NovelToon NovelToon

Pelangi Senja

Menolak

"Apa maksud, Ayah?"  

Mata Devan membulat sempurna, seluruh tubuhnya lemas seketika, masih tak percaya dengan ucapan Ayahnya berapa menit yang menyesakkan dada. Jantung dan hatinya terhimpit oleh batu hingga tak bisa berfungsi dengan baik. 

Bunda terus menepuk punggung Devan yang nampak gemetar,  air matanya lolos membasahi pipi. Si kembar Daffa dan Daffi hanya mengintip dari balik pintu kamarnya, Syakila memilih pergi dari ruangan yang semakin mencekam itu, ia tak sanggup melihat kemarahan ayahnya yang di batas kewajaran. 

Mbak Nining menarik tangan Asyifa,  si bungsu yang baru saja pulang sekolah.

"Ada apa, Mbak?" tanya Asyifa berbisik.  Gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu dengan balutan hijab pashmina itu terkejut dengan keadaan ruang tengah yang penuh dengan keheningan. Nampak dari depan pintu guratan wajah Ayah dan bundanya suram, kakaknya yang duduk di bawah tampak redup mengalahkan gumpalan awan hitam yang siap menumpahkan air hujan. 

Mbak Nining hanya mendaratkan tangan di bibirnya dan membawa Asyifa ke belakang.

"Kamu harus menikah dengan Raisya, titik!" Untuk yang kedua kalinya Ayah mengucap lalu meninggalkan tempat duduknya  menuju kamarnya. 

Pintu tertutup dengan suara keras menandakan kalau ayah masih dengan mode marah.

Bunda memeluk tubuh kekar Devan dari belakang, mengelus rambutnya yang sudah mulai gondrong, namun itu tak menyurutkan ketampanannya. 

"Kamu yang sabar, Kak. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan putranya, mungkin ayah punya maksud yang lebih baik untuk masa depan kamu," ucap Bunda di sela-sela tangisnya. 

Devan menahan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk. Benar apa kata bundanya, tapi keputusan ayahnya bagaikan pukulan yang mematikan. 

"Tapi kenapa baru bilang sekarang, Bund. Kenapa nggak dari dulu waktu aku mengenalkan Alisa pertama kali." 

Devan tak terima dengan keputusan Ayahnya yang menurutnya sangat mustahil. Pria yang sudah berumur dua puluh lima tahun itu menatap kedua mata bundanya yang sembab. Ia juga merasa bersalah sudah membuat bundanya menangis.

Itu karena Ayah baru tahu kalau Alisa  adalah anak Camelia, Nak. Bunda hanya mengucapkannya dalam hati.

Setelah lulus SMA, Devan melanjutkan kuliahnya di Turki, sejak saat itu ia mengenal Alisa,  gadis yang mampu memikat hatinya dalam sekejap, dan  beberapa kali ia membawanya ke Indo dan mengenalkannya ke Ayah Dan Bundanya, namun di saat ia sudah memantapkan  hatinya ayahnya malah menolaknya. 

Bunda menunduk, ia tak bisa menjelaskan apapun, di satu sisi ia tahu posisi suaminya, dan di sisi lain kasihan dengan putranya harus menerima imbas dari masa lalu orang tuanya.

"Biar Bunda yang bicara sama ayah, kamu duduklah!"

Bunda menarik tangan Devan dan membawanya ke sofa. Memberi waktu untuk bisa menjernihkan pikirannya.

Setelah Bunda menghilang dari balik kamar, Daffa dan Daffi keluar dari kamarnya menghampiri Devan. 

"Kakak yang sabar, mungkin ayah saat ini sedang khilaf," ucap Daffa. 

"Semoga bunda segera menyadarkan ayah," timpal Daffi,  disaat hatinya menguap, kedua adiknya mampu membuatnya tersenyum.

Daffa dan Daffi memeluk Devan, menurut mereka kakaknya itu adalah panutan yang patut diacungi jempol. Terbukti beberapa piala menghiasi rumah mewahnya, berbagai prestasi Devan raih karena kepintarannya yang di atas rata-rata. 

"Kak, nanti kita jalan bareng ya!" Hampir dua tahun tak bertemu, Daffa dan Daffi sangat merindukan Devan. Terlebih kangen saat ketiganya balapan. 

Ck, Devan menoyor jidat Daffa yang mulai merayunya. "Aku lagi sedih nggak mood untuk balapan."

Daffi hanya cekikikan dalam hati.

