Disalah satu satu lokasi terpencil dari 12 Provinsi Benua Timur, Tanah Merah adalah tanah terkutuk yang paling terlarang dimasuki orang-orang. Di tanah ini tidak ada pepohonan yang tumbuh, hewan-hewan, atau bahkan manusia.
Bukan karena kutukan yang membuat lokasi Tanah Merah terlarang melainkan karena banyak gas beracun. Ditambah lagi tidak ada sesuatu berharga didalamnya membuat tempat tersebut tidak mungkin dihuni oleh seseorang.
Namun fakta itu terbantahkan hari ini, ditempat yang menurut orang-orang bahaya itu adalah tempat salah satu pendekar hebat tinggal.
Sayangnya, pendekar hebat itu ke Tanah Merah bukan menjadikannya rumah melainkan tempat bersembunyi dari kejaran orang jahat.
Pendekar tersebut tidak dalam kondisi baik saat memasuki Tanah Merah, jika seseorang melihatnya lebih jelas maka akan menemukan ada luka dalam yang berat di dadanya.
Pendekar itu yang tak lain adalah Jian Chen, Pendekar yang sudah diburu oleh organisasi berbahaya karena membawa benda yang misterius. Jian Chen, berlari ke Tanah Merah karena tidak ada tempat lagi yang aman dari kejaran organisasi tersebut.
Jian Chen berhenti disalah satu batu besar sambil memegang dada, ia menyandarkan punggungnya di batu tersebut dengan pandangan mata yang melihat ke langit.
‘Sepertinya, aku benar-benar tidak bisa selamat kali ini…’
Jian Chen tersenyum tipis saat merasakan luka dalamnya yang cukup parah. Tidak ada yang bisa mengobatinya disini kalaupun ada itu pasti sulit karena obat yang menyembuhkannya pasti amat langka dan mahal.
Jian Chen mendudukkan posisinya, napasnya kian memberat tetapi senyuman terukir begitu jelas.
‘Hidupku juga tidak mempunyai sesuatu yang berharga, tidak ada penyesalan kalau aku mati disini. Setidaknya aku mati untuk melindungi dunia...”
Tangan Jian Chen merogoh sesuatu dibalik jubahnya, mengambil benda misterius yang membuatnya diburu oleh organisasi tersebut. Benda itu adalah mutiara yang berwarna merah.
Jian Chen menatap Mutiara Merah tersebut sebelum menggenggamnya dengan keras hingga mutiaranya remuk dan pecah berkeping-keping.
“Gara-gara benda terkutuk ini, seharusnya aku tidak disini sekarang…” Jian Chen menghamburkan sisa-sisa mutiara itu ke tanah lalu menginjaknya dengan keras.
Seandainya bukan karena permintaan seseorang yang penting bagi Jian Chen, mungkin ia tidak akan sudi membawa Mutiara merah itu. Tetapi apalah daya sekarang semuanya sudah selesai, mutiara itu juga tidak akan dimiliki siapapun. Misinya telah sukses dengan tujuan mutiara tersebut tidak jatuh pada orang jahat.
Rasa sakit yang hebat kembali dirasakan hingga membuat Jian Chen muntah darah. Tidak berselang lama napas Jian Chen kian melemah dan matanya mulai meredup.
Merasa bahwa hanya hitungan waktu nyawanya akan hilang Jian Chen teringat masa lalunya ketika hidup dulu.
Jian Chen berasal dari Klan Jian yang berada dibawah bukit pegunungan, hidupnya tidak bisa dikatakan baik sebagai seorang pendekar karena memiliki bakat yang rendah sejak kecil dulu.
Waktu usianya remaja, Klan Jian memasukan Jian Chen kedalam akademi di Ibu Kota yang jauh dari tempat tinggalnya. Dikala 2 tahun belajar di Akademi, Jian Chen tidak menyangka bahwa Klannya bakal dibantai sampai habis.
Jian Chen sungguh ketakutan ketika mendengar hal itu terjadi karena takut dihabisi oleh seseorang di Akademi, Jian Chen memutuskan melarikan diri begitu saja mencari tempat untuk bersembunyi.
Dengan tingkat bela dirinya yang rendah Jian Chen melarikan diri ke tempat yang satu ke tempat lainnya selama bertahun-tahun.
