakukannya atau nyawa wanita tua itu akan melayang ditanganku."

Tak ada janji manis, kini Arnetta tahu hidupnya yang kelam akan menantinya. Ia akan hancur, pasti hancur ditangan pria yang sangat ia cintai ini.

Bab 1

Sebuah semburat kabut merabunkan pandangan seseorang mengarah ke arah luar jendela. Napasnya yang pelan dan teratur di musim akhir tahun membuat hembusan itu terasa semakin nyata. Hidung dan mulutnya mengeluarkan uap-uap panas hingga memerah. Pijakan kakinya diatas timbunan salju yang pekat, seperti terasa menginjak timbunan lumpur yang dingin dan putih.

Tapakan langkah seorang wanita meninggalkan jejak kemana dirinya pergi. Disalah satu pondok yang berada di tengah perhutanan, dengan pepohonan rindang menjadikan dirinya seolah merupakan satu-satunya penghuni di dunia ini. Dia dan seseorang yang menunggu kedatangannya pada pukul petang ini diatas kursi roda. Wanita itu tahu sosok itu akan selalu duduk menanti kedatanganya.

Ia merasa bersalah, hanya itu.

Senyuman yang merekah dari bibirnya seperti sebuah jarum pengingat sakit yang akan menghantuinya. Senyuman menyakitkan itu tampak seperti sebuah benalu untuknya. Bukankah lebih baik jika terdiam, dan bersikap seolah dirinya sakit? Tidak. Ia sendiri tak ingin melihat itu.

Ketika wanita itu tiba sampai didepan pekarangan bersalju yang menghisap kakinya, dugaannya tepat. Sosok itu menunggunya diatas kuris roda. Pandangannya yang berkantung menengadahkan dirinya ke atas. Wajahnya yang pucat tak menghalangi niatnya untuk memandangi apa yang berada diatas kepalanya, diatas dirinya.

Wanita itu pun berhenti melangkah. Dari jarak yang sejauh ini, kesakitan itu semakin terasa. Ia tahu sosok itu pasti tengah menghitung. Hitungan yang paling tak ingin diterka oleh siapapun juga. Alih-alih menghitung, semua lebibh memilih untuk menikmati apa yang ada. Tak peduli jika semua itu bisa saja terengut karena sebuah petaka, cobaan dari Tuhan.

Ia mencoba untuk mengerti. Semua kesakitan ini pasti akan membuahkan sebuah cinta yang manis. Ia percaya sampai hari ini. harapan wanita itu tak pernah patah selama sosok itu selalu bersamanya. Baginya, hanya sosok itu yang dibutuhkan. Berlipat kali lebih berharga bahkan ketimbang nyawanya sendiri. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk lelaki-lelaki yang telah menghancurkan hidup mereka. Lelaki-lelaki itu belum pernah mengetahui betapa berharganya seorang wanita. Mereka bisa mempermainkan saja.

Membuangnya setelah bosan.

Mainan. Wanita hanyalah mainan para lelaki. Wanita itu hanya mempercayakan satu cinta, yakni cinta antara ibu dan anak. Perasaan paling tulus yang pernah dirasakannya. Tidak pada ayahnya, tidak juga pada pria itu.

"Arnetta!"

Teriakannya masih sama. Sosok itu masih memanggilnya dengan penuh semangat meski tahun-tahun yang telah mereka lewati tak bisa dikatakan hanya sebentar. Wanita itu harus tersenyum. Mereka pindah ke tempat ini bukan untuk bersedih. Masih banyak yang harus mereka pikirkan.

Arnetta. Wanita yang berambut panjang itu, membiarkan dingin membasuh permukaan kemilau hitam rambutnya yang menjuntai dari topi rajutan yang dipakai olehnya. Cuaca yang beribu kali lipat lebih dingin cuaca senja hari itu. Ia berani bersumpah, malam nanti hanya sebuah selimut yang ia butuhkan. Persetan dengan semua buku yang pernah dibawanya masuk ke dalam kamar di rumah mereka.

