"Cinta pada lelaki seperti dia hanya akan menghambatmu meraih cita-cita!"
Gadis berusia 22 tahun itu memantapkan diri dan semakin memfokuskan kedua netranya pada papan target di depan sana. Meski kalimat sang mama terus terngiang-ngiang di telinganya, konsentrasinya tak boleh pecah. Ini kesempatan terakhirnya. Jika dia tidak berhasil melesatkan anak panahnya di cincin berwarna emas itu, artinya dia kalah. Bukan hanya kalah dari pertandingan, tapi juga kalah dari mereka.
Hanya dengan meraih 10 poin dia bisa memenangkan pertandingan. Cincin emas terkecil yang berada di paling tengah itulah yang harus bisa ia taklukan. Cincin emas itulah yang memiliki poin tertinggi dalam panahan. Ia sempat berharap lawannya tidak mendapat poin sempurna di giliran terakhirnya tadi. Dengan begitu, dia bisa menang walau hanya dengan mendapat poin 8 atau 9 saja. Namun ternyata, lawannya pun begitu gigih dan ingin meraih kemenangan.
Tali busur sudah ditariknya hingga menyentuh dagu, bibir, dan hidung. Dia sudah bersiap untuk menembak. Netranya sejak tadi sudah terpaku erat pada papan target berjarak 70 meter di lurusannya, tapi dia masih belum bisa menghalau berbagai macam pikiran buruk yang tengah menari-nari di dalam kepalanya.
"Temukan hening di sekitarmu. Hilangkan semua hal yang hanya akan memecah konsentrasimu. Tatap sasaranmu lekat-lekat. Lakukan hingga kau berhasil mengenyahkan semuanya. Lakukan hingga kau tak melihat apa pun selain sasaranmu di depan sana."
Kalimat papanya seolah terdengar dari jauh sana. Kalimat menyejukkan yang sarat akan dukungan, yang membuatnya semakin bersemangat. Kalimat yang selalu dilontarkan ketika gadis itu masih kecil dan mulai kesal karena anak panahnya selalu tak berhasil ditancapkan ke sasaran yang ia inginkan.
Dia memejamkan mata; mencoba mencari keheningan di antara sorak-sorai mereka yang penuh harap atas permainannya. Dirasakannya embusan angin yang membelai kedua belah pipinya. Menenangkannya. Suara-suara di sekitarnya berangsur-angsur lenyap. Yang ada hanyalah suara bisikan angin, yang seolah memerintahkannya untuk tetap fokus dan rileks.
Pertandingan ini adalah pertaruhannya dengan mereka. Empat tahun yang lalu dia sudah membulatkan tekad untuk membuktikan pada semua, bahwa apa yang mereka pikirkan itu salah. Cintanya—yang kata mereka tidak layak dipertahankan—tidak akan menghambatnya untuk meraih cita-cita. Cintanya itu akan membawanya pada sebuah kemenangan. Cintanya akan menjadikannya seorang atlet panahan terkenal di Indonesia, bahkan di dunia.
Makanya, aku nggak boleh kalah, tekadnya saat ini.
Matanya terbuka. Semua suara di luar dan di dalam kepalanya sudah hilang. Bahkan, deretan manusia di sekelilingnya sudah berubah buram. Satu-satunya yang bisa ia lihat adalah papan target di depan sana; cincin emas paling tengah yang akan membawanya pada kemenangan.
Dengan satu tarikan napas panjang, dia pun melesatkan anak panah terakhirnya. Panah penentuan. Sebuah panah yang akan menjadi penentu masa depan ... juga cintanya.
Rilis!
***
Note:
Perkenalkan, saya Emma. Lovarchery sebenernya udah selesai di *******. Tapi saya pindahin ke sini. Mungkin yang di sana bakal saya hapus aja. Plus, karena per bab minimal 500 kata, sedangkan buat prolog masih kurang, terpaksa saya harus menuhin “kuota” dulu. Hehe
Buat penyuka jejepangan, kalian pasti tahu dong siapa yang jadi cover di Lovarchery? Yup! Ikuta Toma dan Suzu Hirose. Keduanya main film bareng di “Sensei”. Jadi, bayangin aja Cinta yang jadi Suzu, dan Aksa yang jadi Ikuta-nya. Dari dulu saya emang suka sama cerita cinta antara guru dan murid sih. Soalnya unyu gitu. Ada yang sama?
Well, doain saya semoga awet di sini ya. Aamiin.
***
Gagal lagi! Cinta menggerutu.
Wajahnya semakin merengut ketika menatap anak panahnya yang hanya menancap di cincin keempat berwarna merah. Angka 7 memang bukan poin yang kecil untuk panahan, tapi bukan berarti Cinta sudah cukup puas dengan angka yang baru saja diperolehnya.
