NovelToon NovelToon

My Chosen Wife

Kembali Datang.

Hello Readers, Ini lanjutan Novel aku sebelumnya yang berjudul "TERPAKSA MENIKAH" jadi yang pendatang baru, Putri sarani untuk baca Novel itu sebelumnya. Karena di sini Putri menceritakan kisah dari anak - anak Mereka. Okey Terima Kasih ya, seperti biasanya Aku mohon untuk dukungan kalian. Tekan Like , Vote dan Favoritkan Novel Ini. Selamat membaca ❤

.

.

.

Alice Cornelis.

Seorang Gadis bernama Alice Cornelis berumur 23 Tahun, terbangun di Pukul 06 : 00 waktu New York. Di tengah kesibukannya, Alice selalu membantu sang Ibu di dapur, membantu Ibunya mengurusi pekerjaan Rumah. Mulai mencuci pakaian, Memasak makanan untuk mereka santap di pagi hari. Sebisa mungkin Alice mengambil alih seluruh pekerjaan rumah mereka, karena ibunya bekerja sebagai penjual kue keliling. Kue yang di buat oleh sang Ibu dengan menggunakan tangannya sendiri. Alice hanya hidup berdua dengan Ibunya, Papa Alice sudah tiada sejak Alice berumur 20 Tahun, akibat kecelakaan dalam pekerjaannya.

Alice sendiri lahir dan besar di Jakarta, tetapi saat ia berumur 15 Tahun papanya di pindah tugaskan ke New York, sebagai Arsitektur bangunan gedung. Saat papanya hendak memantau lapangan pekerjaan terjadilah sesuatu yang tidak di inginkan mereka.

"Ma, makanan sudah masak. Ayo kita sarapan sebelum Alice berangkat bekerja" Ajaknya pada sang mama yang sedang mengadon untuk bahan kue nya.

"Tunggu Alice... mama cuci tangan sebentar" Ucap perempuan paru bayah tersebut.

Alice pun menyendokkan nasi ke piring mamanya , mengambil lauk untuk di santap mamanya. Saat mamanya bergabung di meja makan , mama menatap Alice.

"Apa kau tidak lelah nak? Kau selalu bekerja sangat keras untuk menghidupiku" ucapnya seraya mendaratkan tubuhnya duduk di depan Alice.

"Mama nggak boleh berkata seperti itu, Apapun akan Alice kerjakan asal halal untuk menghidupkan Mama dan juga Alice. Harusnya mama tidak boleh lagi berjualan, biar Alice yang melakukan semua pekerjaan ini Ma" Ucapnya dengan senyuman.

"Tidak, mama tidak mau hanya berdiam diri. Mama ingin kita bisa sama - sama mengumpulkan pundi - pundi kehidupan kita nak. Agar kita tidak berkekurangan , dan mama yakin Alice dan mama suatu saat nanti mampu membuka sebuah bakery" ucap sang mama dengan penuh semangat.

"Baiklah Ma... kita akan wujudkan keinginan mama itu, Ayo ma di makan."

Keduanya pun dengan semangat menyantap sarapan yang sudah di sediakan oleh Alice. Mama sekilas menatap wajah putrinya yang tidak pernah bersedih ataupun mengeluh. Mama sebenarnya sedih, karena dia masa muda anaknya di habiskan untuk bekerja. Bersyukurnya Alice sempat menamatkan Sekolah Menengah Atasnya. Ada harapan Alice, ia akan mengecap pendidikan di jenjang perkuliahan. Tetapi nasib berkata lain , Papanya telah tiada tanpa meninggalkan harta untuk anak dan istrinya.

Karena itu Alice bekerja di salah satu Cafe Kopi and Cake yang terkenal di Kota New York. Sebelum ia berangkat bekerja di Cafe Kopi and Cake, Paginya Alice menyempatkan diri , bekerja sebagai pengantar koran di berbagai tempat dengan mengayuh sepedanya mengirim Koran ke rumah - rumah atau pun ke kantor. Semua itu ia lakukan demi Mamanya dan dirinya sendiri.

"Mama" Alice mencari keberadaan sang mama.

"Mama di sini Nak" jawab sang mama yang berada di taman kecil belakang rumah mereka.

"Maa... Alice berangkat ya" Alice berjalan mendekati sang mama, memberikan kecupan di kedua pipi mamanya seraya memberikan salam.

"Hati - Hati ya Nak" Ucap sang mama.

"Mama juga hati - hati ya" balas Alice, dan berjalan keluar rumahnya. Mengambil Sepeda yang terparkir di halaman rumah mereka.