Langkah wanita itu jenjang menapaki jalanan bersalju pekarangan rumahnya. Senyuman yang semula hanya berupa sebuah murungan kini berubah. Sinar bahagia harus ditampilkannya. Mereka sudah bahagia, dan harus bahagia. Di Kota yang tidak ada satu pun mengenalnya, tentu akan membuat Arnetta semakin mencintai kehidupannya saat ini.

Lima tahun.

Bukankah waktu yang sebentar untuk memulai kehidupan. Melanjutkan apa yang semula ada rasanya sudah tak berarti. Takkan ada yang mau membawa kesakitan masa lalu ke dalam masa depan. Mereka akan cenderung menutup diri dari masa lalu, terutama bagian terburuknya. Itulah yang dilakukan Arnetta dan ibunya sampai detik ini.

Sebagai orang baru di tempat ini, ia sudah cukup tahu porsinya sebagai keluarga pendatang. Ia berusaha bergaul, mencari uang sendiri dan merawat ibunya, Ratih yang sedang sakit. Kehidupan lama baginya takkan pernah memiliki arti apapun. Semuanya mati, rasanya sudah lumpuh. Bersamaan dengan kejadian masa lalu, Arnetta sudah mendelegasikan hidupnya untuk merawat ibunya dan menjadi bahagia.

Jullian.

Arnetta selalu merasa ada sesuatu yang menyesakkan didalam dadanya kala nama itu tersemat dalam benaknya. Wajahnya yang masih bisa diingat Arnetta dengan jelas, suara berat khas milik pria itu terkadang menggema ke dalam gendang telinganya tanpa se-ijinnya. Bagaikan hantu, Arnetta sering merasa pria itu berada didekatnya, memiliki ancang-ancang untuk memeluknya, merengkuhnya, dan tak pernah melepaskannya.

Tapi, semuanya terdengar sangat mustahil.

Hanya Tuhan dan pria itu yang tahu isi hatinya. Jullian sudah bahagia. Pria itu telah memiliki lembaran indah yang tak mungkin ditukar dengan luka menyakitkan dengan seorang wanita bernama Arnetta.

Sejak awal kisah mereka sudahlah tak berarti. Tak ada makna dalam sebuah pertemuan singkat yang berawal dari sebuah kebohongan. Kini, pria itu mungkin menyadari betapa tidak pantasnya Arnetta bersanding dengannya. Jullian lebih memilih zona aman untuk melangkah. Daerah yang takkan mencemari kehidupannya yang seperti kertas baru. Bersih tanpa cela.

Bersamanya, Arnetta merasa Jullian hanya akan mendapatkan masalah. Pria itu mungkin bisa saja menerima tentangan dari pihak mana pun. Arnetta tak sanggup membayangkan betapa menyakitkannya penolakan. Sampai saat ini, Arneta tak pernah tahu status hubungan apa yang saat ini dijalaninya. Tak pernah ada kata perpisahan yang meluncur dari bibir pria itu kala itu.

Arnetta melihatnya. Sebuah pernikahan indah, dengan sepasang pengantin yang saling tersenyum bahagia. Binar cinta tak mungkin tidak bisa ditangkap oleh orang-orang sekitar. Jullian bahagia bersama Lusi.

Biarlah ...

Arnetta akan berada disini bersama ibunya. Itulah yang penting.

Kala dirinya sampai didepan teras, persis didepan kursi roda sang ibu yang tengah didudukinya, Arnetta tahu Ratih sangat pintar membaca pikirannya. Wajah wanita paruh baya itu kembali meredup. Mungkin karena dirinya, pikir Arnetta.

"Ada apa, nak? Kau masih memikirkannya?"

Arnetta terdiam. Ia tak pernah memikirkan Jullian. Wanita itu sama sekali tak tahu bagaimana cara menjelasannya pada sang ibu. Kalau sudah begini, Arnetta tahu sang ibu pasti akan menyambungkan akar demi akar untuk dijadikan sebuah kisah romansa dalam hidupnya. Tapi, ibunya tak mungkin menyetujui jika sampai detik ini Jullian masih mendominasi pikirannya. Akal sehatnya tak berjalan baik ketika mengingat pria itu.

