NovelToon NovelToon

Hot Family

Tamparan salah sasaran

Zainan Abrizal Hutama, menatap bayangan dirinya di depan cermin. Tuxedo warna biru navi yang dikenakan, semakin menegaskan ketampanan dan kharisma yang kental diwarisi dari mendiang sang papa.

Gurat kebahagiaan jelas terlihat dari wajahnya. Meski pertunangan yang dilakukan nanti, bukanlah pertunangan yang ada dibayangan atau dipikiran orang pada umumnya.

Tidak ada tamu undangan, dekorasi mewah, musik romantis apalagi pesta. Pertunangan digelar sederhana, mendadak dan di tempat yang tidak semestinya.

Ya, dia melangsungkan pertunangan di sebuah ruangan rawat president suite salah satu rumah sakit internasional di ibu kota.

Airin Mikhayla Putri, perempuan cantik dan lembut yang akan bertunangan dengannya, sedang berjuang melawan kanker darah yang di deritanya sejak dua tahun yang lalu.

Pengalaman Zain, yang pernah berada di antara hidup dan mati melawan penyakit yang sama, membuatnya sangat dekat dengan penderita kanker.

Dengan latar belakang keluarga bisnis, Zain memantapkan langkah untuk menjadi Dokter, jauh dari harapan mendiang papa dan juga Daddynya. Pria yang sudah resmi bergelar Dokter umum itu, kini juga sedang melanjutkan pendidikannya untuk mengambil gelar spesialis onkologi.

Sebagian besar uang yang dia punya juga dihabiskan untuk mendanai pengobatan anak penderita kanker yang tidak mampu. Bisa dikatakan, Zain memang idaman mertua.

Puas memandangi dirinya sendiri, Ia pun memutar badan dan melangkahkan kaki mendekati sang mama. Perempuan itu sedari tadi terlihat duduk melamun di tepian ranjang. Paras yang sendu, tidak membuat kecantikan mamanya itu pudar.

"Terimakasih untuk semua yang mama berikan pada Zain selama ini. Terimakasih selalu ada dalam hidup Zain. Maafkan Zain kalau belum bisa membuat mama bangga." Zain menciumi punggung tangan Senja bertubi-tubi.

"Mama selalu bangga sama kamu, Zain. Selalu ... Zain yang mengajarkan pada mama untuk tidak menyerah pada keadaan. Dari Zain mama belajar sabar dan ikhlas."

"Zain, sayang mama. Sampai kapanpun, Mama adalah perempuan paling hebat dan sempurna di mata Zain," Laki-laki itu menatap mata mamanya dengan berkaca-kaca.

"Tidak sayang, berikan perasaan itu pada Airin. Kamu harus menjadikan dia ratu di hatimu. Selain mama, ada perempuan lain yang sekarang juga harus kamu sayangi. Ibu dari Airin. Perempuan itu melahirkan dan mendidik Airin dengan luar biasa. Mama bukan satu-satunya lagi. Mengerti?" tangan Senja membelai lembut pipi Zain.

"Zain minta maaf, karena tetap memilih Airin sebagai pendamping hidup Zain."

"Kamu sudah dewasa, Zain. Hidupmu ... kamu yang tentukan. Mama dan Daddy memang tidak seharusnya ikut campur. Wajar jika setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Zain, tidak marah kan sama Daddy?" Senja mengelus rambut Zain penuh cinta.

Zain menggeleng kuat. "Tentu saja tidak."

"Daddy hanya butuh waktu yang lebih lama di bandingkan mama. Kamu tahu pasti, Daddy tidak sekejam itu."

"Zain tahu, Ma ... Zain akan menanggung apapun resikonya. Zain tahu pasti apa kekhawatiran Daddy."

"Kita berangkat sekarang!" ajak Senja.

Zain mengangguk lemah. "Daddy, benar-benar tidak ikut?"

Dalam hati kecilnya, tentu Zain sangat berharap, sang Daddy yang menyampaikan niat baiknya pada orangtua Airin. Bukan hanya mama Nja saja yang datang untuk melamar.