Pengalamannya yang terus berpindah-pindah tempat inilah yang membuat pemahaman Jian Chen tentang dunia luar begitu luas. Jian Chen sadar kekuatan didunia persilatan adalah tolak ukur kehidupannya akan baik atau sengsara.
Jian Chen akhirnya memilih berlatih dengan keras sendirian namun setelah beberapa waktu ia menyadari berlatih tanpa seorang pembimbing adalah hal yang sulit.
Jika bukan karena kebetulan ia bertemu gurunya digubuk tengah hutan, ia tidak mungkin bisa bertahan didunia persilatan.
Guru Jian Chen adalah orang yang sangat misterius, ia berlatih bersamanya selama 7 tahun hingga dirinya berumur 25 tahun. Saat ketika Jian Chen sudah mencapai level tinggi didunia persilatan, gurunya tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak.
“Bahkan sampai kinipun aku tidak tahu nama guruku…” Jian Chen selalu menyebut gurunya dengan sebutan ‘Guru’ jadi dia tidak tahu nama aslinya, selain itu gurunya juga tidak pernah memberitahukan namanya.
Setelah dirasa kekuatannya melebihi orang lain, Jian Chen memutuskan untuk kembali ke Klan nya yang sudah dibantai, menyisakan bangunan runtuh dan rumah-rumah yang telah kosong.
Tiba dirumahnya yang dulu, Jian Chen menemukan sesuatu rahasia didalamnya yaitu ada ruangan bawah tanah. Saat masuk, Jian Chen kemudian menemukan ada dua buah surat yang mungkin dari orang tuanya sebelum dibantai, saat ketika dibaca isinya cukup mengejutkan.
Ada dua informasi dalam surat tersebut dan salah satunya adalah tentang kalung kristal yang dipakainya, kalungitu adalah kalung yang diberikan ibunya pada Jian Chen waktu kecil dulu.
Saat pikiran itu terlintas, Jian Chen mencabut kalung kristal yang ada dilehernya dengan segenap tenaga. Dalam surat disebutkan bahwa kristal yang dipakainya memiliki kekuatan yang paling hebat.
Isi dalam surat tersebut yang tak lain menunjukkan bahwa kristal hijau yang ada dikalung Jian Chen adalah sebuah pusaka kuno yang telah hilang. Disebutkan bahwa kristal tersebut bernama ‘Kristal Penembus Waktu’.
‘Kalau diingat lagi, kristal pada kalung ini memang aneh…Saat sekarat aku pernah melihat benda ini bisa bercahaya terang...” Jian Chen pernah bertarung hidup dan mati lalu kalah dan sekarat, waktu itu kalung yang ada dilehernya bereaksi seperti bercahaya.
Sebelum ia memeriksa lebih jauh, tiba-tiba kristal yang ada dikalung Jian Chen mengeluarkan cahaya hijau terang. Jian Chen segera melemparkan kalungnya karena instingnya merasakan ada sesuatu yang berbahaya pada kristal itu.
Benar saja, sesuatu yang mengejutkan terjadi setelahnya, Kristal hijau itu yang semula ditanah bisa bergerak sendiri dan melayang, ia juga telah memisahkan diri dari kalungnya.
“Sebentar…Bagaimana bisa…” Jian Chen ingin berkata seperti itu jika tidak ada darah dimulutnya.
Jian Chen ingin merangkak mundur melihat cahaya kristalnya semakin terang namun sayangnya kristal itu justru bergerak cepat dan masuk pada tubuhnya.
Jian Chen meraba dadanya tetapi tidak merasakan ada sesuatu yang masuk seolah kristal itu masuk ketubuhnya seperti hantu yang menembus dinding.
Pada saat dia bertanya-tanya apakah kristal itu berbahaya atau tidak, semua pertanyaan itu segera terjawab beberapa detik kemudian.
Secara tiba-tiba kristal yang ada di tubuh Jian Chen bereaksi, kristal tersebut menyerap sesuatu yang tak dapat dikira Jian Chen yaitu menyerap energi hidupnya.
Jian Chen menjerit keras merasakan sakit yang amat hebat, kristal tersebut juga ternyata menghisap kultivasinya hingga menurun secara drastis. Setelah terasa mentok pada dasar kultivasi Jian Chen langsung terkapar tidak berdaya.
Disela diujung nyawanya Jian Chen hanya bisa pasrah dengan keadaanya. Dari lubuk hatinya ia berharap bisa mengubah atau tahu jawaban-jawaban atas semuanya.
