NovelToon NovelToon

MASIH TANDA TANYA

CHAPTER 1

"Pasti banyak, orang yang kesepian didunia ini. mereka yang tidak memiliki teman untuk dipercaya atau memercayai mereka. Ada juga yang lebih asyik dengan dunia nya sendiri hingga melupakan dunia nyata dan sekitar. Kuberitahu, kesepian itu tidak lah menyenangkan. Pergi dan carilah teman mu lalu hiduplah bahagia bersamanya. Percayailah dia maka ia juga akan memercayaimu jua. Akan tetapi, sesekali jangan pernah kamu merusak kepercayaan yang telah ia berikan padamu. Itu akan menjadi akar dari semua masalah disekitarmu dimana kamu tidak pernah dipercayai oleh sekitarmu."

*

*

*

Perkenalkan, namaku Linia umur 25 tahun, seorang karyawati disebuah perusahaan produk makanan. Pagi hari ini, aku harus kembali terbangun dengan suasana sedikit buruk karena mimpiku malah seperti diceramahi oleh mediang kakekku. Semua manusia juga tahu, apa itu kata percaya dan bagaimana menghandle nya. Hanya saja, di dunia yang semakin modern ini tentu pola pikir kuno seperti itu akan dimakan jaman dan di tertawakan. Sembari mandi, di dapur apartemenku sudah ku panaskan air untuk menyeduh teh untuk ku sarapan. Hari ini, katanya akan ada penyambutan manajer baru di divisi ku setelah perombakan posisi dan mutasi kemarin. Untung saja aku masih aman dan ditempatkan di kantor pusat. Nah, salah satu yang membuatku sedikit badmood karena teman akrab ku Sia harus dipindahkan di kantor cabang yang berada di luar kota. Selain Sia, aku tidak terlalu akrab dengan yang lain.

Sudahlah.

*

*

*

Cukup dengan curhatan Linia, wanita karir itu nampak duduk dengan tenang di bangku MRT sembari mendengarkan lagu dari ponselnya melalui earphone dan saat MRT berhenti di stasiun yang tak jauh dari kantornya, barulah ia beranjak keluar dan berjalan santai menuju sebuah gedung yang cukup tinggi bernama "IN FOOD CORP". Linia masuk kedalam gedung dan langsung menuju pintu lift khusus karyawan dan menekan angka. Tak seramai biasanya yang menunggu didepan pintu lift.

"Pagi Linia,tumben sekali kamu cepat datangnya?"

Linia menoleh pada penumpang lift lainnya yang merupakan seorang senior Linia di divisinya.

"Halo kak Elda...heheh...karena pagi ini ada rapat, maka aku harus siapkan ruangan dulu. terlebih akan ada manajer baru di divisi. enggak enak kalau nanti ruangan nya malah berantakan." jawab Linia sembari tersenyum ramah pada wanita yang sedang hamil muda itu.

Elda mengangguk setuju sembari mengelus perutnya yang sedikit buncit itu.

"Linia ngga pernah berubah. Selalu datang cepat. kenapa kamu ngga naik jabatan aja jadi pengawas sih? dan milih jadi sekretaris manajer. Kan manajer kita bukan pak Imal lagi. kamu nanti malah kelabakan menyesuaikan dengan manajer baru itu." ujar Elda sedikit cemas.

"Heee...santuy kak. lagipula sesantai dan seramah nya pak Imal. Tetap aja, kalau kita terlambat ngumpulkan laporan, habis disindir sama beliau. saya ngga betah. Lagi pula, kita harus naik tangga perlahan kak jika ingin mencapai puncak." Ujar Linia bijak.

"Amboy....bijak sekali anda....sarapan apa kamu pagi ini? kok seperti terberkati kamu ya" ujar Elda menggoda Linia.

Wanita itu terkekeh geli.

"Ini efek karena ditinggal Sia pindah kak. Saya jadi ngga punya patner gila lagi selain dia dan kakak dalam keadaan berisi, takutnya mempengaruhi anak kakak kelak. Ga enak saya." canda Linia membuat Elda mencubit pipi Linia gemas dan ingin memakan Linia saat itu juga.

Ting.

Lift berhenti tepat di lantai 5 tempat dimana kantor Linia dan Elda berada. Keduanya masih saling bercanda saat menuju ruang meja masing-masing.

"Yaa... karena kamu sekarang sekretaris jadi harus di meja yang cukup jauh dari kakak."

"Heeyy... hanya berjarak empat meja dari kakak bukan berarti jauh. Kita pun masih menghirup AC yang sama kak. Jangan lebay deh." ujar Linia sembari menuju mejanya dan merapikan bawaannya.

Sementara itu di sebuah apartemen yang cukup mewah dan minimalis, dicoraki oleh banyak ornament berwarna putih dan hitam khas seorang pria maskulin yang menempatinya. Dengan ditemani musik jazz yang menenangkan, mengisi pagi dan meramaikan sedikit ruangan itu.

"Iya ma... sebentar lagi berangkat. Sudah semua ku siapkan..." ujar seorang pria menyambut ucapan dari telepon yang ia letakkan di meja ruang tamunya sembari pria itu memasang dasinya.

Pria dengan perawakan oriental, tinggi semampai, memiliki tulang rahang yang tegas dan berkulit putih itu segera mengambil kunci mobil nya sembari mata tajam nya mencari sesuatu.

"Sudah dulu ya ma. Aku berangkat." ujar pria itu meraih ponselnya lalu mengambil jasnya.

[Jho, pesan mama... Jangan terlalu mengikuti ego mu ya. Kamu pasti mengerti kenapa papa mu menempatimu di posisi yang sekarang ini, jangan ngebut juga.]

Pria itu hanya mengiyakan ucapan ibunya lalu mematikan ponsel nya dan segera bergegas berangkat ke kantor dengan menggunakan mobilnya.

Sementara itu, Linia sibuk merapikan meja yang akan digunakan oleh atasan barunya dan mempermanis dengan tanaman mini lidah buaya yang diletakkan di atas meja.

Tok tok tok

"Lin, kamu udah selesai? Sebentar lagi beliau tiba." ujar Elda pada Linia.

Linia menatap Elda dan mengangguk.

"Sebentar lagi. Papan namanya belum ku lap." Ujar Linia.

"Oke. Kalau sudah selesai susul kakak ke depan ya."

Linia mengangguk lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Diraihnya papan nama bertuliskan "K. Jonathan" lalu di bersihkan agar nampak mengkilat.

Tak lama Elda tiba di tempat semua staf menunggu acara penyambutan manajer baru, Linia pun muncul dengan sedikit terburu-buru dan langsung berdiri di samping Elda.

"Lama sekali sih..." Tanya Elda bingung.

"Maaf, tadi ke toilet sebentar. Apa mereka sudah datang?"

"Sudah, lagi berbincang sebentar dengan pak Imal dan pak direktur. Kamu tahu, dengar-dengar manajernya masih muda. Beruntung kamu." ujar Elda pada Linia.

Linia tersenyum memaklumi semangatnya kak Elda ketika mendengar manajer baru mereka.

"Heh... tidak ada kaitannya dengan saya. Kan, saya tipe yang menyesuaikan. Selama enak di ajak kerja sama. Tidak akan menjadi masalah buat saya." ujar Linia santai.

Elda nampak tersenyum dan merasa tidak heran lagi dengan pola pikir Linia. Tak lama setelah obrolan Linia dan Elda, muncul beberapa orang dari ruangan rapat. Yang mana salah satu dari mereka merupakan manajer baru divisi Penjualan, tempat Linia ditempatkan.

"Ok, selamat pagi semua... hari ini, kalian akan bekerja dengan pak Jho, beliau merupakan manajer baru di divisi ini menggantikan saya. Saya harap, kedepannya kinerja kalian meningkat dan lebih baik lagi.. silahkan pak, perkenalkan diri anda." ujar pak Imal selaku manajer lama.

Seorang pria muda dan tampan itu pun maju kedepan dan menghadap sekitar sepuluh orang yang ada didepannya termasuk Linia yang berada di ujung barisan.

"Selamat pagi semua, saya Kristo Jhonathan, saya akan menjabat sebagai manajer kalian. Panggil saja Pak Jho. Ada yang ingin kalian tanyakan?" ujar Jho memperkenalkan dirinya pada patner kerja untuk beberapa waktu kedepan.

Seorang karyawati muda mengangkat tangannya kemudian dipersilahkan oleh Jhonathan.

"Maaf bertanya, umur bapak berapa ya?" tanya wanita itu dan menghasilkan tatapan tajam dari pak imal serta cibiran dari patner kerja nya. Menyikapinya, Jhonathan hanya tersenyum manis.