Dengan membawa tas ranselnya, Alice mengayuh sepedenya menuju tempat pengambilan Koran yang biasa dia jual. Hanya butuh 15 menit, Alice tiba di tempat yang ia tuju.

"Semangat Alice" ucap sang pemilik.

Alice tersenyum, "Baik Paman, Alice berangkat ya Paman Jacob" serunya dengan semangat. Jacob pun melambaikan tangannya, ia sangat suka dengan kegigihan Alice untuk bekerja.

Alice mengayuhkan sepedanya dengan kecepatan maxium. Sesekali ia berhenti di depan rumah langganan korannya saat pemilik rumah berada di depan. Alice kembali mengayuh sepedanya ke seluruh langganannya, kadang ia melempar ke rumah yang tertutup oleh gerbangnya.

Untuk langganan terakhir, Alice berhenti di depan rumah mewah yang sangat luas dan berpagar cat putih. Hanya rumah itu yang selalu membuat Alice penasaran, karena tidak pernah sekalipun rumah itu seperti berpenghuni. Hanya saja pelanggan rumah yang ada di depan Alice berdiri , selalu membayar tagihannya dengan tepat waktu ke paman Jacob.

"Aku sangat penasaran, Rumah sebesar ini tetapi seperti tidak ada penghuninya saja! Sudahlah Alice , itu bukan urusanmu" Alice mengambil sisa 1 gulungan korannya dan melempar ke arah rumah di depannya melewati pintu gerbang rumah besar itu.

Alice menepuk kedua tangannya seakan membersihkan sisa debu dari koran tersebut dengan senyum kemenangannya.

"Baik... sudah selesai" ucapnya seraya menatap jam di tangannya.

"20 Menit lagi aku harus tiba tepat waktu di Cafe"Imbuh Alice lalu mengayuh sepedanya dan meninggalkan Rumah mewah tersebut.

***

Rava Atmadja.

Seorang Pria mapan berumur 26 Tahun sudah memiliki perusahaan sendiri di New York. Pada awalnya Rava Atmadja hanya membantu di perusahaan Papanya di Jakarta. Karena di usianya yang muda di tambah dengan kepintarannya dalam mengelola dan menjalani perusahaan sang papa dan membantu harta warisan dari sang Nenek Buyut, Rava berhasil membangun perusahaannya di New York.

Kota New York adalah tempat impiannya sedari dia berumur 20 tahun mendambakan sebuah perusahaan di kota itu. New York merupakan tempat di mana ia juga mengecap pendidikan. Dan Untuk pertama kalinya anak sulung dari seorang pengusaha yang terkenal yang bernama Raka Atmadja itu, kembali menginjakkan kakinya di Rumah yang sudah ia bangun oleh Arsitektur terkenal di Negara itu saat Rava berumur 22 Tahun.

BRUGGGGG!!!

"Siapa yang berani melemparkan Koran dengan kasar seperti itu! Dasar gak punya sopan santun!" ucapnya dengan kesal seraya menyentuh keningnya yang terkena lemparan koran.

"Pagi - pagi sudah merubah mood aku saja!" Lalu ia mengutip koran yang mendarat di depan kakinya setelah mengenai keningnya. Dengan memakai stelan jas Navy, Rava yang sudah bersiap akan bertemu Client pertamanya di salah satu Cafe terkenal.

Dengan balutan setalan jas nya, Rava berjalan ke arah pintu gerbang rumahnya. Terdengar langkahan sepatu pantofel yang berlaga dengan lantai , menambah gagah dan berkharismanya seoarang Rava . Tak lupa Kaca mata hitam yang melingkar menghiasi kedua matanya menambah kegagahan Rava sebagai seorang Presdir.

"Aku harus segera mencari pekerja untuk di rumahku ini" ucapnya seraya mendorong pintu gerbang lalu berjalan masuk ke mobilnya hingga keluar gerbang rumah. Usai di luar, Rava kembali turun dari mobilnya untuk mendorong gerbangnya dan menguncinya. Lalu kembali masuk ke mobil dan melaju dengan kecepatan maxium menuju tempat pertemuan.

30 menit kemudian Rava tiba di area parkiran Cafe&Cake, ia membawa kakinya keluar dari mobilnya dan melepas kaca mata hitam yang melekat di kedua matanya. Rava memperhatikan setiap sudut Cafe besar itu dengan seksama. Ia memperhatikannya untuk lebih memastikan apakah Rava tidak salah tempat. Hanya saja nama Cafe yang di depannya tidak memiliki billboard, membuat Rava pusing.