Sebelumnya, jarang sekali Cinta menemui kesulitan seperti ini; susah berkonsentrasi hingga kesulitan mendapatkan poin 10 atau nilai sempurna. Cinta yang sudah berlatih memanah sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, selalu bisa menciptakan situasi di mana dirinya bisa berkonsentrasi penuh. Lain halnya dengan beberapa bulan belakangan ini. Pikiran Cinta selalu melayang ke mana-mana hingga konsentrasinya selalu saja terpecah.
Cinta mengangkat wajahnya ke atas; semburat merah sudah menghiasi langit sekolahnya. Bersamaan dengan itu, jam besar sekolah mulai berdentang. Lima kali. Artinya waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah lebih dari dua jam berlalu sejak bel jam pulang sekolah berbunyi. Namun demi meningkatkan kemampuan memanahnya, Cinta lebih memilih berlatih daripada langsung pulang ke rumah. Sering kali Cinta merutuk, kalau aja aku bawa busur sama panahku dari rumah lama .... Meski begitu, mau merutuk seperti apa pun Cinta sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan pernah lagi menginjakkan kedua kakinya di rumah itu.
"Maksain diri nggak baik, lho, buat badan kamu."
Ezra. Dia menghampiri Cinta yang tatapannya sudah beralih dari langit kepadanya. Alih-alih menghampiri Cinta, Ezra malah melewatinya dan bergerak mendekati papan target sejauh 30 meter di lurusannya. Sudah sering Ezra melakukannya; membantu Cinta mengangkut penyangga papan seberat 4 kg, sekaligus bantalan target yang digunakannya sebagai sasaran berlatih. Tak tega kalau harus melihat Cinta bolak-balik dari lapangan ke ruang klub untuk membereskan semuanya seorang diri.
"Jadwal latihan, kan, besok. Kalau kamu juga latihan sekarang, badan kamu nggak akan kuat." Sambil bicara, Ezra melewati Cinta dan berjalan mendahuluinya; gadis itu mengekorinya.
"Iya, sih. Tapi besok aku nggak ada jadwal. Latihan Jumat, kan, khusus buat senior. Besok kita cuma bakalan dipermaluin."
"Kok, dipermaluin, sih?" Ezra berhenti dan berbalik menatap Cinta. "Besok, tuh, evaluasi. Dijelasin apa-apa aja yang masih kurang selama kita latihan seminggu ke belakang."
Cinta melewati Ezra. "Evaluasinya depan junior. Ketahuan banyak salah, kan, malu," rutuknya.
Posisi berbalik, Ezra mengekori Cinta sekarang. "Namanya juga masih latihan. Kalau udah pro terus banyak salah, baru, deh, malu."
"Mau udah pro atau belum, aku pengin cepet-cepet nguasain jarak tiga puluh meter. Nggak pengin banyak salah lagi," sengit Cinta dengan kedua telapak tangan terkepal di sisi tubuh.
"Makanya kamu mati-matian latihan tiap hari?"
Cinta mengangguk dalam. Sebenarnya, sudah berkali-kali Cinta ingin mencoba merajuk pada mamanya untuk diperbolehkan ikut kursus memanah di luar. Namun setelah dipikir-pikir lagi, Cinta tidak tega jika mamanya harus mengeluarkan uang lebih untuk hal-hal di luar keperluan sekolahnya. Apalagi mengingat mamanya hanya mengandalkan penjualan brownies sebagai mata pencaharian.
"Kebanyakan latihan nggak baik, Ta," ujar Ezra mengingatkan.
Sejak kelas sepuluh sampai sekarang, Ezra sudah sering memperhatikan Cinta. Gadis itu berlatih lebih sering ketimbang anggota klub panahan yang lain. Bahkan ketika Cinta belum bisa menguasai panahan indoor dengan jarak 18 meter, gadis itu tak jarang menggunakan lapangan khusus klub panahan untuk berlatih seorang diri. Ezra kira setidaknya Cinta akan merasa bangga setelah menaklukan medan indoor tersebut. Tenyata pikirannya salah. Tak lama setelah Cinta berhasil terus-menerus mendapat poin sempurna di permainan indoor-nya, ia segera beralih dan menetapkan lawan baru, yakni lapangan outdoor berjarak 30 meter yang letaknya bersebelahan dengan lapangan sepak bola.
"Kak Puji juga sering bilang kalau latihan itu ada porsinya, 'kan? Harus seimbang. Jangan kurang, tapi jangan juga berlebihan." Ezra masih saja mencoba mengeluarkan semua yang ada dalam kepalanya. Tidak sadar kalau gadis di depannya sudah mulai bosan dengan ocehannya.
Memanah dirasa sulit bagi Cinta belakangan ini. Kegagalan yang terus didapatnya di jarak 30 meter, sering membuatnya kembali berlatih di lapangan indoor; jarak 18 meter yang tadinya sudah ia kuasai. Entah karena sudah terlalu lelah atau memang semangat berkurang karena terus-terusan gagal menguasai medan outdoor, permainan panahan Cinta di indoor pun malah berubah menjadi buruk. Poin sempurna yang sering didapatnya kini tak lagi singgah; membuat Cinta semakin depresi.
