NovelToon NovelToon

Aku Hanya Anak Janda

Bunga

Dia terlahir dan diberi nama Bunga, anak pertama dari empat bersaudara dengan bapak yang berbeda. Kalian pasti bingung kan, ya inilah kisah hidup seorang gadis yang bernama Bunga.

Setiap bertanya pada ibunya siapa sebenarnya ayah kandung Bunga, Rasti selalu bilang kalau ayahnya sudah lama mati sebelum dia lahir. Bunga hanya tau nama ayahnya Subroto seperti yang tertera di akta kelahiran.

Ibu Bunga sering menikah dan bercerai, selama Bunga lahir sampai dia besar sudah tiga kali dia melihat ibunya kawin cerai.

Putri kedua Rasti bernama Gendis, Gendis lahir ke dunia saat Bunga kelas empat SD, Rasti kembali bercerai saat Gendis berusia satu tahun setengah. Entah apa masalah yang membuat mereka bercerai.

Setelah itu Rasti menikah lagi dan lahirlah Anggun. Tiba-tiba ayah Anggun juga diusir begitu saja oleh Rasti. Bunga lah yang menjaga adik-adiknya selama ini, karena Rasti harus berkutat dengan warung, satu-satunya penopang hidup saat dia tidak memiliki suami.

Masa remaja Bunga dihabiskan dengan menjaga adik-adiknya, jangankan untuk bermain dengan teman sebayanya, mau belajar saja kadang ia tidak memiliki waktu.

Sering kali tugas sekolah dikerjakan pagi hari saat di sekolah. Bersyukur nilai pelajarannya tidak pernah jelek, ia masih di peringkat tiga setiap kali pembagian raport.

Hal yang paling Bunga benci, saat Rasti mulai dekat dengan laki-laki. Wanita itu selalu kasar pada Bunga, seolah-olah Bunga hanya si pembawa sial dalam hidupnya.

"Bunga kamu selalu nggak becus kalau disuruh apa-apa!"

"Kamu cuma ngabisin duit saja bisanya!"

Ribuan caci maki dan kata-kata pedas yang lain sering terlontar dari bibir Rasti. Bunga hanya bisa menangis tanpa bersuara. Takut Rasti mendengar tangisnya, dia akan marah dan menambah dengan cubitan, bahkan pukulan. Rasti tidak suka melihat Bunga menangis, sesedih apa pun yang Bunga alami, dia tidak pernah menangis di depan ibunya.

"Bunga jaga warung, Ibu ada urusan sebentar," panggil Rasti, "jangan lupa adek-adekmu dikasih makan!"

Bunga baru pulang dari sekolah langsung mendapat perintah dari ibunya, wanita itu sudah berdandan rapi sepertinya mau pergi.

"Ibu mau ke mana?" tanya Bunga.

"Kamu nggak usah ngurusin urusan Ibu, nggak sopan nanya-nanya orang tua mau ke mana!" pekik Rasti kesal.

Bunga diam tak berani membantah, Gendis yang masih kecil kadang juga kepengin ikut kalau ibunya pergi, tapi Rasti tidak pernah mau membawa anak-anaknya, semua dipasrahkan pada Bunga.

Dengan susah payah Bunga menenangkan tangisan adiknya yang meraung saat melihat ibunya pergi.

Biasanya saat pulang Rasti membawa belanjaan, kadang memakai perhiasan baru. Dia terlihat begitu bahagia mendapat uang banyak yang entah dari mana asalnya.

Kadang Bunga melihat tanda merah di leher ibunya, kadang di bagian tubuh lainnya. Pernah suatu hari Bunga bertanya, karena dia penasaran dengan tanda itu.

"Ibu ini kenapa, kok badan Ibu merah gosong-gosong gitu?"

Saat itu Rasti baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk, di beberapa bagian tubuhnya terlihat jelas tanda merah mulai menghitam.

"Kamu jangan banyak tanya, jangan bawel!" jawab Rasti kesal.

Bunga yang polos mengira ibunya sakit, dia mencemaskan ibunya. Dia takut kalau sampai terjadi apa-apa, bagai mana nasib Bunga dan adiknya.

