NovelToon NovelToon

Istri Remaja

(Belum) Ganti Status

Kata mama, aku harus jadi anak yang baik, oh bukan, maksudku istri yang baik. Istri? yang kutahu menjadi istri itu berarti memiliki kewajiban mengurus orang baru, yap suami. suami yang sampai saat ini suaranya hanya sekali kudengar saat dia melafadzkan ijab kabul di hadapan Papa. selanjutnya, dia pergi. ya, benar-benar pergi. Terbang ke pulau sebrang untuk melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Akupun akan melakukan hal yang sama, melanjutkan hidup seperti biasa, ke sekolah, mengerjakan PR, nongkrong sama teman-teman, berebut merch BTS dan menghabiskan waktu sore hariku menonton si kotak kuning dan temannya si bintang laut mengejar ubur-ubur. Hanya satu yang tidak bisa kulakukan, berteman dengan laki-laki karena kata mama sekarang aku sudah dimiliki. Terdengar seperti barang ya, tapi terserah lah karena akupun tak terlalu memikirkan hal semacam itu. Ada satu hal yang kusuka dari semua ini, uang jajanku bertambah, dari Papa, laki-laki terhebatku dan dari laki-laki yang berlabel suamiku, yes, Alhamdulillah rezeki anak solehah.

"Mah, kalau abang itu pada akhirnya tinggal jauh, terus kenapa kami harus nikah?" Segelas es jeruk diatas meja tak menunggu lama sudah berpindah kedalam perutku. segaaaaar.

"Kan Mama sudah bilang, Kakak sudah sampe jodohnya." Jawaban itu lagi? Ah sudahlah, sampe kapanpun kayaknya hal ini hanya tetap jadi misteri.

Aku meraba kalung di leherku, sebuah cincin lima gram tergantung melingkar disana, cincin nikah yang di pasang oleh laki-laki itu di bandara saat aku mengantarnya. Sebenarnya aku malas pergi tapi kata mama aku harus menemani suami. Duh, malu bangat menyebut kata suami kalau kedengaran teman-teman di kelas udah habislah aku diledekin.

"Kakak ganti baju sana. Bau asem. mandi sekalian." Aku beranjak dari kursi dengan berat hati. Mama mendorong bahuku pelan.

"Jangan lupa kabari Bang Ravi."

Bang Ravi, sejak menikah dengan lelaki pemilik nama itu, setiap pagi dan sore aku wajib lapor tentang kegiatan sehari-hari melalui pesan singkat. Kata mama lagi, baiknya di telfon langsung tapi karena aku tidak begitu mengenalnya dan berbicara dengan orang asing itu sangat tidak enak, makanya aku lebih memilih mengirim pesan lewat WA.

To Abang Ravi

Assalamualaikum Abang. Hari ini sekolah lancar. Naura jadi anak baik-baik seperti biasa.

Begitu saja, tidak perlu panjang-panjang dan tak perlu menunggu balasan karena percuma saja, tidak akan ada balasan sampai sekian purnama, tergantung waktunya saja. Entah jenis pernikahan apa yang kami jalani ini. Sudahlah, aku tidak mau mikir banyak, mending mandi dan lanjut tidur siang supaya pipi montok sedikit.

Kuletakkan hpku diatas meja lalu meraih handuk yang kusampirkan di kursi belajarku. It's time to take a bath, giiiiirlll.

***

"Mam, libur semester Kakak main ke kampung Syifa, ya?"

"Emang kapan liburannya?"

"Minggu depan." Aku mencomot bolu coklat di piring yang di pangku mama.

"Masih lama. nantilah dibicarakan. Tunggu papa pulang." Mama meletakkan kue tadi diatas meja lalu meraih kepalaku untuk baring di pangkuannya. My favorite spot hehe.

"Papa lama ya mah keluar kota. Kan kangen." Kuraih tangan mama dan kuletakkan diatas kepalaku dan mama tau, aku pengen di elus-elus.

"Namanya tugas, Kak. Lagian kalau kangen tinggal telfon."

"Udah sih. Papa bilang mau bawain Kakak baju baru." Aku menyengir saat mama mengetok kepalaku pelan.

"Kakak ih, kayak anak kecil. Udah jadi istri juga."

Aku mencibir "Istri apaan? Status doang mah, bahkan di KTP belum ganti. Eh, kakak belum ada KTP, duh kecepatan nih nikahnya."

Sekali lagi mama mengetok kepalaku, "Tetap saja kakak seorang istri. ngomong-ngomong udah dikabarin belum bang Ravi?"