"Kalau itu, anda bisa lihat sendiri... bisa jadi saya lebih tua dari anda, atau bahkan lebih muda dari anda." jawab Jhonathan disambut tawa renyah dari pak Imal.

"Bapak sudah menikah?" tanya salah satu karyawan.

"Saya masih lajang dan belum memikirkan kesitu." ujar Jhonathan santai. Tentu jawaban ini disambut baik oleh karyawati yang juga masih melajang. Hingga Elda pun iseng menyenggol siku Linia yang sibuk memperhatikan suasana.

"Apa sih kak?" bisik Linia risih.

"Masih lajang Lin." Goda Elda.

Linia hanya memasang wajah senyum poker face nya.

"Ah iya.... Kalau sudah selesai. Kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian. Ingat, jika ada masalah atau semacamnya langsung Tanya saja pak Jho, jangan whatsapp saya lagi ya. Kecuali yang lagi rindu. Sampai jumpa." ujar pak Imal menutup pembicaraan.

Akhirnya semua orang pun bubar dan kembali ke meja kerja masing-masing, kecuali Linia yang tiba-tiba dipanggil oleh pak Imal untuk menghampirinya dan Jhonathan.

"Linia, setelah ini. tunjukkan ruangan pak Jho ya..." ujar pak Imal pada Linia.

Linia pun mengiyakan dan langsung mengantar Jho ke ruangannya.

"Linia Bernadetha, jika ada yang bapak butuhkan meja saya tak jauh dari meja bapak." ujar Linia pada Jhonathan saat mereka sampai di meja Jhonathan. Pria itu pun mengangguk dan langsung duduk dan memperhatikan mejanya.

"Siapa yang membersihkan meja ini??" tanya Jhonathan tiba-tiba.

Linia pun langsung menunjuk dirinya.

"Kalau bisa jangan ada tanaman di meja saya. Saya tidak suka meja saya kotor." ujar Jhonathan sembari memberi Linia pot mini berisi lidah buaya itu. Linia pun tersenyum canggung dan langsung pamit kembali ke meja nya.

Makan siang pun tiba. Linia langsung membereskan mejanya dan mengambil dompetnya karena Elda nampak sudah menunggu di ambang pintu untuk pergi ke kafetaria kantor bersama. Namun baru saja ingin beranjak.

"Linia, bisa ikut saya sebentar?" Tanya Jhonathan tiba-tiba.

Mau tak mau Linia pun mengikuti Jhonathan dan memberi kode untuk Elda untuk duluan saja.

"Iya pak. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Linia pada Jhonathan.

"Dokumen yang kamu kirim lewat email tadi, saya akan ubah total formatnya karena menurut SOP baru perusahaan. Lalu, nanti sore ada rapat bersama direksi, tolong siapkan ruangannya." ujar Jhonathan.

Linia baru mengingat jika terdapat perubahan pada SOP perusahaan. Baru saja bekerja sama, sudah ada kesalahan seperti ini. padahal ia sudah berusaha keras membuat dokumen itu dan sekarang malah akan diubah total. Anehnya, bukannya diminta untuk diubah, malah Jhonathan sendiri yang akan mengubahnya, bukankah itu adalah tugas Linia untuk memperbaikinya? Kalau untuk menyiapkan ruangan Linia tidak mempermasalahkan nya sama sekali.

"Baik pak. Bapak yakin tidak ingin saya yang memperbaikinya?" tanya Linia meyakinkan kembali.

"Tidak perlu, silahkan kembali ke tempatmu." ujar Jhonathan pada Linia.

Linia tidak dapat mengomentari lagi dan langsung undur diri dari ruangan Jhonathan. Perutnya sudah menahan lapar sejak tadi karena ia hanya sarapan sedikit saja tadi pagi. Iya, Linia pikir mungkin Jhonathan itu terlalu rajin hingga pekerjaan Linia malah ia yang memperbaiki.

"Hey, Linia. Kenapa wajah mu pucat sekali?" tegur seseorang saat Linia baru keluar dari kantornya.

Linia tersadar dan langsung tersenyum canggung pada pria muda yang baru saja menatapnya itu.

"Eh... si Dheo.... Benarkah? Mungkin karena aku belum makan siang. Mau ke kafetaria bareng?" tawar Linia pada pria muda berkacamata itu.

"Tidak. Aku masih ada yang harus kukerjakan. Apa pak Jho ada diruangan nya?" tanya Dheo.

Linia mengangguk.

"Hmm... dia ada diruangannya, masuk saja." ujar Linia.

"Kalau begitu sampai jumpa..." ujar Dheo sembari masuk kedalam kantor divisi Linia menuju meja Jhonathan.

Tok tok tok

Setelah mengetuk pintu Dheo langsung masuk kedalam ruangan kecil tempat Jhonathan berada. Entah harus senang atau apa, Dheo masuk tanpa dipedulikan keberadaannya oleh Jhonathan yang sibuk mengetik di komputernya. Hingga membuat sang tamu sedikit kesal.

"Baru hari pertama, kenapa kau terlihat sibuk sekali sih?? Ck...ck..." ujar Dheo sembari duduk di kursi di depan Jhonathan.

"Sekretarisku membuat dokumen dan bahan untuk rapat dengan format lama, sehingga aku harus mengubah total formatnya. Kau tahu kalau aku sama sekali tak menyukai adanya kesalahan." ujar Jhonathan sembari masih sibuk mengetik.

"Memangnya siapa sekretaris mu? Hey, itu kan kerjaan dia. Kenapa tidak suruh dia saja yang menyelesaikannya? Kau ingin dipandang sibuk atau apa?" tanya Dheo heran.

"Tidak, yang ada dia malah tertekan dan malah menghancurkan hasilnya. Aku tidak bisa menyerahkan hal yang begitu penting untuk rapat nanti padanya." ujar Jhonathan.

"Iya...iya... aku tahu posisimu saat ini sedang berada di ujung tanduk. Ah iya, aku kesini memberimu ID card mu. Kau tahu, tadi pagi aku sedikit terlambat jadi aku lupa memberikannya padamu. Siapa suruh kau tidak mau kutitipkan dengan patner kerja ku yang lain dan malah harus diriku yang memberikannya." ujar Dheo sembari memberikan ID card di atas meja Jhonathan.

"Berkatmu aku harus masuk dan meminjam ID card pak Imal. Kau kira jika kau titipkan ke orang lain, bisa saja nanti hilang atau rusak. Tidak aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Ujar Jhonathan sembari menatap Dheo yang ada dihadapannya.

Dheo nampak terkekeh dengan ucapan Jhonathan yang terdengar merepotkan itu.

"Hei, apa kau tak lapar?" tanya Dheo.

"Hmm... aku lapar, tapi waktu istirahat sebentar lagi." ujar Jhonathan sembari melihat arloji yang terpasang di pergelangan kirinya.

"Kenapa tidak pesan saja? Kau mau aku memesan makanan untuk mu? Kebetulan teman ku yang satu divisi dengan mu sedang berada di kafetaria." tanya Dheo sembari menunjukkan chatnya dengan Linia.

"Tdak. Aku hanya makan makanan rumahan." ujar Jhonathan.

Dheo nampak sudah lelah dengan respon yang diberikan Jhonathan.

"Hnn.... Kurasa tante tidak seketat ini, kenapa kau ketat sekali dengan dirimu? Ini tidak, itu tidak, ini jangan, itu jangan."

"Ini hidupku. Sana kau, pergi. Mengganggu ku saja." ujar Jhonathan sembari mengusir Dheo untuk pergi dari ruangannya.

Sementara itu di kafetaria, Linia dan Elda sudah ingin beranjak dan masih di depan rak berisi roti-roti yang siap dibeli.

"Gimana Lin? Dheo jadi nitip?" tanya Elda.

Linia masih berkutat dengan ponselnya.

"Dia bilang beli saja, entahlah.... Ya sudah, kalau dia tidak jadi buatku saja rotinya." ujar Linia pada Elda.

Jam istirahat pun berakhir dan Linia sudah kembali ketempat nya untuk melanjutkan pekerjaannya. Enath kenapa, sesekali ia memandang Jhonathan yang nampak sibuk di ruangannya. Jika Linia perhatikan, wajah Jhonathan sedikit pucat dan lemas.

'Apa mungkin karena tidak makan siang?' batin Linia pada dirinya sendiri. Namun di sisi lain, kenapa ia harus peduli pada atasannya satu itu? Siapa tahu memang seperti itu wajah Jhonathan saat sedang bekerja. Seperti mayat hidup atau zombie.

