NovelToon NovelToon

Montir Cantik

Pertemuan

Aku mengendarai motor dengan pelan. Sa'at melewati sebuah kebun, aku melihat ada pohon jambu. Aku mendongak, mataku terbelalak melihat buah jambu yang menggantung bergerombol di dahan juga ranting-rantingnya. Terlihat merah, tanda sudah matang. Membuatku menelan ludah berkali-kali.

Aku menepikan motor dan melepas helm. Lalu dengan cepat aku memanjat pohon itu. Semakin dekat jarakku dengan si merah yang melambai-lambai itu, semakin membuatku bersemangat untuk segera memetiknya.

'Baik, satu dahan lagi kena kau!' Gumamku dalam hati. Senyum pun terkembang. Dengan sigap tanganku meraih dahan pohon disebelah kiri. Dan ... apa ini? Empuk! Seketika mataku terbelalak melihat dahan yang ku pegang.

Dari ujung hingga pangkal dahan ternyata dihuni 'si hijau' mirip guling. Jalannya meliuk-liuk. Menjijikkan! Tubuhku langsung merinding, kakiku lemas dan muncul keringat dingin. 'Si hijau' mirip guling itu bukan cuma satu. Tapi banyak sekali teman-temannya, satu dahan penuh. Saking banyaknya aku tidak bisa menghitungnya satu persatu.

Waaaaa ... 'ulat bulu'!

Aku melepas pegangan tanganku pada dahan pohon dan langsung terjun bebas.

Bruuuuukkkkk!!!!!

Tubuhku meluncur begitu saja.

"Aduuuh!!!"

Kaget. Ada yang berteriak, tapi bukan aku. Lalu siapa? Ternyata tubuhku menindih sesuatu. Eh, bukan sesuatu tapi tepatnya seseorang. Cowok. Dalam beberapa sa'at kami saling berpandangan. Sadar dengan posisi kami yang seperti ini, aku cepat-cepat bangkit. Wajahku memanas karena malu. Entah sudah semerah apa. Sedangkan cowok itu masih dalam posisi duduk sambil memegangi pinggangnya.

"Ngapain kamu disini?"

"Kamu yang ngapain?"

"Manjat pohon." Jawabku datar.

"Kamu sudah menimpaku tau!" Dia berdiri dan matanya melotot padaku. Kelihatannya kesal sekali.

Tapi aku menatapnya cuek.

"Kenapa kamu menimpaku? Sakit tau!"

"Ada ulat bulu makanya aku langsung terjatuh."

"Sama ulat bulu aja takut."

"Biarin!"

"Hei, minta ma'af kek!"

"Oh ... ma'af." Aku berbalik lalu melangkah pergi.

"Hei, minta ma'af yang benar dong!" Tak ku hiraukan teriakannya.

"Hei, mau kabur ya?"

"Apa lagi? Aku kan udah minta ma'af."

Aku berbalik. Sementara dia berjalan kearahku, menatapku dengan tatapan yang entah apa maksudnya. Membuatku merasa tidak nyaman.

"Mau mencuri ya?"

"Tidak!"

"Apa kebun ini punyamu?"

"Punya Kakekku." Jawabku asal.

"Siapa Kakekmu?"

"Nabi Adam."

"Hei, jangan ngomong sembarangan! Dosa tau!"

Tidak ku hiraukan lagi dia. Aku bergegas melangkah menjauh dari kebun menyusuri troroar, menuju tempat dimana motorku terparkir.

"Hei!"

"Apa lagi sih? Minta dihajar ya?" Ku acungkan kepalan tangan kearahnya. Kesal sekali rasanya.

Dia terlihat kaget, tapi sesa'at kemudian ekspresinya kembali seperti tadi.

"Wiiih, galak banget?"

"Udah jangan ikutin aku lagi!"

"Dasar cewek galak!"