Jian Chen ingin tahu siapa yang membantai Klannya dan apa alasannya, ia juga ingin tahu identitas gurunya, dan yang paling penting dari semuanya, Jian Chen ingin tahu siapa dirinya yang sebenarnya .
Tak berselang lama detik berlanjut, Jian Chen kemudian menutup mata perlahan dan menghembuskan napas terakhir.
Disaat Jian Chen sudah menghembuskan napas terakhirnya, kristal hijau itu tidak berhenti bercahaya bahkan cahayanya lebih terang, kini bukan kristal saja melainkan tubuh Jian Chen juga ikut bercahaya serta mengambang diudara.
Cahaya tambah meluas hingga Tanah Merah yang tak dihuni itu kini terang benderang. Tidak sampai disana, cahaya hijau itu menembak ke atas langit, menembus awan-awan hingga membentuk seperti pilar langit yang menancap ke bumi.
Orang-orang dari berbagai tempat bisa dengan jelas melihatnya. Pilar hijau itu begitu terang ditengah malam membuatnya tidak mungkin tidak dilirik oleh manusia.
Orang-orang yang ada dirumahnya berbondong-bondong keluar, yang tertidur langsung terbangun, yang sedang melakukan aktivitas segera terhenti karena ingin melihat apa yang bersinar.
Tidak berselang lama ditengah keheranan, penomena alam terjadi tiba-tiba. Hembusan angin kencang menerpa seluruh daratan benua, ombak-ombak yang ada dilaut berguncang bergelombang tinggi, tanah-tanah yang mereka pijak mulai bergetar seperti gempa bumi.
Penduduk-penduduk yang melihatnya kini mulai merasakan ketakutan seolah akan terjadi kiamat.
Seorang ibu memeluk anaknya erat, beberapa penduduk ada yang pasrah seolah hari kemtiannya akan tiba, tidak sedikit ada yang berlari menjauhi cahaya itu untuk menyelamatkan diri.
Untungnya fenomena yang menakutkan itu tidak berangsur lama, Pilar Cahaya itu kemudian meredup lalu beberapa saat menghilang perlahan. Diikuti pilar cahaya hilang fenomena-fenomena sebelumnya juga terhenti, semuanya telah kembali normal.
“Ah, akhirnya ‘Kristal Penembus Waktu’ itu digunakan juga, kupikir aku akan menunggunya 100 tahun lagi…” Seorang pria paruh baya tersenyum manatap kilasan buliran cahaya itu yang mulai memudar. “Jian Chen, kira-kira seperti apa duniamu nanti…”
***
“Ah, inikah surga itu…”
Jian Chen terjaga dan mendapati dirinya tengah berbaring dihamparan rumput yang luas sambil memandang langit biru cerah. Diatas tubuhnya ada pohon berdaun rindang mencegah dirinya dari sengatan cahaya matahari.
Jian Chen ingin bangkit dan duduk namun beberapa saat matanya melebar ketika merasakan sakit disekujur tubuhnya.
“Apa-apaan… Bukankah aku sudah disurga?!” Jian Chen mengumpat saat menyadari dirinya memiliki luka lebam. Sebelum mencerna situasi ia mendengar ada seseorang yang berbicara.
“Oh, Ayah pikir kamu akan bangun lebih lama mengingat latihan tadi sangat keras. Kau telah sedikit bertambah kuat Chen’er.”
Jian Chen menoleh kesumber suara lalu menemukan seorang pria berusia 30-an memandang dirinya sedang bersandar dibawah pohon.
“Ayah? Itukah kamu Ayah?!”
Mata Jian Chen terbuka lebar karena sosok itu yang tak lain adalah ayahnya, Jian Wu.
Jian Wu hendak menghampirinya namun sesaat ia mengerutkan alis karena anaknya itu tiba-tiba mengeluarkan air mata. Jian Chen menangis dengan isakan yang pelan.
Jian Wu mungkin tidak menyadari betapa rindunya Jian Chen ketika bertemu orang tuanya. Jian Chen selalu merasa kesepian ketika orang tuanya meninggal diwaktu dirinya remaja, ia tidak punya siapa-siapa lagi didunia kecuali sebuah tekad hidup untuk membalas dendam.
