Paris, dua puluh tahun yang lalu.
Dua gadis kecil sedang asyik main rumah-rumahan di sebuah kamar bernuansa ungu muda. Mereka mendirikan tenda dari sprei berwarna pink yang dibentangkan di antara dua kursi.
“Kayla, sini masuk aku sudah bikin cupcake.” Gadis kecil bernama Fatin menempatkan sepotong cupcake mainan di atas piring kecil dan pura-pura menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Sebentar aku masih belanja sayur.” Gadis kecil bermata bulat dengan manik hitam legam itu menyahut sambil menempatkan sayuran plastik ke dalam keranjang bawaan.
Fatin memunculkan kepalanya dari dalam tenda lalu berkata, “Come on, Kayla, you’re gonna miss the cupcake.”
Kayla bergegas masuk ke dalam tenda lalu pura-pura menyesap teh dan menyantap cupcake. “This is good, Fat. Aku mau lagi dong yang beneran tapinya.” Keduanya tertawa lalu bersama-sama lari ke luar kamar menuju dapur.
“Umi, Fatin dan Kayla laper…” Seorang wanita cantik bernama Fathimah tersenyum pada dua gadis kecil di hadapannya. “Kan, bukannya kamu masak cupcake, Fat,” balasnya sambil mengedipkan mata ke Kayla.
Fatin dan Kayla hanya cengar-cengir. Mata mereka menatap sepiring cupcake warna-warni di atas meja dapur. “Voici, bon appetite mademoisselles.” Ucap Umi berseloroh.
“Merci, Umi,” balas Fatin sambil mengambil cupcake diikuti oleh Kayla.
“Thank you, Aunty,” ucap Kayla sambil menikmati cupcake bertopping gula-gula dan strawberry.
Di apartemen yang hangat itu mereka menikmati hidangan sore. Salju mulai turun, matahari sudah lama bersembunyi walaupun jam baru menunjukkan pukul 17.00.
“Kay, kamu kapan balik ke Indonesia?” Tanya Fatin sambil menuangkan teh ke cangkir sahabatnya.
“Kata papa minggu depan jadinya. Mulai besok barang-barangku mulai dimasukin ke box.”
Wajah Fatin berubah sendu. Dua tahun terakhir semenjak berkenalan dengan Kayla, hari-hari Fatin menjadi lebih ceria. Mereka tinggal di gedung apartemen yang sama. Fatin di lantai 24 dan Kayla di lantai 30.
Usia mereka hanya terpaut 1 tahun. Fatin 7 tahun dan Kayla 6 tahun. Mereka pergi ke sekolah yang sama yaitu Public School of Louis di tengah kota Paris. Walaupun keduanya putri diplomat namun orang tua mereka menyekolahkan di sekolah umum dan bukan di sekolah internasional agar bisa berbaur dengan anak-anak setempat.
Kayla lebih dulu tinggal di Prancis sedangkan Fatin baru menyusul satu tahun kemudian. Bersekolah di sekolah umum membuat mereka sangat fasih berbahasa Prancis.
Berbeda dengan Kayla yang banyak teman, Fatin hanya memiliki beberapa saja. Ia memiliki kelainan ginjal sejak lahir, sehingga ibunya, Umi Fathimah sangat protektif.
Fatin jarang main bersama teman-temannya seusai sekolah. Ia banyak menghabiskan waktu dengan menggambar atau membaca di rumah. Kadang ibunya membawa ke taman kota, di sana ia bisa menikmati udara luar.
Semenjak berkenalan dengan Kayla mereka langsung akrab. Hampir tiap hari Kayla main ke rumah Fatin. Sesekali Fatin main ke rumah Kayla sembari Umi Fathimah mengobrol dengan Ibu Wiranata, mamanya Kayla.
***
Di Bandara Charles De Gaulle, dua gadis kecil berpelukan. Saatnya mereka berpisah. Ayah Fatin masih harus bertugas dua tahun lagi di Prancis, sementara ayah Kayla sudah selesai tugas dan harus pulang ke Indonesia
Sebagai putri diplomat mereka sudah terbiasa berpindah negara, meninggalkan teman lama untuk menjalin pertemanan baru. Namun kali ini berat buat keduanya untuk menyampaikan salam perpisahan.
“Promise me that we will keep in touch,” Fatin menatap mata sahabatnya.
“We will, forever and ever,” balas Kayla dengan air mata berlinang. Keduanya lalu berpelukan lagi. Pelukan perpisahan.