Tok tok tok

"Masuk" ujar Jhonathan saat Linia mengetuk pintu ruangan Jhonathan lalu masuk dengan perlahan.

"Pak, saya sudah siapkan ruangan rapatnya pak. Bahan-bahan rapatnya juga sudah saya atur." lapor Linia.

"Ah iya... terima kasih... aduh." baru saja ingin beranjak, Jhonathan sudah mengaduh pada ulu hati nya yang nampaknya sakit itu hingga membuat pria itu duduk kembali.

Tentu saja Linia langsung panik dan bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

"Pak Jho? Anda baik-baik saja?" tanya Linia bingung.

"Tidak, saya baik-baik saja. Ini karena asam lambung saya naik."

"Bapak belum makan siang?" tanya Linia.

"Saya lupa membawa bekal."

"Padahal di kafetaria kan gratis untuk karyawan pak." ujar Linia heran.

Jhonathan tersenyum tipis.

"Saya tidak biasa makan di kafetaria atau restoran."

"Saya punya roti jika bapak mau." ujar Linia.

"Tidak... saya baik-baik saja."

"Bapak yakin? Wajah bapak pucat lho, nanti rapatnya tidak bisa konsentrasi."

"Bisa panggil Dheo sekarang?" bukannya menjawab, malah mengalihkan pembicaraan. Pikir Linia. Ya, karena atasan dirinya mau tidak mau Linia menuruti dan menelepon Dheo.

Tak lama kemudian, Dheo pun datang keruangan Jhonathan. Dari tadi, sakit nya belum kunjung hilang dan Linia hanya membawakan air hangat untuk Jhonathan. Padahal rapat tinggal 30 menit lagi dan Jhonathan bersikeras tidak ingin makan. Linia awalnya berpikir apa Jhonathan itu diet atau semacamnya. Tapi ternyata....

"Jhonathan merupakan sepupuku yang paling pilih-pilih tentang segalanya, ia memiliki trauma tergadap kepercayaan atau semacamnya semasa SMA nya. Maka ia tidak akan mau makan makanan resto maupun instant dan memilih mengerjakan pekerjaannya sendirian." jelas Dheo pada Linia saat Linia bertanya Jhonathan kenapa. Mereka pun membicarakannya tepat di hadapan orang yang sedang sakit itu.

"Pak Jho, anda yakin bisa rapat? Jika begini, lambung anda bisa rusak. Anda harus makan ya." ujar Linia pada Jhonathan.

"Tidak... terima kasih, aku baik-baik saja."

Linia menatap pasrah pada Dheo.

"Kau sudah hampir sepuluh tahun pilih-pilih dengan hal yang tak penting sekalipun."

Belum selesai Dheo meneruskan perkataannya, Jhonathan tiba-tiba bangkit.

"Aku baik-baik saja. Ayo, keruang rapat sekarang. Aku memanggil mu bukan untuk menceramahiku, tapi kau juga harus ikut rapat sore ini." ujar Jhonathan lalu pergi keluar ruangannya menuju ruang rapat yang telah ia sediakan.

Linia dan Dheo menatap satu sama lain dan menyusul langkah Jhonathan pergi dari ruangan itu.

To Be Continued

CHAPTER 2

"Ternyata gila kerja..." ujar Linia.

Tok tok tok

"Pak Jho, masih ada yang dikerjakan? Ada yang bisa saya bantu" tanya Linia.

"Tidak, kamu duluan saja." ujar Jhonathan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.

Linia mengiyakan saja dan langsung pamit pulang.

"Linia... baru mau pulang??" tanya Dheo yang kebetulan berpapasan dengan Linia di lift.

"Ya begitulah, sebenarnya pak Jho masih di ruangannya. Agak tidak enak pulang duluan." ujar Linia pada Dheo.

Dheo nampak paham apa yang dimaksud dengan Linia.

"Maaf ya. Baru hari pertama kau sudah banyak dibuat repot sama Jhonathan." ujar Dheo.

"Kok kamu yang minta maaf? Aneh banget." ujar Linia.

"Ya mau bagaimana lagi, Jhonathan dan aku kan sepupuan. Tentu saja aku juga merasa nggak enak sama kamu yang dibuat pusing sama sikap anehnya itu." ujar Dheo.

Linia nampak tidak percaya akan ucapan Dheo. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Dheo dan Jhonathan adalah sepupu.

"Begitukah? Tidak terduga sekali. Ah iya, kalau begitu aku mau nanya... Kenapa sih pak Jho itu sedikit aneh?" tanya Linia.

Dheo terkekeh.

"Begitulah, kau langsung peka saja Lin. Jhonathan itu dulunya tidak seperti sekarang. dia pernah ditipu sama rekan kerjanya dulu sehingga ia menjadi orang yang tidak bisa mempercayai orang-orang di sekitarnya bahkan aku yang sepupunya sendiri juga tidak mudah dipercayainya. Lama-lama juga kamu akan biasa kok, Lin. Tidak usah khawatir, Jho orangnya baik." ujar Dheo.

Linia hanya manggut-manggut dan nampak berpikir.

"Hmmm, tidak kusangka ya... padahal kan tidak semua orang begitu padanya."

"Ya namanya juga sudah percaya penuh, dia rugi ratusan juta karena rekannya itu. Ya bukan dinilai dari uangnya sih, tapi kepercayaan. Beban kerja yang dipercaya ditanggung bersama, tiba-tiba dilepaskan begitu saja dan membebani Jho. Terlebih, kekasihnya malah meninggalkannya dan pergi bersama rekannya itu."

"Itu sih brengsek. Ya! Kenapa kita malah bergosip sih!? Ih, kalau dengan Dheo, tidak akan lepas dari gossip." ujar Linia risih.

Mendengarnya Dheo hanya tersenyum.

"Kan kamu yang bertanya, aku hanya menjawab." Ujar Dheo membela dirinya.

Nampaknya Linia tidak langsung pulang ke apartemennya dan singgah di supermarket demi membeli stok makanan di rumah yang sudah menipis.

"Dia pernah ditipu sama rekan kerja nya dulu sehingga ia menjadi orang yang tidak bisa mempercayai orang-orang disekitarnya bahkan aku yang sepupunya sendiri juga tidak mudah dipercayainya".

Linia sempat memikirkan ucapan Dheo padanya beberapa saat lalu saat mereka berdua di lift.

"Isshh... kalau begini akan sulit menyesuaikannya..." ujar Linia pada dirinya sendiri saat memilih sayuran pada rak.

Ddrrrtttt.......dddrrrrrrtttt.....

Ditengah-tengah kegiatan nya, Linia harus mendapat telepon dari seseorang. Dengan sigap Linia menaruh asal tomat yang sudah ia tangkap itu ke trolinya lalu menjawab telepon dari orang itu.

"Kenapa Mel? Kakak lagi di supermarket." ujar Linia menjawab telepon itu.

"ya? Siapa? Nenek? Rumah sakit? Dimana?" tanya Linia panik.

Sementara itu, Dheo nyatanya belum pulang dari kantornya. Ia pergi ke dapur kantor untuk menyeduh kopi karena ia harus lembur pada malam ini. entah kenapa, ia teringat akan ucapan Linia yang mengatakan bahwa Jhonathan belum pulang. Iseng, ia pun pergi ke kantor Jhonathan.

"Jho.... Apa kau masih bekerja? Lho? Jho?!" betapa paniknya Dheo saat masuk ke dalam kantor dan menemukan Jhonathan tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari hidung Jhonathan.

Linia berjalan cepat saat kakinya sudah masuk kedalam gedung rumah sakit Kasih. Raut wajahnya menggambarkan kecemasan dan kepanikan. Sambil melihat layar ponselnya, Linia nampak sedang mencari ruangan tempat nenek nya dirawat. Langkah Linia pun sampai di sebuah ruangan bernama 'dahlia' dimana ia melihat seorang gadis muda, berdiri di depan ruangan itu.

"Mel, dimana nenek?" tanya Linia pada gadis muda itu.

"Ada di dalam ruangan kak, sama mama." ujar Melia, adik Linia.

Linia pun masuk kedalam ruangan tempat neneknya dirawat. Perlahan, Linia menutup kembali pintu ruangan itu agar tak mengganggu pasien lainnya.

"Ma, gimana keadaan nenek?" Tanya Linia.

"Ya... seperti ini... tidak ada yang harus diberitahu." ujar mama Linia, Wina.

Linia terdiam. Dalam benaknya ia mengerti apa yang dimaksud oleh mamanya. Neneknya mengidap penyakit paru-paru basah dan semakin memburuk karena obat yang dikonsumsi beliau malah merusak fungsi hatinya. Linia terdiam menatap neneknya yang sedang terlelap tenang itu.