Marah.

Sakit.

Lelah.

Rindu.

Kata terakhir itulah yang tak pernah bisa Arnetta terima. Ia bisa menerima semua pernyataan yang dilontarkan beberapa temannya di klub. Mereka berkata tak ada yang bisa menghargai wanita seperti ini. pekerjaan Host club malam. Ibunya tak pernah tahu akan hal itu. Ratih selalu mengira Arnetta bekerja di restoran sebagai pelayan. Pekerjaan itu tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Arnetta menolak untuk membuka jati dirinya disana. Ia selalu berpenampilan menarik dan memakai riasan tebal agar tidak di kenali.

Entah apakah yang akan terjadi jika ibunya mengetahui semua ini. Ia bahkan tak sanggup memandang wajah pucat Ratih yang penuh dengan guratan kekecewaan. Sudah banyak waktu yang dilakukan Arnetta dengan mengecewakan ibunya sendiri. Ia merasa berdosa selama beberapa tahu terakhir mereka di London penuh kebohongan. Arnetta juga berbohong jika Rivai telah memberhentikan pembiayaan mereka.

Sejak setahun terakhir yang mereka habiskan dik Singapura, Rivai sudah tak lagi mengirimi mereka uang. Biaya pengobatan yang tinggi disana membuat Arnetta harus menghentikan pengobatan terbaik nan singkat disana. Ia berusaha menghubungi Rivai dengan akhiran yang sia-sia.

"Tidak apa-apa, Bu. Kenapa kau berada di luar?" Tanya Arnetta pelan. Ia berusaha tersenyum meski hatinya sakit melihat kondisi sang ibu yang semakin hari semakin buruk. Ia tak tahu apakah kepindahan mereka membuat Kondisi ibunya semakin parah. Di tahun awal mereka melakukan pengobatan dengan lancar, kondisi Ratih bisa dikatakan baik. Mungkin, ... ibunya masih ada sampai sekarang karena perawatan yang pernah mereka jalankan.

Sedangkan disini, Arnetta memapukan dirinya untuk membeli semua obat yang dibutuhkan ibunya. Terapi yang biasa sering dilakukannya saat berada di Singapura, jarang dilakukannya disini. Biaya dan waktu. Arnetta nyaris tak memiliki itu semua.

"Aku menunggu anakku pulang. Bagaimana harimu Arnetta?" Tanya Ratih dengan teduh. Tatapan matanya yang sayu membuat pandangannya terhadap wajah putrinya semakin minim.

"Baik." Hanya satu kata yang ia tahu. Sebenarnya tidaklah baik. Arnetta membiarkan beberapa tangan laki-laki menyentuh dirinya tanpa ijin. Arnetta tak bisa menolak. Lelaki mana pun yang telah menyewanya untuk menemaninya minum bebas melakukan sentuhan apapun pada dirinya. Disanalah ia dibayar dan begitulah pekerjaannya. Arnetta bahkan memakai pakaian yang sangat pendek, tersenyum menggoda pada pria-pria hidung belang yang datang ke padanya. Entah mengapa hatinya sakit mengingat betapa menyedihkannya usaha yang dilakukannya hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak tahu sampai kapan ini semua berlangsung. Ia sendiri tak bisa membayangkan berapa lama lagi ia harus melakoni pekerjaan sebagai wanita penghibur disana. Beruntung, ia masih bisa menjaga satu-satunya harga diri sebagai seorang wanita. Ia masih bisa menolak untuk melakukannya.

Ia menjaga hanya untuk suaminya.

"Ayo, kita masuk." Ajak Arnetta parau. Membayangkan lebih lama bagaimana kehidupannya kali ini, semakin membawa dadanya tertusuk. Takkan ada yang pernah tahu masalahnya, karena Arnetta selalu menelannya sendirian.

Tidak orang lain, termasuk ibunya sendiri.

Tangan lentik Arnetta mengambil alih dorongan kursi roda yang dinaiki oleh sang ibu. Ia mendorong masuk Ratih dengan gerakan yang sangat pelan. Ini adalah waktu diantara dirinya dan sang ibu. Betapa menyenangkannya jika membayangkan ini akan berlangsung selamanya. Pikiran dimana ia memutuskan untuk tidak menikah membuat hatinya ngilu.