"Mau mencoba bicara dengan Daddymu dulu?"

Sedikit ragu, Zain menjawab, "akan Zain coba untuk terakhir kalinya."

Zain beranjak berdiri, merapikan kembali Tuxedonya lalu membuka pintu kamarnya. Dia berniat menemui Daddynya sendirian.

Pintu ruang kerja ceo Mahendra Corps itu terbuka lebar. Zain memberanikan diri langsung masuk ke sana. Darren sedang melihat ke arah langit melalui jendela kaca dengan kedua tangan di masukkan ke dalam kantong samping celana.

"Dadd ...," panggil Zain, hati-hati.

Darren menoleh sekilas. "Hmmmm...."

"Zain dan mama mau berangkat. Zain masih berharap, Daddy ikut bersama kami. Maaf mengecewakan Daddy. Zain minta, Daddy tidak pernah berhenti menyayangi dan mendoakan, Zain."

Darren menghembuskan nafasnya perlahan. "Pikirkan lagi niatmu, Zain. Jika kamu terluka, ada seseorang yang akan lebih terluka dan berhentilah berharap Daddy akan ikut bersama kalian."

"Zain akan menanggung resikonya sendiri, Dadd tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi ke depan. Zain siap. Sebenarnya siapa yang sedang ingin Daddy lindungi perasaannya? Zain atau mama?" rupanya emosi Zain mulai terpancing. Harapannya untuk ditemani sang daddy telah pupus. Membawa rasa kecewanya menjadi dominan, mendekati kekesalan dan juga amarah yang tertahan.

"Daddy tidak perlu menjawabnya bukan? Perpisahan karena kematian adalah perpisahan yang paling menyakitkan, Zain. Bahkan kalian tidak tahu akan bertemu lagi atau tidak. Kamu ini seorang Dokter, seharusnya kamu lebih berpikiran logis. Kondisimu dulu dan Airin sekarang sangat berbeda." tegas Darren.

"Justru perpisahan karena kematian itu pasti, Dadd. Kalau rindu kita cukup berdoa. Lagi pula, Airin masih ada harapan. Daddy jangan mendahului Tuhan. Dengan adanya cinta kami yang besar, Airin akan sembuh dan berjuang maksimal. Airin beruntung mempunyai Zain. Airin bukan Papa Rafli yang menderita di ujung hidupnya. Melihat pernikahan mama dengan Daddy dan merelakan pengorbanannya sia-sia." Zain mulai merembet kemana-mana.

Senja yang kebetulan lewat, segera berinisiatif untuk mengalihkan pertikaian dengan menarik tangan anaknya itu. "Zain, sudah! Kita berangkat sekarang!"

"Aku belum selesai bicara, Ask!" Darren menatap tajam istrinya. Membuat langkah kaki Senja seketika terhenti.

"Apa maksud ucapanmu barusan, Zain? Kamu menyesali pernikahan Daddy dan Mama? Kamu berharap Mamamu saat itu kembali pada Papa Rafli dan meninggalkan Daddy yang sudah resmi menjadi suaminya? Begitu? Kamu bepikir kalau Mama dan papamu bersatu, maka papamu akan hidup lebih lama?" Darren bertanya dengan tatapan tajam pada Zain.

"Ask ... Stop it! Please?!" Senja menatap suaminya sedikit memelas.

"Biarkan, Ma. Biar Zain jawab. Hari ini Zain merasa, andai yang ada di sini sekarang adalah papa Rafli. Pasti papa bersedia mengantar Zain meminang perempuan pilihan Zain . Suka atau tidak suka, pasti papa akan menekan egonya demi kebahagiaan anaknya." Zain semakin menantang Daddynya.

Rahang Darren seketika mengeras, wajahnya memerah, tangannya mengepal menahan emosi. Senja menggelengkan kepalanya begitu lemah pada Zain. Seolah mengatakan 'cukup.'

"Apa ini yang dinamakan darah lebih kental daripada air? Kamu mirip sekali dengan papamu di masa muda, Zain. Dia sama menjengkelkannya dengan kamu." Darren sedikit membentak, tapi sebulir air matanya menetes.