***
Bandara JFK, New York, 15 tahun kemudian
“Kay… over here!” Fatin berseru sambil melambaikan tangannya. Seorang gadis remaja tersenyum ke arah Fatin dan dengan konyol berlari sambil kerepotan menarik koper besar agar lekas bisa memeluk sahabatnya.
“Assalamualaykum, Fatiiin! I miss you so much, girl!” Mereka berpelukan sambil menangis bahagia, lalu tertawa-tawa. Orang-orang melihat mereka sambil tersenyum geli.
“Walaykumussalam BFF-ku, aaah alhamdulillaah akhirnya kamu sampai juga! Aku sampai berakar di sini nungguin kamu!” Seru Fatin sambil mencium pipi kiri dan kanan sahabatnya.
“Welcome to New York, Kay. Gimana tadi penerbangannya?”
“Aunty Fathimah! Kayla nggak nyangka aunty ikut jemput…” Kayla langsung menghambur dan memeluk ibunda sahabatnya.
“Kamu cantik banget, Kay. Udah tinggi. Terus pake hijab dan gamis gini malah makin cantik deh. Coba muter, Aunty mau lihat …” Kayla lalu berputar bak peragawati. Ia kini tumbuh menjadi gadis berumur 21 tahun yang cantik. Dibalik balutan gamis dan hijab, kecantikannya masih terpancar. Senyumnya lebar dan tulus. Matanya bening dengan manik mata yang hitam legam namun penuh kelembutan.
Fatin menyeringai melihat sahabatnya berputar-putar. Lalu ia menarik lengannya dan menggandengnya erat. Fatin sendiri juga tidak kalah cantik. Gadis keturunan Arab berumur 22 tahun itu dikaruniai hidungnya mancung sempurna, matanya bulat dan bersinar menunjukkan kecerdasan pemiliknya.
Saat berjalan berdampingan walaupun mereka berdua memakai gamis dan hijab, tidak sedikit orang melirik ke arah mereka.
Mereka menuju ke gedung parkir dimana Kak Thoriq sudah menunggu di mobil.
“Kak Thoriq, assalamualaykum. Apakabar? Makasi ya udah jemputin Kayla. Tau nggak tadi pas transit di Dubai, Kayla beliin Kak Thoriq …” celoteh Kayla terhenti melihat wajah tak dikenal yang duduk di samping Kak Thoriq.
“Waalaykumussalam Kay, hehehe Kak Thoriq baik kabarnya. Oya ini kenalin temannya Fatin, namanya Rayyan.” Kakak satu-satunya dari Fatin berkata sambil tersenyum melihat kelakuan sahabat adiknya yang memberondong dengan cerita hanya dalam 2 detik pertemuan.
Kayla menatap wajah Rayyan lalu menangkupkan tangan ke dada. Walaupun sepanjang hidupnya berada di luar negeri, namun Kayla sangat memegang teguh ajaran agamanya untuk tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim.
“Hi Rayyan, nice to meet you.” Kayla hampir tidak berkedip. Tak disangka Rayyan pun hampir tidak bisa berpaling dari wajah cantik yang baru dilihatnya.
“Hey udah-udah jangan kelamaan, nanti kesambit!” Seru Fatin yang diikuti dengan senyum malu-malu dari Kayla dan cengiran lebar dari Rayyan.
Dalam perjalanan menuju rumah Fatin, kedua sahabat itu tidak berhenti berceloteh. Ketiga orang lainnya di dalam mobil hanya tersenyum sambil mendengarkan Kayla dan Fatin bercerita tentang segala hal.
Mereka bukannya tidak pernah berhubungan walaupun dari negara yang berbeda-beda. Hanya saja saat bertemu masih banyak yang jadi bahan obrolan.
“Dasar cewek,” gumam Rayyan sambil melirik ke arah Kayla yang sedang mengeluarkan alat-alat make up untuk diperlihatkan kepada Fatin.
***
Fatin dan Kayla sekarang sudah di bangku kuliah. Masih ada dua minggu sebelum jadwal kuliah mereka mulai. Fatin kuliah di kampus desain ternama di Kota New York. Kayla kuliah di Jerman mengambil teknologi industri.
Ayah Fatin bertugas sebagai perwakilan Indonesia di kantor PBB New York sedangkan ayah Kayla sedang bertugas di Uni Emirat Arab. Kayla memilih kuliah di Jerman jauh dari orang tuanya. Sebagai anak tunggal, ia ingin merasakan hidup mandiri. Saat liburan panjang seperti ini, Fatin dan Kayla saling berkunjung.