Tiba - Tiba pandangan Rava tidak sengaja berpindah ke arah Gadis yang baru saja memarkirkan sepedanya. Gadis itu sedang merapikan rambutnya dan kembali mengikatnya dengan kunciran yang rapi. Rava mendekat ke Gadis yang sibuk pada dirinya sendiri tanpa tahu adanya Rava di belakangnya.

"Excuse me" Panggilan Rava membuat Alice kaget. Ya Gadis yang di lihat Rava adalah Alice , ia baru tiba di Cafe tempat di mana ia mengais rejekinya.

"Egh setan!" balasnya dengan berbalik ke arah Rava seraya memegang dadanya.

"Ouu... ternyata kau orang Indonesia?" Ucap Rava.

Alice menatap kagum dengan ketampanan maksimal Rava yang di depannya, membuat Alice terdiam dan menatap tanpa berkedip.

"Maaf Nona, kau bisa berbahasa Indonesia kan? Kenapa diam! saya nggak punya waktu untuk meladeni kekaguman anda dengan wajah saya!"

"Ma—Maaf Tuan, ia saya bisa berbahasa Indonesia. Maaf saya tidak sengaja mengatai anda Setan" Balas Alice dengan menundukkan kepalanya karena takut menatap wajah Rava dengan mata yang di tajamkan.

"Lupakan! saya mau bertanya, apakah benar ini Cafe&Cake MY?" Tanyanya ke Alice.

Alice mengangkat wajahnya dan tersenyum.

"Benar Tuan , ini Cafe yang anda katakan."

"Okey kalau begitu" ucapnya tanpa menatap Alice dan meninggalkan Alice yang masih berdiam.

"Apa aku tidak salah mendengar? Kenapa dia tidak mengucapkan Terima Kasih sama sekali?" Alice mengerucutkan bibirnya lalu ia tersadar menatap jam tangannya. "Sial , 5 menit lagi" Buru - Buru Alice berlari dan mendahului Rava.

Rava menatap punggung gadis yang berlari

dengan tas ransel yang menempel di pundaknya. Lalu Alice tiba - tiba berbalik , dan menatap Rava dengan tersenyum. Hanya berjarak 3 langkah di antara mereka saat itu.

"Hey Tuan!!! bisakah anda melihat papan di atas itu?" Ucap Alice lalu ia kembali berlari menuju pintu masuk karyawan Cafe.

Rava yang sempat menatap Alice, mengikuti arah yang di tunjuk oleh Alice. Sangat besar, terpampang nama Cafe yang ia cari.

"Sial! apa dia menggodaku? Apa dia meledekku! beraninya dia!" Rava kembali berjalan memasuki Cafe tersebut dengan perasaan kesal.

Saat tiba di dalam Cafe, Rava mendudukan dirinya di mana dinding kaca menghadap pemandangan jalanan kota itu. Langsung saja , Rava di layani oleh pelayan Cafe yang tak lain dan tak bukan Alice.

"Hello, Excus—" Ucapan Alice tergantung saat Rava menatapnya.

"Tuan..." seru Alice dengan senyuman.

Kenapa sedari tadi dia tersenyum padaku? Apa gadis ini ingin menggodaku?"

"Oh kau gadis yang meledekku tadi!"

"Meledek? maaf Tuan, saya tidak paham maksud anda."

"Sudah lupakan! saya mau pesan Cokelat panas 1 dan 2 slice Chesee Cake" ucap Rava tanpa menatap Alice karena ia sibuk dengan Ipad nya.

Alice yang sudah mencatat menu makanan yang di pesan oleh Rava kembali mengulang pesanannya dan mendapatkan anggukan oleh Rava yang masih saja sibuk menatap layar Ipad.

"Baik Tuan , apa ada yang lain lagi?" Tanya Alice ramah.

Dengan cepat Rava mengangkat tangan kanannya menjawab tidak ke Alice.

"Baik Tuan, saya permisi" Barusan memutar badannya, Rava kembali memanggilnya.

"Iya Tuan?" Tanya Alice.

"Tolong cepat! karena saya sedang buru - buru!"

"Baik Tuan" Alice mengumpat Rava di dalam hatinya. Perasaan Alice , Rava itu pria angkuh dan sombong. Alice sangat kesal di buat oleh Rava.

"Terlalu sombong! Kesialan apa jumpa cowok sombong. Udalah angkuh , sombong lagi, tapi sialnya dia tampan! " Ucap Alice sambil berlalu ke arah dapur menyampaikan pesanan Rava.

"Kau kenapa terus mengomel Alice?" Tanya Clairen teman dekat Alice. Sangkin dekatnya mereka , terkadang mereka bisa saling menukar jadwal mereka.