Selama ini Bunga tidak pernah tahu keluarga ibunya. Dia juga tidak mengenali mereka, dulu saat masih kecil pernah diajak berkunjung ke rumah neneknya, tapi mereka malah ribut. Ibunya menangis lalu membawa Bunga pergi, dan tak pernah ke sana lagi hingga hari ini.

Suatu hari, setiap hari ada seorang laki-laki datang ke rumah. Laki-laki itu sangat baik pada Rasti dan anak-anaknya. Setiap datang selalu membawa jajan, kadang baju bahkan sering memberi uang kepada Bunga dan adik-adiknya. Rasti sangat menyukai lelaki itu katanya dia orang yang sangat kaya.

Bunga disuruh memanggil pria itu dengan panggilan "Papi". Kalau Rasti memarahi Bunga, pria itu sering membela Bunga. Pokoknya pria itu baik banget menurut Bunga.

Akhirnya mereka menikah, Rasti sangat bahagia dan sering diajak jalan-jalan menggunakan mobil. Pria itu mobilnya banyak, buktinya setiap datang selalu bergonta-ganti mobil.

Rasti juga pernah dibawa ke beberapa restoran yang katanya milik pria itu. Kali ini sepertinya nasib Rasti sedang beruntung. Bunga ikut bahagia melihat ibunya bahagia.

Suatu hari pria itu berencana membuka cabang restoran baru, Rasti diajak mengecek ke lokasi melihat tempat yang akan dibuka cabang baru, tapi dananya waktu itu tidak cukup, kemudian pria itu meminjam dana dari Rasti dengan berbagai rayuan.

Rasti mengizinkan suami barunya menggunakan sertifikat rumah sebagai jaminan tambahan modal usaha. Kala itu Rasti sedang hamil anak yang ke empat. Selain sertifikat rumah, Rasti juga menjual perhiasannya sebagai dana tambahan.

Pria itu pergi membawa uang untuk mengurus pembangunan resto barunya, tapi setelah itu dia tak pernah pulang dan tak pernah datang lagi. Bahkan saat Rasti melahirkan Bunga lah yang menemani di rumah sakit, sama seperti saat melahirkan Anggun.

Bayi mungil itu diberi nama Delima oleh Bunga, Rasti sama sekali tak mau menyentuh bayi itu. Dia kecewa dan membenci Delima. Sejak bayi Delima diasuh dan tidur bersama Bunga kadang bersama bi Ijah, Rasti bahkan tak mau menyusui.

Saat Bunga sekolah Delima diasuh bi Ijah, wanita itu membantu di rumah Rasti. Dia juga menyayangi Bunga dan adik-adiknya. Bi Ijah lebih cocok menjadi ibu dari pada Rasti. Bunga juga sangat menyayangi wanita itu, seandainya tidak ada bi Ijah, entah bagai mana nasib Bunga dan adik-adiknya.

Dahulu kala bi Ijah menolong Rasti saat ia susah. Dia yang menampung Rasti saat dibuang oleh keluarganya, wanita itu sudah Rasti anggap seperti orang tua sendiri.

...***...

Note : kalau suka dengan cerita ini jangan lupa like dan komen ya. Terima kasih sudah membaca.

Menjadi TKW

Sejak kejadian itu Rasti benar-benar terpuruk, dia bahkan mengalami baby blues setelah melahirkan. Untung ada bi Ijah yang membantu entah apa yang terjadi jika tak ada wanita itu.

Bi Ijah sering membantu di rumah Rasti, karena rumah mereka bersebelahan. Wanita tua itu sudah seperti keluarga sendiri.

Rasti sebenarnya berhati baik, dia juga ramah dengan orang lain. Hanya kepada Bunga dan anak-anaknya saja dia bersikap garang.

Dia juga mempunyai pribadi yang menyenangkan, banyak sekali laki-laki yang menyukai, dan tergila-gila padanya, bahkan tak jarang banyak wanita yang cemburu kepadanya.

Suatu hari seorang wanita datang melabrak ke rumah karena takut suaminya tergoda dengan Rasti.

"Heh, kamu jangan kegenitan, ya. Dirman itu suamiku!" maki wanita pada Rasti.

"Aku tidak pernah menggoda suamimu!" balas Rasti tak kalah ketus.

Bunga yang mendengar pertengkaran itu, hanya berani mengintip dari balik pintu. Dia takut ibunya dianiaya oleh wanita itu.