Setelah beberapa hari di Kota New York, Fatin dan Kayla berencana pergi ke Central Park. Taman indah dan terbesar. Di minggu pagi taman itu belum terlalu ramai dan pemandangannya sangat memesona.
Musim panas telah berlalu dan sekarang masuk ke musim gugur. Biasanya Central Park akan dipenuhi nuansa merah dan kuning dari daun-daun yang berubah warna. Udara juga lebih sejuk di musim gugur.
Pesan masuk dari Rayyan:
“Fatin, lu nanti jadi ke Central Park sama Kayla? Gue ikut dong, boleh nggak?”
“Nggak boleh!”
“Pelit! Pokoknya gue ikut!”
“Coba aja kalau berani, gue bilangin umi sama abi!”
“Nanti gue minta izin.”
“Rayyan nggak boleh, ah! Ngeyel lu, ya!”
“Bodo amat! Bhay!”
Fatin bersungut sambil meletakkan hapenya. Kayla yang baru masuk ke kamar heran.
“Kamu punya penggemar Kay, Si Rayyan tuh…”
Pipi Kayla bersemu merah dan membaringkan diri di sisi Fatin di tempat tidur.
“Demi apa?”
“What the … Kay, kamu juga suka sama Rayyan? Wuii sudah berubah selera. Dulu kamu suka bule-bule Italiano gitu, kan? Macam Matteo Bocelli?” Fatin mengangkat alis seakan tidak percaya.
“Nggak lagi Kay, susah nanti aku harus ajarin sholat dulu. Aku mau yg dah ready jadi imam ajah!”
“What? Kamu emang pingin nikah cepet, Kay?”
“Ya pokok abis aku kelar kuliah aku nggak mau lama-lama jomblo, doain ya.“
“In syaa Allah, eh ayo berangkat nanti kesiangan keburu rame nggak enak. Aku ajak Kak Thoriq ya, jaga-jaga Rayyan nyusul bisa-bisa aku jadi nyamuk,” ucap Fatin sambil tergelak melihat sahabatnya yang berseri-seri mendengar nama Rayyan disebut.
Fatin bergegas bangkit dari tempat tidur hendak memanggil kakaknya. Tiba-tiba ia merasa pusing dan pandangannya gelap. Tubuhnya lunglai dan ia langsung terjatuh tak sadarkan diri.
“Fatin!” Jerit Kayla
“Oom, tante, Kak Thoriq, tolong Fatin pingsan!”
***
Di sebuah rumah sakit, empat orang berwajah cemas menunggu dokter memeriksa kondisi Fatin yang masih belum sadar.
“How’s my daughter, doctor?”
“Unfortunately, not good. Fatin perlu segera mendapatkan donor ginjal. Saya akan coba hubungi dokter kepala. Untuk sementara, saya sudah beri obat dan biarkan dia beristirahat,” jelas Dokter Peterson yang merawat ginjal Fatin.
Kayla duduk di samping sahabatnya yang terbaring lemah. Wajahnya yang berseri tadi pagi kini pucat, matanya terpejam.
Kayla mengelus pipi Fatin dan berbisik, “Kamu harus kuat ya sayang, inget kamu janji mau disain perhiasan di wedding aku, dan aku juga janji akan disain tempat wedding yang cantik buat kamu. Kita akan punya anak lalu mereka akan sahabatan kayak kita. Kuat ya …” Air mata mengalir di pipi Kayla.
Ayah Fatin, Abi Nizar menghela napas menatap putri satu-satunya. Umi duduk sambil melafazkan ayat-ayat Qur’an, mencari kekuatan pada sang Khalik. Kak Thoriq berdiri di luar kamar menatap sedih wajah adiknya dari kejauhan.
Tak berapa lama Rayyan datang dan langsung memberi salam orang tua Fatin. Ia melirik sekilas ke arah Kayla yang masih setia menggenggam tangan sahabatnya.
Suasana hening di dalam kamar. Hanya suara monitor jantung yang dihubungkan ke dada Fatin masih mengeluarkan bunyi pilu.
Dokter Peterson masuk, wajahnya terlihat serius. “Sir, Mam, dengan sangat menyesal kami harus mengabarkan hingga saat ini belum ada donor yang cocok. Termasuk ginjal keluarga Fatin juga belum ada yang cocok. Kita harus bersabar dan berdoa semoga Fatin kuat.”
“Doctor, I haven’t been tested yet. Could you run the test on me, please?” Tiba-tiba Kayla membuka suara.
“Are you a relative? Kemungkinan cocok sangat kecil apabila bukan relatif.”
Umi mendekati Kayla dan mengelus rambutnya sambil berkata lembut, “Kayla sayang, kita berdoa aja ya buat Fatin, semoga segera ada donor yang cocok.”