Selang beberapa menit, pesanan Rava telah selesai. Dengan menggunakan nampan, Alice berjalan menuju ke meja Rava. Tampak dari belakang Rava, pria dingin itu terlihat sangat sibuk dengan Ipadnya , sangkin memperhatikan Rava yang hampir dekat, tiba -tiba kaki Alice terbentur kaki meja. Hingga membuat tubuh Alice jatuh di hadapan Rava.

Rava buru - buru menampung tubuh Alice dengan cipratan Cokelat panas yang di bawa Alice mengenai Jas Rava.

Brugggggg... !!!

Alice terjatuh, dengan cepat Rava berdiri menampung tubuh Alice dan membuatnya berdiri di sampingnya.

"Apa kau ini tidak punya mata! Kau tidak lihat aku sedang bekerja!" Teriak Rava saat di rasa tubuh Alice

kembali pada posisi semulanya.

"Maaf Tuan saya tidak sengaja" ucap Alice panik lalu mengambil tisu di depannya dan mencoba membersihkan Jas Rava.

"Jangan sentuh saya! Saya tidak suka orang asing seperti anda mengotori tubuh saya!" Ucap Rava seraya membuka jasnya dan melempar ke arah Alice, refleks Alice menangkap jas itu. Semua mata memandang ke Alice.

Tiba - Tiba dari arah belakang Manager Cafe menghampiri Alice "Maaf Tuan.. maafkan karyawan saya" ucap Manager Cafe tersubut. Alice hanya menunduk, tidak berani menatap Rava.

"Tidak ada maaf bagi saya! kalau karyawan anda tidak bisa bekerja dengan baik, pecat saja! Apa kalian tahu saya ada pertemuan penting di sini? Kesialan macam apa yang aku dapatkan pagi - pagi."

Suara Getaran ponsel Rava terdengar , pertanda ada panggilan masuk. Mata Rava segera berpindah dari Alice ke Ponselnya. Nomor panggilan teterah di layar ponselnya.

Rava Atmadja.

.

.

Jangan lupa tekan Like , VOTE dan Favorit ya. Soal Visual aku sarankan jangan Protes ya anak mom semua.

Cara Vote bisa ikuti gambar di bawah ini :

MENJAGA.

Vara Atmadja.

Gadis berumur 23 Tahun , Anak bungsu dari pasangan Raka Atmadja dan Evacalista serta adik dari pengusaha muda bernama Rava Atmadja. Vara terkenal dengan anak yang manja, tidak genit , tetapi ia sangat ketus pada siapapun yang tidak bisa kompromi dengannya, sekalipun itu kakanya sendiri, Vara tidak segan - segan mengomeli kakaknya kalau kakaknya berada di posisi yang salah. Kalau tidak, Vara sangat takut dengan kakaknya.

Walaupun ia di manja oleh papa dan mamanya maupun kakaknya, ada masa di mana yang membuatnya tidak berani membantah perkataan orang - orang yang dia sayangi , seperti saat ini yang ia rasakan. Vara hanya ingin belajar di Jakarta, agar ia tidak jauh dari mama dan papanya. Sedangkan Rava dan papanya Raka, mengusulkan Vara untuk berkuliah di New York. Agar ia bisa menemani Rava saat mengelola perusahaan barunya.

Eva sendiri , tidak keberatan dengan usul dari anak sulungnya dan suaminya. Karena kalau di bantah, terjadilah kerusuhan di antara mereka. Sifat keras Raka menurun ke Rava , karena itu Eva malas berdebat dengan anak dan suaminya. Walaupun rasanya berat untuk berpisah dengan Vara, karena Eva sangat takut merasa kesepian dan melepas putrinya yang manja itu.

Bukannya malah tinggal dengan Rava, Vara lebih memilih untuk tinggal di salah satu Apartments mewah di New York. Rava tidak keberatan dengan permintaan sang adik, malahan Rava sangat bersyukur karena Vara yang memintanya. Raka mau Vara bisa dewasa dan tidak manja lagi. Karena Rava sangat takut, adik kesayangannya itu tidak akan pernah bisa menjadi anak yang dewasa.

"Hooooaaammmm.... aku sangat mengantuk. Sangat malas untuk ikut kelas" Vara menguap dengan menggoyangkan tubuhnya sendiri di atas ranjangnya.

"Kalau aku tidak mengikuti kelas hari ini, Kakak pasti sangat marah padaku! Kalian tahu? walau aku tinggal sendiri di sini, Kakak tetap mengintaiku dengan mata - matanya. Aku merasa seperti tidak punya kehidupan!" Ucap Vara seraya mengacak rambut panjangnya.

