Hujan mengguyur seluruh kota dengan cukup derasnya, banyak orang yang tak keluar dari rumah termasuk para prajurit TNI yang biasanya olahraga malam di lapangan tak nampak seorang pun di sana.
Tapi ada seorang perempuan duduk menyendiri di bangku pinggir lapangan menatap kosong didepannya, dia juga sesekali mendongak melihat guyuran hujan yang membasahi dirinya sendiri.
“Nggak mungkin kan bu, ibu nggak mungkin pergi ninggalin aku kan. itu salahku kan bu, Ibu..” air mata yang keluar dari matanya tersamar begitu saja oleh air hujan yang mengguyur tubuhnya saat ini. isakan pilu serta hati yang terasa sesak membuatnya begitu tak berdaya di bawah guyuran hujan.
“Ini nggak benar kan bu, hikss” tangis yang begitu menyayat hati siapa saja yang melihatnya.
“Sampai kapan kamu bakal disini terus?” suara datar terdengar di samping perempuan tersebut serta air hujan yang cukup deras tak mengenai tubuh perempuan itu lagi.
Seorang pria berbadan tegap memakai seragam loreng sambil memegang payung di tangan kanannya menatap nanar perempuan yang duduk seorang diri itu.
“kenapa kau ada disini, pergi tinggalkan aku sendiri” lirih perempuan itu melihat kearah pria yang menghampirinya itu.
“Ayo berdiri, nanti kau sakit” ucap pria tersebut sambil satu tangannya yang bebas menarik tangan perempuan itu untuk berdiri.
Bukannya menerima uluran tangan sang pria, perempuan itu malah menepis tangannya.
“Kau siapa bisa mengajakku begitu saja, aku tidak mengenalmu. Kenapa kau satu bulan ini selalu mengikuti diriku kemanapun” tukas perempuan itu berdiri menatap pria yang menatapnya datar tak berekspresi.
“Bukannya kau tahu saya Danton disini, kenapa kau tanya lagi. Kalau masih belum tahu maka kenalkan, Saya Letnan Dua Alvar Kastara Prawira, “ Alvar mengulurkan tangan pada perempuan didepannya tersebut dia seakan menatap penuh harap pada perempuan didepannya itu.
Perempuan tersebut hanya diam menatap Alvar, nama itu seakan tidak asing baginya tapi dimana dia pernah mendengar nama tersebut. Ia hanya diam menatap pria bernama Alvar itu dan sekilas ada bayang di kepalanya dan membuat kepalanya saat ini terasa pusing, tubuhnya seakan ingin limbung dan kesadarannya mulai menghilang.
Alvar yang melihat ada yang aneh dengan perempuan didepannya yang seakan ingin jatuh dengan sigap langsung menangkapnya dengan menjatuhkan payung miliknya membuat tubuhnya basah kuyup saat ini.
“Dea, Dea bangun. Aku mohon bangun Dea,” ucap Alvar sambil menepuk wajah perempuan yang berhasil dia tangkap itu.
Dea jatuh tak sadarkan diri di pangkuan Alvar, Alvar langsung membopong tubuh perempuan tersebut. Dia bergegas dengan cepat membawanya pergi dari tempat itu mencari tempat untuk meneduh
.....................................................
“Bang Alvar mbak Dea kenapa?” tanya seorang pria yang juga memakai seragam yang sama dengan Alvar saat ini. dia masuk kedalam rumah dengan terburu-buru dan langsung menghampiri Alvar dan juga Dea yang sudah di baringkan di sofa rumah dinas tersebut.
“Mbak mu pingsan, kamu sudah panggil salah satu Kowad?” ucap Alvar yang tampak cemas melihat kondisi Dea saat ini dengan baju yang basah kuyub dan kulit tangan yang pucat dan mengkerut.
“Belum bang, memang kenapa bang?” heran pria itu.
“kenapa kamu tidak memanggilnya, bukannya saya sudah bilang padamu untuk mengajak salah satu Kowad kesini” Alvar berdiri emosi melihat kearah pria yang seumuran dengannya tersebut.