Kata-kata almarhum papanya selalu teringat tiap kali Cinta gagal mendapat poin sempurna. "Setiap kegagalan adalah proses yang akan membawamu pada keberhasilan. Asal tidak menyerah dan berputus asa, kamu pasti akan menemukan jalan untuk menang." Cinta percaya pada apa yang dikatakan oleh papanya itu. Namun semakin lama, semakin sering mencecap kegagalan, kata-kata dari papanya—yang selama ini selalu menjadi penyemangat—malah membuat dada Cinta terasa sesak. Entah sejak kapan kata-kata penyemangat itu berubah menjadi sebuah beban berat.
Cinta dan Ezra sudah selesai menempatkan semua perlengkapan memanahnya di ruang klub. Chest guard, arm guard, dan finger tab yang sampai tadi melekat di tubuh Cinta pun sudah ditaruhnya ke tempat semula.
"Ara mana?" tanya Ezra. Sepertinya ia baru sadar kalau sejak tadi Cinta berlatih sendiri tanpa ditemani sahabat baiknya.
"Pulang duluan," jawab Cinta sembari meregangkan otot-otot tubuhnya. "Padahal udah aku suruh dia buat nemenin aku latihan. Tapi dia malah kabur. Malah katanya, dia udah capek lihat aku yang sama sekali nggak ada kemajuan. Nyebelin banget, 'kan?" sungut Cinta dengan bibir mengerucut.
Ezra tertawa. "Ara emang keras. Tapi aku yakin dia nggak bermaksud bilang begitu."
"Kamu mau bilang kalau omongannya itu adalah bentuk dukungan?" Cinta memicingkan mata. Kedua lengannya pun ia lipat di dada seraya menunjukkan sikap menantang.
Ezra mengangkat bahu. "Tapi dia emang begitu, 'kan? 'Ara itu suka nutupin perhatiannya sama sikap ketus,' itu yang pernah kamu bilang ke aku."
Memang benar. Cinta akui pernah mengatakannya. Dafira Pratista atau yang sering orang-orang panggil "Ara", memang terkenal sebagai perempuan tomboi yang kasar. Namun di balik sikapnya yang tak menyenangkan itu, tersimpan sebuah perhatian yang sangat besar. Terutama pada orang-orang terdekatnya.
Cinta menggendong tasnya. Latihannya hari ini sudah selesai. Dia akan kembali lagi Sabtu nanti. Di saat sekolah libur dan digantikan oleh kegiatan ekstrakurikuler.
"Kamu mau pulang pake itu?" Ezra menatap Cinta skeptis. Tak ada tanda-tanda gadis di hadapannya akan berganti pakaian sebelum pulang.
"Kenapa?" Gantian Cinta bertanya.
Ezra menggeleng; raut wajahnya meringis. Pakaian olahraga sekolahnya memiliki desain yang tak biasa, alias aneh. Belum lagi warnanya yang tua dan terlihat pudar. Malas sekali kalau harus mengenakannya di luar sekolah. Apalagi kalau sampai bertemu siswa dari sekolah lain. Memalukan.
"Kita harus bangga sama sekolah kita, Zra," tegas Cinta.
Ezra semakin menatap skeptis gadis mungil di hadapannya. "Bukan karena bangga. Bilang aja kalau kamu males ganti. Iya, kan?"
Cinta terkekeh. Itu memang alasan yang paling tepat.
Sehabis latihan sendiri, Cinta memang selalu enggan mengganti pakaian olahraganya dengan seragam sekolah. Malas. Lagi pula, ganti di ruang klub tidak aman. Siapa saja bisa masuk ke sana. Memang, ruangannya bisa dikunci dari dalam. Namun tetap saja tak lantas membuat Cinta merasa tenang. Lain lagi ceritanya jika berganti di toilet. Meskipun aman, hampir tak ada siswi yang ke sana pada jam-jam seperti ini. Rumor yang mengatakan bahwa toilet wanita itu angker, membuat para siswi enggan pergi ke sana di waktu sepi.
Biasanya, Cinta menggunakan jaket sebagai penutup baju olahraganya. Namun karena beberapa hari ini cuacanya begitu panas, membuatnya enggan membawa benda "tak berguna". Benda yang hanya akan merepotkan kedua tangannya karena tak terpakai.
"Kamu tunggu di depan gerbang aja. Aku ngambil motor dulu. Aku anterin kamu pulang," kata Ezra yang sudah bersiap-siap mengayunkan langkah ke pelataran parkir.
"Nggak usah, Zra," cegah Cinta. "Aku pulang naik angkot aja."
"Naik angkot? Yakin? Di jam bubaran kantor kayak gini?" cecar Ezra seraya menaikkan sebelah alis matanya.