"Baiklah Vara, kau harus semangatttt" Ucap Vara menyemangati dirinya sendiri.

Vare beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi. Seusai ia mandi, ia mengambil ponselnya untuk mengecek suhu atau cuaca di kota New York, agar ia tidak salah kostum.

"Pakai ini saja, karena hari ini akan hujan" Vara mengambil pakaian Longjhon dan tak lupa dengan Jaket dan sarung tangannya.

Tak lupa ia mempoleskan wajahnya yang memang sudah cantik dengan make up naturalnya. Vara tidak suka dengan make up yang menor serasa menjadi wanita bar - bar.

"Okey... sekarang mempersiapkan sarapan" Vara berjalan ke arah kulkas dan mengambil pisang, Roti, cokelat, keju dan susu. Dengan gerakan cepat Vara mengisi semua bahan ke dalam rotinya , terkecuali susu.

Tidak sengaja menatap jam dinding yang bergantung di dinding kamarnya.

"Euhhhh... 30 menit lagi. Aku akan telat untuk masuk kelas. Ayo Vara, buruan kau gunakan kaki panjangmu" serunya dengan mulut yang berisi makanan lalu meneguk habis susunya.

Tingggg... Tonggggg...

"Astaga... kenapa berketepatan aku di depan pintu belnya berbunyi? siapa yang pagi - pagi begini sudah bertamu?" Tanya Vara seraya mengintip bulatan kecil di tengah pintunya.

"Ka Harsen. Mau apa dia?" Tanya Vara pada dirinya sendiri.

Ceklekkkk.... Vara membuka pintu Apartmentsnya.

Harsen

Pria bertubuh jangkung dengan body yang kekar, mendapatkan perintah dari sang atasan untuk mengantarkan Vara ke Kampusnya.

"Selamat pagi Nona Vara, apa anda sudah bersiap?" Tanya Harsen dengan sopan.

"Bersiap? Kenapa Ka Harsen yang mengantarkan Vara? Vara mau membawa mobil sendiri kak." balas Vara.

"Maaf Nona... ini sudah perintah Tuan Rava. Saya tidak bisa membantah perintah kakak Anda Nona."

"Duh... Kak Harsen berapa kali sih Vara katakan, Tidak usah Formal ke Vara kalau tidak ada Kak Rava. Vara nggak suka" ucap Vara masih memakan sisa Rotinya.

"Tidak masalah nona... sudah tugas saya. Mari saya antarkan"

"Baiklah, Jangan membuat Moodku yang sudah tidak enak di tambah dengan sifat keras kak Harsen. Kak Harsen dan Kak Rava sama saja! sama - sama menyebalkan!" Gerutu Vara seraya berjalan mengikuti Harsen berjalan ke arah Lift.

Harsen adalah anak dari pasangan Leo dan Rere. Seperti permintaan Lusi, Harsen di ajarkan menjadi pendamping Rava seperti papanya Leo. Mereka sekeluarga adalah orang kepercayaan Lusi dan seluruh Keluarga Atmadja.

Sesampainya di area parkiran, dengan cepat Harsen berjalan untuk membukakan pintu penumpang dan mempersilahkan Vara untuk masuk. Vara bukannya masuk ,ia membuka pintu bagian depan. Harsen menjadi terpelongok dengan sikap Vara. Harsen berpindah sambil menutup pintu dan kembali membuka pintu depan.

"Maaf Nona Vara, silahkan untuk kembali ke belakang" Ucap Harsen dengan sopan.

"Duh, Kak Harsen jangan mulai debat dengan Vara! buruan masuk, kalau tidak Vara akan telat masuk kelas. Mau , Vara aduin ke Kak Rava!" Ancam Vara.

"Baiklah Nona" Harsen mengalah.

Dengan berlari kecil Harsen menuju mobil , dan melajukan mobilinya ke Universitas di mana Vara berkuliah. Diam sejenak , Vara sangat tidak suka suasana hening. Membuat Vara berasa di kuburan , lalu ia menoleh ke Harsen.

"Kak Harsen" Panggil Vara.

"Iya Nona?"

"Namaku Vara! Bukan Nona. Tolong di ingat" Balas Vara.

"Agh... maaf Nona. Ini sudah menjadi kebiasaan saya, karena anda anak dari atasan papa saya."

"Tapi Paman Leo dan Bibi Rere tidak pernah memanggil Vara seperti itu Kak Harsen. Cuma Kak Harsen yang seperti itu dengan Vara!"

"Maaf Nona... jangan buat saya dalam kesulitan" Balas Harsen sekilas melirik Vara yang sudah memajukan bibirnya.

