NovelToon NovelToon

Cinta Datang Terlambat

CDT 1

...***...

“Jangan sampai enggak datang ya, Jun. Aku berharap banget kamu bisa datang di hari bahagiaku.”

Perempuan berambut panjang itu memberikan undangan pernikahan berisikan namanya dan juga calon suaminya. Tak lupa pula senyum bahagia terulas di bibirnya, sedangkan Arjuna hanya bergeming di tempatnya.

Apa perempuan ini tahu betapa remuk redam keadaan hati Arjuna saat ini.

“Kalau gitu aku permisi dulu ya, Anton udah nunggu di mobil. Kebetulan kami mau fitting baju pengantin hari ini. Bye, Jun.” ujarnya lagi.

Tanpa menunggu jawaban Arjuna, Reni pergi melangkahkan kakinya ke luar restoran.

Arjuna lagi-lagi harus menelan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Bagaimana tidak, wanita yang dicintainya dan sudah menjalin hubungan selama dua tahun justru mengakhiri hubungan mereka tiga bulan lalu.

Alasannya, karena mereka tak lagi merasa ada kecocokan. Begitu kata Reni. Entah apa maksudnya, mungkin wanita itu yang memang merasa tidak merasakan kecocokan. Sedangkan Arjuna masih sangat mencintainya.

Setelah mengakhiri hubungan antara dirinya dan Arjuna, Reni seolah menghilangkan bak ditelan bumi. Dan Arjuna sendiri sedang mencoba untuk menerima keputusan sepihak itu, tapi belum juga proses move on berjalan, wanita itu kembali datang.

Setelah menghilang tanpa kabar, tiba-tiba saja wanita itu menghubunginya dan mengatakan ingin bertemu dengan Arjuna di restoran tempat pertama kali mereka berkencan, dengan senang hati Arjuna datang. Arjuna pikir Reni akan kembali padanya. Namun sebaliknya, wanita itu justru menyerahkan undangan pernikahan.

Arjuna terlalu naif dengan pikirannya. Kali ini hati Arjuna yang sudah hancur berkeping keping, semakin berserakan di mana-mana. Begitu sampai di sana, Reni menyambutnya dengan senyuman dan menyodorkan sebuah benda berbentuk segiempat berwarna cream yang bertuliskan namanya sendiri serta.

Arjuna merasa itu tidak adil untuknya, karena dengan begitu mudahnya wanita itu mendapatkan penggantinya. Bahkan sudah melangkah lebih jauh. Menikah. Sedangkan Arjuna harus terseok-seok untuk melupakan segala tentangnya, tentang mereka.

Dan wanita bilang apa tadi?

Berharap jika Arjuna datang ke hari bahagianya? Yang benar saja.

...***...

“Wah, gila!”

Aldo memegangi kepalanya melihat kondisi apartemen milik Arjuna yang bak kapal pecah. Aroma minuman beralkohol tercium memenuhi rongga pernapasannya. Botol-botol minuman dan putung rokok berserakan di lantai, atas meja dan kolong meja.

Kotak bekas makanan pun berserakan dan menimbulkan aroma tidak sedap, karena ada makanan yang masih tersisa di dalamnya.

Sedangkan si empunya apartemen itu sendiri bagaikan mayat hidup, hanya duduk diam termenung dengan tatapan kosong ke arah televisi yang menyala.

Ruangan itu gelap dan pengap, pencahayaan hanyalah dari televisi yang menyala dan satu lampu di kamar yang terbuka. Begitu mendekat ke arah Arjuna, Aldo bisa melihat kondisi Arjuna yang kacau. Bagian hitam di bawah matanya menandakan bahwa sahabatnya kurang tidur. Jangan lupakan wajah lesu, serta aroma kurang sedap yang juga ikut tercium dari tubuh Arjuna.

Mengenaskan. Kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan sahabatnya.

“Lo mau sampai kapan mau nyiksa diri kayak gini, Jun?”

Aldo berjalan ke arah jendela, membuka tirai agar cahaya matahari masuk ke dalam ruangan itu.

Arjuna refleks menghalangi sinar matahari yang masuk menggunakan satu tangannya.

