Langkah gadis manis itu terhenti paksa ketika dihadang seseorang yang sangat dekat di hatinya. Seseorang yang selama ini mewarnai hari-harinya dengan keceriaan dan persahabatan. Tetapi semua itu, hancur seketika sekarang. Runtuh bagaikan menara yang kehilangan fondasi.
"Tunggu! Aku mau ngomong sama kamu," paksa orang itu sambil memegang lengan si gadis manis. Kegigihan itu, membuat pergelangan tangan si gadis merasa agak sakit, tapi sebisa mungkin dia mencoba tenang dan santai. Jangan terpancing, jangan terpancing, bisiknya pada diri sendiri.
"Ah, nggak perlu."
Berusaha buang muka, tapi sia-sia. Orang itu sepertinya berkemauan kuat pada dirinya. Bahkan dia sekarang berdiri tanpa rasa bersalah di hadapan sang gadis. Menghalangi jalannya, dan tinggi badan itu memang menguntungkan, dia memang lebih tinggi dan memiliki tubuh sedikit lebih berisi.
"Jadi kamu marah sama aku?" selidik orang yang menghalangi jalan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Nggak."
Cepat-cepat gadis manis mengelak, agar keresahan hatinya tak terbaca. Dia tidak ingin marah atau menangis sekarang, jangan sampai terlihat lemah. Tidak di hadapan cewek murahan itu! Namun sayang, dia salah perhitungan. Yang sedang berhadapan dengannya bukan orang yang baru dikenal satu atau dua hari melainkan bertahun-tahun sejak keduanya muda belia, melewati masa kecil bersama. Berbagi mainan, makanan, bahkan selayaknya saudara, seperti sesama anggota keluarga.
"Kenapa kamu menghindariku?"
"Ah, itu, mungkin hanya perasaanmu. Aku harus bergegas ke kelas ada catatan yang belum lengkap."
Gadis manis berusaha sekuat tenaga untuk tidak menatap ke lawan bicaranya. Dia tidak boleh terlihat lemah. Terus mencoba menyembunyikan gejolak yang tak kunjung padam di hati. Langkahnya cepat, meninggalkan seseorang yang telah menanamkan benci teramat besar itu.
"Tunggu, Livi. Kita harus bicara!"
Keduanya saling menatap dengan canggung ketika langkah si gadis manis terkejar. Keras kepala sekali dia. Apakah sampai sini saja hubungan mereka?
"Jelaskan, apa salahku sampai kamu mengindariku seperti ini? Bukankah, selama ini, aku selalu jadi temanmu."
"Sudah kubilang tak ada apa-apa."
"Bohong. Aku tau kamu bohong."
"Masalahnya kamu berkencan dengan AYAHKU!" Livi nyaris menjerit sehingga mereka berdua menjadi pusat perhatian di sepanjang selasar SMA.
Tiba-tiba saja keduanya jadi pusat perhatian.
"Jadi kamu sudah tahu hubunganku dengan ayahmu?"
"Ya, dan aku, benci itu."
"Itulah alasanmu marah. Kamu tahu, Livi, kamu sama sekali nggak berhak untuk marah. Kupikir kita adalah orang-orang dengan pikiran terbuka."
"Em, ya, bisa jadi. Tapi tetap saja berkencan dengan ayah sahabatmu itu sulit diterima. Jadi aku minta padamu, agar kalian putus saja!"
"Nggak bisa, Livi."
"Kenapa? Apa kamu takut tidak akan ada yang membelikanmu baju? Sepatu? Make up?"
"Jangan kira aku memanfaatkan ayahmu untuk keuntungan materi ya. Aku tidak seperti itu. Kamu kenal aku. Aku suka ayahmu, aku sayang, tulus."
"Ya, bisa jadi. Aku hanya—"
"Hanya apa?"
"Hanya bingung bagaimana menempatkanmu nanti. Tolong, pertimbangkan perasaanku juga, Jona."