Jian Chen menyesal ketika hidupnya dulu di akademi tidak pernah pulang sedikitpun karena terus berlatih agar orang tuanya bisa bangga.
Jika Jian Chen mengetahui Klannya bakal dibantai mungkin ia tidak akan pergi dan memilih menghabiskan waktu bersama orang tuanya, setidaknya dia mati bersama orang tuanya.
Rasa sakit ditinggalkan oleh kedua orangtua tidak akan hilang walau berpuluh tahun-tahun hidup lamanya sampai akhirnya seseorang itu meninggal.
“Kenapa kau menangis, apakah Ayah terlalu menyakitimu saat berlatih tadi?”
Jian Chen mengusap matanya dengan punggung tangan, ia kemudian menggeleng pelan tatapi alisnya sedikit berkerut mendengar sesuatu yang aneh dari ujaran ayahna.
“Berlatih? Apa yang Ayah maksud, bukankah ini disurga kenapa harus berlatih lagi? Apakah ada orang jahat juga disini?”
Jian Wu tidak mengerti dengan lontaran anaknya tetapi ia segera mengambil air dan memberikannya pada Jian Chen.
Belum air itu menyentuh bibirnya tiba-tiba Jian Chen merasakan denyutan hebat dikepalanya. Jian Chen menjerit histeris sebelum kemudian terjatuh pingsan.
“Apa yang…” Melihat wajah anaknya begitu kesakitan dan hilang kesadaran membuat Jian Wu panik. Ia tidak mengerti alasannya tetapi segera membawa tubuh Jian Chen mememui tabib.
***
Disaat Jian Chen membuka mata ia menemukan bahwa dirinya berada disebuah ruangan. Jian Chen mendudukan posisinya dari tempat tidur namun baru beberapa detik merubah posisi, denyutan menyakitkan dikepala kembali dirasakan hanya saja tidak sesakit sebelumnya.
Jian Chen sendiri sebenarnya kebingungan, bukankah ia sudah mati tetapi kenapa dirinya masih merasakan sakit?
“Aku sungguh tidak mengerti alam apa ini?” Jian Chen kemudian menatap sekeliling ruangannya tertidur, keganjalan mulai Jian Chen rasakan karena tempat ini adalah sesuatu yang tak asing bagi Jian Chen. “Bukankah ini kamarku di Klan Jiang…”
Jian Chen meraba tubuhnya lalu tidak menemukan luka dalam didadanya saat ia meninggal. Tubuh Jian Chen memang berbalut perban namun itu berada ditangannya.
“Ini...” Jian Chen merasakan tubuhnya terasa mengecil seperti usia tubuh anak-anak. Sebelum ia mencerna apa yang terjadi, pintu ruangan disamping bergeser.
Seorang wanita berusia 20-an datang sambil membawa napan makanan pada kamar Jian Chen. Wanita itu begitu terkejut melihat Jian Chen sudah bangun, ia buru-buru meletakan napan tadi dan berhambur memeluk tubuh Jian Chen.
“Chen’er, kamu sudah sadar, Sayang…” Setelah beberapa detik memeluk Jian Chen wanita itu menyeka matanya dan melapas pelukan, ia meraba wajah Jian Chen dengan lembut sambil tersenyum hangat.
Jian Chen sendiri hanya diam tak bergeming. Ia bukan tidak tahu siapa yang memeluknya tetapi bingung atas semuanya. Wanita yang memeluk Jian Chen adalah Jian Ran, ibunya
“Kamu kenapa sayang, ada yang masih sakit…” Jian Ran tidak mengerti anaknya menatap dirinya tanpa berkedip tetapi ia merasakan sorot mata Jian Chen memiliki rasa kesedihan.
Jian Chen menggeleng pelan, ia tidak peduli lagi tentang apa yang terjadi namun bertemu ibunya sudah membuat bahagia. Kali ini Jian Chen memeluk tubuh ibunya terlebih dahulu.
Jian Ran tersenyum dan mengusap rambut Jian Chen, Jian Ran tidak mengerti kenapa sifat anaknya berubah tetapi ia sadar anaknya kini tengah menangis sambil memeluknya ketika merasakan bahu Jian Chen bergetar.
Entah berapa menit Jian Chen memeluk ibunya tanpa mau lepas sedikitpun, Jian Ran juga tidak bergeming dan membalas pelukan anaknya sembari mengelus punggungnya dengan lembut.