“Ck, ini apartemen apa tempat pembuangan sampah sih?” Aldo berdecak kesal melihat pemandangan mengenaskan itu.

“Gue mau panggilin housekeeping dulu buat bersihin semua ini. Lo mandi dulu gih, sana. Baru kita ngomong. Tolong kali ini lo kooperatif deh, kalau masih anggap gue sahabat lo.”

Seolah seperti robot yang mematuhi perintah tuannya, tanpa berkata apapun Arjuna masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Aldo meminta jasa housekeeping untuk membersihkan apartemen milik sahabatnya itu. Tak lupa pula dia memesan makanan, karena Aldo yakin jika Arjuna sama sekali belum memakan sesuatu hari ini.

Petugas housekeeping sudah selesai membersihkan apartemen itu, dan sudah pulang. Kini tinggal Arjuna dan Aldo yang duduk di meja makan.

“Makan, Jun. Gue beli buat dimakan, bukan dipelototi atau diaduk-aduk.” Omel Aldo. “Cukup hati aja yang keaduk, jangan makanan itu.” Lanjutnya.

“Sialan.” Arjuna melemparkan sendok plastik ke arah Aldo.

Aldo berhasil menghindar dan terkekeh.

“Gimana kantor?” Arjuna membuka suara lagi, kemudian menyuapi mulutnya dengan makanan yang tadi hanya diaduk.

“Akhirnya pikiran lo kembali, gue kira bakalan selamanya jadi kayak orang sakau.” ejek Aldo.

“Amanlah, gue yang handle semua. Lo bos kurang ajar, bikin sengsara anak orang. Untungnya si Gladys sekretaris yang kompeten. Gue jadi kebantu sama dia.”

Arjuna manggut-manggut.

“Jangan cuma manggut-manggut lo! Kasih bonus noh, sama liburan.”

“Gampang, lo aja yang atur.” Jawab Arjuna enteng sembari tetap menikmati makanannya.

“Lo emang sahabat yang sialan.” Maki Aldo.

“Gimana perasaan lo sekarang?” nada bicara dan raut wajahnya berubah ketika menanyakan hal itu kepada Arjuna.

Arjuna tidak menjawab langsung, dia mengambil gelas dan meminum isinya hingga tandas.

“Hancur.” Jawabnya singkat.

“Kalau itu gue tau, kelihatan jelas.”

“Kalau udah tau ngapain nanya.”

“Cih, yang patah hati selain bikin orang lain ribet tapi juga sensian kayak cewek lagi PMS,” Ujar Aldo mencibir.

“Yang mau gue tanya gimana perasaan lo sekarang? Dan gue juga bingung, Om sama Tante kok anteng aja lihat mantan lo mau nikah sama orang lain.” Tanya Aldo penasaran.

“Nyokap, bokap, sama adek gue enggak ada yang tau hubungan kami.”

“Hah! Gimana?”

Arjuna mengehala napasnya.

“Keluarga gue enggak ada yang tau kalau gue menjalin hubungan sama Reni.”

“Kok bisa? Kan, kalian pacaran selama dua tahun.” Ujar Aldo merasa heran mendengar jawaban Arjuna.

“Reni belum pernah ketemu orang tua atau adik gue, kalau gue ajak ke rumah atau mau dikenalin ke orang tua gue waktunya selalu enggak tepat. Kadang dia ikut dinas keluar kota atau negeri, pokoknya ya gitulah. Kadang malah udah capek dan nolak. Kerjaannya di kantor dia udah sibuk banget.”

“Lah, aneh. Di mana-mana kalau dibawa ke keluarga seneng, ini malah enggak mau. Berarti memang dari awal dia cuma mau main-main sama lo, Jun.”

“Ya mau gimana lagi, dianya selalu sibuk dan enggak ada waktu, kadang malah jadwalnya bentrok sama gue.”