"Grrrrr... payah ngomong sama batu. Kerassss banget!"

"Maaf... Nona Vara bilang apa?" Tanya Harsen dengan sopan.

"Mau tahu aja! bukan urusan Kak Harsen. Sudah, aku tidak ingin bicara denganmu" balasnya tanpa menoleh ke Harsen.

Harsen tidak merasa bersalah tentang marahnya Vara. Ia pun ikut berdiam diri seperti perintah Vara. Jika ia berbicara, Ucapan Harsen yang hanya A bisa sampai Z di buat oleh Vara.

"Kak Harsen" Tiba - Tiba Vara kembali memanggil dengan lemas.

"Iya Nona?" Tanya Harsen dengan sekilas menoleh ke Vara yang tidak mau menatapnya dan menempelkan keningnya di kaca mobil membuat Harsen panik.

"Kenapa Nona Vara? apa ada yang salah pada anda Nona? Apa anda sakit Nona? Tolong jawablah" Tanya Harsen masih sesekali melirik Vara dan jalanan.

"Tidak usah sok Panik! saya nggak masalah, cuma mau menanyakan Kak Rava. Bagaimana dengannya? bukankah ia baru kemarin tiba di Kota ini? Kenapa ia sama sekali tidak mengunjungiku?"

"Maaf Nona Vara , Tuan Raka sedang melakukan pertemuan dengan Client barunya di sini. Karena itu beliau belum bisa mengunjungi anda. Nanti akan saya sampaikan."

"Lupakan saja! Tidak usah di ganggu. Jika ia rindu denganku , Kak Rava akan meminta ketemuan denganku. Okelah... apa kita masih jauh?" Tanya Vara dengan memejamkan kedua matanya.

"Tidak Nona, Kita sudah mau sampai" Balas Harsen sopan.

Dengan cepat Vara merapikan baju dan rambutnya sebelum benar - benar tiba di depan kampusnya.

"Kita sudah sampai Nona" ucap Harsen ke Vara yang sedang menambah polesan di wajahnya.

"Okey, Kak Harsen hati - hati di jalan ya. Pelan - Pelan saja" ucap Vara seraya melepaskan safety beltnya dan melambaikan tangannya , lalu ia membuka pintu mobil, tak lupa senyuman ia berikan ke Arsen. Usai Vara pergi dan berlari kecil masuk melewati gerbang, Harsen pun legah.

"Dia selalu saja manja" Gumam Harsen seraya menginjak gas dan meninggalkan area Universitas menuju perusahaan Rava.

.

Jangan Lupa Like , VOTE dan Favoritnya ya. Terima Kasih ❤

Noona.

Defan.

Defan, anak dari pasangan Delia dan Frans. Berumur 22 Tahun, saat ini ia mengecap pendidikan di New York. Defan sendiri, lebih memilih untuk dekat dengan Rava dan Vara ketimbang dengan papanya Frans. Kenapa seperti itu? Defan mau kabur dari keinginan sang papa, untuk mengikuti kehendak papanya yang ingin membuat Defan seperti Raka, Rava termasuk papanya sendiri.

Defan tidak tertarik dalam dunia bisnis, ia lebih tertarik dalam dunia seni Lukis. Karena itu dia memilih jurusan melukis. Mungkin Gen Delia lebih banyak di tubuh Defan. Delia sendiri seorang perancang busana di masa gadisnya. Mungkin karena itu alasan Defan memilih jurusan seni lukis. Dan Defan memilih untuk berkuliah di satu Universitas dengan Vara.

^

"Vara" Teriak Defan dari ujung lapangan Universitas, membuat mata Vara menoleh ke Defan.

"Sialan, kenapa dia belum masuk kelasnya?" Gumam Vara malas. Dengan langkah cepat , Vara purak - purak nggak dengar panggilan Defan.

"Varaaa.... kok lari sih! tunggui dulu" Defan kembali teriak.

"Aku nggak mau ngomong sama kau, Defan. Aku sudah telat!" Balas Vara tak kala kuat dari Defan.

Defan yang mendengar jawaban Vara pun berlari sekencang mungkin, untuk menghentikan langkah kaki Vara. Akhirnya Vara terhenti, ketika tangan Defan menyentuh pundaknya. Dengan nafas terengah - engah, Defan dan Varah saling menatap satu sama lain.

"Apaan sih Defan, kau membuatku telat untuk masuk kelas!" Vara mulai kesal.

"Astaga... kau ini! kenapa kau lari, membuatku lelah."

"Yang sopan sama kakakmu, Defan!" Ucap Vara dengan menajamkan matanya.