“Chen’er istirahatlah dulu, ibu sudah membawa makanan kesukaaan kamu. Ibu harus memberitahukan pada Ayah bahwa kamu sudah siuman.” Jian Ran mengelus rambut Jian Chen dengan penuh kasih sayang.
Jian Chen mengangguk. Ia hanya memandang ibunya yang tersenyum sebelum punggungnya hilang dibalik pintu.
“Aku mengerti semuanya…” Jian Chen melihat kedua telapak tangan dan tubuhnya, juga mulai memandang sekeliling kamarnya termasuk tata letak semua benda yang ada. “Tidak salah lagi, aku… aku telah kembali ke masa lalu.”
Jian Wu tidak lama kemudian datang dengan istrinya dan seorang tabib, tabib itu terlebih dahulu memeriksa tubuh Jian Chen dengan meraba telapak tangan dan denyut nadi.
“Bagaimana? Apakah Chen’er baik-baik saja?” Jian Wu bertanya pada tabib itu dengan cemas, dirinya berpikir sebab Jian Chen pingsan adalah karena latihan bersamanya.
“Syukurlah, anakmu sudah membaik seperti semula. Mungkin ia kelelahan karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga jadi sebaiknya biarkan dia istirahat dan tidak usah berlatih dulu untuk beberapa waktu.”
Tabib itu kemudian memberikan resep obat agar tenaga Jian Chen bisa cepat pulih.
Jian Chen sendiri sebenarnya tahu bahwa yang menyebabkan dirinya terjatuh pingsan bukan karena kelelahan melainkan rasa sakit di kepalanya.
Setelah merasa pekerjaannya telah selesai Tabib itu berpamitan pergi. Jian Wu mengantarkannya sampai pintu rumah, ia tidak lupa untuk berterimakasih dan memberi bayaran yang sesuai.
Dari kamar, Jian Chen diperingatkan oleh ibunya agar tidak berlatih untuk sementara waktu, bahkan nada Jian Ran sedikit tegas mengingat sikap puteranya yang keras kepala.
Jian Chen mengangguk pelan dan mengatakan akan menurut nasihat ibunya.
Melihat itu Jian Ran memasang wajah ramah kembali dengan senyuman yang hangat. Ia mengambil makanan yang sebelumnya dibawa lalu menyuruh anaknya agar segera makan sebelum minum obat.
“Atau mau ibu suapi?” Jian Ran menggoda anaknya sambil tertawa kecil.
Jian Ran adalah sosok ibu yang memiliki sikap riang, mempunyai wajah cantik serta aura keibuan yang tinggi.
Dia ingin sekali memanjakan anak satu-satunya itu walaupun kini sudah berumur 12 tahun. Pada dasarnya seberapa besar kelak seorang anak tumbuh dan dewasa bagi seorang ibu ia tetaplah anak kecilnya, seperti itulah pandangan Jian Ran pada Jian Chen.
Bahkan kalau boleh memilih, seorang ibu tidak akan merelakan anaknya tumbuh dan jadi dewasa.
Jian Chen tersenyum canggung, ia mungkin berusia 12 tahun tetapi mental dan sikapnya sekarang jauh dari umurnya. Jian Chen menolak pelan, lebih memilih mengambil mangkuk sup itu segera sebelum ibunya menggodanya lebih lanjut.
“Chen’er sekarang sudah larut malam, setelah kau makan jangan lupa untuk meminum obat yang tabib berikan lalu segera tidur dan istirahat.” Jian Ran mengingatkan.
“Baik, Ibu. Aku akan melakukannya…”
“Besok-besok tidak ada nama latihan, belajar pedang, atau memperkuat tubuh. Selama seminggu ke depan, selama tubuhmu masih sakit, jangan keluar rumah! Kamu mengerti, Jian Chen?!”
Jian Chen tersenyum, mengangguk. “Baik, Ibu.”
“Tidak ada bantah-bantahan, Chen’er. Jika ibu bilang kamu harus istirahat maka harus segera istirahat! Jangan bilang kamu tidak akan melakukannya atau ibu akan... Eh? Apa tadi…”
Jian Chen tertawa kecil, ia tidak salah lagi kalau dirinya memang kembali ke masa lalu. Sikap cerewet ibunya masih sama ketika waktu dimasa kecil dulu.