"Sudah ... Kalian berhenti. Biarkan papamu tenang di atas sana, Zain! Tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak perlu berandai-andai lagi. Kamu juga, berhenti Ask. Sudah! lebih baik kamu diam." Senja merasakan dadanya sesak. Berada di posisi tengah-tengah, memang paling sulit.

"Mama seharusnya bersyukur lebih dan berterimakasih pada papa. Karena pengorbanan papa, Mama bisa melihat Zain sampai detik ini. Mama sempat kehilangan kami, tapi kehidupan mama jauh lebih enak. Setelah Zain bertahun-tahun merasakan dicintai sebagai anak kandung. Detik ini, Zain baru sadar, sekali anak tiri tetap anak tiri." Dia menatap mamanya tajam. Keduanya sama-sama menyimpan air yang menggenang di pelupuk mata.

Senja juga merasa terluka dengan kata-kata Zain. Seolah dia adalah seorang ibu yang egois, menikah lagi demi kesenangan sendiri.

"Jaga ucapanmu, Zain. Kamu boleh menghina Daddy apa saja. Tapi hargai mamamu," bentak Darren.

"Kenapa? Memang kalian egois bukan?" Zain membuat Darren semakin emosi, tangannya melayang di udara, hendak menampar pipi Zain, tapi Senja menghalangi dengan memasang badan tepat di depan Zain. Tangan itu akhirnya tepat mendarat keras di pipi Senja.

"Dadd ...." Zain membentak Daddynya dengan penuh amarah.

Lebih perih di hati

Zain langsung mengejar Senja yang terus berlari menuruni anak tangga sembari memegangi pipinya. Dasen, Derya dan Beyza saling melempar pandang penuh tanya. Mereka tahu persis mamanya sedang menangis.

"Mama ... Ma ...." Zain berhasil menangkap tangan Senja.

"Kita berangkat!" Senja terus berjalan keluar rumah mendekati mobil yang sudah disiapkan Rudi.

Zain menarik tangan sang mama, memaksa perempuan itu untuk berhenti, lalu memeluknya erat. Tangis Senja semakin tumpah di dada Zain.

Seumur hidup baru pertama kali ini dia merasa gagal menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu. Perih di pipinya, tidak seberapa dibanding sakit di hati melihat suami dan anak saling melempar kata menyakitkan demi mempertahankan ego masing-masing.

"Maafkan Zain, Ma ... Maaf ... Zain terlalu emosi."

Senja menggeleng lemah, sedikitpun tidak ingin menimpali dan berdebat lagi. Semakin besar anak-anak rasanya semakin lelah hatinya. Saat mereka masih kecil, hanya fisik yang diuji. Tidur tidak terarur, siang harus berkejaran ke sana ke mari. Sekarang saat masing-masing anak merasa memiliki prinsip, beginilah jadinya. Mereka merasa berhak menyuarakan isi hati, tanpa berfikir yang terucap menyakitkan atau tidak.

Zain menjapit dagu Senja, menaikkan wajah mamanya yang sejak tadi hanya menunduk. Hati Zain sakit, tamparan itu lebih pantas untuknya. Jelas kekuatan Darren ketika emosi tidak bisa dianggap remeh. Sepelan apapun tetap saja sakit, perih dan pasti meninggalkan jejak jari yang kentara di pipi putih mulus milik mamanya.

"Kita tidak akan pergi!" putus Zain, dia tidak tega melihat wajah mamanya yang sangat sedih.

"Kamu sudah berhasil mengecewakan hati Daddy dan Mama, sekarang kamu mau mengecewakan Airin dan orangtuanya juga? Siapa yang mengajarimu seperti ini, Zain? siapa? Jika kamu kecewa sama Daddymu, cukup berhenti di daddymu. Jangan tambah dengan kekecewaan yang lain. Terserah kamu datang apa tidak, mama akan tetap menemuaaai Airin. Kamu tadi mengatakan akan menanggung semua resikonya kan? Buktikan!" Senja langsung masuk ke dalam mobil. Zain dengan langkah berat mengikiti perempuan yang sangat dihormatinya itu.