Tepat sebelum mereka berhasil berjalan melewati pintu, suara parau Ratih membuat saraf pergerakan Arnetta melumpuh. Perkataan yang tersemat ketika mereka hampir memasuki gerbang kehidupannya yang baru hancur seketika. Bukan sebuah pertanyaan, itu adalah sebuah perintah.

"Arnetta, ayo kita kembali ke Indonesia."

Bab 2

Kakinya membeku. Cengkramannya pada pegangan kursi roda itu berubah menjadi sebuah kepalan yang menghantam ke ulu hatinya tanpa sadar. Wanita itu merasakan napasnya memberat. Kalimat yang selama ini ia takutkan terdengar, hari ini, dimana semua kehidupannya telah berubah. Dari mulut orang yang paling ia cintai.

Perlahan, pegangannya terlepas. Ia berjalan mendekati wanita itu. Ia melihat dengan kedua matanya bilur-bilur penyesalan. Wajah tua itu tampak tak lagi bersinar seperti biasa, seperti sudah sangat lama wanita itu memendam semua ini.

Apakah ini semua sudah berlangsung sangat lama? Ketika dirinya berada dalam ketidaktahuan ...

"Ibu ..."

Ratih menoleh. Wajah pucatnya tampak begitu menyedihkan. Sepasang matanya menyendu, seolah dirinya yang sekarang adalah makhluk yang paling lemah di dunia ini. kesedihan tampak begitu jelas melalui matanya.

"Kita tak bisa terus berada disini, Arnetta." Suaranya bergetar. Butuh seluruh hidupnya untuk mengatakan kalimat yang telah lama ia sembunyikan itu. Ratih tak sampai hati melihat putri semata wayangnya, harta paling berharga miliknya di dunia ini bekerja keras mati-matian hanya untuk menghidupi wanita tua yang jelas-jelas tak lagi memiliki harapan untuk hidup. Arnetta berhak untuk memilih jalan kehidupannya sendiri.

"Ibu, tidak ... kita akan tetap disini." Arnetta hampir meledakkan emosinya sendiri. Ia tak menyangka jika wanita yang selama ini berdiri mendukungnya dibelakang mengatakan semuanya. Kalimat yang paling ia takutkan selama ini. Arnetta tahu dirinya takkan bisa menentang keinginan ibunya sendiri. Takkan ada yang bisa membuat dirinya mengabaikan permintaan wanita yang paling ia cintai.

"Aku sudah hampir mati."

DEG

Arnetta berhenti. Napasnya tercekat saat sepasang mata itu senada berbicara dengannya tentang kematian. Tak bisa dibayangkan olehnya betapa menyakitkannya bayangan mimpi buruk itu melintas. Melihat wanita ini tak lagi berada didepannya, tak bisa lagi digenggamnya. Arnetta berusaha sekuat tenaga yang ia miliki untuk menyembuhkan penyakit ibunya. Tak peduli seberapa harga diri yang telah ia jatuhkan selama ini. tak peduli seberapa menyakitkannya kenyataan ini. Selama ia memiliki ibunya disisinya, Arnetta takkan membutuhkan apapun lagi.

Ibunya penyembuh lukanya. Jika sampai wanita ini hilang dari hidupnya, Arnetta yakin ia bisa gila. Ia bisa kehilangan semangat untuk hidup. Selamanya.

"Tidak. Kau tidak akan kubiarkan mati, Bu. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah semua itu." Arnetta mulai terisak. Wanita itu pun berjongkok didepan sang ibu. Membiarkan tangis yang akhirnya mengalir dengan sempurna menjaraki mereka.

Ratih menjalarkan tangannya membelai sang putri. Betapa gigihnya sang anak yang kini telah dewasa. Ia tahu wanita muda yang kini telah berubah menjadi setangkai bunga mawar yang telah mekar sedang memperjuangkan dirinya untuk hidup. Arnetta berjuang mati-matian hanya untuk mempertahankan kehidupan seorang wanita renta yang tahu seberapa lama lagi hidupnya akan bertahan.