Dia tersenyum mengejek. Menyebalkan! Biasanya aku langsung menghajar cowok-cowok rese' seperti ini. Tapi entah kenapa kali ini aku malas mengotori tanganku.

"Awas, jangan coba-coba ikutin aku lagi! Atau aku benar-benar akan menghajarmu!"

Tidak mau menunggu jawabannya, aku kembali mengenakan helm dan menghidupkan mesin motor. Motor melesat kencang membelah jalanan. Apes sekali aku hari ini. Sudah gagal menikmati manisnya jambu air yang ranum-ranum. Ditambah lagi harus ketemu dengan cowok asing yang nyebelin itu.

Sebenarnya tangan ini sudah gatal sekali ingin menghajarnya. Tapi entah kenapa diri ini bisa mengendalikannya. Sepanjang perjalanan pikiranku tak berhenti bertanya-tanya. Benar-benar sial!

Adik satu-satunya

Ku buka pintu kulkas, mengambil botol yang berisi air dingin lalu meneguknya hingga setengah.

"Sudah pulang Dew, Kebiasaan deh pulang nggak nyapa ibu."

Aku nyengir.

"Ibu udah pulang ya? Ma'af, Dewi nggak tau."

"Tumben pulang cepet?"

"Iya, hari ini nggak banyak kerjaan Bu."

"Oh ... iya, Dewa mana Bu?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan mencari adikku yang tak terlihat batang hidungnya.

"Ada di kamar."

"Oh."

Aku melangkah menaiki tangga. Setelah tiba di depan pintu kamar Dewa, ku putar knop pintu dan ku dorong pelan.

"Kak Dewi, kebiasaan masuk kamar orang nggak ketuk pintu dulu!" Ucapnya setelah melihatku sudah ada di kamarnya. Aku cuma nyengir, senang bisa menggoda adikku itu. Aku tahu dia tidak suka dengan kebiasaan burukku yang satu ini. Tapi aku enggan merubahnya.

"Diiih ... ngomong sana orang tua nggak sopan banget!"

"Habis kakak gitu sih!"

"Awas aja nanti uang sakumu kakak potong!" Aku tersenyum sambil menaik turunkan alis menggodanya.

"Kak Dewi!"

"Bercanda."

"Mau apa kesini kak?"

"Mau lihat kamu belajar serius atau main game?"

Dia hanya mendesah tanpa menanggapi pertanyaanku. Aku tahu kalau adikku yang satu ini rajin sekali belajar. Sejak kecil dia bercita-cita ingin menjadi dokter. Prestasinya di sekolah sangat bagus. Selalu menjadi juara kelas dan juga sering mendapatkan penghargaan dari berbagai kegiatan di sekolahnya bahkan sampai kuliah. Makanya dia bisa diterima di 'Fakultas Kedokteran' ternama di kota ini. Tidak seperti diriku yang tidak kuliah. Bukan tanpa alasan, selain malas juga karena masalah biaya. Rasanya tak tega kalau harus membebani Ibu. Sejak Ayah meninggal, Ibu lah yang bekerja keras untuk menghidupi kami. Kalau hanya mengandalkan uang pensiunan Ayah sebagai PNS tentu tidak akan cukup.

Aku berharap Dewa bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan bisa menjadi apa yang sudah dia cita-citakan.

"Kak, nggak usah beliin aku mobil."

"Kenapa?"

"Aku lebih nyaman pakai motor."

"Bener?" Tanyaku yang masih heran. Kemarin kayaknya ngebet banget pengen punya mobil. Sekarang kenapa cepat sekali berubah pikiran.

Dewa mengangguk mantap.

"Sebenarnya tabungan kakak udah cukup untuk beliin kamu mobil."

"Nggak usah kak, lagian ntar motorku nganggur."

"Ya udah kalau gitu uangnya kakak simpan, ntar kalau sewaktu-waktu kamu butuh uang tinggal bilang sama kakak."