"Livi, aku menyayangi kalian."
Seketika Livi bergidik ngeri membayangkan sahabatnya, teman masa kecil yang juga pernah disayang oleh sang ibu, menggantikan posisi ibu Livi yang telah meninggal dunia.
Dari begitu banyak wanita dewasa, cantik dan mandiri di dunia ini mengapa ayahnya memilih Jona? Seorang remaja labil, yang bahkan tak lebih pintar dari dirinya?
Lalu sekarang, semua orang sudah tahu bahwa Jona adalah kekasih ayahnya yang menduda. Apa yang akan dipikirkan anak-anak? Julukan apa yang akan lebih buruk dari anak tiri sahabatmu sendiri?
Livi sangat kecewa pada Jona, terlebih kepada sang ayah yang merahasiakan hubungan asmaranya. Mengapa Jona? Tak habis pikir Livi dibuatnya sehingga pertanyaan itu sudah terlintas ribuan kali dalam benak gadis itu.
Kedua orang itu sekarang, tak lebih sebagai penghianat untuk Livi. Jika ayahnya tak mau berpisah dengan Jona, Livi mungkin lebih baik tidak pulang ke rumah saja. Biar saja, dia akan tinggal dengan Opa dan Oma di Bandung.
"Menjijikan!" desis Livi meninggalkan Jona yang sepertinya mulai putus asa.
***
Saat malam tiba, Livi mencoba membujuk ayahnya untuk putus dengan Jona. Dia memohon dengan sangat, agar Jordy memikirkan dirinya juga, satu-satunya anak yang dia miliki.
"Lagipula, kami belum resmi pacaran," jawab enteng sang ayah membuat Livi begitu putus asa.
"Tolonglah, Ayah, pertimbangkan perasaanku."
"Tentu saja, Sayang. Segera setelah hubungan Ayah dengan Jona menjadi jelas. Jika kami saja tidak jadian, bagaimana bisa untuk putus?"
"Ayah benar."
"Ayah menyayangimu, Livi."
Sebenarnya, Livi sama sekali tidak merasa puas dengan jawaban sang ayah. Yang dia inginkan adalah, ayahnya berjanji untuk berpisah dengan Jona. Dan lagi, kapan sih, mereka mulai dekat? Kok, rasanya sangat mendadak sekali. Mengapa Livi tidak tahu akan hal itu?
Atau, sebenarnya selama ini mereka saling tertarik dan luput dari perhatian Livi? Mengingat Jona memang sering datang ke rumah. Lalu apa, yang ayahnya lihat dari sosok seorang Jona? Tak lebih hanya gadis biasa, yang cenderung miskin dan bodoh.
Cantik? Memang iya, tapi bukankah masih terlalu muda? Ayahnya yang duda itu bahkan bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari Jona. Lebih cantik, dewasa dan matang, lebih mandiri juga tentunya.
Kenapa? Kenapa mesti Jona? Cewek yang selama ini sangat dekat dengannya. Mengapa ayahnya bisa tergila-gila dengan sahabatnya itu? Atau ada semacam rahasia yang dimiliki Jona yang luput dari pengetahuan Livi. Mungkin saja gadis itu sengaja memantrai Jordy agar jatuh hati padanya.
Apa motifnya? Jona sendiri bisa mendapatkan cowok yang ganteng, tajir dan beken di sekolah. Bermodalkan wajahnya yang cantik dan menarik, suaranya yang merdu, bukankah itu juga sebuah bakat yang patut diperhitungkan.
Kalau sekadar untuk mendapatkan baju, tas, uang, dan lainnya, sebenarnya dia tidak perlu pacaran dengan Om-Om. Terlebih, selama mereka saling mengenal memang Jona bukan tipe cewek murahan seperti itu? Ataukah, Livi memang benar-benar tidak mengenal Jona?