Tapi, Ratih tak bisa menyiksa sang putri lebih lama lagi. Arnetta harus kembali ke jalan yang seharusnya. Banyak yang sudah ditinggalkan oleh putrinya itu demi melakukan pengobatan untuknya. Disini ... tak ada satu pun yang mereka kenal dan akan membantu ketika susah. Rivai telah menghentikan pembiayaan untuk penyembuhannya. Lelaki itu tanpa memberitahu terlebih dahulu membuat mereka harus berpindah tempat tinggal sampai menyebrang ke negara lain.

Arnetta.

Ratih harus memaksa Arnetta kembali. Ia tahu apa yang dilakukan putrinya saat ini adalah hal yang salah. Sebanyak apapun wanita itu menutupi pekerjaan yang dilakukannya setiap malam, kenyataannya Ratih sudah melihat semuanya. Ia harus menahan tangis kala melihat sang putri harus menjajakan tubuhnya diantara pria hidung belang yang datang ke tempatnya bekerja sebagai Host. Beberapa memandang rendah wanita yang telah lahir dari rahimnya itu.

Ratih tak bisa melihatnya lebih lama.

"Percayalah, Arnetta. Kita akan kembali bersama-sama. Disana aku akan bersamamu, putriku. Aku yakin kita akan kembali merajut benang yang telah terputus karena waktu. Lupakan pria itu. Lupakan semua kenangan pahit yang menghantui kita, nak." Ratih mengelus puncak kepala sang putri. Bahkan, menjadi pemulung sampah lebih terhormat dari pada pekerjaan Arnetta yang sekarang dilakoninya. Ratih lebih menyukai itu.

"Ibu ..."

"Kita akan kembali."

Kehilangan cinta tak membuat Arnetta hancur. Ia begitu bangga pada putrinya. Ia yakin sang putri memiliki kehidupan yang lebih baik setelah ini. Doanya tak pernah putus untuk Arnetta. Ia meyakini iman putrinya akan kuat melihat pria itu. Arnetta pasti bisa memutuskan tali yang menyambungkan kehidupannya dengan pria bejat itu.

"Lupakan, Jullian. Lanjutkan hidupmu, sayang."

****

Arnetta memandangi langit-langit kamarnya. Malam telah menjemput, bersamaan dengan kegalauan hatinya. Meski waktu telah menunjukkan hari yang sudah berganti, namun tak sedikit pun rasa kantuk menjemputnya. Pikirannya terus melayang pada apa yang tadi diucapkan oleh sang ibu, dimana wanita itu meminta mereka agar kembali ke Indonesia. Entah mengapa ada perasaan yang memberatkan hatinya.

Selama lima tahun ia telah berjuang mati-matian untuk mengenyahkan perasaan sakit yang melanda hatinya. Ia berusaha sekuat tenaga melupakan perasaan yang tumbuh karena pria itu. Ia selalu menganggap bahwa momen indah yang pernah dijalaninya bersama pria itu hanyalah mimpi indah. Arnetta harus bangun untuk menerima kenyataan, bahwa seorang Jullian Basuki bukanlah untuknya.

Ia sadar dengan apa yang terjadi dulu adalah ketukan dari alam nyata untuk membangunkannya. Sejak awal hubungan mereka adalah sebuah kesalahan. Sepatutnya lelaki itu berdiri dipelaminan bersama Lusi, dan bukan bersamanya. Angan-angan perasaan mereka menyatu seperti bayangannya hanyalah busur pemanah yang menghujam jantungnya.

Jullian tidak pernah mencintainya.

Begitulah pada akhirnya, dan yang seharusnya terjadi. Pria itu mungkin saja bisa mengucapkan rasa manis itu dengan penuh cinta, tapi jika pada akhirnya yang terjadi adalah sebuah kepahitan, maka hanya akan membawa duka. Dan, Jullian pasti takkan pernah memikirkan dampak dari semua itu.

Terutama untuk seorang wanita miskin dan lugu seperti seorang Arnetta.