“No, Tante, please aku ditest. Setidaknya aku udah usahain buat bantuin Fatin. Golongan darahku dan Fatin sama-sama O. Aku sayang Fatin, dia harus sembuh. Aku juga udah 21 jadi nggak perlu persetujuan orang tua dulu. Tapi nanti aku ngomong sama mama dan papa. Please, Oom, Tante …”
Umi, abi, dan Kak Thoriq menatap Kayla. Di satu sisi mereka berharap Kayla menjadi titik cerah bagi Fatin, namun di lain pihak mereka paham bahwa donor ginjal merupakan sesuatu yang serius.
“Well, come with me please, what’s your name?”
“Kayla Wiranata. Okay, doctor. Tante, Oom, Kak, moga-moga ginjalku cocok ya.”
“Tante akan telepon mama kamu ya, Kay. Terima kasih, sayang.”
***
Beberapa hari kemudian, sebuah kamar di rumah sakit terlihat sangat ceria dengan bunga-bunga dan boneka Teddy Bear dari ukuran besar sampai kecil.
Kayla mengerjap-ngerjapkan mata seolah baru bangun dari tidur panjang. Ia melihat sekeliling, matanya masih beradaptasi dengan cahaya.
“Kayla, how are you sayang?” Ibu Wiranata mengelus pipi anaknya yang baru membuka mata.
“Mama kok ada di sini? Papa juga … Fatin gimana?”
“Hey you, masak duluan aku yang bangun.” Kayla mencari arah suara. Fatin masuk ke ruang perawatan dengan kursi roda yang didorong oleh Kak Thoriq.
“Fatin! Maa syaa Allah! Operasinya berhasil? How are you?” Umi, abi, dan Kak Thoriq tersenyum melihat kelakuan dua sahabat itu.
“Kalian nih bikin kami jantungan, deh,” Papa Kayla yang sudah berdiri di samping tempat tidur Kayla berkata. Ia mengelus pucuk kepala kemudian mengecup lembut kening putri semata wayangnya.
Fatin didorong mendekati bangkar tempat Kayla berbaring. Keduanya masih mengernyit saat bergerak karena luka pasca operasi.
“Operasiku lancar, ginjal kamu juga cucok loh, jadi nggak ada demam atau yang lain-lain. Makasi banget ya, kalau nggak ada kamu aku dah metong sekarang,” ucap Fatin yang langsung mendapat pukulan pelan di pundaknya dari Kak Thoriq.
“Jangan ngomong gitu ah, Kakak takut.”
“Cie yang sayang adek …” Balas Fatin kepada kakaknya.
“Eee iya ngomong-ngomong sayang, ada yang dua hari selama kamu nggak sadar wajahnya berlipet dua belas loh.” Mama Kayla melihat ke arah pemuda yang berdiri di pintu tidak berani masuk.
Kayla mengikuti arah pandang mamanya lalu pipinya memerah. Ia memanggil sebuah nama sambil tersipu, “Rayyan …”
***
Jakarta, 7 tahun kemudian ..,
“Fatiiiiiin! Buruan aduh ya, Allah!”
Fatin yang mengemudikan mobilnya seperti kesetanan hanya bisa mengambil napas dan istighfar untuk menenangkan diri.
“Fatin, aku nggak kuat. Gimana ini, aduh!”
“Sabar Kay, aku secepat mungkin ini. Coba atur napas lalu dzikir atau istighfar. Wus wus haaa, wus wus haaa. Aku dah ngebut banget.”
Kayla berusaha mengatur napasnya diselingi kalimat-kalimat dzikrullah, namun dua bayi dalam perutnya seperti sudah tidak sabar ingin bertemu ibunya.
Kayla yang sedang hamil anak ke dua memaksakan diri hadir di pembukaan pameran perhiasan karya Fatin. Di tengah acara ketika sedang menemani beberapa tamu mengagumi hasil karya sahabatnya, Kayla merasa ada air mengalir di kedua pahanya.
Ibu-ibu yang bersamanya langsung panik. Fatin dengan sigap mengambil mobilnya, membaringkan Kayla di kursi belakang lalu melaju kencang menuju rumah sakit bersalin.
“Duh Fatin, masih jauh nggak sih. Ini gw dah bukaan dua puluh kali ya …”
“Gelo, mana ada bukaan dua puluh keles. Merosot dong anak-anak kamu. Kay, ini Rayyan belum bisa ditelepon kayaknya masih di pesawat, aku dah tinggalin pesen. Mama papa kamu juga nanti ketemu di rumah sakit.”