Dddrrrtt... ddrrrtt...

Lamunan Linia dikacaukan oleh getaran ponselnya didalam tas. Segera Linia mengangkat telepon itu.

"Ya, Dheo? Ada yang bisa ku bantu?"

Linia terdiam. Ia menatap mamanya dan mamanya menatap Linia bingung. Linia lalu menatap nenek nya yang sedang tertidur.

Bip.

Linia menutup panggilannya.

"Ma..."

"Iya kenapa Lin?" tanya sang ibu.

"Atasan Linia ma, masuk rumah sakit juga dan tidak ada yang mengurusnya." ujar Linia frustasi.

Menyadari keadaan Linia yang sangat tertekan itu, sang mama pun mengerti.

"Pergilah, lagipula nenek ada mama yang jaga. Kasihan juga atasan kamu, memang nya dia di rumah sakit mana?" tanya mama Linia.

"Rumah sakit ini juga ma. Aku tidak akan lama. Kalau ada apa-apa, telepon aja Linianya." ujar Linia lalu pamit pergi dan bergegas menuju tempat yang di maksudkan.

"Lin, kamu dimana sekarang? Jhonathan masuk UGD di rumah sakit Kasih karena kelelahan plus maghnya kambuh. Aku masih banyak kerjaan di kantor, tolong bantuin sekali ini aja. Please."

Tak perlu berlama-lama, beberapa menit setelah Dheo menelepon Linia, wanita itu langsung muncul di hadapan Dheo dengan penampilan yang tentu saja berantakan dan lusuh. Bagaimana tidak, sehabis bekerja Linia bahkan tidak sempat mandi dan pulang kerumahnya.

"Wow Lin, kamu di rumah sakit juga? Siapa yang sakit?" tanya Dheo.

Linia masih diam mengatur nafas dan meminta Dheo untuk menunggu nafasnya kembali teratur.

"Hhnnn.... Keluargaku ada yang masuk rumah sakit. Dimana pak Jho? Apa beliau baik-baik saja?" tanya Linia sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Jhonathan.

"Bagaimana mengatakannya, sebenarnya bukan kali ini saja dia begini. Dia sekarang di ruang rawat inap. Ah iya... ini" ujar Dheo sembari memberikan Linia sekantong kresek berisi makanan.

"Aku tidak mau tahu, kamu harus menekannya agar ia mau makan. Bagaimana pun caranya.Sudah ya, aku pergi dulu." lanjut Dheo. Linia mau tidak mau harus mengikuti, jika tidak ia merasa tidak nyaman pada Dheo yang merupakan teman baiknya. Setelah Dheo pergi, Linia pun pergi ketempat dimana Jhonathan beristirahat. Dapat Linia lihat jika Jhonathan sedang berbaring di bangsalnya, menyadari Linia datang pria itu langsung duduk.

"Pak Jho, saya dapat pesan dari Pak Dheo untuk mengantar makanan ini untuk bapak." ujar Linia.

Jhonathan diam menatap kantong kresek yang dibuka oleh Linia berisi bubur ayam yang menggugah selera makan Linia karena efek belum makan sekaligus lelah.

"Saya pikir, ada baiknya saya pulang saja." ujar Jhonathan.

Baiklah, Linia sebenarnya sudah lelah.

"Setidaknya, bapak harus mengisi perut bapak dengan sesuatu dulu sebelum pulang." ujar Linia.

"Saya tidak suka bubur."

Linia hampir saja terbawa emosi.

"Jadi bapak mau makan apa? Nanti saya pesankan." ujar Linia masih memperjuangkan kesabarannya.

"Saya terbiasa makan masakan rumahan."

Linia tidak habis pikir, bagaimana masak di rumah sakit?

"Sampai segitunya bapak. Memangnya kenapa dengan makanan yang dijual?" tanya Linia.

"Aaya tidak suka." jawaban yang sederhana dari seorang Jhonathan.

Linia masih sabar.

"Sekali ini saja, bapak makan saja bubur ini. Aman kok, tidak ada yang berbahaya..." ujar Linia masih mencoba meyakinkan Jhonathan.

"Bagaimana saya bisa memercayai kamu?" tanya Jhonathan.

"Tentu saja bapak bisa percaya... Apa perlu saya makan dulu?" tanya Linia.

"Tentu, silahkan kamu duluan yang makan."

"Tapi, apa bapak mau memakannya setelah saya memakannya?"

"Maka saya harus lihat, apa kamu masih hidup atau tidak setelah memakannya, baru saya memakannya." jawab Jhonathan enteng.

Murka Linia sudah di ujung ubun-ubun dan siap meledak. Baru kali ini ia harus berhadapan dengan seorang pria dewasa yang cerewat minta ampun. Mau tak mau, Linia pun menyuapi bubur itu kedalam mulutnya dan Jhonathan memerhatikan reaksi Linia selanjutnya.

"Tidak ada yang aneh. Saya masih hidup dan baik-baik saja. Bapak sudah janji tadi. Sekarang giliran bapak." ujar Linia sembari memberikan langsung mangkuk itu pada pangkuan Jhonathan dan tidak menerima kembali.

Jhonathan sedikit kaget akan sikap yang Linia berikan padanya.

"Kenapa bapak diam, ayo dimakan pak. Tidak ada apa-apa di situ selain bahan-bahan yang wajar." ujar Linia santai.

Akhirnya, Jhonathan pun dengan terpaksa makan makanan yang Linia bawa. Karena jika ia tidak memakannya, entah kenapa aura yang Linia keluarkan begitu tidak enak. Walaupun Linia adalah bawahannya.

Tiga hari kemudian.

"Ya? Linia ijin? Kenapa?" tanya Jhonathan saat seorang karyawati memberi tahu bahwa ia akan menjadi sekretaris sementara Jhonathan.

"Ada keluarga bu Linia yang meninggal pak. Maka dari itu, saya diminta beliau untuk menggantikannya." jelas wanita itu pada Jhonathan.

Jhonathan diam dan mengerti. Jika sudah seperti itu perihal ijinnya Linia, ia bisa apa. Terlebih untuk beberapa hari ini, ia hanya mengandalkan Linia dan dengan sifatnya yang sulit memercayai orang lain, tentu seperti merasa mulai dari awal lagi.

"Ah iya pak, Bu Linia ada berpesan untuk bapak, dia bilang silahkan cek email bapak, mungkin beliau mengirimkan hal-hal pentin untuk bapak." ujar Karyawati itu pada Jhonathan lalu pamit pergi.

Jhonathan awalnya bingung lalu memeriksa email yang masuk di laptopnya. Tanpa ia duga, ternyata Linia telah menyelesaikan pekerjaannya yang seharusnya hari ini wanita itu kerjakan. Padahal dengan keadaannya yang pasti tertekan saat ini membuatnya sulit bahkan tak sanggup menyelesaikan pekerjaannya. Disisi lain, Linia berusaha mendapatkan kepercayaan sang atasan padanya. Walaupun ia kini tengah dirundung duka. Namun, logikanya semua orang juga akan meninggal termasuk orang-orang yang dikasihinya dan bahkan dirinya juga.

Setelah neneknya dimakamkan, Linia tidak pulang ke apartemennya dan masih menetap dirumah keluarga besarnya. Mata wanita itu jelas bengkak karena menangis, stamina nya juga terasa habis. Linia duduk bersama keluarga nya yang lain di ruang tengah dan menceritakan apa saja yang patut diceritakan demi menghibur hati.

"Lin, siapa pacarmu Lin... kok nggak pernah dibawa ke rumah sih?" tanya Tante Dewi, kakaknya mama Linia.

Mendengar pertanyaan konyol itu membuat Linia kebingungan.

"Tante, Linia kan belum ada pacar." ujar Linia dengan suara seraknya.

"Linia itu paling tidak bisa nyari hal yang begituan, kalau masalah kerja, ia nomor satu." sambut sang ibu dari dapur sembari membawa nampan berisi air kopi untuk keluarga yang berkumpul.

Linia hanya bisa tersenyum geli mendengar tuturan keluarganya yang menanyakan kapan ia punya pacar, kapan ia menikah, belum lagi dibandingkan dengan sepupu nya yang sudah menikah dan punya anak. Terlebih lagi di bilang kurang pergaulan. Menyakitkan memang. Akan tetapi, memikirkan tanggung jawab kedepannya tidak seenak membuat anak. Lagi pula umurnya belum lah sampai 30-an. Tidak separah itu juga pergaulannya, ia tidak ingin segala urusan terburu-buru terlebih Linia pemilih sekali jika menyangkut soal pasangan atau semacamnya.