“tenang dulu bang, jangan emosi begitu. Kalau bang Alvar nyuruh aku untuk memeriksa mbak Dea nggak perlu bang. Aku bagian kesehatan, aku yang akan periksa”
“Bukan itu maksud saya, saya butuh Kowad untuk menggantikan baju Dea, kau mengerti tidak Dimas”
Pria bernama Dimas itu langsung membelalakkan matanya menatap Alvar,
“Kenapa bukan bang Alvar aja, bang Alvar suaminya mbak Dea. kenapa harus nyuruh orang lain bang” pungkas Dimas menatap kakak iparnya tersebut.
“Kau tidak tahu kondisi ya, memang benar saya suaminya tapi mbak mu belum tahu kalau saya suaminya. Bagaimana kalau dia sadar saat saya membantunya ganti baju”
“Tinggal bilang aja bang apa susahnya, buruan bang mbak Dea keburu kedinginan. Bang Alvar nggak kasihan sama dia,”
Alvar melihat Dea, dia tampak bingung haruskah ia yang menggantikan baju Dea yang basah saat ini.
“Nggak Dim, kau nggak ngerti. Kalau mbak mu syok bagaimana, kalau dia tahu saya suaminya. Dia belum bisa nerima kematian Ibu dan tiba-tiba dia punya suami sekarang bagaimana perasaannya, apalagi dia enggak ingat sama saya” tolak Alvar karena memikirkan kemungkinan kalau Dea sadar dan melihat dirinya nanti perempuan itu pasti akan berpikir aneh-aneh.
“ya mau bagaimana lagi bang, nggak ada pilihan, kalau dia syok biar aku yang jelaskan semuanya bang. Buruan bang, bang Alvar nggak kasihan kondisi mbak Dea sekarang”
Alvar melihat Dea yang tampak menggigil saat ini, membuat dia menghela nafas berat dan langsung menunduk dan mengangkat Dea. membopongnya pergi menuju salah satu kamar yang ada di rumah tersebut.
“kenapa jadi begini, Lima bulan semenjak mbak Dea sadar dari komanya tapi kenapa dia masih belum mengingat bang Alvar. Dan kenapa satu bulan ini mbak Dea malah tampak terpukul saat tahu ibu nggak ada” batin Dimas melihat Alvar yang menggendong Dea masuk kedalam kamar.
.................................
Di dalam kamar Alvar sudah membaringkan Dea di tempat tidur, di bingung harus apa sekarang.
“Ayo var, mau bagaimana lagi istrimu butuh pertolongan pertama” lirih Alvar mengepalkan tangannya memberanikan diri untuk membuka baju Dea.
Alvar mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur sambil tangannya perlahan menarik keatas baju Dea saat ini, dia harus menggantikan baju perempuan itu agar dia tidak sakit.
Dengan penuh keyakinan, ia membuka semua baju yang dipakai Dea sekarang. Beberapa menit berlalu dan dia sudah berhasil menggantikan baju istrinya. Membuatnya menghela nafas lega karena Dea tak bangun.
Alvar langsung memeriksa tangan Dea, angan perempuan itu saat ini terasa sedikit hangat jangan-jagan Dea demam sekarang.
“Bang, Bang Alvar, sudah abang gantikan baju mbak Dea belum” terdengar suara mengetuk pintu dari luar kamar.
“Sudah masuklah, periksa mbak mu”
Pintu kamar langsung terbuka, Dimas berjalan masuk kedalam kamar sekarang. Dia mendekati kakak dan kakak iparnya tersebut.
“Dea sepertinya demam Dim, tolong periksa lagi dan beri obat untuk dia” ucap Alvar meminta Dima untuk memeriksa Dea.
“iya bang,” Dima langsung memeriksa Dea sebelum itu dia mengambil perlengkapan kesehatannya yang ada disalah satu loker meja di kamar itu.
“Bang Alvar ganti baju dulu aja bang, biar mbak Dea aku periksa sama aku jaga” ucap Dimas yang sudah duduk di tempat Alvar duduk tadi. Alvar sendiri langsung berdiri mempersilahkan Dimas duduk.
“Nggak Dim, saya disini saja, nunggu Dea sadar”
“bang, nanti kalau bang Alvar sakit ayah ikut sedih loh bang. Ayah malah makin merasa berhutang sama bang Alvar, please bang” Dimas menatap memohon pada Alvar.