Jian Ran disisi lain menatap anaknya kebingungan, sepengetahuannya Jian Chen memiliki sifat keras kepala bahkan walau sakit sekalipun. Pernah suatu hari walau dirinya demam Jian Chen tetap berlatih meskipun ibunya telah melarang keras, sekarang saat Jian Chen begitu patuh rasa-rasanya membuat Jian Ran terkejut.
Melihat Jian Chen sudah meminum obat, Jian Ran memilih meninggalkan kamar. Sebelum keluar Jian Ran terlebih dahulu mengecup kening anaknya.
Jian Chen memejamkan mata merasakan kecupan ibunya, terakhir kali ia dicium ibunya saat akan berangkat ke Akademi, itu juga adalah kecupan terakhir ibunya sebelum ia tak berjumpa lagi.
“Istirahatlah, Chen’er, jangan membuat ibu khawatir lagi…” Jian Ran tersenyum mengelus kepala anaknya sebelum bangkit dan pergi.
Setelah suara derap langkah ibunya menjauh, Jian Chen menyibakkan selimutnya sebelum bangkit ke arah jendela. Jian Chen membuka jendela itu, pandangannya tertuju pada langit-langit malam.
Jian Chen memikirkan tentang dirinya kenapa bisa kembali ke masa lalu, jelas fenomena ini adalah sesuatu yang banyak diinginkan oleh orang lain apalagi orang itu mempunyai banyak penyesalan dalam hidupnya seperti Jian Chen.
“Aku tidak tahu takdir apa yang memilihku seperti ini tetapi yang pasti, aku akan melindungi keluargaku dikesempatan kedua ini…” Jian Chen memantapkan hatinya dengan tekad kuat.
***
Selama beberapa hari ke depan, Jian Chen mematuhi apa yang ibunya inginkan yaitu tidak berlatih terlebih dahulu. Jian Wu juga ikut melarang anaknya dan tidak mau melatih selama Jian Chen masih sakit.
Jian Chen pun sebenarnya tidak keberatan malah ia terkesan menikmatinya, niat Jian Chen dari awal hanya ingin menghabiskan waktu bersama orang tuanya apalagi ibunya.
“Chen’er, apakah kau mau belajar memasak?” Jian Ran tersenyum lembut ketika tiba-tiba anaknya ikut ke dapur.
Jian Chen mengangguk. “Bolehkan, Ibu?”
“Tentu saja boleh, Sayang, kenapa harus tidak.” Jian Ran berjongkok untuk mengelus pucuk kepala anaknya. “Kamu memang mau belajar masakan apa? Sup? Kari?”
“Aku mau belajar dua-duanya...”
“Boleh, hari ini kalau bisa Ibu ajarkan semua masakan padamu.” Jian Ran tersenyum.
Jian Ran tidak setenang yang dilihat, pikirannya kalut oleh sikap anaknya yang beberapa hari ini banyak perubahan terutama karena Jian Chen selalu ingin dekat bersamanya.
Memang secara naluri seorang anak berusia 12 tahunan sepertinya wajar dekat dengan ibunya bahkan masih bermanja-manja, tetapi sikap Jian Chen awalnya tidak seperti itu.
Dibanding menghabiskan waktu bersama ibunya, Jian Chen lebih suka berlatih setiap hari, bekerja keras menjadi seorang pendekar kuat seperti apa yang sering dicita-citakan anaknya.
Hal ini berimbas dia tidak punya waktu berdiam diri di rumah apalagi menemani sang ibu, Jian Chen memilih menjadi seorang lelaki sejati seperti Jian Wu ayahnya yang seorang pendekar.
Jian Ran sendiri tidak memaksa keputusan Jian Chen menjadi apa kelak, entah itu seorang pendekar atau sarjana. Meski kalau boleh memilih ia ingin anaknya tidak masuk ke dunia persilatan yang berbahaya.
Saat Jian Chen masuk ke dapur dan ingin belajar memasak itu adalah sebuah fenomena langka, tidak mengherankan kalau Jian Ran bingung dengan perubahan sikap anaknya.
“Ibu, kita mulai belajar darimana?” Jian Chen sudah memegang pisau, membuat Jian Ran tersadar dari lamunannya.
“Mm… Bagaimana kalau kita membuat sup dulu?” Jian Ran buru-buru tersenyum, mengembalikan ekspresi.
Jian Chen mengangguk, “Baik, Ibu.”