"Kakak apaan! kau dan aku cuma berbedah 1 tahun, kenapa aku harus memanggilmu kakak! apa lagi kau itu anak manja!"

Vara mengerucutkan bibirnya, "Aku tidak butuh ocehanmu! sudah sana, aku mau masuk kelas. kau benar - benar membuatku telat!" ucapnya sambilan berjalan.

Defan mengikutinya , "Vara! aku cuma mau tanya tentang Kak Rava, apa kak Rava sudah tiba di sini?"

Vara terhenti dan kembali menoleh ke Defan,

"Defaaannn! kau bisa bertanya soal itu nanti. Sekarang aku sudah telat untuk masuk kelas! apa kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" Teriak Vara dengan kesal.

"Astaga! kau itu perempuan! bukan Radio Rusak! kenapa suaramu sangat cempreng!" Defan kembali teriak.

"Iiihh.... lihat saja kau nanti! Jika aku di marahi oleh Dosenku! aku adukan kau ke kak Rava!" ucapnya seraya meninggalkan Defan yang tak kala kesalnya dengan Vara.

Mendengar nama Rava , Defan tidak berani mengejar sepupunya itu , Defan mengomel terus menerus sesekali melirik Vara dan berjalan meninggalkan area jurusan Designer di mana Vara memilih jalur yang jauh berbedah dengan kakaknya Rava.

****

Renata.

Putri Tunggal pasangan Varel dan Casandra, berumur 25 Tahun. Di usianya yang muda, ia mengikuti jejak sang papa, mendalami dunia bisnis. Tidak mudah baginya, hanya saja ia terus belajar. Karena Renata mau , papa dan mamanya bangga. Walaupun dia seorang wanita, Ia mau agar turunan papa dan mamanya berguna.

Banyak pelajaran yang ia terima dari orang - orang terdekatnya. Salah satunya Rava, selalu saja ia usil membuat kesibukan bagi Rava. Renata sendiri, memilih mengelola perusahaan Varel yang ada di Jakarta. Ia tidak mau mengikuti jalur Rava yang memilih berbisnis di New York, apa lagi keduanya jarang akur. Walau seperti itu, Rava masih mau membantu Renata di kala ia kesulitan, karena pesan dari papanya Raka dan mamanya Eva. Mereka suka sekali membela Renata, kadang membuat Vara jengkel karena ulah Renata.

Pernah di mana Renata menjahili sang Kakak, pada saat itu Renata berkunjung bersama mamanya di rumah mereka, Renata berpikir perginya Rava karena ia mau menghindari pembicaraan mamanya dan mama Renata tentang perjoodohan. Sehingga, Renata membuat keempat ban mobil Rava kempes, dan pada saat itu , Rava yang bersiap keluar hendak menjemput Vara dari sekolahnya. Betapa marahnya Vara, saat ulah Renata yang di akuinya sengaja di perbuatnya, Katanya untuk hiburan di hari yang panas. Sungguh tidak masuk akal buat Vara, karena itu Vara marah - marah nggak jelas. Tetapi Eva memarahinya, dan membuat Vara menangis karenanya.

Dan di dalam benaknya Vara, ia tidak akan pernah mau kakaknya di jodohkan dengan Renata. Wanita bar - bar pikirnya tidak cocok menjadi iparnya. Menurut Vara, Renata tidak cocok dengan kakaknya Rava yang pendiam kalau sama orang asing. Tetapi Vara nggak tahu, perasaan kakaknya ke Renata itu seperti apa. Karena selama ini , Rava sangat jarang memarahi Renata.

Jika Renata usil, Rava hanya menatapnya tajam tanpa berkata apapun. Sampai Vara mempengaruhi Rava untuk memarahinya , Rava hanya bilang "Sabarlah adikku, Renata itu baik, dia tidak menyebalkan, Dia hanya kesepian" Pernyataan kakaknya itu membuat Vara Kesal.

"Kau... apa yang kau lakukan sedari tadi!" bentaknya pada sekretarisnya Sasa.

"Maaf Ibu Renata. Pesan Tuan Rava, beliau tidak mau di ganggu selama beberapa minggu kedepan. Karena Tuan Rava baru tiba di New York dan sedang dalam kesibukan. Jadwal beliau sedang padat, dan info barusan, saya dapatkan dari Tuan Harsen Asisten Pribadinya Tuan Rava."

"Sudahlah... pergi sana! kau membuatku pusing. Karena kau tidak menginfokan kepadaku tentang keberangkatannya."