Di dalam rumah, Dasen, Beyza dan Derya langsung berhamburan naik ke lantai dua begitu mendengar ada suara kaca pecah. Mereka langsung menuju ke ruang kerja daddynya.

Benar saja, meja kaca yang biasanya digunakan untuk meletakkan minuman orang yang bertamu, pecah berserakan di lantai.

"Dadd ... No!" teriak Beyza, menyadari tangan Daddynya mengucurkan darah segar.

"Ambil kotak obat, Der!" Dasen memberi perintah pada adiknya.

Darren tidak menolak dan tidak pula menunjukkan reaksinya, begitu Dasen dan Berya menuntunnya ke wastafel untuk membersihkan lukanya di bawah kucuran air mengalir.

Perih di tangannya tidak sedikitpun membuat wajahnya bereaksi. Tangannya pantas terluka lebih parah ini. Sepanjang usia pernikahannya, dia menjaga Senja dengan segenap jiwa raga. Nyamuk pun tidak akan dia ijinkan menempel di kulit istrinya, tapi yang baru saja dilakukannya justru lebih menyakitkan.

Dasen mengelap tangan daddynya sedikit kasar. Mereka tahu daddynya sedang sangat emosi. Meski tidak tau pasti apa yang memicu Darren sampai bisa meluapkan emosi lebih dari biasanya. Ketiganya hanya bisa menduga kalau daddy Darr pasti sedang bertengkar dengan Senja dan Zain.

"Kita bawa daddy ke kamar saja, biar maid membersihkan ruangan ini," ajak Dasen sembari merangkul daddynya.

Beyza mengangguk, Derya yang baru saja datang diikuti Wati langsung memberikan kotak obat pada saudara kembarnya, lalu membantu Dasen memapah Darren yang hanya diam dengan tatapan mata kosong.

"Daddy kenapa bisa begini?" Beyza tidak bisa menahan rasa penasarannya. Sementara Derya dengan telaten mengobati dan menutup luka dengan menggunakan perban.

"Daddy salah ... Daddy sudah menyakiti hati mama kalian, tangan Daddy sudah menampar pipi mama kalian." Darren menengadahkan wajahnya, menghindari air mata penyesalan yang menetas.

"Daddy selalu mengingatkan pada kami, jangan sampai melakukan kekerasan pada perempuan. Tapi apa yang Daddy lakukan? Das tidak akan membiarkan mama dekat-dekat dengan Daddy lagi." Dasen meninggalkan kamar orangtuanya dengan penuh emosi.

Dasen bisa saja konyol, paling pembangkang, semaunya sendiri dan casanova cilik. Tapi dia mencintai Senja lebih dari apapun. Gejolak muda tidak akan membuatnya memahami kepelikan yang dialami Darren, Senja dan Zain saat ini.

Derya dan Beyza kompak diam dan enggan berkomentar dengan apa yang dialami daddynya. Apapun masalah yang sedang dihadapi, mereka hanya berharap daddy dan mamanya bisa kembali akur. Beyza, tidak tega melihat daddynya murung seperti ini.

Sementara itu, di dalam kamar rawat inapnya, Airin terlihat sudah berdandan cantik. Pucat di wajahnya tersamarkan dengan goresan make up sederhana dari seorang MUA. Kecantikan Airin begitu luar biasa, wajahnya lembut tapi sifat dan sikapnya tegas. Tidak jauh berbeda dengan Senja saat seusianya. Itulah salah satu alasan mengapa Zain sangat mencintai Airin.

"Kamu cantik sekali, Nak. Zain pasti akan terpesona melihat kamu." lena--ibunda dari Airin memuji anak semata wayangnya.

Wajah Airin merona merah. "Aa' selalu terpesona pada Airin, Bund." ucapnya.

"Aa' memang baik. Orang kaya biasanya sombong. Tapi aa' beda. Sikapnya santun," timpal Rasyid--ayahanda dari Airin.