“Kalau begitu saya titip Dea sebentar,” Alvar langsung pamit pergi untuk mengganti bajunya. Langkahnya begitu berat untuk sekedar meninggalkan perempuan itu saat ini, tapi dia harus pergi sebentar.
°°°
T.B.C
Pagi sudah menyapa burung-burung sudah berkicau begitu juga kegiatan di Kodim sudah dimulai terdengar langkah kaki beberapa orang yang berlari di luar disertai sorak sorai dari beberapa pria yang seakan membakar semangat mereka di pagi hari.
Dea yang masih tidur perlahan mengerjap kan matanya saat sura-suara itu masuk ke indra pendengarannya saat ini. dia perlahan duduk sambil melihat kearah jendela yang masih tertutup tirai, dia melihat ke fentilasi jendela sinar matahari sudah menyemburat masuk walaupun hanya secercah.
Cklek,
Perhatian Dea langsung teralih pada suara pintu yang terbuka, dia melihat seorang pria yang lebih muda darinya mengenakan seragam loreng. Pria itu Dimas adik kandungnya.
“Mbak sudah bangun, aku kira belum makanya mau aku bangunkan buat sarapan” ucap Dimas lirih sambil berjalan mendekat.
“Aku nggak lapar dim, kalau kamu mau sarapan duluan nggak pa-pa. Kamu harus berangkat dinas kan?” ucap Dea dan langsung menekuk lututnya memeluk lutut itu sambil memalingkan wajah dari Dimas.
Dimas bukannya menuruti ucapan sang kakak, dia malah berjalan untuk mendekati Dea. dia langsung mengambil duduk di depan kakaknya.
“Kak, ayo bangkit jangan begini. aku sama ayah sedih lihat mbak begini terus, ibu di sana juga pasti sedih lihat mbak Dea begini. bang Alvar kasian mbak lihat mbak begini, dia terlihat tersiksa sendiri?” ucap Dimas memegang tangan kakaknya.
Dea langsung mendongak melihat Dimas, dia mengernyitkan dahinya menatap adiknya tak mengerti.
“Alvar siapa?” tanya Dea tampak bingung.
Dimas langsung tersadar, dia keceplosan barusan, seharusnya dia tidak bicara begitu.
“Nggak mbak, salah bicara aku tadi. Udah ya mbak makan ya jangan sedih begini ikhlasin ibu mbak. Ibu sedih lihat mbak, mbak nggak kasihan sama aku sama ayah yang juga ikut sedih mbak Dea begini” ucap Dimas pada kakaknya.
“Ibu pasti benci sama aku kan dim, ibu benci kan. itu salah aku, lima buan lalu itu salah aku kan.” Dea mulai terisak saat menyadari sebuah kenyataan kalau ibunya sudah tiada akibat kecelakaan Lima bulan lalu dimana awal mulanya dia di rampok.
“Nggak mbak, itu bukan salah mbak. Itu sudah takdir dari Allah mbak. Mbak Dea jangan begini” ucap Dimas memeluk kakaknya erat mengusap bahunya dengan lembut
.......................................
Alvar sedang duduk dibawah pohon yang berada didekat lapangan, dia tidak sendiri tetapi ada beberapa rekannya yang ada disitu. tetapi dia duduk agak jauh dari yang lain, dia saat ini sedang berbicara dengan orang melalui ponselnya.
“Iya aku tahu bang, tapi kayaknya aku nggak bisa pulang ke Jakarta. Salamin buat ayah sama bunda ya” ucap Alvar yang sesekali menunduk merasa bingung dia harus apa.
“Tapi Var, si kembar ulang tahun. Terus bunda sama ayah mau ngerayain ulang tahun pernikahan mereka masa kamu nggak dateng”
“Kayaknya nggak bisa bang,”
“Ya nggak bisanya kenapa? Kamu cuti kan bentar lagi”
“Disini situasinya nggak memungkinkan aku tinggal bang, Dea nggak stabil bang, dia masih belum bisa nerima ibunya udah nggak ada” jelas Alvar pada kakaknya yang berada diseberang sana.
“Dia sudah diberitahu kalau ibunya nggak ada?”
