NovelToon NovelToon

My Baby'S Daddy

Awal Derita Alina

"Akh, kepalaku sakit!"

Alina terbangun dari tidurnya sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit. Gadis itu memperhatikan sekelilingnya kemudian membulatkan matanya dengan sempurna.

"Oh Tuhan, dimana aku!" pekik Alina sembari melompat dari tempat tidur.

Karena kepalanya yang masih terasa berat, tubuh Alina pun melayang dan jatuh tepat di samping tempat tidur tersebut. Keterkejutan Alina tidak hanya sampai di situ. Sekarang ia kembali memekik setelah sadar bahwa dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun.

"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Di mana aku?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan itu hingga ke tempat tidur yang tadi ia tempati. Betapa terkejutnya Alina ketika mendapati sebuah noda merah di atas seprei berwarna putih tersebut.

"Apa itu?"

Tubuh mungil Alina bergetar hebat saat ia tahu bahwa noda itu adalah noda darah perawannya. Rasa sakit dan perih pada area sensitifnya membuat ia yakin bahwa seseorang sudah merenggut kesuciannya.

Tubuh Alina jatuh ke lantai kamar hotel tersebut. Ia terisak sambil mengingat-ingat kejadian tadi malam sebelum ia tidak sadarkan diri.

. . .

Ya, beberapa hari yang lalu Alina berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Imelda. Alina yang sedang mendapatkan kesusahan, mencoba meminta bantuan kepada sahabatnya itu.

Imelda sendiri berasal dari keluarga yang mampu, berbanding terbalik dengan Alina yang selama ini hidup serba kekurangan bersama Ibunya yang sakit-sakitan.

Alina mencoba mengutarakan keinginannya kepada Imelda. Ia ingin meminjam sejumlah uang untuk membayar biaya perawatan Ibunya yang saat ini masih dirawat di Rumah Sakit.

"Bagaimana, Mel? Apa kamu bisa membantuku?" tanya Alina untuk kedua kalinya, karena Imelda hanya diam dan tidak bicara sepatah katapun.

Imelda masih nampak berpikir keras dan setelah beberapa saat kemudian ia pun mulai membuka suaranya.

"Baiklah, tapi apa kamu mau menunggu satu atau dua hari lagi?"

Tanpa pikir panjang, Alina pun menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ia sangat senang karena akhirnya ia tidak perlu meminjam uang ke rentenir.

Padahal sebelumnya Alina sudah sempat berpikir untuk meminjam uang tersebut kepada rentenir yang sering meminjamkan uang di kampungnya, walaupun ia harus membayarnya berkali-kali lipat dari jumlah yang ia pinjam.

"Terima kasih banyak, Mel. Kamu memang sahabatku yang paling baik," ucap Alina seraya memeluk tubuh Imelda.

Imelda nampak tidak nyaman saat Alina memeluknya. Ia melerai pelukan gadis itu sambil memasang wajah malas.

"Ya, ya, baiklah!"

Dua hari kemudian, Alina mendapatkan sebuah pesan dari Imelda bahwa sahabatnya itu ingin bertemu dengannya. Dengan penuh harap, Alina pun bergegas menemui Imelda walaupun ia harus meninggalkan Ibunya sendirian di Rumah Sakit.

Namun, ketika Alina tiba di kediaman Imelda, Alina merasakan ada yang aneh dari sahabatnya itu. Imelda meminta Alina untuk mengganti pakaian yang sedang gadis itu kenakan dengan pakaian miliknya.

Alina merasa risih karena dress yang diberikan oleh Imelda terlalu seksi dan terbuka. Tidak hanya sampai di situ, Imelda juga mendadani dirinya hingga kini penampilan Alina mendadak berubah 180 derajat.

"Kenapa aku harus berpakaian seperti ini, Mel? Memangnya kita mau kemana malam-malam begini?" tanya Alina dengan wajah heran menatap Imelda yang sekarang menuntunnya memasuki sebuah taksi online, yang memang sudah dipesan oleh gadis itu sebelumnya.