“Mas Rayyan lagi di pesawat dari Yogya … aaaaaaah sakiiit! Fatin cepetan nyetirnya aku nggak tanggung kalau ngelahirin di mobil kamu!”
Fatin kembali fokus ke jalanan. Ada telepon masuk dari Ale, suaminya.
“Fatin, kamu masih di jalan? Nanti di perempatan Jalan Kasunanan akan ada fore raider. Aku tadi minta temenku yang di kepolisian kirim anak buahnya. Aku on the way ke rumah sakit bersalin. Kamu nyetirnya ati-ati, jangan ngebut …”
Belum selesai Ale bicara Kayla memotong, “Kak Ale itu Fatin harus ngebut! Malah disuruh pelan-pelan, ini sakit banget ka - aaaaaaaah …”
“Kak, nanti kita ketemu di sana ya, Fatin nyetir dulu. Itu udah keliahatan fore raidernya. Love you.”
Mereka tiba di rumah sakit bersalin dan langsung dibantu. Sebelumnya Fatin sudah menelepon sehingga para suster dan dokter yang menangani sudah bersiap.
Kayla ditidurkan di bangkar lalu langsung didorong ke ruang bersalin. Teriakannya menggema di sepanjang lorong rumah sakit.
Fatin menuju ke area administrasi. Sambil memeriksa chat di hape, seorang suster lari-lari menghampiri dan berkata, “Bu Fatin, diminta Bu Kayla untuk menemani di ruang bersalin.”
“What? No, no, no, saya nggak kuat liat darah, Sus. Saya urus ini aja ya bentar lagi suaminya datang,” elak Fatin. Ia memang tidak kuat melihat segala sesuatu yang terkait tindakan medis.
Suster itu dengan wajah sangat memaksa kemudian menarik lengan Fatin dan mengarahkan ke ruang bersalin.
“Yaelah Kay,” gumam Fatin dengan langkah berat mengikuti perawat. Suster tetap menggandeng tangan Fatin karena melihat gelagat-gelagat bakal kabur.
Setelah memakai jubah medis, masker, dan penutup kepala, Fatin masuk. Ia shock melihat posisi Kayla yang sudah bersiap melahirkan. Lututnya lemas.
“Fatin! Awas kalau pingsan, sini kamu!”
Fatin pernah mendengar bahwa saat melahirkan seorang wanita bisa berubah menjadi singa. Di depannya ini bukan lagi Kayla yang lemah lembut dan santun, tapi mama singa yang akan melahirkan bayi kembar.
“Fatin sinii!” Dengan langkah ragu Fatin mendekati Kayla yang segera mencengkeram tangannya.
“Aaaah aaah aaaaah! Sakit! Kayla lepas tanganku, Kaylaaaaa!”
Di luar, mereka yang menunggu di depan ruang bersalin saling bertatapan mendengar teriakan sahut-sahutan dari dua wanita di dalam.
Tidak berapa lama namun terasa seperti seabad bagi Kayla, pintu ruang bersalin terbuka. Rayyan yang baru tiba langsung masuk dengan wajah khawatir mendengar kegaduhan di dalam ruangan. “Kay…”
“Mas Rayyan … ” Kayla langsung terlihat lebih tenang, begitu pula Fatin.
“Bu Kayla, ini bukaannya sudah cukup, kita mulai ya, Bu, bismillaah,” ucap dokter yang membantu Kayla.
“Fatin, lu dah bisa ke luar, gue aja yang nemenin Kayla.” Rayyan iba melihat Fatin memegangi tangannya yang penuh bekas cengkraman . Ia tahu betapa kuatnya Kayla mencengkeram. Saat melahirkan anak pertama, lengannya sampai biru-biru. Apalagi Kayla kali ini akan melahirkan anak kembar.
“Enak aja lu ya, udah tinggal berojol juga, gue disuruh pergi. Ngak mau gue mau di sini!” Seru Fatin keras kepala.
“Ya, tapi kan gue udah …”
“Berisik kalian! Kak pegang tangan aku. Fatin dah kamu baek-baek aja di situ!” Kayla menatap dengan mata nyalang berganti-ganti ke arah Rayyan dan Fatin. Keduanya langsung kicep dan menjalankan tugasnya masing-masing.
***
Tiga puluh menit berlalu. Pintu ruang bersalin terbuka. Rayyan keluar mendorong kereta bayi berisi dua bayi perempuan. Di belakangnya ada Fatin yang mengikuti. Kayla masih memulihkan tenaga pasca berjuang melahirkan dua bayi kembar melalui persalinan normal.