Kini setelah perlahan ia bisa melupakan semuanya, ibunya memintanya untuk kembali ke tempat laknat itu. Arnetta tahu jika dirinya kembali, sudah tak ada lagi jalan untuknya melarikan diri. Hatinya pasti akan berpihak lagi pada Jullian. Cinta pertama yang akan selalu melekat meski pada akhirnya pria itu lebih memilih Lusi, yang berdiri diatas segala-galanya.

Arnetta takut. Perasaannya mengatakan bahwa kepulangan mereka akan membawa hal buruk bagi hidupnya. Ia pasti takkan pernah bisa hidup tenang disana. Ada banyak kenangan bersama orang-orang yang telah menyakitinya, merusak hidupnya tanpa sadar. Nyatanya setelah bertahun-tahun mencoba membenci, mendengar kata "pulang", Arnetta masih merasa tubuhnya gemetar hebat.

Wanita itu pun membalikkan tubuhnya menjadi menyamping. Ia menyanggah kepalanya dengan tangan. Entah apa yang menahannya disini, Arnetta merasa ditempat asing inilah rumahnya berada. Di sana sudah bukan lagi menjadi rumahnya. Membayangkan dirinya menginjakkan kaki disana saja sudah membuat Arnetta merasakan neraka kedua. Entah apa yang akan terjadi saat mereka tiba disana.

Mungkin saja Neraka telah berpindah tempat.

Bayangan wajah Jullian yang masih lekat dalam benaknya menjadi momok yang menyeramkan. Itulah pintu neraka yang akan menyambutkan. Perasaan sakit itu akan mendera, bahkan akan selalu menyiksanya. Kenyataan bahwa pria yang dicintainya adalah kakak iparnya sendiri. Mantan kekasih yang sempat mengisi relung hatinya, atau mungkin masih hingga kini adalah milik wanita yang masih memiliki ikatan darah dengannya.

Ya, Arnetta mencintai Jullian, kakak iparnya sampai saat ini.

Bagaimana bisa ibunya mengatakan dirinya harus melupakan pria itu. mencintainya saja sudah membuatnya menderita selama bertahun-tahun, apalagi melupakannya. Mungkin itu adalah kematiannya.

"Aku masih mencintainya, Tuhan." Gumamnya tanpa sadar.

***

"Jadi, wanita itu akan pulang tiga hari lagi?"

Di sebuah ruangan yang megah, terlihat seseorang tampak duduk disalah satu kursi yang berada di belakang meja utama disana. Ruangan yang dikelilingi oleh rak buku yang melingkar menjadi pemandangan menakjubkan yang terjadi didalam sana. Seorang pria yang tampak sedang menelepon seseorang menjadi pelengkap suasana elegan disana. Suara berat yang khas terdengar begitu senang mendengar apa yang baru saja didengarnya dari salah satu sumber yang memberikan info penting kepadanya.

Sepasang mata kelam itu semakin menggelap kala sosok yang berada di sebrang telepon sana mengabarkan sesuatu hal penting lainnya kepada pria itu. seringai liciknya tampak semakin menyeramkan.

Tak ada yang bisa menebak apa yang ada dalam pikiran pria itu. yang pasti, bukanlah hal baik mengingat senyuman itu tampak sangat misterius. Ketika sambungan teleponnya terhenti, sontak saja pria itu tertawa kencang. Tawa mampu meremangkan bulu halus pada kulit siapa saja yang mendengarnya.

Jullian telah menantinya. Selama lima tahun, rencananya untuk menghancurkan wanita itu akhirnya terlaksana. Kini wanita itu takkan bisa lagi melarikan diri. Cepat atau lambat, pria itu akan menunjukan kepada Arnetta siapa yang akan hancur pada akhirnya.

Ya, Jullian akan membuat wanita itu hancur sampai hidupnya tak lagi berharga.

"Arnetta, bersiaplah untuk datang ke tempat penyiksaanmu, karena aku akan memindahkan neraka untukmu. Kali ini kau akan hancur ditanganku." Ucapnya dengan kilatan mata yang tajam penuh dendam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!