[ Aku hamil, Om! ]
Meskipun sempat gamang, pesan singkat itu berhasil kukirimkan pada Om Adrian bersama dengan foto surat keterangan dari bidan yang menyatakan bahwa kehamilanku sudah berjalan tujuh pekan.
Om Adrian adalah lelaki ketiga yang berhasil kupertahankan lebih dari setahun lamanya sejak aku terjerumus dalam ikatan terlarang. Perbedaan usia kami berpaut dua puluh empat tahun, tapi tak menjadi penghalang hubungan yang mulanya memang terjalin hanya demi kesenangan.
Umurku bahkan belum genap tujuh belas tahun saat memutuskan untuk mencari penghasilan sebagai peliharaan para lelaki mapan berdompet tebal. Sugar Daddy, biasa orang kekinian menyebutnya. Ketika seorang gadis remaja menjalin hubungan dengan lelaki yang berumur jauh di atasnya.
Om Adrian berbeda dari dua Sugar Daddy-ku sebelumnya yang memang berstatus single. Ya, dia beristri. Dan dengan kehamilan ini aku berencana untuk menggantikan posisi istrinya.
Terkesan tak tahu diri, bukan? Memang.
Namun, percayalah! Aku punya alasan. Alasan yang bila kujelaskan pun tak akan mampu dimengerti sebelum kalian mengalaminya sendiri.
Keadaanlah yang telah memaksaku tumbuh menjadi seorang j*lang sejak dini.
Sekali lagi kutatap layar ponsel di hadapan, menunggu balasan dari lelaki dewasa yang sudah lebih dari setahun ini membiayai segala kebutuhanku selama menjadi Sugar Baby-nya.
Akhirnya, ceklis dua di depan pesan berubah biru. Namun, sampai lima menit berlalu tak ada tanda-tanda balasan.
Kutekan tanda 'kembali' di layar, lalu membuka notifikasi SMS yang baru saja masuk. Ternyata dari mobile banking, bukti transfer dari Adrian Mahesa senilai sepuluh juta.
Aku tersenyum tipis saat membaca note yang tertera.
'Gugurkan! Dan lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita.'
See! Semua lelaki itu sama. Mau enaknya tapi tak mau anaknya. Padahal dia yang memaksa dan berjanji akan mempertanggungjawabkan semuanya.
B*llshit.
Setelah kuperiksa ternyata nomorku pun telah diblokirnya.
Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita katanya. Oh, c'mon. Wanita bodoh mana yang hanya mau dibungkam dengan uang sepuluh juta? Rupanya dia lupa telah berhadapan dengan siapa.
Aku Elea Kenanga. Wanita yang rela mengorbankan segalanya demi ambisi yang bisa saja membuatku mati.
Wanita yang telah melempar wajahnya sendiri dengan kotoran, ketika memutuskan menjadi mainan para lelaki hidung belang.
Aku menjerat Om Andrian dan dua Sugar Daddy sebelumnya bukan hanya demi uang, lalu dicampakkan setelah bosan.
Aku ada di posisi ini sebenarnya untuk memberi orang-orang kejam itu balasan yang setimpal atas apa yang pernah mereka perbuat di masa lampau.
***
Di depan gerbang yang menjulang aku berdiri sembari merapatkan jaket. Seorang sekuriti tampak menghampiri setelah melihatku mondar-mandir hampir setengah jam tak jelas tujuan.
"Ada perlu apa, ya, Neng? Temennya Den Kevin, bukan?" tanya sekuriti yang bisa kutaksir berusia awal empat puluhan.
Aku hanya tersenyum tipis sebelum menjawab. "Pak Adriannya ada?"
Sekuriti tersebut tampak mengernyit sejenak. "Ada, sih. Kebetulan beliau lagi ngumpul sama Bu Lidia dan Den Kevin di ruang tengah. Kalau boleh tahu Nengnya siapa?"
Good timing.
Sebentar lagi bom waktu akan meledak dan memborak-porandakan keharmonisan dalam keluarga ini.
Akhirnya tragedi yang terjadi sembilan belas tahun lalu akan terulang lagi.
Bapak sekuriti yang semula terlihat tidak yakin pun menyetujui setelah kukatakan bahwa kami (aku dan Om Adrian) sudah membuat janji.
Dia mengantarku masuk sampai ke depan pintu, lalu seorang asisten rumah tangga mengiringku menuju ruang tengah.
Di sana sudah ada Tante Lidia, Om Adrian, Kevin, dan ....
Seketika aku kehilangan kata saat melihat siapa sosok yang duduk di samping Kevin. Seorang lelaki dewasa yang setahun belakangan ini tak aku ketahui bagaimana kabarnya, setelah meninggalkanku dalam keadaan hati yang porak-poranda. Sugar Daddy lainnya yang sempat membuatku terlena dengan dunia fana saat dia mampu berperan sebagai sosok Papa yang selama ini tak pernah kujumpa, sekaligus kekasih yang mampu membuat nyaman di antara perbedaan usia yang jauh terbentang.
Dia adalah Om Lian, adik kandung Tante Lidia. Wanita yang sudah menghancurkan hidup Mama yang kucinta sampai berakhir di rumah sakit jiwa.
.
.
.
Bersambung.
"Lea!"
Panggilan Kevin menyelamatkanku dari tatapan tajam Om Lian. Lelaki jangkung seumuranku itu tampak sudah berdiri di hadapan entah sejak kapan.
"Kalau ada perlu, kan tinggal bilang, biar aku yang jemput ke kost-an. Kamu nggak perlu datang jauh-jauh ke mari," tambahnya sembari mengusap rambutku pelan.