Aku mengangguk, "Udah, Mam. Gak dibalas."

"Sabar. Bang Ravi mungkin sibuk. Udah semester akhir tuh, lagi gencar-gencarnya ngejar dosen." Mama mengelus lembut rambutku.

"Kakak nggak mau kuliah ah, ngejar-ngejar dosen kayak buronan aja dosennya."

"Emang gitu, Kak. Kalau sudah waktunya, kakak pasti paham sendiri." Mama membantuku bangun "Udah ah, pergi tidur. Besok sekolah." Ia meraih remot dan mematikan tv.

"Kakak tidur, Mam." Kuambil tangan mama dan menciumnya, tak lupa pula mama mengecup keningku lama. Ngomong-ngomong soal kening, bagian tubuhku ini sudah tidak suci lagi, sudah di jamah sama Bang Ravi pas akad nikah. Hari itu aku sampe keringat dingin saking paniknya saat penghulu bilang, 'Silahkan' untung gak sampe pingsan.

Aku membuka pintu kamar dan langsung merasa mengantuk. kamarku memang sudah seperti pil tidur, sekali buka pintu bawaannya pengen molor. Saat akan menjatuhkan diri diatas ranjangku, tak sengaja mengintip hp di atas nakas, ada pesan baru.

From Abang Ravi

Um

See? Setelah sekian jam jawabannya cuma dua huruf. Mungkin huruf-huruf di hp Bang Ravi buram semua dan yang nampak cuma dua huruf itu. Ah, sudahlah. Mending tidur siapa tau bisa mimpi nyelam di bikini bottom, ngejar ubur-ubur bareng Babang Jimin.

----

Yuk kenalan sama Abang Ravi 😚

Masih Anak Sekolah

Dasi? cek.

Topi? cek.

Lambang? cek.

Oke, siap ke sekolah. Sebelum berangkat, izin suami. Aku terkekeh di depan cermin, udah mulai gila.

To Abang Ravi

Assalamualaikum Bang Ravi. Naura siap ke sekolah."

send.

Setelah memastikan pesanku terkirim, aku keluar kamar dan menemui mama.

"Pak dodit sudah di depan. Ini sarapan kakak." Aku meraih tangan mama dan menciumnya, tak lupa kotak sarapanku pemberian Bang Ravi saat pertama kali datang ke rumah. Kalau orang lain pas ketemu calon istri bawa bunga, bang Ravi malah bawa kotak makan, katanya lebih berfaedah. Ya sudahlah, biarkan orang dewasa berpendapat.

"Jangan lupa minum susunya." Lanjut Mama.

"Siap, Mam. Kakak berangkat ya, Mam. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati." Mama mengantarku sampai di depan pagar. Memastikan anak kesayangannya duduk aman di belakang Pak Dodit, Ojol langganan keluarga kami.

"Hati-hati, Pak dodit." ujar mama sembari melambaikan tangan,dibalas anggukan oleh driver andalan kami. Pak Dodit tidak perlu di ragukan lagi soal kenyamanan dan keselamatan karena bapak empat anak ini paling patuh peraturan dan memperhatikan keselamatan pengguna jalan.

Hampir 20 menit kami sampai di depan sekolah. Ramai seperti biasa.

"Terima kasih, Pak." Kusalami Pak dodit tak lupa mencium tangan beliau. Pak dodit tersenyum lembut.

"Belajar yang baik ya, Nak."

"Siap, Pak."

Aku berlari menuju gerbang sekolah. sebentar lagi bel pagi dan aku paling tidak menyukai namanya diburu waktu masuk kelas.

"Syifa."

"Woe. Tumben terlambat." Syifa merangkul lenganku.

"Gak tau. padahal tadi berangkatnya seperti biasa." Kataku acuh. balas menggenggam tangannya.

"Cepeeet nanti keburu bel." Syifa menarik tanganku untuk bergegas ke kelas.

"Tunggu.Tali sepatuku lepas." Syifa melepaskan tanganku dan membiarkanku memperbaiki tali sepatu. selalu seperti ini, coba bisa pakai sepatu tanpa tali, udah nggak usah ribet-ribet lagi.

"Ay--"

Brukk!!!

"Aw!!! Duh," Kupegang keningku dan melihat benda keras apa yang baru saja kutabrak.

"Liat-liat dong."

Lah? Mataku menyipit. Cowok di depanku ini menatapku kesal.