Di dalam kamar, Ayah menyeka air matanya saat mendengar pintu terbuka, Matanya terus menatap ke arah jendela yang terhalang tirai putih. 

Bunda menepuk bahu lebarnya dari belakang lalu mengulas senyum. 

"Bagaimana dengan Devan?" Ayah mencoba menetralkan suaranya, sesekali menghirup ingus yang hampir saja lolos. 

"Ingusnya di lap dulu, Mas. Jangan sampai kena baju." Candaan terus terukir dari sudut bibir Bunda. Dalam keadaan apapun, keduanya selalu menyelipkan kebahagiaan. 

Bunda mengambil tisu dan mengusap peluh serta air mata suaminya, terakhir mengusap cairan yang mengalir dari rongga hidung. 

"Apakah kamu mau memaafkanku?" Ayah dan Bunda saling pandang, Bunda menggenggam dan mencium tangan Ayah yang masih terasa dingin. 

"Tidak ada yang salah, dan tidak ada yang perlu dimaafkan, hanya waktunya saja yang belum tepat,  Bunda tahu kalau maksud Ayah itu baik,  tapi Devan masih sangat muda dan belum mengerti jalan pikiran kita,  yang dia tahu, dia harus bisa memiliki orang yang dicintainya."

"Tapi aku menyakitinya lagi, dan aku rasa ini memang tidak adil untuk si sulung."

Ayah semakin sesenggukan dan memeluk bunda dengan erat. Pikirannya buntu, dan menurutnya jalan satu satunya adalah menjodohkan Devan dengan Raisya untuk menghalangi hubungan Devan dengan Alisa. 

Kamu tidak salah, Mas. Aku tahu kalau ini sangat sulit,  tapi harus ada yang tersakiti di antara kamu dan Devan.

"Apa mas sudah bicarakan masalah ini dengan mas Randu?" tanya Bunda.

"Sudah, dia juga setuju, tapi Raisya juga belum tahu karena hari ini dia juga baru pulang dari luar kota, dan rencananya setelah ini, Raisya akan bekerja di rumah sakit milik Ayah."

Setelah Pak Yudi dan Bu Risma meninggal dunia, Mahesa menggunakan warisan orang tuanya untuk membangun rumah sakit yang sangat besar, dan sebagian membangun sebuah panti asuhan seperti keinginan istrinya.

"Ya sudah, sekarang mas istirahat dulu, aku akan mencoba bicarakan ini dengan Devan. 

Bunda mencium kening ayah dengan lembut, kebiasaan yang tak pernah di tinggal kan, selalu memberikan kehangatan untuk suami dan anak anaknya. 

Mendengar pintu kamar terbuka, Devan beranjak dari duduknya menghampiri bundanya yang baru saja keluar dari kamarnya. 

"Gimana, Bunda?" Apa ayah mau membatalkan perjodohanku dengan Raisya?" tanya Devan antusias. 

Daffa dan Daffi ikut mendekat, dalam hati  jedag jedug menanti jawaban bundanya yang masih penuh dengan teka-teki. 

Bunda menghela napas panjang dan menangkup kedua pipi Devan. 

"Maaf,  bunda nggak bisa membujuk ayah kamu," ucap Bunda dengan penuh penyesalan. 

Devan menggeser tubuh bunda dan membuka pintu kamar ayahnya dengan kasar. 

Dadanya semakin terasa meletup letup, amarahnya sudah tak bisa dibendung lagi. 

Devan menghampiri ayahnya yang masih duduk di tepi ranjang. Pria itu berlutut di depan ayahnya dengan mengatupkan kedua tangannya. 

"Ayah, aku janji tidak akan minta apapun setelah ini, tapi aku mohon, batalkan perjodohan ini,  aku tidak mencintai Raisya, dan satu-satunya perempuan yang aku cintai adalah Alisa," ucap Devan memelas,  ia tak tahu lagi dengan cara apa supaya ayahnya mau menuruti permintaanya. Tapi sepertinya ucapan Devan sedikitpun tak berpengaruh, nyatanya sang ayah masih tetap bergeming di tempat, bibirnya tertutup rapat dengan mata memandang ke arah nakas. 

Ayah mengambil sebuah pisau tajam dan menyodorkan ke arah Devan, bunda yang ada di ambang pintu itu menjerit histeris. 

Daffa dan Daffi ikut panik dan memeluk bundanya yang hampir berlari itu dengan erat.

Devan hanya menatap pisau itu tanpa ingin menyentuhnya. 