Keluarga Kayla dan Rayyan, anak sulung Kayla yaitu Nayaka, serta Ale suami Fatin langsung berdiri dan menghampiri.
“Bismillaah, eyang, oom, tante, kakak Naya, perkenalkan ini Baby Ranjana dan Baby Kirana.” Rayyan dengan senyum bahagia memperkenalkan putri kembarnya.
Kedua bayi cantik itu langsung menarik perhatian. Rayyan menggendong anak sulungnya yang baru berusia tiga tahun supaya jelas melihat adik-adiknya.
“Adik-adik cantik ya, Pa. Alo Adik Jana dan Adik Kila, aku Kak Naya,” ucap Nayaka yang masih cadel. Ucapannya langsung mengundang kecupan bertubi-tubi dari para eyang di pipi gembilnya .
“Wah, identik ya, maa syaa Allah!” Bu Wiranata tidak bisa menutupi kebahagiannya. Ia dan suaminya hanya memiliki Kayla, sekarang mereka sudah punya tiga cucu.
Fatin berdiri di samping Ale yang langsung merangkul dan mengecupnya. “Hebat banget istri kakak ini. Berani nemenin di dalem.”
Sambil tersenyum Fatin membalas kecupan di pipi Ale, yang masih memakai seragam militer, lalu tiba-tiba tubuhnya merosot dan langsung ditangkap oleh Ale.
“Fatin, bangun, Fatin!”
***
Di ruang perawatan, Ale memegang tangan istrinya, mengecupi pipi dan kening Fatin berkali-kali sambil berbisik, “Bangun yuk, sayang …”
Tidak berapa lama Fatin membuka mata. Ale langsung memeluknya erat karena lega.
“Kak, Fatin sesek …”
“Kamu kenapa? Kakak panggilin dokter, ya.”
“Nggak usah, kakak aja meluknya kekencengan.”
Ale melihat wajah istri tercintanya memastikan semua baik-baik saja, lalu berbisik, “Bukannya udah biasa dipeluk kenceng-kenceng?”
Fatin yang mendengar tersenyum malu-malu.
“Ada sih ya, tentara bucin.” Fatin menoleh ke asal suara lalu tersenyum lebar. Kayla duduk di atas kursi roda. Rayyan duduk di sofa tidak jauh dari Kayla.
“Kamu tau nggak Fatin, ada kali Kak Ale ciumin muka kamu itu seribu kali, sambil bisik-bisik gak jelas,” sambung Kayla sambil mengedip sebelah mata ke arah suaminya yang senyum-senyum.
“Eh Kay, kok kamu udah bisa duduk aja sih, jagoan amat!” Fatin lega karena kondisi Kayla sudah terlihat lebih baik.
“Bisa lah, ngelahirin anak ke dua dan ke tiga mah, keciiil …” Kayla menyahut bangga sembari menjentikan jari-jarinya.
“Kecil apanya? Kamu tu di mobil dah kayak orang kesurupan tauk! Kecil? Halu!” Fatin mendengus namun sorot matanya tetap jenaka.
Kayla terkekeh lalu meminta Rayyan untuk mendorongnya supaya dekat dengan Fatin. Diraihnya tangan Fatin sambil menatap wajah sahabatnya yang masih kelihatan lemas, “How are you? Kita perlu cek ginjal kamu, nggak?”
Fatin menoleh ke arah Ale yang langsung menjawab, “Besok memang jadwal Fatin check-up, tapi ini moga-moga karena efek shock menyaksikan langsung proses persalinan aja.”
“Ya udah, kamu istirahat ya, aku di kamar sebelah, tadi nitip debaybay ke mama dan papa,” Kayla berkata sambil terus menatap wajah Fatin, memastikan sahabatnya tidak apa-apa.
“Debaybay?”
“Kan bayinya dua jadinya adek bayi-bayi,” jawab Kayla sambil terkekeh lagi.
“Garing kriuk,” balas Fatin singkat sambil mencebikkan bibirnya.
Ale tersenyum melihat ekspresi Fatin yang menggemaskan. Ingin rasanya menggigit bibir istrinya. Ia berharap Rayyan dan Kayla segera kembali ke kamarnya.
***
Karena kondisi Fatin yang memiliki masalah ginjal, dokter memintanya untuk diobservasi selama satu hari. Kayla yang sudah lebih segar membawa bayi-bayinya ke kamar Fatin.
Nayaka bergelendot manja kepada Fatin. Mereka memang sangat akrab. Fatin tidak bisa menemani kelahiran Nayaka karena saat itu masih bekerja sebagai desainer perhiasan di Swiss.