"Besok udah masuk kerja kak?"

Linia yang awalnya hanya melamun diteras rumah harus dikejutkan dengan kedatangan sepupu laki-lakinya yang nampaknya lebih muda darinya.

"Ya iya lah... Doni, gimana kuliah kamu? Lancar?" tanya Linia.

"Heheh... seperti biasa kak... sebentar lagi kan ujian. Jadi banyak tugas." ujar Doni.

Linia mengangguk paham lalu kembali melamun hingga Doni pun nampak penasaran dengan apa yang kakak sepupunya itu pikirkan.

"Mikirin apa sih kak? Diam mulu dari tadi." ujar Doni.

"Enggak mikirin apa-apa kok. Cuma capek aja, besok udah kerja dan kembali kekesibukan masing-masing." ujar Linia.

"Mikirin desakan keluarga ya..." timpal Doni iseng.

"Itu sih tidak kakak pikirkan sama sekali, Don. Masih banyak yang harus kakak pikirin." jelas Linia risih.

"Kakak sih, orang nya pemilih amat. Amat aja ngga pilih-pilih." ujar Doni.

Linia jadi kesal juga dengan sepupunya itu.

Esoknya, Linia sudah bisa kembali ke kantor. Walaupun masih ada sisa kesedihan di dalam hatinya. Ia tetap harus bekerja agar tidak terus ditanya kapan nikah sama keluarganya sendiri.

Tok tok tok

"Selamat pagi pak Jho. Saya membawa surat masuk untuk bapak..." ujar Linia sembari masuk lalu meletakkan sebuah amplop di atas meja Jhonathan.

"Lin, bisa tunggu saya selesai membaca surat ini?" tanya Jhonathan.

Linia pun mengikuti saja ucapan Jhonathan lalu duduk di kursi yang tersedia.

"Gimana kabar kamu?" tanya Jhonathan pada Linia sembari membuka surat.

Linia awalnya merasa aneh karena tumben sekali Jhonathan mengajaknya berbasa-basi.

"Puji Tuhan baik pak. Bagaimana dengan bapak? Pekerjaan saya yang kemarin apa ada masalah?" tanya Linia kembali.

"Saya juga baik. Tidak ada masalah dengan pekerjaan kamu kemarin... ah iya, ini undangan ini, kamu ikut saya ya." jawab Jhonathan.

"Eh? Kemana pak?" tanya Linia.

"Ulang tahun direktur patner perusahaan kita." jawab Jhonathan sembari menunjukkan undangannya pada Linia.

Linia sempat berpikir sejenak. Jika dipikir-pikir wajar-wajar saja, ia adalah sekretaris Jhonathan dan ini kurang lebih adalah undangan berbau bisnis.

"Saya akan jemput kamu jam 18:00. Saya tidak suka bertele-tele, jadi jangan sampai kamu belum bersiap saat saya sudah ada di depan rumahmu."

Jam dinding apartemen Linia sudah menunjuk pukul 17:40 yang berarti 20 menit lagi Jhonathan akan menjemputnya. Linia sendiri sudah siap dengan gaun batiknya yang sepanjang lutut dan dandanan minimalisnya seperti biasa. Ayolah... untuk acara seperti ini, untuk apa Linia berdandan lama-lama?

Ddrrrttt.... Ddrrttt...

Lamunan Linia dikejutkan oleh bunyi dering ponselnya yang mana nama 'Pak Jho' terpampang di layarnya. Dengan sigap Linia langsung mengangkat panggilan itu.

"Ya? Ada apa pak?"

[Linia, kamu dimana?? Saya sudah di basement apartemen mu.]

Linia tentu kaget. Kenapa atasannya menjemputnya lebih cepat dari waktu yang dijanjikan?!

"Oke pak. Saya segera kesana. Tunggu sebentar." Linia langsung menutup telepon itu dan langsung bergegas keluar dan mengenakan heels yang kira-kira nyaman dikenakan.

Tak lama bagi Jhonathan menunggu Linia. Selang satu menit lebih Linia sudah nampak di penglihatannya dengan jalan yang terburu-buru.

"Selamat sore pak, sudah lama tiba pak?" tanya Linia saat masuk kedalam mobil Jhonathan.

"Sore juga... belum lama juga." ujar Jhonathan sembari memutar setir.

Linia terdiam dan mengatur napas. Jarang-jarang ia berlari menggunakan heels.

"Kamu habis marathon?" tanya Jhonathan.

Linia terkekeh. Bisa-bisa nya Jhonathan bercanda dengannya, tumben.

"Tidak, saya hanya jalan santai. Bapak bilang, jam 18:00 baru dijemput." ujar Linia pada Jhonathan.

"Ah... sebenarnya sebelum kesini saya mau ambil laundry saya, tapi karena tempat laundrynya tutup jadi saya langsung jemput kamu saja. Lagi pula, lebih cepat lebih baik. Belum lagi dengan macet di jalanan." Ujar Jhonathan sembari sibuk menyetir di jalanan sore yang cukup ramai karena sudah memasuki jam pulang kantor.

"Ah iya... nanti, kalau ada yang nanya kamu siapanya saya, jawab aja teman saya. Jangan bilang kalau kamu sekretaris saya ya." ujar Jhonathan tiba-tiba.

Linia tentu sedikit kaget dan heran. Kenapa harus begitu?

"Memangnya kenapa pak?"

"Juga, jangan panggil saya bapak saat di acara nanti. Panggil aja Jho atau Jhonathan."

"Hmm iya pak. Tapi kenapa begitu? Saya kan merasa tidak enak sama bapak." tanya Linia heran.

Jhonathan diam sebentar lalu melirik Linia sejenak.

"Nanti saya jelaskan. Ikuti saja ucapan saya, ini tidak akan merugikanmu." ujar Jhonathan terdengar mencurigakan bagi Linia.

"Eskrim." ujar Linia.

"Apa?" tanya Jhonathan.

"Bapak harus traktir saya eskrim. Anggap saja itu bayarannya, jadi bapak tidak perlu menjelaskannya lagi pada saya jika memang tidak akan berdampak apa-apa kedepannya." jelas Linia sambil menunjukkannya senyum usilnya pada Jhonathan.

"Baiklah, tapi bantu saya ya nanti."

"Sip"

Tidak lama setelah pembicaraan konyol Linia dan Jhonathan di mobil. Tibalah mereka di sebuah hotel bintang lima, tempat acara ulang tahun direktur patner dari perusahaan tempat Jhonathan dan Linia bekerja. Setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas, Jhonathan dan Linia langsung melangkah masuk kedalam aula yang sudah di dekor semewah mungkin. Linia yang jarang-jarang melihat pemandangan seperti ini tentu takjub. Untuk seukuran staf biasa di kantor, rasanya agak aneh jika menghadiri acara semewah ini dan diisi oleh para elit perusahaan.

"Lho, Jho? Linia? Kalian berdua datang??"

Linia dan Jhonathan harus di buat kaget dengan kemunculan Dheo bersama seorang wanita yang nampak saling bergandeng itu.

"Dheo? Kebetulan sekali... Hey, apa itu kekasihmu?" tanya Linia usil dan sambil bisik-bisik pada Dheo.

Namun pria yang ditanya malah terkekeh geli.

"Nampaknya Jhonathan juga sama sepertiku." ujar Dheo sembari menatap Jhonathan. Yang ditatap nampak tidak peduli.

"Ayo Linia... kita cari tempat duduk." ujar Jhonathan segera pergi dari hadapan Dheo yang masih menggodanya.

"Semangat Linia..." ujar Dheo pada Linia yang sudah menyusul langkah Jhonathan.

"Pak..."

"Jhonathan." ujar Jhonathan memotong ucapan Linia.

"Ah, iya... Itu maksud saya, apa yang di maksud Dheo tadi pa- Jho? Sepertinya tadi bukan kekasihnya Dheo..." ujar Linia.

Jhonathan nampak tidak berminat menjawab pertanyaan Linia dan memandang lurus kedepan panggung.

"Katanya tidak akan bertanya?" tanya Jhonathan.

Linia tersenyum.

"Nyatanya saya penasaran."

Pria itu menghela napasnya berat.

"Kau tahu salah satu ucapan atau pertanyaan terberat di umur yang dewasa ini?" tanya Jhonathan.

Linia nampaknya tahu.

"Kapan nikah/ kan?" secara kompak Linia dan Jhonathan menjawab dan berucap.

Linia menarik senyumnya sementara Jhonathan menarik senyum tipis tak kasat mata.

"Haahh... apa karena itu, anda meminta saya untuk hadir bersama anda ke acara ini?" tanya Linia.