"Maaf Bu Renata" balas Sasa

Renata hanya melambaikan tangannya, menyuruhnya untuk keluar. Dengan hati yang panas, Renata menatap tajam ke sembarangan tempat. Hatinya sangat geram , karena Rava meninggalkan Jakarta tanpa sepengetahuan Renata.

"Dia hanya menghindar dariku!" Katanya dengan penekanan.

Kemudian Renata mengambil ponselnya dan menghubungi pria yang selalu membuatnya tenang di saat ia memanas.

***

James.

Pria paling kecil di antara seluruh sanak saudara mama dan papanya. Berumur 22 Tahun, anak pasangan Jimmy dan Anna ini cuma berbedah beberapa bulan dengan Defan, anak Frans dan Delia.

James sendiri, masih berkuliah di salah satu Universitas Jakarta. Jimmy dan Anna , Bukan tidak mampu menguliahkan anak tunggal mereka ke luar negeri. Tapi nasib yang tidak di sangkah, Anak Jimmy nggak mau, dia memilih untuk tinggal di Jakarta. Tidak mau ikut - ikutan para temannya. Alasannya, karena kakaknya Renata juga di Jakarta. Ya begitulah, Si James sangat manja dengan Renata. Karena keduanya memang anak tunggal. karena efek lahiran , Anna memlih untuk memiliki satu anak saja. Ia meminta ke Jimmy, dan syukurnya Jimmy tidak mempersalahkan itu.

Drtttt....Drttt....Drttt.... ponsel itu bergetar di dalam sakunya. Dengan cepat ia mengambilnya , menatap layarnya.

"Noona Rena" ucapnya dengan menatap layar ponselnya.

James melirik kedepan, mengintip ke arah Dosen yang sedang menerangkan bahan mata kuliahnya. Lalu James mencoba menjawab telepon Rena diam - diam.

"Ada apa Noona sayang?" Bisiknya sambilan melirik sekilas kedepan.

"Kau! kenapa kau berbisik?"

"Astaga Noona, kau ini cerewet sekali. Aku sedang di kampus, kau pikir aku sedang apa?" Tanya James dengan mata melotot.

Di sana Renata melirik jam kecil yang ia letakkan di atas mejanya.

"Bukankah ini sudah sore, kenapa kau masih di kampus?" Tanya Renata dengan melototkan matanya , seakan ada James di depannya.

"Duh... Noona ku sayang, ini mata kuliah pengganti karena kemarin Dos—"

"Maju kedepan James, kau selalu saja tidak pernah serius di kelas saya" ucap Dosen bernama Marvel dengan menarik kuping si James.

"Aduh... duh Pak" ucap James sambilan berjalan ke depan kelasnya. Seluruhnya sudah menertawai si James.

"Kamu ini selalu buat masalah di jam pelajaran saya! Kamu mau saya keluarkan terus!"

"Maaf Pak, tapi bukan keinginan saya, Ini Noona saya nih" Menunjukkan ponselnya, " Harusnya Pak Marvel jangan marah sama saya dong, yang telepon saya di jam belajar harusnya" ucap James protes.

"Kamu ini! selalu saja menjawab saya! kalau bukan kamu yang mencet tombol hijau ponselmu itu! Siapa tu, Nanasmu! nggak mungkin bisa berbicara dengan kamu" ucapan Dosen paruh baya itu, mengundang tawa satu kelas.

"Diam kalian semua! kenapa kalian malah tertawa di atas pedih maupun penderitaan teman kalian ini!"bentak si Dosen berkepala plontos.

"Habis pak Marvel sih, Noona Pak bukan Nanas. Entar Nona saya marah, bisa terbang saya Pak."

"Emangnya Nonamu itu siapa james? bisa terbang segala! Sudah, jangan bahas Nona mu lagi, jawab pertanyaan saya yang ada di papan tulis!"

"Noona Pak"

"Terserah James! buruan di jawab"

Dengan meringis, James yang mengambil jurusan di bidang ekonomi, menatap papan tulis dengan sedih. perasaannya campur aduk.

Sedangkan di sana, Renata yang masih mendengar percakapan sepupunya dan Dosennya , terkikik sampai perutnya sakit. Begitulah Renata, sangat usil saat orang tertindas karena ulahnya, dia pun tertawa bahagia. Bukankah Gen Casandra paling banyak menurun pada Renata?

.

.

Jangan lupa Tekan Like, VOTE, serta ⭐⭐⭐⭐⭐, mohon dukungannya. Maaf Visual akan saya selipkan usai lulus Review, biar nggak lama. Oh ya soal Visual tolong untuk tidak protes, karena saya uda katakan, kalian boleh saja menggambarkan siapapun. Pilihan tetap di tangan saya, Terima Kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!