"Jona, apa yang telah kamu lakukan pada Ayahku?" ucap Livi dalam keremangan kamarnya. Dia terus berpikir, dan berpikir. Kemudian bayangan mengenai rumor yang akan beredar di sekolah sebentar lagi, yang merambat lebih cepat dari induksi panas, bagaimana dia akan bisa mengatasi itu?
Seharusnya, baik Jona maupun Jordy berpikir tentang reputasi Livi sebagai seorang pelajar SMA, kan? Lalu, walau bagaimanapun, Jona juga perlu menjaga reputasinya sendiri di sekolah. Apa dia tidak berpikir sejauh itu?
"Ayah, Jona, ada apa dengan kalian?"
Kepala Livi terasa amat berat, sehingga memilih untuk menenggelamkan diri dalam mimpi begitu makan malam selesai. Dia akan tinggal di sana, dalam mimpi yang hanya dihuni mereka berdua, Livi dan ibunda. Semoga.
"Aku turut prihatin tentang keadaan Livi, Sayang. Tapi, kamu laki-laki dewasa yang berhak menentukan pilihan. Kupikir, sebaiknya kita mengajaknya berkompromi."
Jona, meletakkan gelas setelah meneguk sebagian isinya. Air putih, hanya itu yang gadis itu sukai saat makan.
"Jonaaa!" Jordy melayangkan tatapan jengkel pada wanita bergaun sleeveless berbahan lace siffon yang ada di hadapannya. Seolah-olah dia tidak setuju sepenuhnya pada ucapan si wanita. Atau barangkali ada semacam rasa keberatan. Walau cewek itu adalah kekasihnya, tetapi yang sedang mereka bicarakan adalah Livi, yang tidak lain adalah putri Jordy. Putri tunggal kesayangannya.
"Maksudku, sebentar lagi usiaku 18, Sayang. Saat ini aku sudah punya KTP," ralat Jona cepat-cepat tak mau kekasihnya salah mengerti. Jona sama sekali tidak ingin bersaing dengan Livi apalagi menyingkirkan anak itu. Mengharapkan Jordy akan selalu memperhatikan dirinya, adalah hal mustahil. Sebab, pria yang dicintainya itu adalah seorang ayah.
Jordy meneguk air mineral dalam gelasnya. Dia tahu amat sulit untuk membuat kekasihnya mengerti akan kesulitan yang dia alami. Dilema berat yang hanya bisa dimengerti oleh laki-laki, terlebih seorang ayah yang berperan sekaligus sebagai ibu.
Tidak ada yang benar-benar mengerti baik Jona maupun Livi. Kedua wanita yang paling dicintainya setelah ibunda dan mendiang Emera. Saat ini, pikiran yang berkecamuk membuat selera makannya hilang seketika.
"Aku sudah selesai," pungkasnya, mengehentikan kegiatan makan sekaligus berharap pikirannya yang ruwet berhenti membuat kepalanya sakit.
"Ya, aku juga sebenarnya tak begitu lapar."
Jona, adalah gadis muda yang cukup pengertian. Tetapi, Jordy pikir, pengertian itu tidak akan sedalam wanita dewasa. Dalam kekurangan-kekurangan gadis itulah, Jordy menaruh banyak cinta beserta harapan bahwa suatu saat mereka akan bersatu. Meski dunia menentangnya.
Keduanya mengondisikan diri masing-masing. "Pakai mantelmu, Jona."
Pria itu, bukan tidak senang melihat tubuh seksi sang kekasih hati, hanya saja dia tidak suka bila ada orang lain yang juga mengagumi Jona. Jordy tidak tahan dengan rasa cemburu. Lebih-lebih, Jona adalah gadis belia yang ranum. Jika diibaratkan bunga, dia adalah kelopak-kelopak cantik yang belum sempurna mekar. Memiliki gradasi warna, kesegaran, keharuman serta nektar yang sangat menggoda kumbang mana pun. Jordy jadi melupakan kejengkelan serta benang kusut di kepalanya, saat membayangkan kalimat-kalimat romantis itu. Ayah Livi itu bahkan berencana menuliskannya di blog pribadinya sebagai catatan betapa manis hubungannya dengan gadis secantik sekaligus semuda Jona.