Jhonathan mengangguk.

"Kurang lebih begitu. Dheo juga sama, entah wanita mana lagi yang ia sewa untuk menemaninya malam ini." jawab Jhonathan. Linia akhirnya sedikit paham. Hanya dari satu buah pertanyaan, nyatanya malah membuat Jhonathan sedikit nekat dan Linia tidak tahu jika Jhonathan senekat ini.

"Tapi... apa tidak masalah anda membawa saya kesini hanya untuk memenuhi pertanyaan itu nanti?" tanya Linia.

Jhonathan melirik Linia yang duduk di sebelahnya, diletakkannya gelas berisi anggur di meja.

"Saya hanya memintamu untuk menjawab nanti sebagai teman, tidak lebih." jawab Jhonathan santai.

Linia mengangguk paham. Walau bagaimana pun juga, tetap saja aneh. Seharusnya Jhonathan mengajak seseorang yang special baginya untuk menemaninya datang. Linia pun merasa bahwa cepat sekali mereka akrab sampai harus begini.

"Linia, ayo berdiri..." ujar Jhonathan menyadarkan Linia dari lamunannya. Nampaknya ada yang ingin menghampiri Jhonathan maka beliau mengajak Linia untuk berdiri dan menyambut kedatangan orang itu.

"Jho, mama kira kamu enggak datang di ulang tahun paman Her." ujar seorang wanita paruh baya itu pada Jhonathan. Karlina, nama ibu Jhonathan

Jhonathan nampak tersenyum dan memeluk wanita yang menjadi ibunya itu. Sementara Linia masih diam memerhatikan lalu, tanpa basa basi, Linia ikut saja menyalim mamanya Jhonathan sambil memberi salam selamat malam.

"Ehem... Jho, kamu tidak kenalin ke mama?" tanya sang ibu pada Jhonathan.

Linia pun langsung di senggol sedikit oleh Jhonathan.

"Ah... selamat malam tante, nama saya Linia Bernadetha teman nya p- Jhonathan" jelas Linia.

Ibu Jhonathan nampak mengiyakan saja. Tak lama, Jhonathan nampak dipanggil oleh seseorang dan menghampiri orang itu. Kini hanya Linia dan ibu Jhonathan dengan suasana yang Linia rasa canggung.

"Linia tidak usah tegang-tegang amat... ini cuma acara ulang tahun paman nya Jho." ujar ibu Jhonathan saat menyadari betapa tegang nya Linia di acara ini.

"Iya te, saya cuma tidak biasa ketempat ramai seperti ini." jawab Linia.

"Ngomong-ngomong, Jhonathan tidak merepotkan mu kan? Kamu tahulah betapa pilih-pilihnya dia itu."

Linia tidak menyangka akan membicarakan sifat pilih-pilih Jhonathan bersama sang ibu.

"Haha... tidak juga kok te, awalnya memang agak dibuat bingung saya... tapi, kalau dibicarakan kembali. Saya rasa bisa bekerja sama dengan beliau." ujar Linia.

Ibu Jhonathan nampak tersenyum merespon ucapan Linia terkait Jhonathan.

"Tante senang kalau Linia bisa memahami Jhonathan."

"Hehe.... Tante, tidak masalah."

"Ehem... bicara apa? Aku ada dengar namaku disebut?"

Ternyata Jhonathan sudah berdiri dibelakang Linia dan Ibunya.

"Bicarain kamu lah, bicarakan tentang sifatmu yang pilih-pilih itu. Ah iya, tante tinggal dulu... jangan lupa sapa pamanmu ya. Ajak Linia juga... kasihan kalau dia ditinggal." ujar Karlina lalu pergi menyambut tamu yang lain. Linia tersenyum mengantar kepergian Karlina hingga membuat Jhonathan menatap Linia aneh.

"Kamu mudah akrab dengan orang baru ya." ujar Jhonathan.

Linia menatap Jhonathan dan menyetujui ucapan pria tampan itu.

"Saya anggap itu pujian... terima kasih." timpal Linia.

"Lalu, apa yang kalian bicarakan tadi? Kamu tidak bicara yang aneh-aneh kan?" tanya Jhonathan memastikan.

Linia tersenyum, apa yang Jhonathan maksud? Padahal ia hanya basa basi dengan ibu Jhonathan saja. Tapi wajah penasaran Jhonathan membuat Linia tersenyum geli.

"Saya tanya, Kok kamu malah diam saja?"

"Ehe... tidak ada apa-apa, bapak kan tahu, kalau wanita sudah berbicara... apa saja jadi bahan pembicaraan." ujar Linia.

"Haah... baiklah. Setidaknya kamu masih bisa diajak kerja sama." ujar Jhonathan menyerah.

"Masih penasaran pak?" tanya Linia usil.

Jhonathan menatap Linia sebentar lalu berlalu begitu saja. Linia hanya terkekeh lalu menyusul langkah Jhonathan.

"Jho!! Kamu datang juga... wah! Wah! Nggak sendiri pula." ujar seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Jhonathan. Linia rasa pria paruh baya itulah pemilik pesta ini.

"Selamat ulang tahun paman." ujar Jhonathan sembari memeluk sebentar pamannya itu.

"Jhonathan, tante kira kamu nggak bakalan datang." timpal seorang wanita paruh baya yang Linia yakini adalah istri dari paman Jhonathan itu.

"Ya... begitulah te. Lin, ini paman Ken dan tante Liska... paman, tante, ini Linia, temannya Jho." ujar Jhonathan memperkenalkan Linia pada sepasang suami istri itu.

Linia menyalami satu persatu dan memperkenalkan dirinya.

"Ah iya... kau tahu Dheo bukan? Mereka berdua adalah ayah dan ibu Dheo." jelas Jhonathan.

Linia nampak tak percaya. Dheo yang merupakan teman bercandanya sehari-hari merupakan seorang anak orang kaya? Linia tidak pernah menduganya sebelumnya.

"Benarkah? Salam kenal tante, om." ujar Linia.

"Hmm tante paham kok kalau kamu kaget. Dheo itu memang anak yang sulit ditebak..." ujar Liska pada Linia.

Linia nampak setuju akan hal itu. Belum lama, orang yang dibicarakan malah muncul tiba-tiba dihadapan kumpulan itu.

"Nampaknya pembicaraan kalian asyik sekali? Boleh bergabung?" tanya Dheo tiba-tiba.

"Kami sedang membicarakan betapa nakalnya kamu, nak." ujar sang ibu mengundang gelak tawa dari sekitar.

"Hey, setidaknya aku tidak merugikan siapapun. Juga Lin, dan Jho... aku tidak tahu kalau kalian berdua sedekat ini." ujar Dheo sembari menatap Linia dan Jhonathan usil. Seperti yang dikatakan ibunya, Dheo sangat usil dan nakal. Ia malah memancing Linia dan Jhonathan.

"Ehem, memang seperti ini juga bukankah kamu membawa seseorang tadi? Tapi, kenapa kamu sendirian sekarang?" tanya Linia.

Linia bukan tidak mengerti akan sifat Dheo dan mencoba menyerang balik sepupu Jhonathan itu hingga membuat Dheo sedikit terkejut akan perlawanan yang Linia berikan.

"Eh? Dheo bawa teman? Kenapa tidak dikenalkan sama mama dan papa?" tanya Liska penasaran. Menanggapi itu Dheo hanya tersenyum simpul.

"Ia sudah pulang tadi ma, karena pekerjaannya banyak ia tak sempat menyapa mama dan hanya menitip salam." Jelas Dheo sembari menyikut Linia namun Linia malah berpindah tempat dan berlindung di belakang Jhonathan.

Tak lama Linia dan Jhonathan ada di pesta itu. Setelah acara tiup lilin, Jhonathan segera membawa Linia pergi dari pesta dan menepati janjinya mentraktir Linia eskrim.

"Terima kasih pak, eskrim nya... hehe..." ujar Linia senang sembari menyambut eskrim rasa stroberi itu dengan mata berbinar.

"Iya sama-sama... saya juga berterima kasih karena kamu mau menemani saya." ujar Jhonathan lalu memakan eskrim rasa coklatnya.

Kini mereka berdua bersantai disalah satu kedai eskrim. Malam-malam memakan eskrim memang sedikit aneh Jhonathan rasa, terlebih karena sifat selektif nya itu. Karena Linia yang memintanya untuk menyantap eskrim juga, mau tidak mau Jhonathanlah yang harus menentukan tempat yang dapat ia percayai untuk membeli eskrim. Bahkan awalnya Linia sempat jengah dengan sifat selektif bos nya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setelah dipikir, tempat nya tidaklah buruk, sebuah café dengan nuansa hangat, dengan langit-langit transparan membuat Linia dapat melihat pemandangan langit malam dari dalam café tanpa harus merasa bising dengan suasana luar. Benar-benar lokasi yang terasa privat.