"Sudah, kamu tenang saja, Alina. Pokoknya malam ini kita akan bersenang-senang," sahut Imelda seraya masuk ke dalam taksi tersebut.

"Mel, saat ini aku butuh uang dan bukannya bersenang-senang," lirih Alina.

"Bersenang-senang dan uang yang banyak, itulah yang akan kita dapatkan malam ini. Percayalah padaku." Imelda mengedipkan matanya kepada Alina sambil menyeringai licik.

Setelah beberapa saat, kedua gadis itupun tiba di depan sebuah hotel berbintang. Imelda mengajak Alina memasuki hotel tersebut. Ia juga menuntun Alina memasuki sebuah suite room yang sudah dipesan oleh seseorang sebelumnya.

Sejuta pertanyaan masih menghantui pikiran Alina saat itu. Ia bingung kenapa Imelda mengajaknya ke tempat itu. Di saat Alina masih terheran-heran menatap kamar mewah yang sedang mereka tempati, tiba-tiba saja Imelda menyodorkan sebuah minuman kepadanya.

"Minumlah."

Tanpa memaruh rasa curiga sedikitpun, Alina meraih gelas itu kemudian meminumnya. Kebetulan saat itu Alina memang sedang kehausan. Alina menghabiskan segelas minuman itu hanya dalam beberapa kali tegukan.

Imelda tersenyum licik sembari memperhatikan Alina yang sedang menikmati minuman itu. Hingga beberapa menit kemudian Alina merasakan sakit di kepalanya.

"Mel, kepalaku sakit! Ada apa ini?" pekik Alina sambil memegang kepalanya.

Imelda tidak berniat membantu sedikitpun. Ia malah tersenyum puas melihat Alina yang tergopoh-gopoh, mencoba keluar dari ruangan itu. Namun, akhirnya gadis itu jatuh dan tak sadarkan diri lantai kamar hotel tersebut.

Di saat-saat terakhir, sebelum Alina jatuh tersungkur, ia sempat melihat seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan itu dan segera di sambut oleh Imelda dengan senyuman hangatnya. Seorang laki-laki tua dengan perawakan pendek dan perut buncit.

***

Musuh Bertopeng Sahabat

"Apakah Imelda menjualku dengan Om-Om yang tadi malam memasuki ruangan ini?!" pekik Alina yang masih dihantui sejuta pertanyaan di kepalanya.

Di tengah-tengah kebingungan, Alina melihat sejumlah uang teronggok di atas nakas. Perlahan Alina menghampiri nakas itu dengan tertatih-tatih. Ia juga menemukan sebuah catatan kecil di atas tumpukan uang kertas berwarna merah dan biru tersebut.

'Untuk Alina'

Alina terisak, ia masih tidak percaya bahwa Imelda, sahabat yang selama ini sudah ia anggap seperti saudara, begitu tega menjual dirinya kepada lelaki hidung belang.

Masih dengan air mata yang bercucuran, Alina meraih semua uang itu kemudian memasukkannya ke dalam sebuah tas kecil. Sepertinya tas itu memang sudah disiapkan oleh orang yang meninggalkan uang tersebut.

Setelah selesai menyimpan uang tersebut, Alina duduk di tepian tempat tidur sambil memperhatikan dress seksi milik Imelda yang tergeletak di samping tempat tidur. Ia meraih dress itu kemudian membawanya ke kamar mandi.

Alina menggantung dress seksi tersebut kemudian ia pun memulai ritual mandinya. Gadis itu kembali terisak di bawah pancuran air shower yang kini membasahi seluruh tubuh polosnya.

Ia merasa tubuhnya begitu kotor dan menjijikkan. Ia bahkan tidak tahu siapa yang sudah mengambil kesuciannya.

"Ya, Tuhan! Maafkan aku, aku sudah berusaha untuk menjaga kehormatanku selama ini. Namun, hari ini kesucianku direnggut oleh seseorang yang sama sekali tidak aku kenal," lirih Alina sambil memukul-mukul tubuhnya sendiri.