"Kamu mau menikahi Alisa, kan? Sekarang juga kamu bunuh ayah, dengan begitu kamu bebas menikah dengan siapapun pilihanmu, termasuk Alisa."

Penjelasan

Hampir lima menit hanya ada suara tangis bunda di ambang pintu, tubuh Devan basah dipenuhi dengan keringat dingin, tangannya gemetar dan tak berani menatap wajah ayahnya yang merah padam. Lapisan besi mengkilat itu seakan adalah simbol jika ayahnya saat ini dengan serius. 

"Ayo bunuh ayah!" Ayah meletakkan pisau itu di telapak tangan Devan. Tubuhnya ikut merosot dan duduk bersila tepat di depan putranya.

Bunda semakin histeris. Ia tak sanggup menyaksikan Ayah dan Devan itu saling menantang. 

"Ayah, Kakak, kalian ngapain?" Syakila datang ikut memeluk bundanya, menutup mata yang sudah dipenuhi cairan bening. Seumur hidupnya baru kali ini melihat ayahnya marah dan seserius itu. 

"Kakak, buang pisaunya!" Suara Bunda semakin lirih.

Masih tak ada pergerakan antara keduanya, mereka masih saling sesumbar satu sama lain. Meskipun Devan diam, hatinya sudah menjerit dengan posisinya yang merasa terpojok. 

Semakin lama suara Bunda habis, pandangannya tampak redup dan tubuhnya akhirnya lemah. Kedua kakinya lentur dan tak bisa menopang tubuhnya. 

"Bunda…" teriak Daffi meraih tubuh bundanya yang terhuyung.

Pisau yang ada di tangan Devan terjatuh seketika, semua mata tertuju pada Daffi yang membopong bundanya menuju ranjang. 

Ayah nampak panik dan mendekap Bunda yang sudah berada di tempat pembaringan. Syakila berlari mengambil stetoskop untuk memeriksa bunda. Daffa memijat kakinya, sedangkan Daffi membuka hijab bunda dengan perlahan. Asyifa menyelinap masuk dan duduk di tengah-tengah kakak kembarnya.

Dulu Syakila dan Raisya sempat debat karena cita-cita yang sama, dan akhirnya Syakila menjadi dokter umum, sedangkan Raisya menjadi dokter spesialis mata. 

"Bunda nggak papa, Yah. Hanya terlalu lelah." Syakila merengkuh tubuh Ayah dari samping meyakinkan untuk tetap tenang, lalu beralih kakaknya. 

"Semangat…." Devan membalas dengan sunyuman manis.

Sebagai anak perempuan yang paling besar, Syakila juga ikut merasakan pusing dengan masalah yang membelit keluarganya.

"Ini semua salah ayah," ucap ayah dengan suara serak. Sedikitpun tak melepaskan jemari bunda dari genggamannya.

"Tidak!" tukas Devan, "aku yang salah sudah membuat bunda seperti ini."

Syakila yang sudah berada di  belakang pintu terpaksa menghentikan langkahnya saat mendengar suara yang saling bersahutan. 

"Cukup, Yah,  Kak. Lebih baik kita tunggu bunda sadar."

Daffa dan Daffi saling pandang. 

Apakah kita nanti juga akan seperti kak Devan? 

Daffi mengangkat kedua bahunya, padahal Daffa tidak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya, tetapi Daffi sudah paham dari sorot mata Daffa yang tampak buram. 

Entahlah, kalau begitu kita harus secepatnya cari pacar yang kembar juga, kalau perlu kawin lari, pulang pulang bini kita sudah bunting, biar ayah gak bisa memaksa kita. 

Asyifa mencium pipi Bunda dengan lembut, mengabaikan mereka yang sedang bergelut dengan pikiran maiang-masing.

Suara ponsel berdering, Daffa dan Daffi langsung menatap Devan, begitu juga dengan Syakila, mereka sangat hafal dengan bunyi  ponsel sang kakak. 

Devan meraih ponselnya dari saku celana lalu menatap layarnya. Ternyata nama Alisa yang berkelip di sana. 

Merasa sangat bising Devan menolak panggilan tersebut.

Maafkan aku, lirih hati Devan.

Alisa yang ada di seberang sana terkejut dan menatap benda pipihnya berulang kali, setelah itu menepuk kedua pipinya.