"Ah... iya, saya mau bertanya sama bapak." tanya Linia tiba-tiba.

Jhonathan yang awalnya sibuk dengan ponselnya langsung mengalihkan pandangan nya pada wanita didepannya.

"Ya?" tanya Jhonathan.

"Kenapa bapak mengajak saya? Bapak bisa saja mengajak teman bapak yang lain?" tanya Linia iseng.

"Hmm karena saya tidak punya teman. Itu saja." ujar Jhonathan singkat.

"Lalu, kenapa bapak tidak berangkat sendiri saja?"

Jhonathan menatap Linia heran.

"Kamu banyak tanya ya..."

Linia sedikit kaget dengan jawaban Jhonathan yang bisa terdengar kesal itu.

"Hehe.. maaf pak, saya hanya bertanya. Tidak dijawab pun tidak apa-apa." ujar Linia sembari melanjutkan menghabiskan eskrimnya itu sembari mengagumi keindahan langit malam yang bertaburan bintang.

Linia kembali menatap Jhonathan yang ada di hadapan nya itu. Wanita itu benar-benar masih tidak menyangka ada orang sepemilih Jhonathan. Padahal menurut Linia, Jhonathan memiliki wajah yang cukup manis dan menarik. Sifatnya yang ramah dihadapan semua orang membuat orang lain bisa jatuh dengan mudah padanya. Hanya saja, mungkin karena sifatnya yang lembut itu dan pemilih itu, kadang membuat nya terlihat manja di mata Linia. Ya... walaupun awalnya pekerjaan Linia hampir dirampas habis oleh pria dihadapannya. Jika Linia tidak sedikit keras pada Jhonathan, pria itu bisa saja mati kelelahan karena merampas habis pekerjaan milik Linia.

Hanya satu hal yang Linia pikirkan saat ini, 'bagaimana caranya mendapatkan kepercayaan dari seorang Kristo Jhonathan?'. Karena ini demi kepentingan hasil kerja dan karir Linia kedepannya.

To Be Continued

CHAPTER 3

"Kita akan pergi kunjungan kerja selama dua hari di Bandung." ujar Jhonathan pada Linia setelah membaca surat masuk yang Linia berikan padanya.

Linia mencerna ucapan Jhonathan barusan dan melihat kembali isi surat itu. Memang perihal didalamnya bertuliskan kunjungan kerja kesalah satu pabrik pengolahan produk.

"Karena kamu adalah sekretaris saya, tentu kamu wajib mengikuti saya kemana pun kunjungan kerja saya, seharusnya kamu mengetahui jika ini adalah tugasmu."

"eh... saya mengerti kok pak saya hanya heran saja, tumben sekali bapak tidak pergi sendiri karena biasanya kemana-mana sendiri." ujar Linia menyinggung kebiasaan Jhonathan.

"Itu kalau masih di ranah Jakarta dan sekitarnya saya bisa sendiri, tapi ini Bandung. Ya, mungkin kamu bisa bergantian menyetir dengan saya nanti." ujar Jhonathan.

Linia hanya ber'oh' ria dan mengangguk paham.

"Kalau begitu saya akan mempersiapkan apa-apa saja yang bapak butuhkan besok." ujar Linia.

"Tidak perlu, itu biar saya nanti saja kerjakannya."

Linia memutar bola matanya malas. Jhonathan mulai lagi dengan kebiasaannya. Tentu Linia tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Apa bapak ingin membiarkan mata bapak tidak tidur semalaman dan kelelahan esok hari? Bukankah itu pekerjaan saya selaku sekretaris bapak?" tanya Linia pada Jhonathan.

Pria itu menatap Linia dihadapannya.

"Kamu tau kan saya tidak suka adanya kesalahan sekecil apapun?"

"Pak Jho, saya akan mengerjakannya sesempurna mungkin tanpa adanya kesalahan dan kekeliruan sedikit pun. Lagi pula, jadwal bapak padat sekali hari ini. masih ada 3 pertemuan dan rapat setelah makan siang nanti. Belum lagi rekap harian, tapi itu bisa saya kerjakan... jangan sampai bapak masuk rumah sakit lagi seperti kemarin." jelas Linia.

Jhonathan sedikit bungkam akibat ucapan Linia barusan. Tidak disangka jika wanita itu akan banyak bicara juga. Terlebih ucapan Linia benar-benar menyinggung Jhonathan. Entah di detik selanjutnya, Linia tiba-tiba tertegun dan menatap Jhonathan panik.

"Ma-maafkan saya pak saya telah berlaku tidak sepantasnya, saya benar-benar menyesali kesalahan saya barusan pak!". ujar Linia panik. Bahkan wanita itu masih menatap Jhonathan harap-harap cemas dan berharap Jhonathan tidak menghukumnya.

"Ehem.... Saya mengerti. Bagaimanapun juga kamu tetap menjalani tanggung jawabmu atas pekerjaan yang seharusnya milikmu. Saya minta maaf, mungkin bukannya meringankan malah memberi beban tersendiri bagimu. Tidak apa-apa... silahkan lanjutkan pekerjaanmu." ujar Jhonathan tenang.

"Bapak tidak marah?" tanya Linia pelan dan berhati-hati. Masalahnya Linia merasakan atmosfer yang berat luar biasa di ruangan Jhonathan.

"Hmm... saya tidak marah atau sebagainya kembalilah ketempatmu. Kau tidak ingin pekerjaan mu diambil orang, bukan?" tanya Jhonathan yang terdengar seperti menyinggung.

Hufftt.

Linia mencoba mengambil napas dalam-dalam dan mencoba rileks. Ia barusan menhabiskan sebungkus roti isi kacang hijau kesukaannya di kantin pada saat makan siang juga sekotak susu rasa stoberi sebanyak 250 ml. Namun apa daya, Linia coba merasakan sejuknya AC dan pemandangan teras kantor yang hijau karena banyaknya pot tanaman. Entah kenapa hatinya serasa masih dibakar dan disirami minyak untuk tetap memanas. Bahkan sikap Linia saat ini terlihat aneh dimata Elda dan Dheo yang kebetulan makan bersama juga.

"Lin, kamu PMS?" tanya Dheo asal sembari menyeruput kopi panasnya perlahan.

Linia kembali menarik napas panjang dan rileks lalu menatap Dheo tanpa arti.

"Hapal sekali kamu dengan tabiat wanita. Tapi, sayang nya kamu salah. Aku baik-baik saja." jawab Linia.

"Tapi, seperti kecapean? Apa tekanan darahmu turun lagi?" tanya Elda sembari membereskan kotak makanannya.

"Tidak kak, aku barusan sudah minum obat penambah darah. Hanya lagi capek aja...biasa."

"Gara-gara pak Jho?" terka Elda.

"Haah.... Bisa jadi, tapi tidak serius-serius amat. Cuma lagi proses penyesuaian." ujar Linia.

"Tuh kan... tidak mudah tau kerja sama Jhonathan. Ya udah, pindah aja ke divisi aku. jadi asisten aku, Mau?" tawar Dheo.

Linia menatap Dheo datar. Jujur saja, sudah berapa kali Dheo menawarkan hal tersebut pada Linia, dan wanita sekantor lainnya? Itu karena masalah nya di divisi IT tidak ada staf wanita dan memang disengajakan begitu.

"Dasar pria yang kurang belaian wanita." ujar Elda.

Linia hanya terkekeh geli mendengar perdebatan bumil dan pria yang haus akan belaian wanita itu.

"Kak Elda mah gitu!! Bantu aku cari pacar dong! Teman kakak kan banyak yang cantik." ujar Dheo usil.

Elda dan Linia hanya terkekeh dan mengatakan tak ada wanita yang ingin mereka kenalkan pada pria play seperti Dheo.

Sementara itu, Jhonathan terlihat baru muncul di kantin dengan nampan berisi makanan dan duduk tak jauh dari meja tempat Linia, Dheo dan Elda duduk.

"Tumben sekali muncul di kantin? Dan dia makan makanan kantin?" tanya Linia pada Dheo.

"Bagaimanapun juga manusia juga butuh makan. Hanya saja, Jho mengawasi langsung proses pembuatan makanannya di dapur, ya... karena perusahaan ini milik keluarganya, ia bisa dengan mudah melakukan apapun yang diam mau." jelas Dheo.

Linia mendapat satu poin penting dari ucapan Dheo barusan.