Sepulangnya ke Indonesia, ia melimpahkan kasih sayang kepada putra sulung sahabatnya. Mereka menjadi sangat dekat. Malah terkadang Nayaka minta menginap di rumah Ale dan Fatin.
Fatin melihat bayi Ranjana dan Kirana yang sedang tidur pulas.
“Kay kamu udah ASI belum?”
“Udah, lahap banget mereka. Kak Nayaka aja jadi pingin nen lagi ya, Kak? Tapi nggak boleh kakak udah besar.”
Nayaka mengangguk lalu berkata, “Sekayang nyen mama buat adek-adek.”
“Buat papanya kapan?” Gumam Rayyan lirih.
“Rayan kamu ya, ada Nayaka.” Fatin menutup kedua telinga Nayaka menyelamatkannya dari pembicaraan 21+.
Ke empat orang dewasa itu tertawa yang langsung diganjar dengan tangisan serentak dari Ranjana dan Kirana.
Suasana bahagia sangat terasa di ruangan itu. Ale tetap setia berada di sisi istri yang baru dinikahinya sebulan lalu. Masih bucin kalau kata Rayyan.
***
Hallo readers! Salam kenal, aku Freya Alana. Ini novel pertama aku. Semoga pada suka ya … silakan kasih komen, likey, sama vote juga ya…
Met baca lovelies..
Dua tahun berlalu, si kembar kini berusia dua tahun dan Nayaka berumur lima tahun. Kayla memutuskan berhenti bekerja dari peruaahaan manufacturing setelah lahirnya si kembar. Kini ia merintis usaha yang bergerak sebagai eksportir furniture ke negara-negara di Eropa.
Mengikuti kedua orang tuanya bertugas di luar negeri membuat Kayla memiliki jaringan yang cukup kuat di beberapa negara. Sehingga ketika ada tawaran dari temannya di Jerman dan Inggris untuk mengirim furniture dari rotan dan kayu, desain-desain yang dipilih Kayla sangat diminati.
Kayla banyak bekerja di rumah sehingga dapat mengikuti tumbuh kembang anak-anaknya. Usia batita dan balita merupakan usia emas dalam perkembangan anak. Kayla tidak mau kehilangan momen tersebut dengan kesibukan luar rumah.
Kayla memiliki dua pegawai yang bertugas untuk memburu produsen furniture berkualitas ekspor serta mengurusi proses ekspor yang lumayan ruwet. Paviliun rumahnya dijadikan tempat kerja yang cantik dan nyaman.
Rayyan berhasil mengembangkan bisnis perhotelan milik keluarganya, bahkan kini ia merambah ke bisnis restoran waralaba. Rayyan dikenal sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun.
“Mas, ini kamu bolak-balik masuk majalah pasti banyak cewek-cewek iseng dong ya, pengin kenalan gitu, ya kan?” Tembak Kayla sambil meletakkan majalah bisnis yang memuat profil suaminya.
Saat itu mereka sedang bersantai selepas makan malam sambil duduk-duduk di sofa ruang keluarga yang ditata sendiri oleh Kayla. Sebuah sofa besar menjadi tempat mereka berkumpul, Kayla menempatkan sebuah kain etnik yang memberikan aksen. Permadani warna-warni sangat kontras dengan lantai kayu menambah suasana hangat. Pintu kaca ke teras dibuka lebar membuat angin sejuk masuk ke dalam ruangan.
“Cewek, apalagi janda, banyak bet …” Sahut Rayyan menggoda istrinya.
“Mas!” Kayla merenggut dan melemparkan bantal ke suaminya.
Rayyan menarik Kayla ke dalam pelukannya dan memberikan ciuman bertubi-tubi ke kedua pipi istrinya. Kayla berusaha menutupi wajahnya namun Rayyan malah memegang wajahnya dan memberikan ciuman yang panjang dan lama ke bibirnya.
“Kay, kamu inget nggak waktu di Amerika kamu nggak sadar selama dua hari pasca operas donor ginjal? Dua hari itu, Kay, aku nggak bisa hidup tenang. Kata Thoriq aku kayak mayat hidup. Bolak-balik aku liatin kamu. Kayla Wiranata, aku cinta banget sama kamu. Cintaaa banget,” ucap Rayyan setelah puas menciumi istrinya sambil menatap manik mata legam istrinya.
Rayyan memejamkan matanya lagi lalu kembali mendaratkan bibirnya ke bibir Kayla. Sambil melingkarkan tangannya ke belakang leher Rayyan, Kayla membalas ciuman panjang suaminya.