Cukup lama Alina mengguyur tubuhnya di bawah pancuran air dan membersihkannya dengan sabun secara berulang-ulang, hingga Alina sendiri tidak tahu sudah berapa puluh kali ia mencuci tubuhnya.

Alina yang merasa kedinginan, akhirnya memutuskan menghentikan ritual mandinya dan segera berpakaian. Ia terpaksa mengenakan dress seksi milik Imelda itu kembali. Dress sial yang sudah membuat hidupnya hancur dalam satu malam.

Selesai berpakaian, Alina segera meninggalkan hotel itu dengan membawa serta uang yang tadi ia temukan di atas nakas. Sekarang tujuannya adalah kediaman Imelda, musuh yang bertopeng sebagai sahabat.

Setibanya di sana, Imelda menyambut kedatangan Alina dengan wajah malas. Walaupun begitu, Imelda masih mempersilakan gadis malang itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Kamu benar-benar tega, Mel! Sebenarnya apa salahku hingga kamu tega melakukan hal ini kepadaku? Selama ini aku menganggapmu sebagai sahabat terbaik bahkan lebih dari itu, kamu sudah seperti saudaraku sendiri, Mel!" kesal Alina dengan air mata yang terus merembes dari pelupuk matanya.

Imelda tersenyum sinis mendengar ucapan gadis itu. "Apa? Sahabat kamu bilang? Sahabat dari Hongkong?! Seorang sahabat tidak akan pernah menghancurkan kebahagiaan sahabatnya, Alina!" bentak Imelda dengan mata membelalak menatap Alina.

"Apa maksudmu?!" Alina menautkan kedua alisnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Imelda saat itu.

"Semua orang sudah tahu, Alina! Satu sekolah juga sudah tahu bahwa kamu sudah jadian sama Chandra, 'kan?! Di mana hatimu saat kamu mengaku sebagai seorang sahabat, padahal kamu sendiri tahu bahwa selama ini aku begitu mencintai Chandra," sahut Imelda. Kini mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

"Ya Tuhan, Imelda. Jadi kamu melakukan hal keji ini hanya karena Chandra? Kamu keterlaluan, Mel. Aku tidak rela, benar-benar tidak rela!" Tubuh Alina bergetar hebat dan ia kembali terisak.

Imelda tersenyum puas melihat kehancuran Alina. "Sekarang kita impas, Alina. Kamu sudah hancur dan Chandra pun pasti akan merasa jijik kemudian menjauhimu."

Alina mengangkat kepalanya dan menatap Imelda lekat. "Asal kamu tahu, Imelda. Aku dan Chandra tidak memiliki hubungan apapun. Ya, aku akui beberapa hari yang lalu Chandra menyatakan perasaannya kepadaku tetapi aku menolaknya. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap lelaki itu dan aku juga tahu bahwa selama ini kamu begitu tergila-gila kepadanya!"

Imelda kembali tersenyum sinis. "Terserah apa katamu, Alina. Karena saat ini aku sudah tidak mempercayai kata-katamu lagi."

"Oh ya, hampir saja aku lupa. Soal uang yang ada di tanganmu, sebaiknya kamu bawa saja semuanya. Bukankah kamu butuh uang itu untuk biaya pengobatan Ibumu?" lanjut Imelda sambil menyilangkan kedua tangannya ke dada.

Alina masih menutup bibirnya rapat, tetapi tatapannya tetap tertuju pada Imelda, gadis yang sudah menjual dirinya kepada lelaki hidung belang hanya karena masalah sepele.

"Ya, aku memang membutuhkan banyak uang, Imelda. Namun, bukan seperti ini caranya. Kamu sudah menjerumuskan aku ke dunia yang begitu menjijikan," kesal Alina sambil menyeka air matanya.

"Hari ini bisa saja kamu bilang begitu, Alina. Tapi, besok-besok aku yakin kamu pasti akan berterima kasih padaku," jawab Imelda sambil tertawa lepas.