“Sudah sebulan lalu, dan sebulan ini dia kayak orang depresi bang. Jadi aku nggak bisa ninggalin dia, aku mohon sama bang Azka tolong bisa ngertiin aku. nanti aku juga bicara sama ayah sama bunda kalau aku nggak bisa dateng. Aku minta maaf ya bang, dan selamat ya bang atas kehamilan Kinan” ucap Alvar memberi selamat pada kakaknya yang sebentar lagi menjadi seorang ayah.
“makasih var, kamu yang sabar ya, semoga Dea cepat sembuh dan cepat ingat sama kamu” ucap Azka.
“Iya bang Aamin. Bang kalau begitu sudah dulu ya, aku lagi tugas jadi pelatih Taruna baru disini”
“Ya sudah Abang matikan, Assalamualaikum” ucap Azka.
“Walaikumsalam” balas Azka dan langsung mematikan ponselnya setelah sambungan terputus. dia masukkan kembali ponselnya itu ke saku baju PDL miliknya.
Ia menghela nafas berat sambil melihat ke atas, ia merasa bersalah dengan ayah dan bundanya karena tidak bisa datang mau bagaimana lagi. Dia harus disini untuk memantau kondisi Dea kedepannya.
........................................
Sore hari Alvar berjalan kearah rumah dinasnya, dia sengaja mengambil jalan memutar karena ingin melihat Dea. seharian ini dia tidak melihat perempuan itu entah bagaimana kondisinya dia hanya mendengar kabar Dea melalui Dimas saja yang terus memberikan kabar padanya.
Langkahnya yang pelan itu perlahan mendekat kearah rumah yang sedikit besar dari rumah dinas yang lain. Rumah itu tampak terbuka pintunya membuat Alvar merasa penasaran saja melihat hal tersebut.
“kenapa pintunya terbuka? Apa Dimas di rumah?” batin Alvar sambil terus melihat kearah rumah itu.
Tanpa sengaja netra nya melihat Dea yang membawa penyiram bunga keluar dari rumah itu sehingga seketika menghentikan langkah pelan Alvar menjadi berhenti melihat perempuan didepannya.
“Nah begitu De, teruslah melakukan apa yang kamu inginkan” gumam Alvar menatap Dea yang tak menyadari dirinya tengah menatap pada perempuan tersebut.
Tanpa diduga Dea melihat kearah Alvar saat ini yang tengah menatap padanya, perempuan itu tampak terkejut saat melihat pria berseragam loreng yang semalam menghampiri dirinya. Melihat mata itu membuat jantungnya berdebar secara refleks ia memegangi Dadanya dia terasa tengah berbunga-bunga saat ini tapi ia tak mengerti perasaan apa yang hadir di dalam hatinya.
Dea perlahan menaruh tangki kecil untuk menyiram bunga di tempat dia berdiri, ia langsung menghampiri Alvar yang langsung memalingkan wajahnya seakan tidak melihat kearah Dea. ia berniat untuk pergi dari hadapan perempuan itu tapi ucapan perempuan tersebut menghentikannya.
“Tu.tunggu sebentar” ucap Dea membuat langkah Alvar berhenti.
“Iya ada apa?”
“A..aku ingin mengucapkan terimakasih padamu soal semalam”
“Sama-sama, kalau begitu saya pergi dulu” pamit Alvar pada Dea.
“Terimakasih karena telah menyadarkan ku sekali lagi tuan Danton,” ucap Dea lagi, dia sesekali menunduk saat Alvar melihat dirinya terus-terusan.
“Sudah kewajiban saya untuk mengingatkan” jawab Alvar, dia berusaha untuk bersikap baisa saja. Tapi aslinya dia senang mendengar hal itu dari mulut perempuan itu.
“kalau begitu saya menyiram tanaman dulu” pamit Dea yang pergi lebih dulu karena dia tidak bisa menahan rasa aneh yang tiba-tiba muncul saat ini. dia bingung rasa apa sebenarnya yang muncul di dalam hatinya kini.
Alvar mengangguk saja, dan dia langsung berlari kecil meninggalkan Dea yang sudah mulai menyiram tanamannya.
Sebenarnya Alvar tidak benar-benar pergi dia masih melihat sekilas kearah Dea yang juga sesekali melihat kearahnya.
“Syukurlah dia sudah bisa menerima kenyataan ini” lirih Alvar yang berjalan pergi.