"Apa boleh aku membawanya pulang?" tanya Jona sambil melirik kepiting di piring. Menu makan malam mereka, bukan makanan yang biasa Jona makan sehari-hari, dia hidup dengan sangat sederhana bersama seorang wanita tua yang dipanggilnya dengan sebutan Mbah. Entah memang wanita itu ada hubungan darah dengannya, atau Jona hanya anak yang dipungut dan diakui sebagai cucu, sesungguhnya itu hal yang belum Jona tahu kebenarannya. Apakah asal-usulnya kini akan menjadi penting ketika ada lelaki yang mencintainya? Jona, berada dalam kebahagiaan dan keraguan yang sama dalam.
Akankah kisah cintanya dengan Jordy berakhir bahagia?
Jordy sengaja mengajak pacarnya makan malam, untuk mendiskusikan masalah Livi. Kemarahan gadis itu, ketidakterimaannya terhadap hubungan Jona dan Jordy. Hanya saja, diskusi itu tidak berjalan mulus, lelaki itu terlalu lelah dengan pekerjaan. Membuat kesabarannya sedikit menipis.
Setelah seorang pelayan memberikan makanan yang dibungkus, mereka meninggalkan restoran yang terdapat dalam sebuah mall. Mungkin tidak malam ini, batin Jordy memberi ruang kepada keduanya. Itu sama artinya dengan membiarkan Livi semakin resah, tapi dia pasti bisa menenangkan sang putri. Bukankah, Livi juga menyayangi Jona?
Ketika melewati toko pernak-pernik unbranded, sesuatu pasti menarik perhatian Jona. Jordy tidak keberatan membelikan apapun, terlebih pernak-pernik yang tidaklah sebegitu mahal. Di luar dugaan, gadis itu mempunyai gagasan untuk membelikan sesuatu untuk sahabatnya Livi. Bukan untuk dirinya sendiri. Jordy sedikit tersentuh terhadap perhatian Jona, sebelumereka berdua larut dalam keceriaan ketika memilih-milih barang di toko itu.
"Lihat! Livi pasti suka. Iya, kan, Sayang?"
Jona mengambil sebuah alat aroma terapi uap berbentuk dolphin yang merupakan hewan favorit Livi. Gadis itu ingat, waktu perayaan ulang tahun Livi yang ke-15 dia mendapatkan boneka lumba-lumba besar dan bersumpah bahwa lumba-lumba adalah binatang favoritnya sepanjang masa.
"Pilihan bagus," puji Jordy yang tentu saja sangat mengenal Livi.
Sepasang kekasih itu dalam perjalanan pulang ketika Jordy meminta maaf pada Jona. Dia sadar bahwa sikapnya terlalu keras dan itu pasti menumbuhkan perasaan tidak nyaman di hati Jona. Namun Jona bertindak di luar dugaan, gadis itu berkata dengan lembut bahwa dia sama sekali tidak sakit hati hanya saja sulit baginya untuk coba mengerti. Jona juga mengatakan bahwa dia membutuhkan dukungan Jordy, atau apapun agar dia tidak salah bersikap.
Pada titik ini, Jordy benar-benar sadar bahwa Jona memang tulus mencintainya.
"Apa tidak sebaiknya kamu kuantar pulang?"
"Tidak usah, aku ingin memberikan ini langsung pada Livi." Jona melihat-lihat lagi barang berbentuk lumba-lumba itu, mengangkat dan memutarnya dengan tangan. Andai aku seekor lumba-lumba, bisik hatinya.
"Bagaimana sekolahmu?" Jordy bertanya memecah lamunan Jona.
"Baik. Aku hanya punya sedikit masalah dengan ilmu eksak."
"Well, aku tidak keberatan membantu. Tapi sekarang mari kuantar kamu pulang."