"Salahku?" Tunjukku pada diriku sendiri.

"Iya. Salah kamu." Ujarnya ngegas. Dih, cowok apaan sih ini? gak ada lembut-lembutnya sama cewek.

"Oke, fine. sorry." Kataku akhirnya. Aku, Naura Khanza Bayu paling sebal dengan yang namanya drama.

"Minggir!"

Aku menatap tak percaya cowok kasar, super kasar yang pergi begitu saja tanpa menghiraukan permintaan maafku yang tulus dari dalam hati. Iugh ke laut aja gabung sama ubur-ubur.

"Siapa sih?" Syifa menghampiriku, menepuk-nepuk rok abu-abuku yang kotor.

"Nggak tau. Udah yuk, ke kelas." Mengabaikan perwujudan manusia kasar itu, aku dan Syifa lanjut ke kelas berburu dengan bel panjang yang membuat lorong kelas selalu heboh pagi-pagi.

"Hari ini ada remed?" Tanyaku pada Syifa yang langsung membuka buku setibanya di kelas.

"Tidak. Aku mau mengecek siapa yang belum setor uang arisan kelas."

Aku mengangguk "Betewe liburan jadi ke rumah nenek?"

Syifa menutup bukunya "Iya, kamu jadi ikut kan?"

Aku menghela nafas pendek "Belum tau. kata mama tunggu papa pulang dulu baru izin sama beliau."

Syifa mendesah lesuh "Yah, padahal aku udah susun jadwal apa-apa yang akan kita lakukan di kampung nanti. liat nih!" Aku mengambil buku Syifa dan membaca jadwal yang sudah disusun Syifa. totally seru.

"Asik nih. semoga Papa ngizinin." Kataku penuh harap. Syifa mengangguk senang, mengamini.

Aku dan Syifa langsung duduk tenang saat Ibu wali kelas masuk kelas.

***

Aku membuka kotak makan berwarna kuning yang ada di depanku. Roti bakar isi sosis dan sekotak susu segar. Menu sarapan favoritku.

"Nih!"

Syifa mengambil sepotong roti yang kuberikan "Makasih. Kotak makannya lucu." Ujar Syifa mengomentari kotak kuning pemberian Bang Ravi. "Tukaran dong. warna favoritku nih." Syifa hendak mengambil kotakku namun segera kusembunyikan dalam dekapanku. Syifa cemberut.

"Jangan yang ini." Ucapku memelas. Aku paling nggak bisa kalau Syifa sudah mode puppy eyes begitu. "Ini hadiah." kataku jujur.

Syifa terperanjat lalu menatapku curiga. "Hadiah dari siapa? Kok nggak pernah cerita?"

Aku menggigit bibir bawah, kebiasan kalau gugup. Tapi Syifa bisa dipercaya kok. Jujur aja ah, gak enak kalau gak cerita sama Syifa.

"Dari Bang Ravi." Kataku pelan.

"Bang Ravi siapa? Kok baru dengar namanya?" Syifa menatapku penasaran.

Aku mengitip sekitar, bawah pohon ini aman.

"Abang aku."

Syifa menyipit "Bukannya kamu anak tunggal?"

Aku mengangguk "Emang. Aku anak tunggal."

"Trus?"

"Dia suamiku." cicitku pelan.

"Apaaaaahhh???"

Sontak aku menutup mulut Syifa. Sumpah ya toa bangat.

"Jangan kenceng kenceeeeng!" Ujarku gemas.

Syifa melepaskan tanganku "Jangan becanda ya, Ra. nggak lucu."

"Aku serius. Seminggu lalu aku nikah. makanya izin dua hari." jelasku. Syifa menatapku tak yakin.

"Beneran?"

Aku mengangguk lalu mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik kerah bajuku.

Syifa menganga "Ya Allah seriuuus, Ra? Kok bisa? Orang mana? Kamu nggak MBA kan?"

kupukul bahu Syifa keras "Sembarang aja ih."

Syifa mengabaikan wajah kusutku, ia memegang kalung di leherku dengan hati-hati. "Beneran cincin nikah loh." Gumamnya tak percaya.

Aku mengangguk lalu memasukan kembali kalungku, memastikan tak ada orang yang melihatnya.

"Kok gak ngundang? Jahat masaaa."

Aku mengambil tangan Syifa dan menggenggamnya "Sorry. Emang ini mau dirahasiain sama kedua keluarga karena aku masih sekolah. Takutnya mempengaruhi lingkungan sosialku. tau sendirikan orang-orang gampang nuduh."