“Cieee papa mama ciuman. Kakak, papa mama ciuman!” Seru Kira. Tiba-tiba Kira dan Jana muncul dari balik sofa. Rayyan dan Kayla langsung menghentikan aktivitas mereka sambil tertawa melihat si kembar.
Naya yang sedang turun dari lantai atas ikutan tertawa, juga Bik Surti yang sedang mengelap meja makan.
“Eh kalian, papa mama lagi mesra-mesra kok malah diganggu. Sebagai hukumannya papa akan cium Jana dan Kira seratus kali!” Rayyan kemudian bangkit dan mengejar si kembar yang sudah berlarian ke sana kemari.
Naya duduk di sofa lalu memeluk ibunya.
“Naya sayang mama.”
“Mama juga sayang Naya.”
Sambil tertawa-tawa, Kayla dan putra sulungnya memperhatikan tingkah laku si kembar yang masih berusaha kabur dari papanya.
***
Di apartemennya Ale memperhatikan wajah Fatin yang tertidur setelah kelelahan melakukan aktivitas tempat tidur. Jari-jari Ale menelusuri wajah istrinya yang cantik. Ia mengecup lembut bibir kemudian kening Fatin.
“I love you,” bisiknya.
Tadi Ale menjemput Fatin di butiknya. Setibanya di apartemen, begitu Fatin membuka kerudung, Ale langsung memeluknya dari belakang menciumi belakang lehernya. Spot favorit Ale karena biasanya Fatin akan langsung menyerah.
Melihat istrinya masih lelap, Ale turun dari tempat tidur hendak menyiapkan makan malam.
“Kak Ale, nggak mandi dulu?” Fatin terbangun karena gerakan Ale.
“Mau makan, baru abis itu mandi, terus sholat, abis itu makan kamu lagi. Siap kan?”
“Siap, laksanakan komandan!” Balas Fatin sambil mengedipkan mata.
“Eh nggodain, awas kamu!” Ale urung keluar kamar dan kembali menciumi istrinya dengan ciuman lembut hingga penuh napsu. Mereka pun memulai lagi kegiatan ranjang.
Usai keduanya menikmati kepuasan rasa cinta mereka berbaring. Ale merengkuh tubuh Fatin dan menghadapkan kepadanya.
“Kak Ale, maaf ya, Fatin belum juga hamil,” ucap Fatin lirih kemudian membenamkan wajah ke dada bidang suaminya.
Ale mencubit dagu istrinya lalu mengecup bibir yang sedikit bengkak karena gigitannya.
“Fatin, sayang, Kak Ale juga santai kok. Kita nikmatin aja. Lagian kita kan nggak pernah pacaran, jadi sekarang kita pacaran halal sambil usaha bikin anak. Kak Ale nggak mau kamu terbebani. Kita sama-sama jalanin aja ya, sayang.” Ale mendekap erat tubuh istrinya yang masih tanpa busana. Diusapnya pundak mulus Fatin lalu mendaratkan ciuman kecil di sana.
Fatin mengelus wajah Ale yang tampan. Wajah blasteran Arab-Italia membuat pemiliknya sempat ditolak mendaftar ke militer karena disangka warga asing. Bunda Ale adalah wanita keturunan Arab yang menikahi ayah Ale seorang pria keturunan Arab-Indonesia-Italia.
Orang tua Ale bertemu saat keduanya mengikuti seminar di luar negeri. Cinta pada pandangan pertama yang berlanjut pada pernikahan. Mereka memiliki tiga anak yaitu Ameera, Ale, dan Akbar.
Bunda Ale adalah sahabat dari Umi Fathimah. Awalnya mereka berniat memperkenalkan Fatin kepada Akbar, adiknya Ale. Umi Fathimah meminta Fatin mengantarkan kue ke rumah bundanya Ale.
Saat menunggu dibukakan pintu, Ale baru datang dari tugas di Papua. Begitu melihat Fatin, ia tidak bisa melepaskan pandangannya. Setelah Fatin pulang, Ale langsung minta diperkenalkan ke keluarga Fatin. Selang satu bulan, Ale menikahi Fatin.
“Fatin, Kak Ale sayaang banget sama kamu. Cinta …”
“Fatin juga, Kak. Eh, Kak Ale kan sering dibilang bucin sama Kayla. Tentara bucin,” kata Fatin sambil menyeringai.
“Emang bener tuh, bucin banget sama kamu.”
Mereka tertawa bersama, menikmati kebersamaan penuh cinta malam itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!