"Aku nggak mimpi, Devan menolak panggilanku. Ada apa dengannya?" Tanda tanya mulai memenuhi dada Alisa. Selama berpacaran, sedikitpun Devan tak pernah mengabaikannya, apalagi sampai menolak panggilannya, dan menurutnya ini sangat aneh. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Lima belas menit berlalu,  Bunda mengerjap ngerjapkan matanya dan perlahan membukanya dengan lebar. 

"Alhamdulillah, akhirnya bunda bangun juga."

Dada Devan merasa lega, rasa takutnya merangsur menghilang dari benaknya. Raisya kembali periksa Bunda nya dan memberikan obat. 

"Bunda, maafkan Ayah." 

Ayah kembali memeluk istrinya dengan erat setelah Syakila mundur.  

Bunda hanya mengulas senyum. Lidahnya masih sangat berat untuk mengucap.

Di antara sekian banyak putra dan putrinya, yang pertama kali Bunda perhatikan adalah Devan yang berada di belakang ayah,  pria tampan itu menundukkan kepalanya dengan tangan saling terpaut. 

"Ayah, Bunda ingin bicara dengan Devan, berdua saja."

Ayah mengangguk dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Bunda. 

"Aku percaya, kamu bisa menjelaskan semuanya," bisik ayah yang tak bisa didengar oleh satupun putra putrinya. 

Ckckck si kembar berdecak, ia merasa tersisih lagi. 

Sebelum semua pergi dari kamar itu, satu persatu memberi pelukan hangat untuk bundanya. 

Kini hanya tinggal berdua, Devan melepas sepatu yang dari pagi menghiasi kakinya, dengan sigap ia ikut naik dan duduk di samping Bunda yang masih dalam keadaan terbaring lemah. 

Devan menghela napas panjang, meredakan hatinya yang masih bergemuruh,  dari raut wajah sang bunda, ia menangkap ada sebuah harapan besar padanya. 

"Apa Devan sayang sama bunda?"

Devan mengangguk cepat, baginya itu pertanyaan yang sangat konyol yang pernah ia dengar dari bibir bundanya. 

"Kalau begitu Devan mau, kan menikah dengan Raisya?"

Berbanding balik, jika di depan ayahnya Devan langsung membantahnya, kini ia tampak ragu,  sebisa mungkin ia menjaga hati orang yang sudah melahirkanya. 

Devan mendongak, menyelaraskan hati dan pikirannya yang sempat bertolak belakang. 

"Kasih aku penjelasan, kenapa tiba tiba ayah tidak merestui hubunganku dengan Alisa?"

Hening tercipta,  Bunda masih menyusun kalimat yang akan diucapkan, ini bukan masalah yang sepele,  dan Devan harus bisa mencerna dengan baik supaya tidak salah paham.

"Mamanya Alisa itu adalah mantan istri Ayah."

Devan mengerutkan dahinya dan tersenyum tipis, kepalanya terus menggeleng tak percaya. Ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan bundanya. Yang ia tahu selama ini hanya bunda nya lah satu-satunya wanita yang hadir di kehidupan ayahnya. 

"Bunda jangan bercanda? Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Aku sudah dewasa dan bisa menentukan hidupku sendiri, bukan harus dengan pilihan ayah."

Bunda menepuk-nepuk punggung tangan Devan. "Bunda nggak bercanda. Itu fakta yang terjadi di masa lalu ayah,  dan bunda rasa itu sudah cukup menjelaskan kenapa ayah tidak menyetujui hubungan kamu dan Alisa."

Devan mengacak rambutnya, ia semakin frustasi mendengar penjelasan sang bunda yang menurutnya tak masuk akal. 

Janji yang pernah diucapkan, masa depan yang pernah diimpikan, wanita cantik yang selalu diharapkan kehadirannya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya harus lenyap hanya dengan satu alasan yang masih sulit dimengerti.

Maafkan Bunda, karena tidak bisa membantu kamu.

"Kalian ngapain di sini?" Ayah menarik kerah baju Daffa dan Daffi yang berada di depan pintu kamar, Entah kenapa si kembar itu selalu saja kepo dengan apa yang dibicarakan bunda dan kakaknya. 

Daffa dan Daffi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tadi mau nangkap cicak, Yah."

"Alasan," sahut Asyifa yang berada di bawah ketiak ayah. 

"Bilang saja mau nguping," lanjutnya. 