"Bi, aku mau pergi ke Malaysia," ucap Rasti pada bi Ijah.

"Kenapa Ibu mau pergi, bagaimana dengan kami?"

Mendengar itu Bunga tak setuju, hatinya pedih membayangkan ditinggal pergi oleh ibunya.

"Bunga, kamu sudah besar bisa menjaga diri, ada bi Ijah yang akan menjagamu. Kamu juga harus bantu bi Ijah menjaga adikmu."

"Bi, lanjutkan warung ku, sayang kalau tutup, bisa buat makan anak-anak selama aku belum bisa kirim duit buat kalian.

"Iya Neng, anak-anak sudah kuanggap seperti anak sendiri. Kamu jaga diri, ya, Neng selama di sana," nasehat wanita tua itu.

Bi Ijah sangat menyayangi anak-anak Rasti, karena dia tidak mempunyai anak. Dulu anaknya meninggal saat masih bayi.

"Iya, Bi. Ini hartaku satu-satunya, aku tak mau anakku terlantar, sebisa mungkin akan kutebus dari bank. Bibi keluargaku satu-satunya disini."

Wanita yang biasa tegar itu menangis memeluk bi Ijah, tak pernah dia sesedih itu. Bunga berlari ke kamar tak sanggup melihat semua itu, dia tak mau menangis di depan mereka.

***

Hari itu pun tiba, Rasti akan berangkat ke Malaysia menjadi TKW. Sebelum pergi dia mendekati Bunga lalu memeluknya, seumur-umur tak pernah ia memeluk putrinya seperti itu.

Bunga merasa hangat di pelukan sang ibu, ia berjanji saat besar nanti akan menggantikan beban ibunya, membahagiakan keluarga.

"Jaga adik-adikmu, tetap lah sekolah jangan sampai berhenti," pesan Ratih pada Bunga.

Bunga mengangguk, menahan air mata yang mulai menganak sungai hampir jatuh di sudut mata.

"Ibu hati-hati, ya, di sana. Kami sayang Ibu."

Adik-adik Bunga mulai merengek, mereka sadar akan ditinggal pergi. Bunga memeluk Gendis, dan Anggun mereka menangis, sedangkan Delima digendong bi Ijah.

Setelah mengusap kepala anak-anaknya, Rasti berangkat tanpa menoleh lagi. Hati wanita itu sangat sedih.

Pergilah, Bu. Raih lah impianmu, aku mendoakan di sini, batin Bunga menangis pedih.

"Kak Ibu ... Ibu ... pergi!!" Anggun menangis diikuti Gendis yang juga menangis.

"Cup... cup..., Ibu ke pasar beli baju buat kita. Kakak punya permen kaki, kalian mau?"

Bunga membujuk adiknya agar tidak menangis, mendengar permen kaki wajah Gendis dan Anggun langsung ceria, mereka sangat menyukai permen berwarna merah dengan bentuk seperti kaki itu.

"Bunga, Bibi mau menidurkan Delima dulu, setelah ini kita buka warung. Sayang kalau tutup, uangnya bisa buat jajan kalian."

"Iya, Bi. Aku ajak adik makan dulu, tadi Bunga sudah masakin mereka."

Hari ini Bunga sengaja bolos sekolah, demi melihat ibunya berangkat ke Malaysia. Setelah memberi makan Anggun dan Gendis, ia memberi mereka permen sesuai janjinya.

Adik-adik Bunga anak yang penurut, mereka sangat patuh pada Bunga. Walau kakaknya sekolah bi Ijah juga gak terlalu kewalahan, yang penting mereka sudah kenyang, dan diberi mainan mereka akan main sendiri sampai tertidur. Hanya Delima yang masih butuh perhatian khusus karena dia masih sangat kecil.

***

"Bi, Bunga berangkat sekolah. Ada barang yang habis, Bi, nanti pulang sekolah Bunga sekalian belanja?"

"Sudah Bibi catat. Kamu sudah sarapan?" Bi Ijah menyodorkan kertas berisi daftar belanjaan.

"Sudah, Bibi juga makan, ya, Tadi Bunga bikin dadar telur, adik-adik juga sudah sarapan, titip mereka, ya, Bi!"