Gagasan itu tidak sepenuhnya disetujui Jordy. Hubungan antara ayah dan anak dalam rumahnya sedang tidak begitu baik. Dia takut akan terjadi sesuatu yang makin menyudutkan posisi Jona. Namun bukan Jona jika tidak bersikukuh bahwa semua akan baik-baik saja, meyakinkan Jordy, memohon hingga pria itu tak dapat menolaknya.
Mereka sampai lebih cepat dari saat ketika berangkat tadi. Di depan pintu Livi menunggu dengan jengkel.
"Kamu nggak harus berpakaian kayak gitu, Jona! Norak, sok dewasa," komentarnya pedas ketika sahabatnya turun dari mobil.
"Selamat malam juga, Livi."
Jona menjawab dengan nada menyindir, bahwa sohibnya itu tidak sopan dengan tidak mengatakan salam apapun.
"Nggak lucu!"
"Livi, jaga nada bicaramu," tegur ayahnya.
"Kalian memuakkan."
Gadis itu berbalik kemudian menutup pintu dengan kekuatan penuh sehingga lempeng kayu bercat super white berdebam menghantam gawangnya.
"Anak itu--" Jona menarik tangan Jordy untuk menghentikan langkah jengkelnya.
"Jangan marah, Sayang."
"Ayo kuantar pulang."
"Aku naik taxol saja. Bicaralah pada Livi. Tapi kumohon, jangan marah padanya. Ingat, kamu adalah satu-satunya yang dia punya saat ini."
Jona melangkah pergi ketika jemputannya datang sementara Jordy berusaha sekuat tenaga menenangkan diri agar bisa mengajak Livi bicara tanpa amarah. Dia mencoba mengingat bagaimana Jona berpesan padanya.
"Ah, Jona. You make me so in love."
Jordy melangkah menuju kamar putrinya, tidak dikunci. Livi bergelung dalam selimut memunggunginya.
"Ayah minta maaf, Livi."
Yang diajak bicara tetap diam setelah kalimat itu melayang selama dua menit di udara.
"Ayah tahu Livi belum tidur."
"Bisakah kalian berpisah?"
"Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi berikan Ayah alasan mengapa kami harus berpisah."
"Ayah telah mengkhianati Ibu! Bisa-bisanya Ayah membawa dia ke sini, sedangkan kenangan tentang Ibu ada di setiap sudut rumah ini?" Livi terisak, hatinya terasa seperti musim dingin yang tak kunjung didatangi musim semi.
"Jika itu maumu, Ayah akan mempertimbangkannya."
Jordy melangkah dengan berat keluar setelah mengucapkan selamat malam pada putrinya yang belum puas akan jawaban sang ayah namun cukup menenangkan. Gadis itu kembali mendatangi ruang mimpinya.
Sementara di tempat lain yang tak lebih baik, seorang nenek tua berbahagia dengan daging kepiting yang manis dengan bumbu yang sangat lezat bersama Jona. Malam ini mereka memakan hidangan 'surga'.
Senyum Mbah, membuat keresahan Jona sedikit luntur dan dia bersyukur masih ada kebahagiaan di sudut bumi ini untuk seorang gadis yang tak memiliki asal-usul yang jelas.
Jona sedang melamun ketika Pak Juki menerangkan pelajaran Matematika di muka kelas. Memikirkan bagaimana caranya agar Livi mau menerima hubungan cinta antara dirinya dan Jordy. Atau apakah Jona harus memilih antara persahabatan dan cinta? Pilihan yang tidak akan pernah bisa dia putuskan.
Sesungguhnya ini adalah tahun yang sudah bisa dibilang tua, 2018. Saat di mana seharusnya orang-orang sudah berpikiran terbuka. Tiada diskriminasi apapun di muka bumi. Termasuk dalam urusan asmara.