Tentu saja Jian Chen menyadari apa yang dipikirkan ibunya hanya saja ia memakluminya karena tau sikap dirinya sekarang bukan Jian Chen yang dikenal ibunya.
Alasan kuat Jian Chen selalu dekat ibunya karena alasan sederhana, dia merindukan ibunya.
Jian Ran mulai mengajarkan setiap masakan yang dirinya bisa pada anaknya, dalam beberapa waktu alisnya sedikit berkerut karena bakat Jian Chen soal memasak jadi sangat tinggi.
Jian Chen seolah tahu setiap porsi bumbu yang dituangkan pada masakannya, setiap yang ia sendokan sangat tepat, perapian di tungku juga sesuai sehingga ketika Jian Ran menyicipinya matanya langsung melebar.
‘Ini benar-benar enak!’ Jian Ran seolah tidak percaya tetapi sadar kalau lidah tidak bisa berbohong.
Saat pasangan ibu dan anak itu di dapur tak lama Jian Wu datang karena aroma masakan Jian Chen begitu harum. Dirinya sedikit heran saat sampai karena ada Jian Chen, sesuatu yang jarang anaknya lakukan.
Menyadari suaminya datang Jian Ran langsung mendekatinya sambil membawa mangkuk, “Suamiku, coba cicipi masakan ini, kamu pasti menyukainya!”
Dahi Jian Wu sedikit berkerut tetapi menurut saja, ia melahap suapan Jian Ran sebentar sebelum mengangguk. “Enak, seperti biasa. Masakanmu selalu enak…”
“Tapi ini bukan masakanku…” Jian Ran menggeleng.
“Hm? Lantas siapa, apakah Chen’er yang memasaknya?”
“Ini memang buatan Chen’er.”
Jian Wu terbatuk pelan, “Ran’er, kamu selalu pandai dalam becanda di setiap kondisi…”
“Aku serius suamiku, Chen’er lah yang memasak!” Jian Ran menoleh pada anaknya yang masih mengaduk sup di panci. “Tadi Chen’er memang ingin belajar memasak tetapi dalam sekali coba masakannya hampir sama dengan masakan yang aku buat, bukankah ini bakat?”
Jian Wu terdiam, ia bingung harus menjawabnya seperti apa.
Sorot cahaya Jian Ran terlihat lebih terang seperti ada harapan yang telah tumbuh. “Hei, suamiku, bukankah kita dulu pernah bersepakat bahwa ketika anak kita berbakat disalah satu bidang maka kita harus mendukungnya.”
Firasat Jian Wu memburuk, dia sudah tahu arahan istrinya akan kemana.
“Sekarang…” Jian Ran melanjutkan. “Jian Chen ternyata berbakat di bidang masakan, ini berarti kita harus mendukungnya menjadi ahli masak. Bukankah bakat Chen’er pada pedang sangat bur…Maksudku masih kurang, alangkah baiknya dia jadi seorang koki dari pada pendekar.”
Jian Wu terbatuk pelan. “Kamu keliru, Ran’er. Perkembangan Jian Chen pada pedang sudah tumbuh sangat pesat, sekarang dia hampir bisa teknik pedangku!” Dengan terpaksa Jian Wu berbohong karena tidak ingin Jian Chen berubah aliran kearah apa yang diinginkan ibunya.
Mata Jian Ran menyipit curiga. “Jika dia berbakat di bidang pedang bukankah hari lalu dia tidak pingsan saat latihan?”
Jian Wu mulai salah tingkah lalu membela dengan fakta-fakta bohong lainnya, dirinya ingin sekali kalau Jian Chen menjadi seorang pendekar yang hebat.
Akhirnya kedua pasangan tersebut mulai berdebat merebutkan masa depan yang Jian Chen raih, antara ibunya yang ingin agar Jian Chen menjadi seorang koki atau ayahnya yang ingin menjadi seorang pendekar.
Jian Chen yang masih memasak terhenti lalu memandang ibu dan ayahnya yang malah bertengkar kecil. Ia tidak berusaha melerai karena dari dulu kadang seperti itulah keluarganya.
Jian Chen tersenyum merasakan kembali kehangatan keluarganya, sensasi yang sudah ia lupakan.
Sayangnya ada satu fakta yang tak bisa dihindarkan dari Jian Chen sekarang yaitu dia bukanlah anak dari orang tuanya yang sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!