Menerima

Tawa canda terus menghiasi sudut kamar Raisya. Gadis yang baru saja tiba itu melepas rindu pada tiga saudaranya, David,  Airin dan Nanda. Harapan ketiga saudara itu terkabul, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali setelah sekian lama saling berpisah. Raisya tinggal di luar kota karena tuntutan pekerjaan yang baru satu tahun digelutinya, sedangkan David tinggal di rumah dan mulai membantu sang ayah di kantor.  Nanda baru saja daftar kuliah, sedangkan Airin masih duduk di bangku SMA, usia mereka hanya terpaut satu tahun dan itu yang membuat keduanya saling bertengkar dengan hal yang sepele. 

Mama Aya datang dengan membawa empat jus yang tertata rapi di nampan. Rasa bahagia dan haru itu terus menyelimuti hatinya melihat kebersamaan yang jarang terjadi. 

"David, Nanda, Airin, kak Raisya masih capek, kenapa harus diajak bercanda terus sih?" 

Mereka bergelak tawa dan terus menggoda Raisya. Tak peduli dengan kakaknya yang cemberut, baginya tak afdol jika tak membuat Raisya jengkel. 

Mama Aya meletakkan nampan itu di meja kecil yang ada di samping ranjang lalu mendekati keempat putra putrinya yang masih bercanda. Suasana kamar semakin riuh kala Airin menemukan sesuatu yang menakjubkan baginya. 

"Ma, Kakak sudah punya pacar lho,"  ucap Airin sembari membaca tulisan yang ada di buku diary Raisya. 

"Nggak Ma, dia cuma teman aku," kata Raisya malu-malu. 

Wajah Raisya merona, meskipun sudah dewasa dan siap menikah ia masih enggan untuk mengatakan kepada orang tuanya jika ia sudah memiliki kekasih hati.

Senyum Mama Aya tiba-tiba saja meredup, wajahnya pucat pasi dan tak bisa berkomentar apapun.

Ini nggak mungkin, kalau Raisya sudah punya pacar, bagaimana dengan perjodohan yang direncanakan mas Randu dan Mas Mahesa.

Mama Aya duduk di tepi ranjang, memunggungi keempat anaknya yang masih sibuk dengan candanya. 

"Mama kenapa?" tanya Raisya sambil memeluk mamanya dari belakang. 

Hening sejenak, Airin dan David serta Nanda saling pandang dan saling mengangkat bahu saat mamanya membisu. 

Mama Aya tersenyum paksa, ia tidak mau membuat Raisya khawatir saat melihat dirinya yang sedikit cemas. 

"Mama nggak papa, kalian lanjutkan lagi, mama mau ketemu ayah dulu."

Raisya hanya bisa menatap punggung mama Aya hingga menghilang di balik pintu kamarnya.

Sepertinya mama menyembunyikan sesuatu, tapi apa? Apa mama nggak setuju kalau aku punya pacar? 

"Dor…" Suara David membuyarkan lamunan Raisya, gadis itu mengelus dadanya.

"Mas, Mas!"  teriak Mama aya, matanya terus menyusuri setiap sudut ruangan, mencari suaminya yang tak nampak batang hidungnya. 

"Aku disini," sahut ayah Randu dari teras samping, seperti biasa  pria itu menikmati waktu senja dengan memandikan beberapa burung kesukaannya. 

"Mas, kita harus bicara!" ucap mama Aya dengan serius, menarik tangan Ayah Randu yang masih membawa botol sprayer. 

Terpaksa Ayah Randu menjeda aktivitasnya dan menghampiri istrinya yang nampak cemas. 

Keduanya duduk di taman saling berhadapan, sesekali Mama Aya mengedarkan pandangannya ke arah pintu, takut ada yang datang. 

"Mas, ternyata Raisya sudah punya pacar." 

"Apa!" pekik Ayah Randu, sedikitpun tak pernah menyangka jika putrinya sudah berani berhubungan dengan seorang laki-laki tanpa sepengetahuannya.

"Bagaimana ini, Mas? Kalau dia tahu rencana kamu dan Mas Mahesa,  pasti dia sangat terpukul."

Ayah Randu menyandarkan punggungnya. Mengusir rasa ragu yang mengendap memenuhi dada dan pikirannya. 

"Kita harus secepatnya bicara sama Raisya, kata mas Mahesa pernikahannya akan dilangsungkan secepatnya."

"Kenapa mendadak sih, Mas? Bukankah lebih baik mereka lebih dekat dulu, selama ini kan mereka jarang berkomunikasi. Dan menurutku itu sangat penting untuk sebuah hubungan," timpal mama Aya. 

Ayah Randu menghirup udara dalam-dalam, membenarkan apa yang diucapkan Istrinya,  tapi ia dan Mahesa sudah sepakat untuk mempercepat pernikahan Raisya dan Devan. 