Syifa mengangguk "Iya juga sih. tapi ngomong-ngomong abang kamu tu ganteng nggak?" Wajah Syifa berubah cerah.

Aku mendengus "Genit, dasaaaar."

Syifa terkekeh, "cerita romance sudah on nih di kepalaku. Cuek-cuek gemesh gitu nggak? Dingiiin truuus lama-lama bucin. Iya?"

Aku mengetok keningnya gemas "Halu mulu sih. Nggak tau aku tuh. Ketemu juga cuman sehari doang trus dianya pergi. mana kuingat mukanya." Ujarku curhat colongan. emang segitunya kisah pernikahanku.

"Ih aneh. gak asik ah." Penonton kecewa.

"Udahlah nanti kalau sampe rumah kutunjukin fotonya." Ucapku kemudian. Syifa mengangguk antusias.

"oke deh."

***

Sudah hampir setengah jam tapi Pak dodit belum sampe juga. Kulirik jamku dan semakin sering kulirik, rasanya makin lama juga aku menunggu. Mana Syifa sudah pulang duluan lagi. Sekolah kan horor kalo sepi. Aku melirik sekeliling dan hanya beberapa orang lagi yang ada di sekolah itupun sibuk dengan urusan masing-masing. Tanpa sengaja mataku bersibobrok dengan mata elang yang menatapku tajam. cowok super kasar tadi. Kupalingkan wajahku, tak ingin berurusan sama orang seperti dia.

"Ngapain liat-liat?"

Aku menoleh dan mendapati cowok kasar itu sudah berdiri tak jauh dariku.

Ck. Apaan sih ini orang. Aku mengabaikannya begitu saja.

"Heh, kalau ditanya itu dijawab."

"Apaan sih? Gak jelas." Sumpah sih ini cowok gak jelas, marah-marah seenaknya. Tak ingin berurusan dengan dia, aku memutuskan pergi namun tiba-tiba tanganku di cegat.

"Lepas!"

Cowok itu memegang lenganku erat.

"Lepas! Jangan kurang ajar ya jadi cowok." Aku melirik sekitar dan sepi, duh kok aku takut ya. Aku menggeliat, berusaha melepas tangan itu namun tenaga cowok itu jelas lebih kuat.

"Lepaaaas!"

Bukannya melepaskan tanganku, cowok itu malah menarikku lebih dekat. Aku berjengit saat hampir saja menubruknya.

"Urusan kita belum selesai." Katanya dengan suara berat.

Sekali lagi aku berusaha melepaskan tangan "Lepaaaaas!"

"Gak bi---"

"Naura!"

Aku menoleh ke sumber suara dan terpaku. Kurasakan cengkraman di tanganku mengendur dan dengan kekuatan penuh kulepaskan diri.

"Abaaaang." Aku berlari dan langsung memeluk laki-laki itu, menyembunyikan wajahku di dada hangatnya. Lega.

---

Kak Naura yang masih sekolah, bawa-bawa hp. Awas kena razia.

Dibawah Umur

Aku menatap tanganku yang terasa hangat berada dalam genggaman Bang Ravi. Aku deg-degan tapi tidak berani melepaskan tanganku yang sejak kejadian dengan cowok kasar itu digenggamnya.

"Abang kapan sampenya?" Tanyaku takut-takut. Aku tak menyukai keheningan apalagi berada dalam mobil bersama orang yang belum lama kukenal. Ya meskipun dia suamiku sekarang. Lagian kan ngeri nyetir satu tangan.

"Cowok tadi siapa?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Ravi malah menanyakan cowok aneh itu. "Kok narik-narik gitu?"

Aku menggeleng "Naura nggak tau, Bang. Pagi tadi nggak sengaja nabrak tapi Naura sudah minta maaf kok. Nggak tau tadi tiba-tiba narik tangan aku."

Bang Ravi menghela nafas pendek, "Jauh-jauh dari dia." Katanya kemudian. Aku mengangguk. sekali lagi melirik tanganku yang masih di genggam Bang Ravi.

"Abang belum jawab pertanyaan Naura."

"Tadi dari bandara langsung ke sekolah."

Aku melirik Bang Ravi dari ujung kaki keujung kepala. Celana jeans pudar, baju kaos putih dilapisi jaket kulit hitam. cakeeeep. Wajahku kok jadi hangat-hangat gini. Duh Naura, jangan ganjen, please.