Airin menggerakkan kursi rodanya mendekati backdrobe sederhana yang menghias salah satu sisi dinding kamar inapnya. Bunga anyelir merah muda dan putih yang masih segar membentuk huruf Z dan A dengan begitu indah.

Hanya satu yang menjadi kekhawatiran Airin saat ini. Ayah Ibunda Airin belum tahu kalau daddynya Zain tidak merestui hubungan mereka.

Bukan karena status ekonomi Airin yang biasa saja, dia paham betul bukan karena itu. Darren pernah menyampaikan langsung padanya, kalau menantu perempuannya tidak harus orang kaya. Yang penting perempuan itu harus mempunyai jaminan untuk selalu membuat anak lelakinya bahagia.

Dengan penyakit yang diderita Airin, tentu jaminan untuk membuat Zain bahagia hanya sebatas angan. Yang ada dia akan menyuguhkan kekhawatiran dan kesedihan. Airin sempat ingin mundur, tapi Zain selalu berhasil meyakinkannya dengan baik.

Kehadiran Senja beberapa kali, juga memberikan secercah kelegaan baginya. Senja sudah saling kenal dengan Lena.

"Bund ... Nanti jangan kaget ya, kalau Aa' hanya datang bersama mamanya saja." Airin memutuskan untuk menyampaikan kemungkinan terburuk dengan hati-hati. Hingga saat ini, Zain belum memberikan kabar dia akan datang dengan siapa saja.

"Memang kenapa?" tanya Rasyid, langsung merasa heran.

Airin mencoba mencari alasan yang paling masuk akal. "Daddy Darr itu sibuk sekali, Yah. bisnisnya lintas negara. Aa' saja jarang ketemu."

"Orang kaya itu aneh. Makin banyak uangnya, kok makin susah kumpul keluarga. Harusnya, makin kaya itu makin santai. Pegawai banyak, buat apa tidak diandalkan. Mereka dibayar buat kerja keras. Lagian ini hari minggu, kok masih kerja saja," cerocos Rasyid, sedikit terlihat tidak senang.

Sebagai seorang Ibu, Lena merasa ada yang disembunyikan oleh Zain dan juga Airin. Tapi untuk bertanya lebih jauh, dia tidak ingin melakukan. Apapun yang terbaik untuk Lena, akan dia terima. Sekalipun harus menutup mata pada hal yang menyakitkan bagi orang lain.

"Ayah tidak akan menerima lamaran Zain jika dia tidak datang bersama orangtuanya lengkap. Kalaupun tidak bisa datang langsung, kita lihat saja nanti, apakah dia mau dihubungi atau tidak," tegas Rasyid. Ayah, Airin itu memang sangat memegang prinsipnya.

Mendengar ucapan ayahnya membuat Airin lemas, darah keluar dari hidungnya.

"Rin ...." Lena seketika panik.

Batal bertunangan

"Ayah ... Airin, Yah ... tolong tisu!" Lena memanggil suaminya dengan panik.

Laki-laki itu mengambil tisu di atas nakas dengan buru-buru, lalu ke luar untuk memanggil Dokter.

"Airin jangan capek-capek. Jangan terlalu banyak pikiran. Nanti biar Ibund yang bicara sama ayah. " Lena membantu menyeka darah yang masih sedikit keluar di hidung Airin.

Gadis berusia 20 tahun itu buru-buru mengambil ponsel di pangkuannya. Membuka fitur kamera depan untuk melihat kembali riasan wajahnya. "Berantakan, Bund."

Lena tersenyum lembut, dengan telaten perempuan itu menutup bekas darah yang berada di antara hidung dan bibir anaknya dengan menggunakan bedak yang warnanya senada dengan warna kulit Airin.

"Sudah rapi lagi. Anak Ibund memang sangat cantik." Lena mengelus kepala Airin dengan sangat pelan.

"Karena Ibund juga cantik." Airin turut memuji bundanya.

Rasyid masuk bersama Nancy--Dokter yang menangani Airin secara intensif selama enam bulan ini. Perempuan ramah berwajah blasteran itu menghampiri Airin.