"Itu bisa dilakukan setelah menikah." 

"Mas __"

Ayah Randu mengangkat tangannya setinggi dada, memberi kode mama Aya untuk menghentikan ucapannya. 

Mama Aya hanya bisa berdecak,  ia tak bisa berbuat apa-apa jika suaminya itu sudah berkehendak. 

Tak seperti biasanya yang hanya berlima, kini ruang makan itu sangat lengkap dengan kehadiran Raisya. Hanya ada suara dentuman sendok dan piring yang menggema,  sesekali Ayah Randu menatap putri pertamanya yang sedang melahap makanannya. 

"Sya,  besok ayah Mahesa dan Devan mau ke sini."

Raisya memelankan kunyahannya, entah kapan terakhir kali mereka bertemu, yang pastinya Raisya sedikit lupa dengan wajah Devan.

"Tumben,  biasanya ayah dan mama yang ke sana." Raisya menatap ayah dan mamanya bergantian.

Mama Aya hanya menundukkan kepalanya, pura-pura menyendok makanannya, padahal tenggorokannya terasa menyempit dan tak sanggup untuk menelan sebutir nasi. 

"Ayah Mahesa mau melamar kamu untuk Devan."

Raisya terpaku, sendok yang ada di tangannya terjatuh seketika. 

"Jangan menolak, jangan bikin malu ayah, dari bayi  bunda Sabrina yang merawat kamu. Dia yang sudah merawat bunda Arum saat sakit. Ayah Mahesa yang sudah berjuang demi keluarga kita, dan anggap saja ini adalah permintaan ayah yang pertama dan terakhir," imbuhnya tanpa jeda.

Dengan kata itu saja mampu melumpuhkan semua alasan yang ingin Raisya katakan, ia merasa terkunci dan berada di sebuah ruang hampa dan gelap, tak bisa menatap sedikitpun celah yang akan membawanya pada cahaya. 

Ayah Randu meninggalkan tempat itu,  sebenarnya ia juga tak sanggup menyakiti anaknya, tapi hanya itu jalan satu-satunya supaya Raisya tidak membantahnya. 

Mama Aya berhamburan memeluk Raisya yang terisak. "Kamu yang sabar ya, Nak. Devan adalah pria yang baik, mama tahu ini sangat sulit bagi kamu,  tapi mama juga tidak bisa membantu."

David menarik kursinya mengikis jarak antara keduanya, mengelus punggung Raisya yang mulai bergetar hebat.

"Maaf ya kak, aku juga nggak bisa bantu, tapi aku akan berdoa semoga Kakak bisa bahagia bersama kak Devan." 

Nanda dan Airin ikut memeluk Raisya, memberi kekuatan untuk tetap tegar menghadapi ayahnya yang se kaku sapu lidi.

Raisya diam, sebagai anak yang patuh ia pun tak berani melawan ayahnya,  apalagi berbagai alasan itu sudah dilontarkan seakan dirinya memang harus bertanggung jawab atas semuanya yang terjadi di masa lampau. 

Maafkan ayah, Sya. Ayah tahu kalau ini akan menyakiti kamu,  tapi ayah harus melakukannya demi kebaikan semuanya.

Raisya beranjak dari duduknya dan menatap wajah mama Aya dengan lekat. Mengusap air mata yang membasahi pipi mamanya.

"Mama jangan sedih lagi, aku nggak papa kok, aku akan melakukan apa saja asalkan Ayah dan Mama bahagia."

Meskipun hatinya terasa perih, Raisya tetap menampilkan senyum saat di depan Mama Aya. Ia tak ingin melihat wanita di depannya itu ikut bersedih seperti dirinya.

Raisya berjalan menuju kamar Ayahnya dan mengusap sisa air mata yang tertinggal di pipinya. 

Setibanya di depan pintu,  Raisya mengetuknya tiga kali.

Pintu terbuka, Ayah Randu berdiri di depannya. 

"Aku sayang Ayah." Gadis yang memakai piyama coklat dengan hijab yang senada itu memeluk ayahnya. 

"Aku mau menikah dengan kak Devan."

Ayah Randu tersenyum dan mengeratkan pelukannya sebagai ungkapan terima kasih. 

 Ya Allah,  semoga ini adalah jalan yang terbaik untuk semuanya. Maafkan aku mas Afif,  mungkin kita tidak berjodoh. Tapi aku tidak akan melupakan kamu, pria baik yang pernah mengisi kekosongan hatiku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!