"Kamu nggak usah khawatir, belajar lah dengan tenang ada Bibi di sini menjaga mereka."

Bunga berangkat sekolah meninggalkan adik-adiknya bersama bi Ijah. Sejak Rasti berangkat bi Ijah tidur di rumah Bunga. Rumah petak miliknya ia sewakan, dari pada nggak ada yang nempati.

Bi Ijah hidup sebatang kara, suaminya pergi meninggalkannya setelah anaknya meninggal. Kisah hidup bi Ijah juga sama sedihnya dengan Rasti. Mungkin itulah yang membuat mereka saling cocok satu sama lain.

Bi Ijah tidak pernah mau menikah lagi, luka batinnya teramat dalam. Dia bahagia hidup bersama Rasti, yang ia anggap anak sendiri. Dia juga sedih kalau salah satu dari anak Rasti sakit.

Sepertinya Tuhan memang mengirimkan bi Ijah sebagai malaikat penolong buat keluarga Rasti. Dia tulus dan tanpa pamrih menjaga anak-anak Rasti.

Bunga berjanji kelak kalau sudah besar bi Ijah akan ia jaga di hari tuanya, seperti orang tua kandung sendiri.

***

Note : kalau suka dengan cerita ini jangan lupa like dan komen ya. Terima kasih sudah membaca.

Kabar dari Rasti

Dua bulan berlalu sejak kepergian Rasti, adik-adik Bunga sudah tidak menanyakan ibunya lagi. Bi Ijah sangat menyayangi mereka hingga tak merasakan kehilangan sosok, dan kasih sayang seorang ibu.

"Bi!" panggil seorang wanita yang datang ke warung.

"Ada apa Bu de?" sahut bi Ijah.

"Bi, mamaknya Bunga tadi nelpon. Katanya sudah kirim uang lewat pos. Ini nomer resinya, nanti bawa KTP kalau mau ambil ke pos ya." Bu de Marni menyerahkan secarik kertas.

"Oh, ya, katanya Bunga suruh beli hp jelek aja, yang penting bisa buat terima telepon," sambung bu de Marni.

"Terima kasih Bu de, nanti saya ajak Bunga ambil duitnya," jawab bi Ijah.

Bu de Marni adalah salah satu tetangga, yang sangat baik pada keluarga Bunga. Sebelum pergi Rasti menyimpan nomor telepon bu de Marni untuk mengabari keluarga saat dia jauh di rantau.

"Bunga!" ** Ijah mendekati Bunga, anak itu baru pulang dari sekolah.

"Iya Bi, ada apa?" tanya Bunga.

"Tadi Bu de Marni datang kesini, katanya ibumu tadi ngabarin kalau sudah kirim duit. Ini nomor resinya." Bi Ijah menunjukkan catatan resi dari bu de Marni.

"Hah! Ibu nelpon, Bi?" Bunga sangat bahagia mendengar kabar itu.

"Iya, terus kata Bu de kamu disuruh beli Hp jelek biar ibu bisa menghubungi kita," sambung bi Ijah.

"Alhamdulillah, berarti Ibu baik-baik saja, Bi. Bunga senang mendengarnya."

Bunga bergegas mengganti baju seragam yang masih ia kenanakan, dia bersiap mengantar bi Ijah mengambil uang kiriman ibunya ke kantor pos.

"Bi, Gendis dan Anggun sudah makan?" tanya Bunga mencemaskan adiknya.

"Sudah, mereka sudah makan. Nanti kita titip di bu de Marni saja mereka, kita pergi sebentar," ucap Bi Ijah.

"Nggak enak Bi, nanti malah ngrepotin." Bunga segan kalau harus merepotkan tetangganya.

"Kan cuma ke pos sebentar, cepat antar adikmu sana," paksa bi Ijah.

Bunga mengangguk, lalu mengajak kedua adiknya ke rumah bu de Marni dengan berjalan kaki.

"Assalamualaikum?" sapa Bunga di depan rumah bu de Marni.

"Bunga, eh ... sama Gendis dan Anggun." Bu dhe Marni menyambut Bunga dan adiknya dengan ramah.

"Mmm, nganu Bu de. Bunga boleh nitip adek sebentar? mau antar bi Ijah ambil uang," ucap Bunga ragu, dia segan mengucapkan itu.