“Alasan. Mana ada begitu. Sesibuk apa sih, gue tanya? Dia sama kayak karyawan biasa, kalaupun sibuk tanggal merah, weekend dan hari lain enggak bisa sama sekali. Lo yang dibegoin berarti. Susah sih, bucin. Jadinya malah enggak tau kalau lagi dibegoin. Buktinya dia sekarang malah nikah sama atasannya di kantor kan? Berarti dia bukan sibuk kerjaan, tapi memang enggak ada niatan mau serius sama lo.”

Arjuna tercenung. Benar perkataan Aldo. Reni memang selalu beralasan. Tapi Arjuna mencoba mengerti, meskipun tidak bisa bertemu dengan orang tuanya. Namun Reni tetap bisa meluangkan waktunya untuk Arjuna.

“Besok masuk gih, udah tiga hari lo bolos. Lusa ada pertemuan penting sama investor dari Jepang, kalau lo enggak datang. Berarti lo nolak peluang besar. Gue cabut dulu,” setelah mengatakan hal itu Aldo bangun dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari apartemen Arjuna.

Sepeninggalan Aldo, Arjuna hanya memandangi pemandangan kota Jakarta sore itu.

Dua hari yang lalu adalah hari pernikahan Reni, mantan kekasihnya. Tapi Arjuna tidak bisa datang, dirinya belum siap dengan semua ini.

Bagaimana bisa dia melihat wanita yang dicintainya selama dua tahun harus bersanding dengan pria lain. Dia mungkin juga seorang pria, rap dia juga manusia yang memiliki perasaan dan dapat merasakan rasa sakit.

Dia belum sanggup, maka dari itu dia memutuskan untuk tidak datang. Dan malah berakhir menyendiri di apartemennya, ditemani berbotol-botol minuman beralkohol serta rokok. Padahal sudah lama sekali dia meninggalkan benda yang mengandung zat nikotin itu, tapi keputusasaan dan rasa sakit di hatinya membuatnya kembali menikmati barang itu.

Sekali lagi dia menghela napas. Mengenyahkan bayangan Reni dari pikirannya.

...****...

...Bukan update kok, cuma aku revisi lagi....

...Jangan lupa drop LIKE dan LOVE kalian ya....

CDT 2

...***...

Pagi ini keluarga Wijaya berkumpul bersama di ruang makan. Kebetulan hari ini adalah akhir pekan. Kegiatan yang biasa mereka lakukan di akhir pekan adalah menghabiskan waktu bersama.

Arjuna yang sekarang memang tinggal seorang diri di apartemen dekat dengan kantornya selalu menyempatkan diri untuk pulang dan berkumpul bersama keluarganya setiap akhir pekan. Jika tidak, maka ibu negara akan mengomelinya sepanjang minggu serta drama lain yang tak kalah membuatnya pusing.

Mamanya selalu berkata hal yang sama, “Waktu keluarga itu hal yang utama, sesibuk-sibuknya di luar. Jangan sampai melewatkan waktu bersama keluarga, karena belum tentu hal itu bisa selalu dilakukan setiap hari.” begitu katanya.

Dan ya, setiap weekend mereka selalu berkumpul menghabiskan waktu bersama. Seperti sekarang ini.

“Kantor gimana, Jun? Papa dengar kamu berhasil menggaet investor dari Jepang ya.” Tanya Darwin Wijaya—orang tua Arjuna.

“Aman kok, Pa. Iya, dibantu sama sekretaris Juna dan Aldo juga. Puji Tuhan, akhirnya berhasil.”

“Syukurlah kalau gitu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan tanya atau minta bantuan Papa”

“Beres, Pa.” Arjuna mengacungkan ibu jarinya.

“Papa sama Abang, lagi makan juga malah ngebahas kerjaan. Makan dulu deh, jangan ngebahas kerjaan terus.” Protes Bu Dewi.

“Marahin, Ma. Biar kapok.” Nayla memanasi Mamanya.

“Dasar anak kecil, awas kalau minta uang jajan. Enggak bakalan Abang kasih.” Ancam Arjuna.

“Tinggal minta ke Papa wlekk ....”

“Kamu kuliahnya gimana dek, lancar?”

“Lancar dong, Pa. Kemarin juga baru kelar UTS, rasanya senang tiada tara karena berhasil melewati kesengsaraan pas ujian. Dan sebentar lagi aku liburan he he he ....”