Sepasang manusia yang saling mencinta tidak boleh disalahkan, karena baik Jona maupun Jordy keduanya sedang tak terikat oleh hubungan resmi dengan orang lain. Sama-sama bebas, merdeka. Lagi pun, tiada undang-undang pelarangan cinta. Apakah salah mencintai seseorang yang lebih tua? Ataukah menjadi salah jika orang itu adalah ayah dari sahabatmu sendiri? Jona terus bertanya dalam hatinya.
Tentang rentang usia yang berselisih, bukan menjadi soal besar. Berapapun usianya, Jordy dan Jona adalah sepasang manusia dewasa. Yang tentunya tidak ada paksaan apapun antar keduanya. Mereka memang saling suka.
Walau masih SMA, Jona sudah berusia 18 tahun. Itu artinya dia sudah bisa dibilang sebagai seorang manusia dewasa. Bukan lagi anak-anak. Itu adalah hak untuk dia mengakses dan menjalani hubungan cinta.
Ya, andai hidup seideal serta seadil itu, terutama untuk Jona, pasti cewek setinggi 167 cm berkulit cerah itu, akan bahagia tanpa harus memikirkan apakah dia akan memilih antara Livi sebagai sahabatnya atau Jordy sebagai belahan jiwa. Keduanya bisa dimiliki dengan porsi dan posisi masing-masing.
"Jona... Jona...." bisik teman sebangku Jona sambil mencubit lengannya. Sudah beberapa hari, Jona tak lagi duduk sebangku dengan Livi yang mendadak alergi, dengan kehadirannya. Bahkan, Jona sudah lebih dari dua pekan tidak datang ke rumah Livi.
"Apa?"
Wajah Jona menyiratkan keberatan sekaligus ketidakmengertian. Dia jengkel, karena lamunannya diinterupsi. Belum sepenuhnya sadar dari lamunan tentang Livi dan tentu saja ayahnya, yang sangat, uh, itu.
"Pak Juki memanggilmu!"
Tergeragap Jona berdiri sambil membenarkan posisi rok abu-abu dan juga anak rambutnya. Seluruh kelas tertawa geli kecuali dua orang, Pak Juki dan Livi karena keduanya geram atas kelakuan Jona. Livi bahkan bisa menebak bahwa orang yang pernah dianggapnya sahabat itu, tengah melamun tentang ayahnya. Tentang Jordy yang mungkin juga telah dicuri hatinya oleh Jona.
Mengesalkan sekali kedua orang itu bagi Livi sekarang!
"Saya, Pak."
"Maju!"
Melihat apa yang tertera di whiteboard, jelas itu adalah soal yang harus diselesaikan olehnya. Jona sedikit gugup karena, jika dia tidak mampu mengerjakan soal maka dia harus siap menjadi bahan tertawaan. Semua orang di dunia tahu, bahwa Jona tidak pintar berhitung. Eksakta adalah kelemahan terbesarnya, sampai-sampai, suatu hari ada yang mengatakan di hadapannya bahwa gadis cantik memang biasanya bodoh.
Apanya yang bodoh? Protes Jona waktu itu. Dia hanya tidak pandai di beberapa pelajaran, bukan berarti dia tidak memiliki kelebihan sama sekali. Kenapa di kehidupan yang sangat modern seperti saat ini, streotip bodoh itu masih menggaung di mana-mana? Jelas terdengar, karena masih sering diucapkan orang.
Untuk beberapa saat Jona melihat ke arah Livi dengan tatapan memelas. Biasanya dalam kondisi sulit seperti saat ini, dia akan menjelma menjadi pahlawan bagi Jona.
"Maju sini!" perintah Pak Juki sekali lagi namun Livi masih diam tak bereaksi. Tak berniat meminjamkan bukunya sama sekali.
Tatapan gadis itu, tenang namun penuh kepuasan melihat penderitaan Jona. Dalam hati Jona mengumpat atas perlakuan sahabatnya itu kalau masih bisa dianggap sahabat.