°°°
T.B.C
Dimas tengah melihat kakaknya yang duduk diam di sofa ruang tengah rumah dinas ayahnya, ia terus mengamati Dea yang mengabaikan tv menyala didepannya.
“Mbak Dea” panggil Dimas pada kakaknya yang langsung menoleh kearahnya saat ini.
“Iya dim kenapa?” tanya Dea menatap penasaran tentang apa yang akan dikatakan Dimas.
“Nggak, aku cuman mau bilang nanti mbak Dea di minta ayah buat ke kantornya sebentar” balas Dimas menelisik kakaknya,.
Dea hanya diam saja, tak menjawab lagi ucapan adiknya tersebut. Ayahnya pasti akan menasehati dirinya dan akan membahas soal ibu mereka dia tidak siap untuk membahas itu lagi rasanya sakit mengingat kalau Ibunya sudah tiada.
“Mbak, mbak Dea dengar aku kan?” ucap Dimas memastikan kakaknya mendengar ucapannya barusan.
“Iya aku denger, ayah kenapa minta aku ke kantornya. Kenapa ayah yang nggak pulang ke rumah” ucap Dea malah balik bertanya mempertanyakan soal ayahnya yang jarang pulang ke rumah melihat dirinya.
Dimas sedikit menghela nafasnya sambil berjalan mendekati Dea yang menunduk sedikit sedih rasanya rumah ini sepi. Bukan rasanya lagi tapi memang sepi, dan semua ini salahnya, salahnya ibunya sudah tidak ada.
“Kalau mbak Dea bisa berubah, bisa menerima semua ayah bakal sering pulang ke rumah mbak. Mbak tahu alasan ayah jarang pulang ke rumah ini kenapa? Dan kenapa ayah lebih memilih tidur di kantor daripada rumah” tukas Dimas menatap serius pada kakaknya.
Dea yang mendengar itu langsung mendongak, dia tak mengerti kenapa Dimas mengatakan hal itu.
“Kenapa?” ucapnya bertanya pada sang adik.
“Karena ayah nggak tega lihat mbak Dea terpuruk begini, hati seorang ayah mana yang tidak sakit melihat anaknya bak mayat hidup. Dia hidup tapi seperti tidak” Dimas yang sudah lelah untuk bersikap biasa selama berbulan-bulan ini terpaksa dia mengatakan hal yang kemungkinan menyakitkan bagi kakaknya.
“ayo mbak, berubah kayak dulu lagi. Jadi mbak ku yang berjiwa sosial, peduli pada orang lain, dan pekerja keras. Mbak Dea ingat semua itu atau nggak?” lanjut Dimas begitu berharap kakaknya bisa seperti dulu.
Dea sedikit memejamkan matanya dan memegangi kepalanya saat ini saat ada sekelebat bayangan di kepalanya, dan seketika membuatnya pusing.
“Mbak, Mbak Dea kenapa?” Dimas seketika langsung panik saat melihat Dea yang memegangi kepalanya.
“A..aku dulu apa pernah bekerja di sejenis cafe” tanya Dea menatap adik memastikan benarkah bayangannya itu.
“Iya mbak Dea dulu pernah kerja di Cafenya mas Gavin”
“Mas Gavin? Dia siapa?”
“Dia bosnya mbak Dea di Cafe”
“Terus yang namanya Alvar siapa?” tanya Dea, entah mengapa dia ingin sekali bertanya soal nama Alvar. Entah nama itu terasa begitu familiar di kepalanya saat ini.
Dimas langsung membelalakkan matanya saat kakaknya menanyakan nama Alvar,
“Mbak Dea ingat? Mbak Dea ingat bang Alvar?” tanya Dimas antusias.
“Memang dia siapa?” tanya Dea bingung melihat ekspresi adiknya yang tadinya terlihat senang saat ini berubah sedikit murung.
“Jadi mbak Dea belum ingat siapa bang Alvar?”
“Bang Alvar itu Danton disini mbak, dia yang nolong mbak Dea waktu kehujanan waktu itu. tapi bukannya kemarin mbak Dea ngobrol sama bang Alvar di depan rumah” jelas Dimas saat melihat kalau kakaknya itu benar-benar tidak ingat siap Alvar sebenarnya.