"Siiippp!" Katanya sambil mengacungkan dua jempolnya kearahku.

"O ... iya kak, aku kemarin ketemu Kak Tommy sama istrinya." Deg! Ada yang bergemuruh di dalam sini. Tommy adalah sahabatku sa'at SMA. Kami berteman sangat akrab sampai-sampai semua teman sekolah mengira pacaran. Aku pernah menaruh hati padanya, tapi seiring berjalannya waktu hubungan kami merenggang. Karena dia harus kuliah, sedangkan aku bekerja. Sejak sa'at itu jarang sekali aku bertemu dengannya. Bahkan tanya kabar lewat pesan atau telepon pun tidak pernah. Hingga suatu hari kabar pernikahannya aku dengar dari temanku Dila. Dan benar saja, tidak lama kemudian undangan pun datang kerumahku.

Hatiku sakit. Bukankah dulu dia pernah bikang kalau menyukaiku dan kelak akan menikahjku. Tapi nyatanya dia malah menikah dengan orang lain. Walaupun begitu, aku tidak bisa menyalahkannya. Karena diantara kami memang cuma sebatas teman, tidak ada ikatan apa-apa.

Aku pun datang ke acara pernikahannya. Meskipun hati rasanya bagai tersayat-sayat. Selama ini aku tidak pernah pacaran. Karena berharap Tommy memang benar-benar serius dengan ucapannya. Ternyata aku salah.

"Dimana?"

"Di mall waktu mau nonton sama temen-temen."

"Terus kamu nyapa dia?"

"Dia yang nyapa aku trus nanyain Kakak juga."

"Oh."

"Kakak nggak apa-apa kan?"

"Nggak."

Buat apa dia nanyain aku. Bukankah dia sudah lupa sama aku. Aku sama sekali tidak ingin tahu apapun tentang dia.

Pelanggan Aneh

Hari ini bengkel lumayan rame. Karyawanku yang berjumlah 5 orang sampai kuwalahan. Maka dari itu aku harus turun tangan menyervis beberapa mobil. Sedangkan untuk toko aku mempercayakannya pada 2 karyawatiku, Lilis dan Sinta.

"Ma'af Mbak, ada yang nyari Mbak Dewi." Sinta berjalan mendekat kearahku.

"Siapa?" Aku masih tidak menghentikan pekerjaanku. Tanganku sibuk melepas kampas rem yang mau diganti dengan yang baru.

"Pak Tio."

Orang itu lagi. Tio adalah salah satu pelanggan dibengkel kami. Mobilnya banyak, untuk mengangkut berbagai jenis barang.Dia seorang pengusaha expedisi. Cabangnya dimana-mana. Tapi dia kesini bukan untuk menyervis mobil angkutan. Biasanya anak buahnya yang ditugaskan mengurus masalah servis mobil angkutannya.

Tio kesini paling-paling cuma iseng mengerjaiku. Beli sebotol minuman tapi minumnya sampai dua, tiga jam. Sambil mengajak ngobrol. Kalau tidak, terkadang beli baut yang entah mau digunakan untuk apa. Dan yang bikin jengkel dia tidak mau dilayani karyawan ataupun karyawatiku. Maunya akulah yang melayaninya sa'at dia membeli ini itu. Hal-hal remeh temeh yang sangat tidak penting.

Menyebalkan memang. Tapi aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Sebisa mungkin bersikap ramah dengan para pelanggan, tak terkecuali pelanggan yang kurang kerjaan seperti Tio itu.

"Don, tolong teruskan ini dulu ya."

"Siap Mbak!"

Aku bergegas menuju ke sudut bengkel lalu ku cuci tanganku di wastafel. Kemudian ku langkahkan kaki menuju toko di sebelah bengkel. Sedangkan Sinta sudah lebih dulu kembali ke toko.