Cinta mengangguk mantap.
"Angkot pada penuh, Ta. Kalaupun dapet, ntar kamu malah kemaleman nyampe rumah." Ezra menatap Cinta penuh cemas. Sayangnya, Cinta malah membalas kecemasannya dengan senyum lebar.
"Nggak apa-apa. Aku pasti dapet angkot. Aku juga nggak bakalan pulang kemaleman," Cinta bersikukuh.
"Ta—"
"Nggak apa-apa, Zra. Percaya, deh."
Mata bulat Cinta yang semakin melebar menandakan bahwa ia benar-benar yakin dengan keputusannya. Kalau sudah begitu, mau tak mau Ezra harus mengalah. Ia tak akan mungkin bisa memaksa Cinta. Jika Cinta sudah berkehendak, maka itulah yang akan gadis itu lakukan. Ezra tahu pasti hal itu.
"Ya udah," desah Ezra. "Tapi kamu hati-hati, ya!"
Cinta mengangguk lagi. "Pasti," katanya. "Aku langsung ke depan, ya."
Kali ini Ezra yang mengangguk. Rasa khawatir masih tak kunjung hilang, tapi Ezra tak bisa berbuat apa-apa. Daripada dianggap bawel dan dibenci oleh Cinta, Ezra lebih memilih menuruti kemauannya. Lagi pula, akan ada saatnya di mana Ezra bisa menempatkan Cinta setiap hari di boncengan motornya. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat hingga ia bisa menyatakan perasaannya.
***
Gadis bertubuh mungil yang sedang berjalan di trotoar mencuri perhatian Aksa. Postur tubuh gadis itu sangatlah Aksa kenal. Meski sudah lama tidak berinteraksi secara langsung, Aksa tidak akan lupa cara berjalannya yang selalu dengan dagu terangkat sambil memegangi kedua tali tas yang membelit kedua pundaknya itu. Juga, tahi lalat berukuran sedang yang terpampang jelas di atas siku tangan kanannya. Akan tetapi, Aksa tetap harus memastikan bahwa gadis itu memang dia.
Sambil membawa mobilnya dengan kecepatan pelan, Aksa mengikuti gadis itu dari belakang. Sesekali, Aksa juga membunyikan klakson agar gadis itu menoleh ke arahnya. Sayang, berkali-kali membunyikan klakson gadis itu tak kunjung berbalik. Mungkinkah ia harus membunyikan klaksonnya lebih keras?
Aksa semakin tak sabar. Padahal keluar dari kantor tadi dia berniat untuk melajukan mobilnya sekencang mungkin agar bisa secepatnya sampai di rumah. Bukannya malah mengikuti seorang gadis yang belum tentu tepat dikenalnya seperti sekarang. Namun, membiarkan rasa penasarannya tak terpuaskan akan lebih menyiksa batinnya. Karena itu, sekali lagi ia akan mencoba.
Ini yang terakhir.
Klakson terakhir yang dibunyikan Aksa membuat langkah gadis itu terhenti. Tak langsung berbalik, tapi cukup menegaskan bahwa ia menyadari apa yang sejak tadi Aksa lakukan dengan sedan hitam kesayangannya.
Aksa masih menunggu; gadis itu masih mematung. Mungkin, gadis itu ingin kembali memastikan bahwa klakson mobil Aksa memang tertuju padanya.
Oke, sekali lagi.
Meski sudah menegaskan bahwa klakson tadi akan menjadi yang terakhir, Aksa malah kembali membunyikannya. Bahkan lebih keras dan panjang dari sebelumnya.
Entah berapa persen kemiripan yang mungkin dimiliki seseorang dengan orang lain. Bisa sampai seratus persen jika gadis yang sedang dikutinya sekarang ternyata salah orang. Jika tidak begitu, gadis itu tidak akan memiliki tahi lalat di tempat yang sama seperti gadis yang dikenalnya, bukan?
Aksa yakin, tapi seyakin-yakinnya dia tidak menutup kemungkinan bahwa ia tetap bisa salah. Karena itu, ia tidak bertindak gegabah dengan langsung keluar dari mobil dan mencolek bahu gadis itu seperti yang dulu sering dilakukannya.
Seketika kedua sudut bibir Aksa terangkat, tepat setelah gadis itu berbalik. Ternyata Aksa memang tidak salah orang. Gadis bermata bulat itu memang kenalannya. Bukan sekadar kenalan, melainkan seseorang yang pernah sangat dekat dengannya. Meski sudah hampir dua tahun tak saling bicara, ternyata Aksa masih belum bisa melupakan gadis itu. Semua yang melekat di tubuh gadis itu masih tertanam jelas di benaknya.