“Lebay. Ehh ... liburan? Jangan minta uang jajan ke Abang.”

“Dasar Abang pelit. Orang pelit celananya sempit.” Bibir Nayla mengerucut.

“Nanti Papa aja yang kasih dek, nanti Papa transfer ke rekening kamu ya.”

“Yey! Asyik, pak Darwin Wijaya memang yang terbaik.” Mencium pipi Papanya.

Arjuna dan Bu Dewi—istri pak Darwin– hanya geleng geleng kepala melihat tingkah si bungsu yang kegirangan.

...***...

Setelah sarapan bersama, mereka kini berkumpul di ruang keluarga. Sambil memakan camilan buah dan puding buatan Bu Dewi.

“Kamu enggak berencana mau nikah gitu, Jun?” Tanya Dewi—Mamanya Arjuna.

“Mau,”

“Ya nikah dong, bawa calon mantu Mama ke sini. Jangan cuma bilang mau.”

“Memang ada yang mau sama Abang?” Celetuk Nayla.

“Mama aja yang cariin,” Arjuna tak menggubris celetuk adiknya.

Kedua orang tuanya saling bertatapan mendengar permintaan Arjuna.

“Serius loh, Jun.” tanya Bu Dewi memastikan.

“Iya Ma, Juna serius. Mama aja yang cariin calon istri buat Juna.”

“Wah, Pa. Ini anak kenapa coba? Dulu-dulu aja, waktu mau Mama kenalin sama anak teman arisan Mama, dia ngotot enggak mau. Sekarang malah minta dicariin calon istri.”

Dulu karena Juna udah punya pacar, Ma. Ujar Arjuna dalam hati.

“Nyadar kali Ma, udah tua terus enggak ada yang mau sama Abang. Jadinya gitu deh, sekarang.”

Pletak.

“Enak aja, gini-gini Abang banyak yang naksir tau”

“Aduh, sakit Bang.” Nayla mengusap kepalanya yang terkena jitakan Arjuna.

“Kamu beneran serius, Jun?” Pak Darwin membernarkan kacamatanya.

“Iya, Pa. Aku serius.”

“Kamu mau yang tipe istri seperti apa, Jun?”

“Kalau bisa jangan tipe perempuan yang ribet. Wajahnya cantik, pinter, putih, langsi_”

“Bang, lo mau nikah apa mau cari model buat iklan produk kecantikan?” Sela Nayla.

Pak Darwin dan Bu Dewi terkekeh mendengar ucapan anak bungsunya.

“Ya pokoknya cariin deh, Mama pasti tau yang terbaik buat aku.”

“Oke, deh. Minggu depan kamu siap ya Jun, kalau misalnya langsung lamaran?”

“Kalau udah ada calonnya, Juna siap lah, Ma.”

Kedua orang tuanya tersenyum bahagia mendengar jawaban anak mereka. Sejujurnya Arjuna pun merasa bersalah, karena diusianya yang menginjak dua puluh delapan tahun belum ada pendamping hidup. Dia juga tidak mau membuat keluarganya khawatir.

“Duh, Pa. Mama jadi enggak sabar deh, mau nimang cucu.”

“Apaan sih, Ma. Nikah juga belum, udah nimang cucu aja.”

“Ya enggak apa-apa dong, Jun. Itu namanya doa yang baik. Pokoknya minggu besok kita siapin lamaran buat ketemu calon besan dan mantu. Mama udah enggak sabar.” Ujar Bu Dewi, binar kebahagiaan melingkupi dirinya.

Arjuna merasa senang melihatnya, meskipun nantinya bisa atau tidak mewujudkan keinginan Mamanya yang satu itu. Pasalnya bayang-bayang Reni masih bercokol di hati dan pikirannya hingga saat ini.

“Ya udah kalau kamu memang udah yakin, Mamamu juga seneng banget. Nanti rencananya mau seserahan apa nih?”

“Aku serahin ke Mama ajalah, sekalian sama urusan dekorasi pernikahan dan lainnya, yang penting terima beres. Tinggal nikah doang gitu akunya.”