Sesampai ditoko, aku melihat pria tinggi itu dengan gaya santainya. Dia berdiri menghadap etalase, sambil jarinya mengetuk-ngetuk kaca etalase.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Pak?" dia menggeleng. "Apa aku setua itu?" imbuhnya lagi. "Bukankah sudah aku bilang panggil Mas aja, umurku juga tidak jauh beda denganmu." Dia terus nyerocos sambil menatap kearahku.

Aku cuma tersenyum tipis menanggapinya. Sebenarnya malas sekali berurusan dengan pria ini. Buang-buang waktu saja. Kalau bukan pelanggan pasti sudah aku hajar habis-habisan.

"Emmm ... aku mau mengganti ban kipas mobilku itu." Katanya sambil menunjuk kearah mobilnya.

"Baik." Tidak ingin banyak bicara, aku mengambil satu set ban kipas yang cocok untuk jenis mobilnya. Lalu berjalan menuju mobil yang terparkir didepan toko.

Mobil yang harus diservis dan dibongkar membutuhkan waktu lama, biasanya langsung masuk kedalam bengkel di sebelah kanan toko. Tapi kalau cuma mengganti ban kipas atau ganti lambu mobil seperti itu, boleh diparkir dihalaman depan toko.

Tio mengekor dibelakangku. Aku raih ban kipas yang menempel didepan kaca mobil. Lalu dengan obeng kecil aku membuka bautnya. Tidak butuh waktu lama ban kipas itu sudah terlepas. Aku amati ternyata ban kipa itu masih bagus dan masih bisa digunakan.

"Kapan terakhir kali Anda menggantinya?"

"Tidak ingat."

Aku berpikir sejenak. Oh ... iya, aku ingat. Bukankah dia baru menggantinya 2 hari yang lalu. Kenapa sekarang menggantinya lagi. Bahkan ini masih baru, sama sekali belum digunakan.

"Kenapa?"

"Tidak, tapi sepertinya ini masih bisa digunakan."

"Tapi aku ingin menggantinya."

"Baik." Huh, terserahlah. Orang kaya bebas mau berbuat apa saja. Rugi juga kamu sendiri. Aku sih tidak rugi, tapi malah untung dapat pelanggan aneh sepertimu. Tak ingin bertele-tele lagi segera aku pasang ban kipas yang baru. Sa'at sedang memasangnya, aku sempat melirik kearah Tio. Entah kenapa dia cengar-cengir tidak jelas. Tapi aku abaikan saja.

Selesai memasang ban kipas, aku memasukkan obeng ke saku kemejaku. Penampilanku memang mirip cowok. Rambut ku ikat ekor kuda, memakai topi. Mengenakan kaos dengan dibalut kemeja diluarnya yang lengannya aku gulung sampai kesiku. Sedangkan bawah memakai celana jen's sobek-sobek serta sepatu. Wajahku benar-benar polos tanpa make up.

"Silahkan ke meja kasir untuk melakukan pembayaran." Ku sunggingkan sedikit senyum lalu berjalan kerah kasir. Seperti biasa Tio mengekor dibekangku.

Sesampainya di meja kasir, Lilis berdiri dan berjalan sedikit menjauh dari kursi kasir. Tanganku sibut membuat nota dan menjumlahnya.

"Ini Pak." Kataku sambil menyodorkan nota itu ke Tio. Dia tidak segera menerimanya, malah menatap tajam kearahku.

"Panggil aku Mas!" katanya.

"Oh ... baik, ini Mas!" Kataku penuh penekanan. Rasanya jengkel sekali meladeni pria ini.

"Nah, gitu kan enak didengarnya." Sahutnya sambil tersenyum puas. Dia mengeluarkan dompet lalu mengambil sejumlah uang dan diserahkan kepadaku.

"Terima kasih." Dia tidak menyahut lagi tapi menanggapinya dengan mengedipkan sebelah matanya. Dasar sinting! Dia masuk kedalam mobil kemudian mobil pun keluar meninggalkan bengkel.

Lega.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!