"Sini-sini sama Bu de, Anggun, Gendis, Bu de punya mainan buat kalian tuh di dapur."

Anggun dan Gendis melonjak girang. Di rumah bu dhe Marni banyak mainan untuk cucunya, yang sengaja disiapkan kalau mereka datang.

"Eh, Bunga, kamu mau naik apa ke pos?" tanya bu de Marni, karena tahu Bunga tidak memiliki motor lagi.

"Bunga naik angkot Bu de," sahut Bunga.

"Itu ada motor, bawa aja biar cepat," tawar wanita itu.

"Ng..., tapi Bu de." Bunga takut merusakkan motor orang.

"Udah, bawa saja biar cepat, kalau naik angkot lama, kasihan Delima," paksa bu dhe Marni.

Bu de Marni menyerahkan kunci motor matiknya pada Bunga. Akhirnya Bunga setuju, meski sudah terbiasa naik motor tapi kalau bukan punya sendiri tetap saja dia takut. Motor Bunga dijual untuk ongkos berangkat ke Malaysia.

"Kok bawa motor?" tanya bi Ijah melihat Bunga datang membawa motor.

"Disuruh Bu de bawa motornya, biar cepat katanya, Bi," jawab Bunga.

"Ya udah, kalau gitu nanti kita isikan bensin motornya," kata bi Ijah.

Mereka berangkat ke kantor pos yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Setelah mengambil uang, seperti perintah ibunya Bunga mampir ke konter untuk membeli hand phone yang paling murah.

Sebelum pulang tak lupa mengisi bensin motor, serta membelikan makanan dan buah buat bu de Marni dan adiknya.

Bunga langsung mengembalikan motor bu de Marni, setelah mengantar bi Ijah pulang ke rumah lebih dahulu.

"Bu de, terima kasih sudah menjaga Gendis dan Anggun, ini kunci motor dan buah buat Bu de," ucap Bunga saat mengembalikan motor.

"Aduh Bunga, ngapain repot-repot beli buah buat Bu de." Bu de Marni merasa tak enak hati.

"Nggak apa-apa Bu de, itu bi Ijah yang beli," sahut Bunga.

"Oh, ya, Bunga. Kamu sudah beli hand phone?" tanya wanita itu

"Sudah Bu de, ini." Bunga menunjukkan ponsel barunya.

"Mana nomornya biar ku kirim ke Ibumu, kamu juga harus simpan nomor Bu de, kalau ada apa-apa kamu bisa telpon Bu de."

Bunga menyodorkan ponselnya, dia belum terbiasa menggunakan barang itu. Setelah mengetik nomor di ponsel Bunga, bu de Marni mengembalikan ponsel itu.

"Ini, Bu de sudah mengirim kabar pada Ibumu, nomor ibu dan nomor bu de juga sudah ada di situ," terang wanita itu.

"Baik Bu de, kalau begitu saya permisi dulu, ya, Bu de. Yuk Dek kita pulang," ajak Bunga pada kedua adiknya.

Bunga membawa kedua adiknya pulang ke rumah, sebelum pulang bu de Marni membawakan kantung kresek berisi makanan buat adik-adik Bunga.

"Ini jajannya dibawa pulang, ya. Buat mamam di rumah," kata bu de Marni.

"Ma acih Udeee!" Kedua anak itu sangat senang menerima pemberian bu de Marni.

...***...

Malam harinya Rasti menelpon, mereka sangat bahagia walau hanya mendengar suara. Rasti juga merindukan keluarganya, bergantian mereka berbicara, terutama adik-adik Bunga terlihat sangat bahagia.

"Bunga, bagaimana sekolahmu?" tanya Rasti, suaranya tidak seketus waktu di rumah.

"Bunga baik, Bu. Ibu nggak usah mencemaskan kami, yang penting ibu jaga kesehatan di sana." Bunga menenangkan ibunya.

"Kasih hpnya pada bi Ijah, ibu mau bicara sebentar dengannya," pinta Rasti.

Bunga menyerahkan ponsel itu pada bi Ijah, dia tidak tau lagi apa yang mereka bicarakan karena bermain dengan Anggun dan Gendis.

...***...

Note : kalau suka dengan cerita ini jangan lupa like dan komen ya. Terima kasih sudah membaca.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!