“Ya ampun, Abang gue ke sambet setan di mana ya?”

Darwin tertawa mendengar jawaban Arjuna, “Sepertinya memang sudah ngebet mau nikah dia, Ma.”

Bu Dewi mengangukkan kepala mengiyakan ucapan suaminya.

“Cie, Abang mau kawin. Abang mau kawin,” Nayla joget-joget kegirangan.

Pak Darwin, Bu Dewi dan Arjuna tertawa melihat tingkah laku Nayla yang kelewat absurd.

...***...

“Jun, gue denger dari nyokap. Lo minta cariin calon istri ke Tante Dewi?”

“Hmh,” Arjuna menjawab dengan gumaman. Tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar komputer yang ada di depannya.

“Lo serius? Sekarang udah berhasil move on dari mantan lo kemarin?”

Arjuna diam tak menjawab pertanyaan Aldo.

Melihat Arjuna hanya diam Aldo heran, “Wah, parah. Jangan bilang lo nikah cuma karena mau balas dendam dan mau manas manasin mantan lo itu! Gila lo, Jun.”

“Berisik Al, laporan yang gue minta udah lo kerjain emang?” Arjuna mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Cih, sok ngalahin topik. Udah gue kirim ke email lo dari tadi.” Aldo bangkit dari duduknya.

“Terus ngapain lo di sini, enggak mungkin cuma karena perihal gue yang minta tolong nyariin calon istri, kan? Ngaku lo,” mata Arjuna kini beralih dari layar komputer dan memincing curiga kepada sahabatnya.

“He he he, tau aja lo. Aldo menggaruk tengkuknya. Gue mau ngajakin Gladys makan siang." Jawabnya malu-malu.

“Sejak kapan kalian dekat dan makan siang bareng?”

“Makanya jangan ngendep di apartemen aja bos, jadi enggak tahu kalau sahabatnya lagi pedekate sama sekretarisnya. Tapi terima kasih loh, berkat lo yang patah hati dan enggak masuk tiga hari. Gue jadi bisa deket sama Gladys.”

Arjuna berdecak.

“Awas aja sampai kerjaan enggak beres karena sibuk pacaran, gue potong gaji kalian.”

“Enak aja, kami enggak gitu ya. Memang lo, patah hati ngerem di apartemen, untung itu telor enggak netes karena kelamaan dierem.”

“Sialan!” Arjuna melemparkan binder ke arah Aldo.

Aldo berhasil menghindar dan terkekeh.

“Gue cabut ah, neng Gladys udah nunggu mau makan siang bareng. Aa Aldo mau pacaran dulu. Dah, Juna jomlo.”

“Taik.” Makinya.

Setelah kepergian Aldo, Arjuna merenggangkan ototnya. Dan menatap layar komputer di depannya. Dia tercenung melamunkan keputusannya. Saat ini hatinya mungkin masih belum bisa melupakan wanita itu, tapi dia juga tidak mau membuat keluarganya khawatir. Jadi dia berharap ini adalah keputusan terbaik yang bisa dia lakukan.

“Semoga.” Gumamnya.

...****...

CDT 3

Part ini tuh, related banget sama kehidupan jomlo. Karena semua yang jomlo pasti pernah mengalami hal seperti Danita.

Kalau kamu sering enggak dapat pertanyaan ini?

...***...

Diusia menjelang dua puluh lima tahun harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. Entah itu tentang pekerjaan, atau juga tentang cinta. Diusia segitu juga, sudah banyak undangan datang menghampiri. Baik dari teman-teman seangkatan ketika duduk di bangku SMA atau kuliah, ada juga teman sekantor.

Berbagai macam pertanyaan juga kerap menghampiri, kadang membuat jengkel, kadang juga membuat tertawa.

Pertanyaan, “kapan nikah?” atau “kapan bawa gandengan, setiap kondangan sendiri terus.” Begitulah kira-kira, jika diusia yang menurut masyarkat kita ini matang, atau malah dibilang perawan tua. Padahal kan, patokan usia untuk menikah itu tidak ada. Mau usia berapapun terserah individu saja, tapi sepertinya hal itu tidak berlaku di masyarakat kita.