"Baringan dulu ya, Rin. Biar aku periksa dulu." Dokter itu memang sangat akrab dengan Airin, mereka berkomunikasi layaknya adik kakak.

Lena mendorong kursi roda Airin. Mendekati brankar. Setelah kembali berbaring, Nancy pun memeriksa kondisi pasiennya itu.

"Rin, baringan saja ya. Acara pertunanganmu bakalan tidak terlupakan banget malahan. Kamu jangan banyak bergerak, yang lebih penting lagi, jangan stress. Kamu cuma mau tunangan, bukan mau sidang skripsi. Zain itu terbaik, nggak ada yanh perlu dipikirkan." Dokter berusia diambang 30an itu memberi semangat pada Airin.

Lena menatap tajam suaminya, pasti Airin memikirkan ucapan Rasyid. Penyakit yang dideritanya, membuat sifat Airin yang dulunya sangat tegar, menjadi lebih sensitif.

****

Sesaat sebelum turun dari mobil, Senja memakai foundation untuk menutupi bekas tamparan suaminya, lalu memoles sedikit dengan bedak. Sedikit blush on membantu wajahnya yang sedang sendu menjadi sedikit cerah. Dibantu warna lipstik yang sedikit terang akan membuatnya segar.

"Mama, yakin?" Zain menatap lembut mamanya.

Senja memaksakan senyumnya seraya mengangguk. Dengan anggun turun dari mobil. Ibu dan anak itu berjalan layaknya adik dan kakak. Perempuan yang sudah melahirkan lima anak itu memang terlampau awet muda.

Sampai di depan pintu kamar rawat, Senja sempat merapikan tuxedo yang dikenakan oleh anaknya.

Rasa sesal sungguh memenuhi hati dan pikiran Zain saat ini. Dia sudah berani mengatakan mamanya egois hanya karena kecewa dengan keputusan sang daddy.

Lena membuka pintu ruangan, menyambut Senja dan Zain dengan sangat ramah.

Rasyid mengulurkan tangan pada perempuan yang baru saja datang bersama calon menantunya. "Rasyid--Ayahnya Airin." laki-laki itu memperkenalkan diri. Karena sebelumnya memang belum pernah bertemu dengan Senja.

"Saya Senja--Mamanya Zain," ucap Senja, sembari membalas uluran tangan Rasyid.

Sejenak semua terdiam, masih canggung sekaligus bingung harus memulai dari mana.

"Mama Nja, Sehat?" tanya Airin dengan suara lembutnya. Dia merasa calon ibu mertuanya itu sedang tidak baik-baik saja. Kedua bola mata yang biasanya berbinar, kini trrlihat sedikit redup.

"Mama sehat, Sayang. Airin cantik sekali." Senja mengelus tangan calon menantunya.

"Terimakasih, Ma." Airin tersipu malu, pipinya memerah.

Zain tersenyum, matanya tidak berpaling dari wajah Airin. Jika berjalan dengan Senja, lebih pantas Airin lah yang dikatakan anak dari istri Darren Mahendra itu. Garis wajah, senyum dan pembawaan keduanya hampir sama.

"Sebelumnya, saya ingin menyampaikan permintaan maaf dari suami saya. Hari ini, daddynya Zain berhalangan hadir karena pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi Daddy mengirim salam untuk Airin, Bu Lena dan juga Bapak." Senja memulai pembicaan setegar yang dia bisa, dengan harapan matanya bisa diajak kompromi untuk berkata tidak jujur.

Tatapan Rasyid tajam menyelidik tepat berpapasan dengan bola mata calon besannya itu. Harapan Senja pada matanya, tidak terkabulkan. Ayah dari Airin itu cukup jeli dalam menilai. Sudah 22 tahun lebih dia bekerja di bagian personalia, bahkan sepuluh tahun terakhir menjabat sebagai manager personalia di salah satu perusahaan besar. Tentu sudah menjadi kesehariannya, membaca karakter, sifat dan kejujuran seseorang dari gerak tubuh atau raut wajah.