"Abang harusnya gak usah jemput. Istrahat aja di rumah. kan capek." Kataku serius. Bahkan cuma duduk enteng di dalam pesawat pun kalau namanya perjalanan tetap saja capek.

"Gak apa-apa." Gumamnya, lalu melepaskan tanganku saat berbelok ke salah satu cafe. lega, tapi kok aku rasa kehilangan ya. Aku menyatukan kedua tanganku diatas pangkuanku. Cafe ini kayaknya bagus melihat dari banyaknya pengunjung.

Setelah memarkirkan mobil, Bang Ravi turun. Ia menoleh padaku yang menatapnya bengong.

"Nggak lapar?"

Aku terkesiap, "lapar, Bang." Bang Ravi tersenyum tipis. ada yang lucu?

"Poninya di rapiin dulu." Aku menahan nafas gugup saat tangan Bang Ravi merapikan poni tipisku yang sudah hampir menutupi alisku.

"Terima kasih, Bang." Ucapku menyembunyikan rasa gugup, wajahku menghangat lagi. Apa aku sakit ya?

Bang Ravi keluar dari mobil. Setelah menata baik perasaanku, aku ikut turun dan berlari menyusul Bang Ravi. Langkah Bang Ravi lebar-lebar bangat, aku sampe harus lari-lari menyusulnya. lagian tubuhku hanya setinggi dadanya jelas dua kali lebar langkahnya.

Benar. Cafenya ramai. Aku mengikuti langkah Bang Ravi mencari tempat kosong.

"Mau makan apa?" Bang Ravi sudah membuka buku menu. posisi dudukku tepat di depannya membuatku harus menjulurkan kepala untuk melihat menu yang ada dihadapannya.

"Salad aja, Bang."

Bang Ravi menatapaku datar. Kenapa? I love salad. Setelah memutus tatapannya ia kembali memusatkan perhatiannya pada buku menu di depannya. Setelah memilih menu, Bang Ravi menghampiri meja pesanan. Perhatianku teralihkan oleh suasana cafe yang cozy bangat. sangat nyaman dan instagramable. cocok nih untuk foto-foto. Nanti aku aja Syifa untuk main-main kesini meskipun ramai tapi tetap tidak sumpek dan berisik.

"Kapan libur?" Aku tersentak saat Bang Ravi sudah kembali duduk di depanku.

"Minggu depan, Bang."

Bang Ravi menggumam. Cuma itu?

Sepertinya Bang Ravi tipe cowok-cowok yang di gambarkan di otak Syifa, irit ngomong. Apa dia juga bakalan berujung bucin? Aku memandang sanksi, kayaknya tidak akan berlaku deh sama Bang Ravi. Kelihatan tidak masuk akal tiba-tiba dia jadi bucin, pada orang sejenis diriku pula.

"Jangan banyak melamun. Makan."

Ups.

Loh? Aku mendongak, menatap Bang Ravi tapi dia seperti tidak menyadarinya.

"Naura kan pesan salad, Bang." Ujarku heran. Bang Ravi mengangguk.

"Gak akan kenyang. Cepat makan." Ujarnya datar.

Aku mendengus kesal. Padahal aku udah ngiler membayangkan buah-buahan itu melumer bersatu bersama mayones dalam mulutku.

"Lain kali setiap makan siang kamu wajib foto makanannya dan kirim ke WA ku."

Aku yang baru saja mau menyantap ayam bakar di depanku mengernyit bingung, "Untuk apa?"

Bang Ravi tak menjawab, ia malah asik menyantap hidangan di depannya. Kaaan, keseeel. Aku menyuap makanan dengan perasaan dongkol. Ini orang nganggap aku ada nggak sih? Kembali kusuapi diriku dengan takaran yang banyak. kalau kesal bawaanya memang pengen ngunyah.

"Ck. Anak kecil. "

Ting.

Sendok ditanganku jatuh berdenting diatas piring saat tangan Bang Ravi menyentuh sudut bibirku dengan jemarinya. Dan laki-laki itu dengan enteng mengemut ibu jariku yang dilumuri Kecap. Fix, ini namanya pencemaran otak suci gadis di bawah umur.

"Manis." Satu kata yang membuat wajahku memerah bak kepiting rebus.

Mamaaaaaa...

***

Sejak sepulang dari cafe tadi siang aku belum ketemu Bang Ravi. Perlakuannya tadi cukup membuatku syok. Aku memutuskan mengurung diri di kamar sedangkan Bang Ravi menemani Mama dan Papa. Entah apa yang mereka ceritakan sampe malam begini belum juga bubar. Saat makan malam tadi mama datang memanggilku untungnya aku bisa beralasan kekenyangan karena baru saja diajak makan oleh Bang Ravi.