"Eh? Punya keluarganya?" tanya Linia kaget namun masih dalam batas suara yang wajar.

"Iya begitulah."

Linia merenung lagi.

Air dari wastafel otomatis itu terus mengalir karena tangan Linia masih sibuk mencuci tangannya di bawah mulut keran wastafel. Ia tahu jika tangannya sudah bersih, namun ia masih belum niat untuk menarik tangannya dan mengeringkannya.

'Duh... apa aku sudah bicara berlebihan tadi ya? Bisa-bisa karir ku terancam...' Linia terus menerus merutuki dirinya dan menyesali ocehan yang keluar dari mulutnya tadi. Sekarang bahkan ia mungkin tak sanggup menghadapi Jhonathan atau menatap wajah pria itu Linia tidak sanggup.

"Lin, tolong berikan ke pak Jho ya..."

"Bu Lin, tolong minta pak Jho tanda tangan dokumen ini."

"Lin, ini copyan yang dimintai oleh pak Jho, tolong berikan ke beliau ya... karena kakak nggak sempat, ada pertemuan mendadak."

Linia tertegun menatap tumpukan dokumen yang akan ia distribusikan pada Jhonathan. Ia baru saja bertekad untuk menghindari Jhonathan hanya untuk hari ini walau ia rada hal itu adalah hal yang mustahil. Namun, apa daya Linia tetaplah akan bertemu Jhonathan di hampir semua situasi kerja. Mau tidak mau, walau dengan hati yang berat dan tertekan Linia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ruangan Jhonathan.

Tok...tok...tok

"Permisi pak, ini dokumen yang harus bapak periksa dan tanda tangani." ujar Linia sembari langsung meletakkan tumpukkan dokumen beserta map diatas meja Jhonathan yang sedang sibuk dengan layar komputernya.

'Aku rasa cuma aku saja yang terlalu memikirkan ucapanku sendiri, lalu tertekan sendiri.' Linia menatap Jhonathan sekilas yang sibuk bekerja itu. Sama sekali tenang dan tekun, tipe orang serius akan pekerjaan seperti Jhonathan mana mungkin memikirkan hal yang bahkan tidak penting seperti yang Linia pikirkan.

"Kamu masih merasa nggak enak sama saya?" tanya Jhonathan sembari menatap Linia serius.

"*E*h... bukan begitu, saya tidak seperti itu kok." ujar Linia sedikit panik.

"Kamu yakin? Nanti bisa memengaruhi hasil kerjamu."

Linia tersenyum canggung demi menyembunyikan kepanikannya.

Linia pun kembali duduk di kursinya dan menatap layar laptopnya. Ia tidak menyangka jika Jhonathan memikirkan rasa canggung Linia saat ini. jika Linia pikir lagi, ini salah dirinya yang terlalu nampak terbebani, padahal orang lain tidak memedulikannya sama sekali.

"Kadang masa bodoh itu ada gunanya juga." gumam Linia pelan lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Tuk!

Jhonathan menyusun kembali dokumen yang sudah ia periksa dan ia tanda tangani. Kebetulan, matanya lurus memandang seorang wanita yang berada di luar ruangannya melalui dinding kaca tebal. Linia sibuk dengan laptop dan dokumen di mejanya dan seperti menyadari sesuatu ia mengalihkan pandangannya pada ruangan Jhonathan dan mendapati pria itu sibuk bekerja. Mungkin hanya perasaannya atau semacamnya jika Jhonathan memandang kearahnya barusan. Takutnya ada pekerjaan yang bisa dibantu, pikir Linia. Namun jika dilirik, pria itu sangat serius dan mustahil mengalihkan fokus ke hal lain. Linia tidak ingin tahu dan kembali focus.

'tipe orang yang fokus.' - Jhonathan.

"Lin, tidak ada yang lupa?" tanya Jhonathan saat Linia sudah masuk kedalam mobil milik perusahaan.

"Saya sudah cek semua dan semuanya lengkap pak." ujar Linia mantap.

"Oke, pakai seatbelt mu, kita akan berangkat." ujar Jhonathan sembari menyalakan mesin mobil milik perusahaan itu.

Hari ini, Linia menemani Jhonathan perjalanan dinas menuju Bandung. Dimana mereka akan mengunjungi beberapa pabrik milik perusahaan dan kolega bisnis perusahaan. Bagi Linia, ini merupakan perjalanan dinasnya yang keberapa kalinya. Karena ia termasuk sering bepergian selama beberapa waktu bekerja. Akan tetapi, perbedaannya adalah jika di masa lalu ia bepergian secara berkelompok. Kali ini berbeda, ia harus pergi berdua dengan Jhonathan. Memang hanya sebatas bos dan sekretaris, namun rasanya canggung bagi Linia.

Terlebih saat ini, hampir satu jam Linia dan Jhonathan benar-benar sunyi bungkam satu sama lain. Bahkan musik pun tak ada. Linia yang bukan tipe pendiam akut seperti ini mana tahan, ia bisa saja memasang earphone dan tidur. Namun tepat disebelahnya adalah bosnya sendiri.

"Kalau kamu mengantuk, kamu boleh istirahat." ujar Jhonathan memecah keheningan.

"Eh, iya pak...." ujar Linia lalu diam memandang kembali jalanan. Sesekali Linia melirik pria yang mengenakan kaos polo hitam disampingnya itu. Jhonathan benar-benar focus dan diam. Linia pikir, apa pria itu tidak mengantuk saat diam seperti ini??

Sementara itu dikantor.

"Eh... tumben makan siang sendiri? Linia mana?" tanya Dheo pada Elda sembari mengambil tempat di samping Elda yang kebetulan kosong.

"Dia ada perjalanan dinas dengan pak Jho ke Bandung dua hari. Kamu ya, kalau ga ada dicariin, kalau ada malah di usilin." Ujar Elda.

"Kakak ceramah mulu dari kemarin. ngga' cape apa? Kasihan sama dede bayi." ujar Dheo.

Elda hanya diam dan melanjutkan makannya sembari mengelus perutnya yang semakin membesar itu.

"Ha... yang ada mereka mendiami satu sama lain." ujar Dheo sembari menyeruput susu kotak rasa stoberi yang baru ia beli itu. Elda yang sedang makan itu nampak sedikit heran.

"Tumben beli susu? Biasanya ngopi rasa stoberi pula." ujar Elda iseng.

Dheo terkekeh.

"Biarin, sesekali nyusu." ujar pria berkacamata itu.

Sudah hampir dua jam Jhonathan menyetir mobil dijalanan dengan tenang karena pada dasarnya ia bukanlah seorang yang terburu-buru. Suasana di dalam mobil pun sepi karena Linia sudah berlayar kedalam mimpi sejak tadi. Memang Jhonathan yang menyuruh wanita itu istirahat. Walau Jhonathan tidak menyakini jika Linia dapat tidur nyenyak karena keadaan sekarang. Terlebih sinar matahari dari pantulan mobil didepan mereka nampaknya membuat Linia terusik dan risih. Dari ujung mata Jhonathan, ia dapat melihat ekspresi lucu wanita itu. Wajah Linia menjadi kerut dan nampak lucu kemudian wanita itu terbangun dan membenarkan duduknya yang sedikit melorot itu.

"Kenapa Lin? Kok bangun?" tanya Jhonathan pura-pura tak tahu.

"Silau pak. Saya ga bisa tidur." ujar Linia dengan suara seraknya.

"Ngomong-ngomong, ini dimana?" tanya Linia bingung sembari memandang keluar jendela dan masih terlihat tempat asing baginya.

Jhonathan mengulas senyum tipis melihat tingkah kebingungan Linia dari ujung matanya disela kegiatan menyetirnya. Jika dipikir, wanita disampingnya lucu.

"Tiga puluh menit lagi sampai kok." ujar Jhonathan.

"Eh? Bapak sudah menyetir hampir dua jam? Kenapa tidak bilang pak? Kita kan bisa gantian." ujar Linia pada Jhonathan.

"Saya tidak mungkin membangunkan kamu. Saya juga tidak mungkin membiarkan kamu menyetir di keadaan setengah mengantuk sehabis bangun tidur."

Alasan Jhonathan ada benarnya juga. Linia jadi bingung ingin menjawab apa dan memilih diam. Namun dalam hati wanita itu, ia pasti mengganti kelalaiannya nanti.

"Tidak usah dipikirin. kamu kan wanita, tidak mungkin saya biarin kamu yang menyetir selama saya masih mampu."

Linia menatap Jhonathan dalam diam dan berpikir tumben sekali pria disampingnya itu mengucapkan kata-kata yang manis.

To Be Continued.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!