Imelda menghentikan tawanya kemudian membuka pintu dengan lebar. "Sekarang pergilah, Alina. Mulai sekarang aku bukanlah sahabatmu lagi, ingat itu!"

Alina melangkahkan kakinya keluar dari rumah mewah milik mantan sahabatnya itu. Baru beberapa langkah keluar dari pintu, Imelda membanting pintunya dengan keras hingga Alina pun sempat terperanjat dibuatnya.

"Kamu benar-benar kejam, Imelda. Aku harap Tuhan membalaskan perlakuanmu padaku. Hanya gara-gara Chandra, kamu menjual diriku kepada lelaki hidung belang," gumam Alina seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

***

Bully

Sebelum kembali ke Rumah Sakit, Alina sempat mampir ke sebuah pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari Rumah Sakit tersebut. Ia membeli setelan untuk ia kenakan.

Tidak mungkin ia kembali ke Rumah Sakit dengan menggunakan dress seksi yang masih menempel di tubuhnya tersebut. Bisa-bisa penyakit stroke Ibunya kembali kambuh atau mungkin menjadi lebih parah dari sebelumnya.

Setelah selesai mengganti pakaiannya, Alina pun kembali meneruskan langkahnya menuju Rumah Sakit untuk menemui sang Ibu.

"Alina sayang, kamu dari mana saja, Nak?"

Kedatangan Alina disambut pertanyaan oleh sang Ibu yang masih berselonjor di atas tempat tidur pasien. Sebenarnya kondisi Bu Nadia sudah mulai membaik.

Namun, karena Alina masih belum mendapatkan uang untuk membayar biaya perawatan serta Rumah Sakit, terpaksa Bu Nadia pun bertahan di sana.

Alina melemparkan sebuah senyuman hangat untuk sang Ibu, kemudian duduk di samping wanita yang sudah melahirkannya itu. Ia meraih tangan Bu Nadia lalu mencium punggung tangannya berkali-kali.

"Bu, Alina sudah mendapatkan uangnya," ucap Alina dengan mata berkaca-kaca.

Wajah Bu Nadia nampak semringah. Ia tersenyum lebar sambil menggenggam tangan Alina dengan erat.

"Benarkah? Tapi ... dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu, Alina? Apa kamu meminjamnya kepada para rentenir yang sering berkeliaran di kampung kita?" tanya Bu Nadia.

Wajah Bu Nadia yang tadinya semringah mendadak sendu. Ia takut Alina mendapatkan uang itu dari hasil meminjam kepada rantenir yang sering meminjamkan uang di kampungnya.

Dan yang menjadi kekhawatiran Bu Nadia adalah bagaimana cara mereka membayarnya nanti. Sedangkan jumlah uang yang harus dibayarkan kepada rentenir itu hampir tiga kali lipat dari jumlah pinjaman.

Alina tersenyum getir sambil mengelus tangan Bu Nadia. "Bukan, Bu. Ibu tenang saja, Alina pun tidak berani meminjam uang kepada mereka. Alina mendapatkan uang ini dari Imelda, Bu. Beruntung dia bersedia meminjamkan uang simpanannya untuk kita," sahut Alina bohong.

"Maafkan Alina, Bu. Alina terpaksa harus berbohong kepada Ibu," batin Alina.

"Oh, syukurlah. Imelda memang anak yang baik. Semoga Tuhan membalaskan kebaikannya, amin."

"Amin."

Hari itu Alina segera mengurus semuanya dengan menggunakan uang yang ia dapat dari hasil menjual keperawanannya. Dan tepat di hari itu pula, Bu Nadia diperbolehkan pulang. Mereka kembali ke rumah sederhana mereka yang terletak jauh di ujung gang.

"Selamat datang kembali, Bu."

Alina membuka pintu rumah mereka kemudian menuntun Bu Nadia masuk ke dalam. Ia mendudukkan Ibunya di sofa usang yang ada di ruang depan.