Di depan kelas, soal matematika bab Integral menanti. Salah satu bab yang paling ditakuti oleh Jona selain Aritmatika. Pak Juki meminta Jona untuk menyelesaikannya.
Detik demi detik berganti menit, tapi kekasih Jordy tak juga punya ide untuk menyelesaikan soal sehingga Pak Juki menyuruhnya berdiri di pojok kelas menghadap murid-murid. Kalau sudah begitu, siap-siap saja dia dipermalukan oleh guru killer itu.
"Inilah contoh buruk perilaku pelajar. Di kelas, alih-alih belajar malah melamun. Nyatanya tidak punya kemampuan apa-apa. Jangan ditiru!"
Seluruh manusia di kelas tertunduk. Sebenarnya mereka pun tak jauh beda dengan Jona. Hanya saja, sedikit lebih beruntung karena tidak disuruh maju. Tidak seperti Livi yang memang jago Matematika. Livi tidak punya masalah apapun dengan pelajaran, seperti memang sudah terlahir pintar begitu saja. Jona marah padanya, tentu saja. Seharusnya, Livi tidak tega melihat Jona diperlakukan seperti itu di depan kelas, mengingat apa yang telah Jona lakukan selama ini.
Bukankah, pengorbanan Jona untuk Livi memiliki arti? Bukankah, waktu dan perhatian adalah hal yang sangat berharga yang dapat diberikan oleh seorang sahabat. Yang bahkan tak dapat dibeli dengan uang? Apa semua itu tak lagi ada artinya bagi Livi?
Awas aja nanti akan kuadukan pada Jordy, ancam Jona dalam hati. Dia benar-benar tak habis pikir terhadap Livi. Meskipun kemudian, Jona tersenyum mengingat bahwa seharusnya dia giat belajar, membuktikan setidaknya pada diri sendiri bahwa dia tidak bodoh seperti penilaian banyak orang?
Ah, iya, mungkin aku memang bodoh.
Sepanjang pelajaran Pak Juki, Jona tetap berdiri di muka kelas sebagai hukuman. Sementara Livi tidak bisa untuk menahan diri agar tidak terlalu show off di mata pelajaran ini sehingga membuat Jona muak. Pak Juki bahkan memuji-muji anak Jordy itu sambil sesekali membandingkannya dengan Jona. Membuat kekasih Jordy merasa sangat kering, dan ingin menghilang saat itu juga.
Sepulang sekolah mereka bertengkar di muka gerbang. Jona tak percaya Livi bisa membiarkannya dipermalukan di depan kelas oleh Pak Juki, setidaknya dia bisa berusaha mengucapkan kata-kata diplomatis agar Jona tak begitu kecil, begitu telak saat dipermalukan tadi. Sementara Livi, menyerang balik dan mengingatkan agar gadis itu menjauhi ayahnya
"Kamu sama sekali nggak keren, nggak sepadan sama ayahku. Tau?"
"Jaga mulutmu. Kamu pikir, selama ini aku kacung? Iya?"
"Kamu yang jaga mulutmu. Jangan pakai merayu laki-laki demi ambisimu! Jauhi ayahku sekarang juga," balas Livi tak kalah berapi-api.
"Kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku, Livi. Aku dan ayahmu saling cinta."
"Ya, kita lihat saja apakah sekuat itu juga cinta ayahku ke kamu. Ingat, aku adalah putrinya. Putri semata wayang. Kalian pasti akan ... berpisah," tandas Livi sambil menjatuhkan kepalanya tangan kanan di tangan kirinya sebagai tanda 'kehancuran'. Kehancuran yang sangat diharapkan olehnya terjadi pada hubungan cinta Jona dan Jordy.
Livi pergi meninggalkan Jona yang kehabisan kata-kata untuk melawannya. Ketika sadar ada yang memperhatikan, cepat-cepat dia menyeka sudut mata yang basah lalu lari pulang. Benar-benar hari yang buruk, lirihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!