Namanya Cinta Nayara Kalandra. Gadis yang terakhir kali Aksa lihat masih berseragam putih-biru. Gadis yang tubuhnya sepertinya tak tinggi-tinggi dan tetap mungil seperti dua tahun lalu. Gadis yang merupakan tetangganya, yang hanya berselang dua rumah dengan rumahnya.
Kedua tangan Cinta masih memegang erat kedua tali di pundaknya. Tadinya, Cinta berniat berbalik untuk menghentikan klakson bising di belakangnya. Berteriak dan memarahi si pengemudi sudah hendak dilakukannya. Cinta kira si pengemudi hanyalah orang iseng yang hendak menggodanya. Tak tahunya, si pengemudi adalah om-om berusia 36 tahun yang sudah cukup baik dikenalnya.
Cinta berjalan mendekati sedan hitam yang sejak tadi mengganggunya. Diketuknya kaca jendela mobil itu cukup keras. Begitu kaca jendela mobil itu turun, Cinta bisa melihat dengan jelas seraut wajah yang sudah cukup lama tak ditemuinya. Garis-garis tegas yang menghiasi wajah om-om itu membuat Cinta rindu. Belum lagi lesung pipi yang muncul tiap kali dia tersenyum. Cinta tak mengira akan datang hari di mana ia bisa kembali mellihat wajah itu.
"Yang Terhormat Saudara Aksa Sayudha, Anda sudah mengganggu ketertiban umum. Khususnya saya," Cinta berkelakar dengan wajah cemberut.
Sudah lama sekali wajah Aksa tak mengendur akibat tawa yang disebabkan oleh gadis mungil di hadapannya. Cinta memang sudah sedikit berubah—secara fisik karena proses pertumbuhan yang wajar, tapi gaya bicara dan sikapnya yang selalu memunculkan aura manja masih tetap sama seperti terakhir kali Aksa mengenalnya.
"Ayo masuk!" Aksa membukakan pintu untuk Cinta dari dalam.
"Cinta nggak bakalan diculik, kan?" Cinta menunjukkan sikap perlawanan.
"Enggak. Buruan!" Akhirnya Aksa menarik paksa gadis mungil itu hingga memasuki bagian dalam mobilnya. "Jangan lupa pakai sabuknya."
Bibirnya masih mengerucut, tapi Cinta lebih memilih menurut. Kebetulan seperti ini tidak sering terjadi, apalagi sampai harus menunggu selama 2 tahun. Merasa sungkan tak akan membuatnya bisa cepat sampai di rumah. Mau kukuh menunggu angkutan umum sampai dapat? Mau sampai jam berapa? Hampir semua angkutan umum yang melewati Cinta tadi sudah dipenuhi penumpang. Kalau mau menunggu sampai benar-benar dapat, Cinta harus rela menunggu setidaknya sampai lepas isya. Setelah itu, siap-siap menerima khotbah panjang dari mamanya.
"Hei, Anak Kecil! Gimana kabarnya?" Setelah melajukan kembali mobilnya Aksa mulai buka suara.
"Anak kecil, anak kecil. Cinta udah gede sekarang. Udah jadi anak SMA," gerutu Cinta sambil melipat kedua lengan di dada.
Aksa terkekeh. "Udah SMA, kok, masih aja kecil?" ledeknya.
Delikan tajam Cinta segera menyerang pria di sebelahnya. Cinta tidak suka dibilang kecil, mungil, chibi, apalagi pendek. Tubuhnya memang sudah mentok di 153 cm dan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Mau minum susu sebanyak apa pun ia tetap saja tidak bisa melewati angka 153-nya. Meski begitu, masih ada tersisa sedikit harapan bahwa tubuhnya suatu hari nanti akan meninggi.
"Ngambek, ya? Kalau masih suka ngambek, berarti emang masih kecil. Cuma bocah yang sedikit-sedikit gampang ngambek." Aksa sengaja menekankan kata "bocah"-nya. Tak peduli akan bibir Cinta yang sudah semakin maju akibat ledekannya. "Pertanyaan saya belum kamu jawab, lho." Ditusuk-tusuk bahu Cinta dengan jari telunjuknya.
Apa boleh buat. Untuk sementara, Cinta abaikan saja dulu ledekan menyebalkan dari om-om berusia 36 tahun yang sejak tadi tak henti-hentinya menampakkan senyum.
"Cinta sama Mama baik-baik aja, kok, Om," jawabnya. "Om Aksa sam Kak Azkia sendiri gimana kabarnya? Kalian udah nggak pernah lagi main ke rumah, lho."
Nada protes terdengar dari bibir Cinta. Mengingat kedekatan mereka dulu seperti apa, wajar jika Cinta sedikit kecewa melihat Om Aksa-nya sudah tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah. Cinta tak pernah tahu alasannya. Ketika bertanya pada Mama pun, Cinta hanya mendapatkan jawaban ala kadarnya. Mamanya tidak menjelaskan apa-apa.
"Saya sama Azkia baik juga. Azkia lagi sibuk ngurusin skripsi. Akhir tahun ini dia bakalan sidang."