Walaupun sebenarnya pergerakan Bu Nadia masih terbatas karena stroke ringan yang sempat menyerangnya, tetapi wanita paruh baya tersebut masih bersyukur karena ia masih bisa bergerak sendiri.

"Alina, kamu kenapa, Nak? Sejak di Rumah Sakit Ibu terus memperhatikanmu dan wajahmu selalu terlihat murung. Sebenarnya ada apa, Nak? Ceritakanlah kepada Ibu," ucap Bu Nadia saat memperhatikan wajah murung Alina yang nampak tidak seperti biasanya.

"Tidak apa-apa, Bu. Alina hanya pusing memikirkan ujian akhir yang sebentar lagi akan dilaksanakan," sahut Alina.

Bu Nadia pun kembali tersenyum. Ia merengkuh pundak Alina kemudian memeluk gadis itu.

"Yakinlah, Nak. Kamu pasti berhasil melewatinya," ucap Bu Nadia.

"Semoga saja, Bu."

Beberapa hari kemudian.

Alina menarik napas dalam sebelum ia melangkahkan kakinya. Ia kembali berbalik dan menatap Bu Nadia yang masih tersenyum kepadanya.

"Dah, Ibu."

Alina melambaikan tangannya kepada Bu Nadia kemudian mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sederhana yang selama ini menjadi saksi kisah hidupnya sejak lahir hingga sekarang.

"Hati-hati di jalan, Nak."

Setelah berjalan kaki sekitar 30 menit, akhirnya Alina tiba di depan gerbang sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama dilangsungkannya ujian akhir sekolah.

Dengan langkah gontai, Alina kembali melangkahkan kakinya melewati ruangan demi ruangan yang ada di sekolah tersebut.

Namun, kali ini ada yang aneh bagi Alina. Gadis itu memperhatikan sekelilingnya dengan wajah bingung. Hampir semua siswa yang ia lewati, menatapnya dengan tatapan aneh. Mereka bahkan terlihat sedang membicarakan sesuatu yang tidak baik tentang dirinya.

Gadis itu mencoba berpikir positif dan kembali meneruskan langkahnya menuju ruang kelas. Hingga akhirnya Imelda menahan langkah kaki Alina tepat di depan pintu ruang kelas. 

"Masih punya muka juga ini orang kembali ke sekolah setelah kelakuannya tersebar di dunia maya," ucap Imelda sambil menyeringai menatap Alina.

"Apa maksudmu, Mel? Menyingkirlah, aku ingin masuk." Alina mencoba masuk ke dalam ruangan itu, tetapi Imelda tetap tidak membiarkan dirinya masuk.

"Lihatlah dia, teman-teman! Aku tidak menyangka dia memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Buktinya, setelah perbuatan mesumnya tersebar di dunia maya, ia masih saja berani menampakkan wajahnya di hadapan umum," tutur Imelda sambil tersenyum sinis.

Semua siswa dan siswi meneriaki Alina. Mereka menghina, menghardik hingga ada yang tega melemparnya dengan kertas yang yang sudah di remass-remass.

"A-apa maksudmu?" tanya Alina dengan terbata-bata.

"Lihatlah sendiri," sahut Imelda seraya menyerah ponsel miliknya kepada Alina.

Dengan tangan gemetar, Alina menyambut ponsel itu kemudian memperhatikan video yang sedang diputar di layar benda pipih tersebut. Video yang sengaja direkam oleh Imelda sesaat setelah Alina jatuh pingsan.

Seorang laki-laki berperawakan gendut, pendek dan kepala yang hampir plontos tersebut mengangkat tubuhnya yang tidak berdaya ke atas tempat tidur.

"Ya Tuhan, Imelda! Kamu sudah sangat keterlaluan. Seandainya saja aku tidak mengingat semua jasa dan kebaikan Ibumu, mungkin aku sudah--"

"Apa? Coba saja kalau berani!" Tantang Imelda tanpa rasa takut sedikitpun.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!