"Saya juga mohon maaf sebelumnya, Bu Senja. Tadi saya juga menyampaikan pada Airin juga. Kalau sebaiknya acara pertunangan ditunda saja. Mungkin memang waktu dan suasananya memang tidak tepat. Suami Ibu berhalangan untuk hadir. Airin pun sepertinya butuh waktu untuk istirahat." Rasyid tanpa basa basi langsung memberikan keputusan.

Zain dan Airin seketika saling pandang, keduanya sama-sama tidak menduga kalau kejadiannya akan seperti ini.

"Ayah ... tidak bisa begitu, kami sudah lama menanti hari ini," rengek Airin.

"Pertunangan dan pernikahan itu sama pentingnya, Rin. Keduanya harus direstui, disaksikan dan dihadiri oleh orangtua kedua belah pihak. Kecuali kalau memang kalian susah tidak mempunyai orangtua lagi. Itu lain ceritanya. Atau begini saja, sekarang kan jaman modern, kalau mau tetap bertunangan hari ini. Kita bisa melakukan komunikasi lewat zoom atau video call dengan daddynya Zain. Bisa kan?" Rasyid memberikan alasan yang memang masuk akal.

Seketika Senja menundukkan kepala. Tekhnologi memang sudah sangat maju Bisa dikatakan ponsel yang mereka miliki selalu merk buah keluaran terbaru. Masalahny, sebagus apapun ponselnya, sepenuh apapun signal internetnya, kalau yang dituju tidak mau mengangkat, kita bisa apa.

"Daddynya Zain sedang ada di USA, saat ini di sana sedang malam. Ponselnya selalu dimatikan kalau sedang tidur." Senja kembali memberi alasan.

Zain semakin merasa bersalah, terbuat dari apa hati mamanya. Bahkan kalau tadi, Senja membatalkan kepergian mereka pun, dia akan mengerti. Sekarang nyatanya, ayah Airin malah menolak mereka sebelum ada kalimat terucap dari pihaknya.

Airin tiba-tiba muntah. Bersamaan dengan itu, darah kembali mengalir dari hidungnya. Zain segera berlari memanggil Nancy.

Senja merangkul Lena, memberikan dukungan sekaligus kekuatan. Dia pernah berada di posisi yang sama saat menunggui Zain dulu.

Nancy kembali memeriksa kondisi Airin. Dengan terpaksa, Dokter itu memeberikan suntik penenang dosis rendah agar pasiennya itu bisa istirahat sejenak dan tenang.

Setelah memastikan semua sudah baik-baik saja, Nancy meninggalkan ruangan Airin. Tidak lupa Dokter cantik itu melempar senyuman penuh arti pada Zain.

"Kamu pulang saja dulu, besok kita bicarakan lagi," ucap Rasyid sembari menepuk pundak Zain.

"Baik, Ayah. Zain pulang dulu." Zain dengan sopan mencium punggung tangan Rasyid dan Lena bergantian.

Senja memeluk Lena dengan hangat. "Maafkan ayahnya Airin, Bu," bisiknya.

"Tidak mengapa, Bu Lena. Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya," timpal Senja, dengan berbisik juga.

Senja dan Zain akhirnya meninggalkan ruangan Airin. Keduanya langsung kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut ibu dan anak itu.

Rudi menghentikan mobil tepat di depan pintu utama. Senja buru-buru turun dan masuk ke dalam rumah.

"Ma ... Zain mau bicara sebentar, Ma ...." Zain mengejar mamanya.

"Tidak sekarang, Zain. Mama lelah." Senja langsung naik ke atas ke dalam kamarnya. Zain mengalah dan tidak lagi berniat untuk mengejar mamanya.

Darren yang sedari tadi hanya duduk di tepian ranjang, melihat istrinya masuk dengan tatapan penuh penyesalan.

"Ask ...." panggil Darren.

Senja tidak menoleh sama sekali, dia mengambil koper kecil dan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalamnya.

"Ask ...." Darren menahan pergelangan tangan Senja, sorot matanya menyiratkan sebuah permohonan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!