Netra Aksa kembali memperhatikan jalanan. Melihat jalanan macet seperti ini sudah dapat dipastikan dia tak bisa membawa pulang Cinta lebih cepat. Berkali-kali Aksa membunyikan klakson dengan sebal, karena ada beberapa pengendara motor yang tiba-tiba menyalip dan memaksa masuk melalui celah-celah mobilnya dan mobil di depannya.
"Terus, kok, kamu pakai baju olahraga gitu? Pelajaran olahraga, kan, biasanya pagi-pagi," Aksa kembali berkomentar.
"Cinta habis latihan," jawabnya sebelum menguap lebar.
"Latihan?"
"Panahan. Om, kan, udah tahu."
"Masih?" Aksa terkejut. "Kirain kamu nggak serius waktu dulu bilang pengin jadi atlet panahan."
"Ya serius lah, Om. Itu, kan, cita-cita Cinta," decaknya kesal.
"Enggak. Saya nggak ada maksud ngeremehin kamu apa gimana. Cuma saya kira, atlet panahan cuma cita-cita sementara. Banyak yang gitu, 'kan? Dulu kepengin jadi apa, sekarang malah jadi apa. Kebanyakan nggak nyambung malah."
Melewati lampu merah, jalanan sudah mulai lancar. Aksa bisa sedikit menambah kecepatan. Jingga sudah sepenuhnya ditelan gelap. Aksa takut mamanya Cinta khawatir anak gadis satu-satunya jam segini belum pulang.
"Dari kecil sampe sekarang cita-cita Cinta nggak berubah, Om. Cinta tetep kepengin jadi atlet panahan. Kalau bisa sampe mendunia kayak tiga srikandinya Indonesia," tutur Cinta diakhiri senyum kagum.
Tahun 1988, Indonesia dibanggakan oleh Trio Srikandi—Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusumawardhani—yang berhasil menyabet medali Olimpiade di Seoul, Korea Selatan. Meskipun hanya medali perak, Indonesia bangga karena setelah cukup lama mengikuti Olimpiade—tanpa mendapatkan apa pun, baru di tahun 1988-lah untuk pertama kalinya meraih medali untuk dipamerkan sekaligus dibawa pulang. Kemenangan trio pemanah itu seolah menjadi cambuk bagi atlet-atlet Indonesia untuk semakin berjuang mengharumkan nama bangsa di Olimpiade-Olimpiade berikutnya.
Meskipun di Olimpiade pada tahun 1992 cabang olahraga panahan gagal meraih kembali medali, Indonesia bisa berbangga hati karena untuk pertama kalinya berhasil merebut medali emas di cabang olahraga bulutangkis. Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang sekarang telah dianggap sebagai pahlawan bagi para atlet Indonesia. Kedua atlet itulah yang seolah menjadi pemicu bagi Indonesia bisa mendapatkan beberapa medali emas lagi di ajang Olimpiade di tahun-tahun berikutnya.
Kejayaan cabor (cabang olahraga) panahan seketika meredup. Kemenangan yang didapat Trio Srikandi seolah menjadi yang pertama sekaligus terakhir bagi Indonesia. Di tahun-tahun berikutnya pun cabor panahan tetap tak berhasil menambahkan medali yang didapatnya pada tahun 1988. Meski begitu, meski tak ada lagi catatan rekor yang dipecahkan, cabor panahan bisa berbangga hati karena telah mencatat sejarahnya sendiri. Menjadi cabor pertama yang mendapatkan medali adalah kebanggaan yang tak akan pernah bisa terlupakan.
Namun di Asian Games 2018 yang diadakan beberapa bulan lalu, cabor panahan bisa kembali memperoleh medali. Meski hanya perak dan perunggu, itu patut dibanggakan. Setidaknya, cabor panahan bisa kembali menorehkan namanya di daftar pemenang dan menambahkan jumlah medali bagi Indonesia.
Impian terdekat Cinta saat ini adalah menjadi salah satu atlet yang ikut serta di Asian Games selanjutnya, yang dapat meraih medali emas dan kembali menorehkan sejarah layaknya Trio Srikandi idolanya. Karena itu, ia berlatih keras. Sudah bukan lagi masanya bagi Cinta untuk bermalas-malasan. Jika sampai sekarang ia masih belum juga meningkatkan kemampuan memanahnya, dapat dipastikan bahwa impian terdekatnya itu tak akan mungkin kesampaian.
"Tahu juga kamu soal Trio Srikandi," celetuk Aksa.
"Anak panahan harus tahu, dong, Om. Kebangetan kalau sampe nggak tahu pahlawan panahannya Indonesia."