Bukan hanya orang luar, terkadang nyinyiran datang dari orang terdekat. Keluarga salah satu contohnya.

Hal yang sama terjadi kepada Amrilla Danita, atau lebih akrab dipanggil Nita oleh orang-orang di sekitarnya. Sejak beberapa bukan terakhir Tantenya—adik dari ibunya–selalu saja merecoki kehidupan Danita yang damai.

Entah mimpi apa dia, Tantenya setiap bertemu selalu saja berusaha menasihati Nita untuk tidak terlalu pemilih dalam mencari pasangan hidup.

Padahal Nita tidak pernah sekalipun melakukan itu, ya kalau memilih seorang pria yang baik untuk dijadikan suami bukannya itu hal wajar, ya? Karena jika hanya bermodal penampilan fisik saja, maka hal itu akan sirna seiring berjalannya waktu. Danita hanya ingin seorang pria yang biasa saja, tetapi bertanggung jawab atas dirinya dan mencintai keluarga kecil mereka nantinya.

Apakah hal itu salah?

Kadang Danita berpikir apakah permintaannya terlalu muluk, sehingga Tuhan belum juga mengrimkan seseorang untuk membuka hatinya dan juga mencintainya.

Entahlah, Danita hanya pasrah saja dengan keadaan yang ada.

“Mbak Nita lembur lagi malam ini?” Tanya Inel.

Nama sebenarnya Audrey Nadila, tapi panggilan akrabnya Inel. Jauh ke bedug alias jauh banget, kan.

Pertanyaan inel membuatnya sadar dari pikirannya yang entah tercecer di mana.

“Iya, kebetulan masih ada laporan barang yang baru aja tadi sore. Mau pulang juga tanggung banget, karena besok weekend. Jadi biar sekalian aku kerjain malam ini, biar Senin nanti aku bisa santai.” Ujarnya dengan senyum semringah.

“Oke, deh, aku pulang duluan ya. Badanku rasanya mau potek, karena Pak Burhan yang reseh. Yang salah bawahannya, yang dipanggil semua. Bikin kesel”

Danita tahu itu, karena dia pun bernasib sama. Pria paruh baya itu mengomeli semua Divisi Perencanaan siang tadi, ketika rapat dengan Mr. Kim. Pak burhan selaku Direktur Pelaksana di bagian Divisi Pemasaran, memanggil Danita dan beberapa staff lain juga.

Pak Burhan melakukan protes perihal data barang yang salah, padahal besok pagi seharusnya sudah selesai dan akan dihabas di rapat besok pagi. Akhirnya mereka melakukan pengecekan ulang dan ternyata justru bawahan Pak Burhan sendirilah yang melakukan kesalah tersebut.

Tanpa mengucapkan permintaan maaf, Pak Burhan pergi begitu saja setelah meteting selesai. Melewati Danita, Inel, Tami, Dimas begitu saja, seolah mereka tidak ada. Padahal karena dialah Danita dan rekan-rekannya harus kerja dua kali.

“See ya, Mbak.” Inel melambaikan tangannya.

“Titi dj ya, Nel. Sekalian bilang satpam kalau aku lembur.”

“Okey, Mbak, bye. Muach…”

Danita hanya terkekeh menanggapi tingkah Inel, pasalnya karena tingkah konyol Inel dan Dimas di ruangan inilah yang membuatnya tidak mudah bosan dan merasa sedikit terhibur, ketimbang hanya melihat angka-angka saja.

Keadaan ruangan sudah sepi, semua kubikel-kubikel itu juga sudah ditinggalkan oleh penghuninya.

Danita fokus menatap layar komputernya, menyalin setiap angka yang ada selembaran kertas berwarna putih itu. Setelah disalin dia akan langsung memisahkan kertas putih dan kuning ditaruhnya ke dalam binder dan menyusunnya sesuai tanggal dan juga bulan.

Jika ada beberapa catatan penting yang dia catat, kemudian ditempelkan di kubikelnya menggunakan post it. Karena terlalu fokus, sampai-sampai Danita lupa waktu. Ketika dia melihat jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Danita menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghilangkan rasa pegal di lehernya.