“Iya tapi mbak lupa namanya siapa, yang mbak ingat dia cuman Danton yang nolong mbak. Jadi dia yang namanya Alvar?”
“oh” Dimas sedikit kecewa mendengar yang dikatakan Dea barusan, dia pikir Dea akan mengingat Alvar tapi nyatanya tidak.
“Ya udah mbak, kalau gitu aku mau dinas dulu. nanti terserah mbak yang mau nemuin ayah atau nggak” tambah Dimas berpesan pada kakaknya.
“Ya udah nanti mba temuin ayah, mbak juga mau minta tolong buat anterin mbak ke Cafe yang kata kamu mbak pernah kerja disitu”
“Mbak Dea mau ngapain ke Cafe?”
“Aku mau mencoba mengingat sesuatu , kamu bener mbak nggak bisa gini terus. Makanya mbak berusaha mengingat siapa saja orang-orag yang pernah mbak kenal”
“Kalau gitu nanti aku suruh rekan aku buat nganterin mbak Dea ke cafe ya, mbak Dea lupa kan Cafenya dimana?”
“Iya, makasih ya dan maafin mbak yang nyusahin kamu”
“nggak kok mbak, aku sebagai adik nggak merasa mbak Dea nyusahin. Aku malah senang dengan mbak Dea yang mau berubah”
“Mbak aku berangkat dulu, mbak hati-hati di rumah. nanti langsung ke kantor ayah aja” ucap Dimas sambil memeluk sang kakak.
“iya” jawab Dea lirih.
.............................................
“Let, maaf nih kurang sopan. Saya mau kepo dong sama letting saya satu ini.” ucap Pian rekan Alvar yang se lettingan dengannya tapi dengan jabatan yang berbeda.
“kepo soal apa kamu yan, kalau nggak penting mending nggak usah tanya sama Letda Alvar percuma nggak dijawab” sahut Cakra yang baru saja duduk disebelah Alvar yang sedari tadi memang lebih banyak diam daripada Pian.
“Ngapain lagi kamu ke sini Cak, sok akrab.” Sungut Pian saat melihat rekannya yang baru datang itu.
“Ya harus akrab dong, kita kan sekarang satu tempat dinas. Meskipun dulu kita nggak akrab, sekarang setidaknya harus akrab” pungkas Cakra yang merupakan salah satu rekan Alvar dan Pian. Dia di Kodim menjabat sebagai Danunit.
“kamu mau tanya apa soal saya Pian?” tanya Alvar yang akhirnya membuka suaranya.
“aku penasaran setiap Danton mimpin pasukan waktu binsik pagi pasti berhenti sebentar didepan rumah dinas dandim. Ngapain ndan disitu, naksir sama anak dandim?” tanya Pian penasaran, karena setiap dia melihat Alvar berhenti sendiri di didepan rumah komandan mereka sedangkan yang lain sudah berlari mengitari kodim.
‘Nggak, saya nyantai aja di sana” jawab Alvar dengan asal.
Cakra dan Pian hanya saling lihat saja, seakan tak mempercayai jawaban singkat dari rekannya itu.
“Maaf mengganggu abang-abang semua, lapor saya diminta Dandim untuk memanggil bang Alvar” ucap seorang prajurit muda dengan pangkat Serda yang memberi hormat pada mereka.
“Ada apa Serda Juan?” tanya Alvar yang berbalik melihat pria bernama Juan yang tak lain ajudan dari dandim mereka.
“Itu bang dandim nyuruh saya buat manggil abang ke kantornya” tutur Juan.
“ya sudah saya ke sana” jawab Alvar yang mulai berdiri.
“Baru juga saya dateng, kamu sudah di suruh pergi.” Ucap cakra sambil menggelengkan kepalanya kecil. Padahal dia ingin mengobrol dengan Alvar dan juga Pian.
“Saya pergi dulu Pian, cakra” ucap Alvar sambil berdiri dan menepuk pelan pundak rekannya tersebut.
“Ya” jawab keduanya berbarengan
“mari bang” pamit Juan pada dua rekan Alvar yang duduk, dia langsung mengikuti Alvar yang berjalan lebih dulu untuk menemui Dandim mereka.
°°°
T.B.C
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!