Yang memperkenalkan Cinta pada panahan sekaligus Trio Srikandi adalah papanya. Guratan kagum yang timbul di wajah, juga bola mata yang berkilat cerah, selalu menyertai di kala Papa menceritakan kisah tentang srikandinya Indonesia. Impian Cinta memang sama seperti Papa—entah Papa yang sengaja menularkannya atau bukan, menjadi atlet panahan yang bisa dibanggakan oleh negara tercinta. Meski kecintaannya terhadap panahan bisa dibilang sama, Papa tak bisa mewujudkan impiannya kala itu. Papa harus rela melepaskan panahan demi keinginan orang tuanya yang mengharuskan Papa untuk meneruskan perusahaan keluarga.
"Jadi, karena pengin kayak Trio Srikandi kamu latihan sampai pulang jam segini?"
"Selesai latihan jam lima, kok. Susah dapet angkot yang bikin Cinta jam segini masih keluyuran," tepisnya.
"Yah, tapi, kan, nggak harus jalan kaki kayak tadi. Kan, bisa nunggu angkot di depan sekolah." Aksa khawatir. Anak gadis seperti Cinta berjalan sendirian di waktu gelap akan membuatnya mudah menjadi sasaran empuk kejahatan seseorang.
"Kalau cuma nunggu, sih, Cinta nggak bakalan bisa pulang kali, Om," sahut Cinta. Jari-jarinya kini memainkan sepasang boneka yang sedang berciuman, yang tertempel di atas dashboard. Mesum, pikirnya.
Lampu merah lagi. Aksa mengendurkan tangannya dari atas kemudi, kemudian melirik sebentar gadis di sampingnya. "Kenapa nggak pakai ojek online coba?"
Wajah Cinta seketika meringis. Jari-jarinya sudah terlepas dari boneka "mesum" di hadapannya. "Cinta nggak percaya sama ojek online," katanya.
"Nggak percaya gimana?" Lampu hijau. Aksa kembali melajukan mobilnya. "Banyak banget orang yang pakai, 'kan?"
"Iya, banyak. Tapi Cinta beda. Cinta cantik, manis, imut. Bahaya kalau dibawa kabur."
Padahal Cinta serius mengatakannya, tapi malah membuat Aksa tergelak hebat. "Pede banget. Hahaha."
Cinta berdecak. Kedua lengannya kembali terlipat di dada. Ditambah tatapannya yang lebih ingin ia buang ke luar jendela. Tukang nasi goreng langganannya sudah terlewat. Itu artinya sebentar lagi mereka akan sampai. Cinta sering diajak makan di tukang nasi goreng itu kalau mamanya sedang malas memasak. Biasanya, di saat Mama sedang banyak pesanan. Seharian membuat brownies membuatnya terlalu lelah untuk menyiapkan makan malam. Oleh sebab itu, Mama membawa Cinta—menggunakan motor matiknya—untuk makan di sana.
"Saya kangen liat kamu manah lagi," celetuk Aksa tiba-tiba. Membuat Cinta melepas pandangannya dari luar jendela kepadanya.
Sebelum aktivitas main ke rumah Cinta berhenti, Aksa sering mengajak Cinta untuk berlatih di lapangan indoor panahan milik salah satu komunitas di Jakarta, yang pendirinya merupakan teman dekat di kampusnya dulu. Hampir setiap weekend Aksa mengajak Cinta ke sana. Karena itu, Aksa tahu permainan panahannya seperti apa. Tidak secara teknik, tapi cukup membuat Aksa mengerti secinta apa Cinta terhadap panahan.
Aksa tak tahu apa-apa tentang panahan. Ia hanya tahu untuk memanah dibutuhkan dua alat utama, yaitu busur dan anak panah. Di luar itu—seperti berapa ukuran papan target, jarak antara pemain dan sasarannya, juga jenis busur yang digunakan, Aksa sama sekali tak tahu apa pun. Jika bukan karena Cinta, Aksa tak akan sedekat ini dengan panahan. Meski pada dasarnya tak tertarik, Aksa selalu menikmati momen kebersamaannya bersama gadis berusia 18 tahun itu. Ada perasaan hangat yang mengalir di dada Aksa setiap kali melihat Cinta melebarkan punggungnya dan bersiap melesatkan anak panah. Dan senyum yang selalu ditunjukkannya ketika berhasil menancapkan anak panah di bagian paling tengah, selalu terasa melegakan bagi Aksa. Otaknya seolah memberitahunya agar selalu menjaga senyum itu.
"Kangen tapi nggak pernah ngajakin Cinta latihan lagi," gerutu Cinta sambil memilin ujung kaus olahraganya. "Om Aksa tiba-tiba nggak pernah main lagi ke rumah. Cinta juga nggak pernah liat Om Aksa di sekitar kompleks. Padahal rumah kita deketan." Cinta tertawa getir.