Aku meraih hp dalam laci nakas. Ada satu pesan balasan dari Bang Ravi. Tumben balasnya cepat, baru juga tadi pagi.

From Abang Ravi

Hati-hati.

Udah ketemu juga, cibirku. Aku mengambil headset lalu memutar mp3, lagu-lagu BTS yang memenuhi daftar putar di hpku paling pas mengenyahkan bayangan-bayangan bibir dan lidah Bang Ravi di jariku. Iiiih... mesuuuum.

"Siapa yang mesum?"

"Kyaaaaaaaaa...." Spontan aku melempar guling kearah Bang Ravi yang tiba-tiba muncul di dalam kamar. "Abang ngapain kesini?" Sumpah ini aku lagi mode mager, celana pendek setengah paha, baju tanpa lengan, kurang bugil apa lagi coba, hiks.

"Bang Ravi tutup mata!" Teriakku, menarik selimut untuk menutupi badanku. Kini hanya kepalaku yang nyembul setengah.

"Aneh." Bang Ravi bukannya menutup mata atau menyingkir malah dengan santai mau lepas kaos.

Eh? lepas kaos?

"Eeeh, stoooop!!!"

Bang Ravi menghentikan gerakannya lalu menatapku jengah "Apa?"

Aku menunjuk-nunjuk badannya "Abang gak boleh buka kaos. Turunin." Teriakku. semoga gak kedengaran mama dan papa. kata mereka dosa kalau suara istri lebih nyaring dari suara suami.

"Gerah." Katanya lalu membuka kaosnya tanpa mengindahkanku. Jahaaat.

"Abaaaang, Naura kan masih dibawah umur gak boleh liat-liat yang begituan." Kataku dengan suara bergetar. Tak berani lagi menatap makhluk tuhan paling yahuuud di depanku. Untung gak ada Syifa, bisa mimisan dia. Tanpa sadar kuraba hidungku, Alhamdulillah aman.

"Lagian abang ngapain di kamar Naura? Kan ada kamar tamu di sebelah."

Bang Ravi menatapku datar, lagi. Sepertinya udah jenis tatapannya dia begitu.

"Kenapa di kamar tamu? Ini kamar istriku."

Gluk! Aku menelan ludah kesusahan. Ini Bang Ravi maksudnya apa? Dengan sadar kurapatkan selimut di tubuhku. Bang Ravi masih menatapku lurus. Aku balas menatapnya gugup.

"Tapi Naura masih kecil, Bang." Cicitku, gugup campur ngeri.

Bang Ravi tersenyum miring. Itu kan senyumnya penjahat pas ketemu korban. Ya Allah, tolong.

"Masa sih masih kecil?" Bang Ravi menatap tubuhku. sekujur badan ku merinding. Seriusan, Bang Ravi kenapa? Aku menggeser badan hingga membentur pelan kepala ranjang. Bang Ravi tak bergerak seinci pun tapi rasanya aku udah dalam bahaya.

"Abang jangan bergerak!" Aku semakin merapatkan diri di kepala ranjang berharapa tiba-tiba aku bisa menyatu dengan kepala ranjang saat Bang Ravi mulai mendekat. Baju kaosnya ia gulung di lengannya. Bang Ravi Shirtless, catat itu, SHIRTLESS.

Aku menutup mata saat kurasakan tangan Bang Ravi mengangkat bahuku untuk duduk tegak. Apapun yang terjadi aku gak mau buka mata.

"Kamu masih kecil ya?" Gumamnya menimang-menimang. Aku menahan nafas. Tangan Bang Ravi kayaknya berpindah ke pipiku. Lalu tiba-tiba--

"Kyaaaaaaa... Abaaaaang Lepaaaaaas!!!" Pipiku di tarik kuat oleh tangan Bang Ravi yang sumpah sakiiit ngiluuuu.

"Ngakunya dibawah umur tapi otaknya delapan belas plus. mikir apa kamuuu, huh?" Tak puas dengan pipiku, Bang Ravi kini mengapitku dibawah ketiaknya. Mmmm wangi siiih tapi tetaaaaap, wajah aku nempel di kulitnya.

Mamaaaaa... Anakmu masih di bawah umuuuur, tapi udah di *****-grepein Hiks.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!