Perutnya bahkan sudah berbunyi, minta diisi. Danita segera membereskan mejanya, dan meyampirkan tas ke bahunya. Tak lupa dia mematikan layar komputernya, sebelum benar-benar pergi dari sana.

Untungnya tidak hujan, karena hari ini Danita tidak membawa mobil. Entah kenapa mobil itu tiba-tiba saja tidak bisa dinyalakan, dan akhirnya dia harus merelakan mobilnya menginap di bengkel yang tak jauh dari rumahnya.

Danita memutuskan untuk mampir ke tempat makan pinggir jalan. Dia memesan air mineral dan juga satu porsi pecel lele. Saat duduk matanya tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria yang entah siapa.

Pria itu hanya mengenakan kaos putih dan celana hitam, serta sepatu sandal. Danita lebih dulu membuang wajahnya, tak sopan memandang seseorang yang belum kita kenal terlalu lama.

“Neng, ini pesanannya.”

Pelayan tadi menyajikan sepiring pecel lele.

Selesai makan, Danita pulang ke rumahnya. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia lalu mengeringkan rambutnya.

Danita kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur. Namun dia baru teringat, karena sejak tadi dia tidak memegang ponselnya. Danita bangkit dari tempat tidur, membuka tas untuk mencari benda pipih itu. Setelah menemukannya, Danita mengeryitkan alis karena terdapat lima panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari ibunya.

Ponselnya dalam keadaan mode silent, pantas saja Danita tidak mendengarnya. Dia melihat jam, menunjukkan pukul sepuluh dan ibunya pasti sudah tidur. Kemudian Danita mengecek isi pesan yang dikirim ibunya.

Ibu

Nit, besok pulang ya. Kebetulan arisan keluarga bulan ini di rumah kita.

Danita meletakkan kembali ponsel miliknya di atas nakas tanpa ada niatan untuk membalas pesan yang dikirim oleh ibunya.

Dia menghela napasnya.

Arisan keluarga.

Dulu berkumpul bersama keluarga besar keluarganya adalah hal yang paling Danita nantikan, karena dia akan bertemu para sepupunya. Tapi seiring bertambahnya usia mereka, hal seperti itulah yang paling dia hindari.

Baru saja minggu lalu terbebas dari pertanyaan menyebalkan itu dan kini Danita harus bertemu merek kembali, bukan benci kepada para saudari ibunya hanya kurang menyukai ucapan yang terlontar dari mulut mereka.

Apalagi kalau bukan pertanyaan keramat, “kapan nikah?” kemudian disusul dengan kalimat sakti lainnya, “jangan terlalu pilih-pilih, hal itu nggak baik.”

Nah, kan serba salah. Jika didiamkan malah seenaknya membuat spekulasi sendiri. Kalau dijawab malah nambah panjang urusan, paling tepat ya bilang, “doakan ya, Tante.” Sambil senyum manis.

Ingin rasanya Danita berdoa besok hujan lebat seharian, agar tidak perlu pulang. Membayangkan pertemuan dengan keluarga besarnya besok sudah membuat Danita malas, kepalanya mendadak pening. Jika saja memilih pasangan sama seperti memilih pakaian di etalase toko, tapi kenyataan tidak semudah itu.

Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita berpasangan, bisa kita coba lalu tukar jika tidak merasa cocok. Jodoh itu rahasia tuhan, sama seperti kematian. Namun, tidak semua orang menyadari itu.

Danita mengehala napas dan mulai memejamkan matanya, bersiap untuk menyiapkan tenaganya besok sebelum bertemu dengan kerabatnya. Dia berharap semoga besok kesabarannya tetap tinggi seperti Tembok Berlin.

...****...

...Kapan nikah? 👉 Kapan punya anak? 👉 Kapan punya adek? 👉 Kapan cerai? #ehhh...

...Ya intinya gitu deh, nyinyiran gak akan pernah habis....

...Jangan lupa klik tombol LIKE, LOVE, VOTE, kalau mau kasih hadiah makasih banget malah 😜...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!