Aksa membelokkan mobilnya ke area kompleks. Berbagai kendaraan yang sampai tadi sibuk berebut menempati jalanan sudah bukan lagi menjadi problemnya. Yang harus Aksa pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya meredakan kekesalan gadis mungil di sebelahnya. Cinta memang tidak menunjukkan kekesalannya dengan marah-marah, ataupun meninggikan suaranya. Akan tetapi caranya menggigiti bibir, juga memilin ujung kaus olahraganya hingga kusut, menunjukkan bahwa rasa kesal itu ada. Tak hanya kesal, tapi juga ada rasa kecewa.
Untuk sekarang, Aksa tak bisa memberikan jawaban yang tepat pada Cinta. Perihal selama dua tahun ini dirinya menghindar, sengaja memutar arah agar tak lewat di depan rumah Cinta, menghilangkan kesempatan sekecil apa pun untuk bertemu muka, adalah sisi kekanak-kanakannya yang belum bisa Aksa ungkapkan secara jujur pada gadis di sampingnya. Entah akan ada waktunya atau tidak Aksa menjelaskan semua sikap buruknya selama ini.
"Sampe."
Cinta mendongak. Rumah kecil beratap birunya sudah berada tepat di sebelahnya. Padahal Cinta ingin sedikit lebih lama lagi bersama Om Aksa-nya. Cinta ingin mengorek lebih lanjut mengenai Aksa yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan kabar. Dulu, beberapa bulan setelah Aksa berhenti main ke rumah, Cinta sempat hendak mendatanginya. Rumah Aksa yang hanya berselang dua rumah dengan rumahnya membuat Cinta tak kesulitan untuk langsung menyambangi om-om itu. Namun, mamanya yang mengetahui hal itu segera mencegahnya. Tentu saja Cinta bertanya "kenapa", tapi Mama hanya memberinya jawaban tak memuaskan seperti: "mungkin dia sedang sibuk", "kita harus menghormati privasinya", atau "tidak baik mengganggu orang yang sedang tak ingin diganggu". Jawaban macam apa itu, pikir Cinta saat itu.
Sekarang, di saat Cinta memiliki kesempatan untuk bertanya, waktu malah berlalu dengan begitu cepat. Obrolan yang akan membawanya pada rasa penasaran yang dipendamnya selama dua tahun ini malah harus terhenti karena mereka sudah sampai di rumah.
"Makasih udah nganterin Cinta, ya, Om." Cinta tersenyum lebar, berlainan dengan hatinya yang merutuk kesal.
"Kita, kan, tetangga." Aksa balas tersenyum. Diam-diam bernapas lega karena pembicaraan serius mereka bisa segera dihentikan.
"Om mau masuk dulu?" Cinta menghentikan niatnya untuk langsung keluar dari mobil.
Aksa menggeleng pelan. "Lain kali aja. Saya harus cepet ke rumah. Ngecek Azkia udah pulang apa belum," tolaknya.
"Dasar siscon." Senyum jail dan tatapan nakal menghiasi wajah Cinta.
"Apa siscon-siscon! Wajar tahu kalau saya kuatir sama adik sendiri," sungut Aksa menampilkan wajah senderut.
Cinta terkekeh. Siscon, sebutan bagi orang Jepang kepada seseorang yang terlalu menyayangi adik perempuannya. Cinta memang sudah sering mengejek Aksa dengan kata-kata itu. Sebagai seorang kakak, Cinta merasa Aksa terlalu over protective terhadap adik satu-satunya. Bahkan, tak jarang Aksa mengantar jemput adiknya ke kampus karena kecemasan berlebihan. Mungkin karena merupakan adik satu-satunya dan usia mereka yang terpaut cukup jauh. Mungkin juga karena sudah tak memiliki orang tua yang membuat Aksa jadi terlalu berlebihan terhadap adiknya itu.
Cinta berdiri di samping mobil dan menaruh wajahnya di depan kaca jendela yang terbuka. "Sekali lagi makasih, ya, Om."
"Iya." Aksa mengacak-acak rambut Cinta gemas. Sekali lagi, perasaan rindu menyusup ke hatinya. Kebiasaan dulu itu, baru bisa dilakukannya lagi sekarang. Menyelipkan jari jemarinya di antara ratusan ribu helai rambut Cinta adalah kegemaran yang dilakukan Aksa selain melihat gadis itu memanah. Wangi lavendel yang menempel di jari jemarinya-lah yang menjadi satu-satunya alasan Aksa senang menyentuh rambut gadis itu.
Cinta menyingkirkan tangan Aksa dari kepalanya. Cinta benci ketika Aksa melakukannya, karena membuatnya merasa diperlakukan seperti bocah.
"Titip salam aja buat mama kamu, ya."
Kening Cinta berkerut. Namun, suara pintu rumah yang terbuka dari dalam membuatnya mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Tubuhnya masih mematung sesaat setelah Aksa kembali menjalankan mobilnya. Netranya terus mengikuti sedan hitam itu, hingga berbelok masuk ke rumah asri berdinding cat hijau yang tak jauh dari rumahnya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!