Sejenak mataku terpejam. Lalu mendongak menatap Kevin. "Vin! Udah baca WA yang kukirim?"
Kevin menggeleng. "Hapeku lagi di charger di kam--"
"Aku mau kita putus," potongku cepat.
Keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajah lelaki berkulit putih itu.
"Sebenarnya tujuanku datang ke mari bukan buat ketemu kamu, tapi Papamu." Kulirik Om Adrian yang tampak mati kutu di samping Tante Lidia. Biar kutebak, sekarang pikiran busuknya pasti sedang memikirkan bagaimana cara memecat Sekuriti yang membiarkan aku masuk tadi.
Sebenarnya cara seperti ini terasa begitu kejam untuk mengakhiri hubungan yang sudah aku dan Kevin jalin selama satu setengah setahun. Apa lagi kami sama-sama melanjutkan study di universitas yang sama.
Namun, mau bagaimana lagi, dia hanya batu loncatan yang kugunakan untuk mengorek segala hal tentang Adrian Mahesa, Papanya.
"Kamu bercanda, kan, Sayang?" Kevin masih terlihat belum percaya. Dia menatapku dengan mata memicing curiga yang hanya kutanggapi dengan ekspresi datar.
"Nggak. Aku serius, Vin. Sebentar lagi kamu bakal jadi anak tiriku, nggak pantes, kan kalau kita masih menjalin hubungan?" tuturku seadanya.
"Hah?" Ekspresi wajahnya menyiratkan ejekan yang kentara, seolah apa yang tengah kukatakan baginya hanya lelucon semata. "Hahaha ...." Detik berikutnya tawa Kevin meledak. Bersamaan dengan itu Tante Lidia bangkit dari tempatnya dan menatapku nyalang.
"Apa-apaan ini?" semburnya murka.
Kuabaikan tawa membahana Kevin yang akhirnya mereda saat dia mulai sadar bahwa aku memang tak bercanda. Dia sempat mengacak rambut frustrasi sebelum berlari menuju lantai dua.
Sepeninggal Kevin, aku berjalan menghampiri Om Adrian yang masih mematung di tempatnya. Sementara Om Lian--entah. Aku benar-benar tak tahu apa yang tengah berkecamuk di benak lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun itu.
Bisa saja dia sedang mengumpat?Menggerutu? Atau bahkan nostalgia mengingat kenangan kita. Oh, ayolah Lea. Bukan saatnya memikirkan lelaki br*ngsek itu saat ini.
"Kenapa WA-ku diblokir, Om? Mau lari dari tanggung jawab?" semprotku pada Om Adrian sembari mengeluarkan uang sepuluh juta yang sudah ditarik dalam perjalanan. "Nih, aku kembalikan! Jangankan cuma sepuluh juta, seratus juta pun tak akan kuterima bila untuk menggugurkan janin yang tak berdosa."
Bisa kulihat Om Lian yang semula tak acuh mulai tertarik dengan pokok pembicaraanku. Terlihat dari caranya menggeser posisi duduk.
Sementara Tante Lidia mulai melotot tak percaya. Dia hendak bangkit, tapi ditahan suaminya.
"Katakan saja apa maumu, Lea? Tolong jangan membuat keributan di rumahku!" desis Om Adrian yang terlihat kelabakan mengatasi situasi ini. Beberapa kali dia menarik pergelangan tangan Tante Lidia yang tampaknya tak tahan ingin menghajarku.
"Pernikahan." Kujawab enteng tanpa pikir panjang sembari menatap mereka bergantian, tak terkecuali Om Lian yang tiba-tiba mengepalkan tangan.
Selanjutnya kalian pasti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Plak!
Ya, pipiku menjadi sasaran amukan Tante Lidia.
"Kau pikir kau siapa dirimu, hah?!" Tante Lidia berteriak kesetanan. Wanita yang masih terlihat segar dan terawat menginjak kepala empat itu bahkan sudah bersiap melayangkan tamparan kedua. Sungguh berbanding terbalik dengan kondisi Mama yang begitu mengkhawatirkan sekarang.
Kuusap pipi kanan yang terasa kebas, lalu mengulurkan tangan.
"Ah, iya. Hampir lupa. Kita belum kenalan. Nama saya Elea Kenanga, Tante. Selingkuhan suami Anda!"
"Ha?" Ejekan seperti Kevin tadi kudapati dari Mamanya. Tawa wanita itu membahana di rumah besar ini.
Ah, bila saja tragedi hari itu tak terjadi. Mungkin Mama yang akan menjadi Nyonya di rumah ini.
"Percaya diri sekali sampah berjalan ini. Di mana harga dirimu sebagai wanita, hah?"
Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya. Ternyata dia lupa siapa dirinya di masa lalu. Sayangnya dia tak pernah merasakan tamparan pengkhianatan.
"Saya hanya berbicara tentang fakta, Tante. Bisa Anda cari tahu sendiri. Hubungan kami telah berjalan selama satu tahun lebih. Semua orang tahu bagaimana reputasi keluarga tante Lidia, bukan? Anda cukup memilih di antara dua pilihan. Nama baik tercemar? Atau menerima saya sebagai adik madu kesayangan?" Aku tersenyum lebar sembari berpangku tangan menyaksikan bagaimana wanita yang membuat Mama menderita, berada di ambang kehancuran.
"Argh!" Dia mengeram frustasi, sementara Om Adrian tak bisa melakukan apa-apa. Jelaslah. Apa yang bisa dilakukan benalu yang hanya tahu memuaskan nafsu dan suka menghamburkan harta istrinya?
Setelan sekian lama Om Lian yang semula geming mulai mengambil kendali dengan gagahnya.
Dia bangkit berdiri, lalu berjalan ke arahku. "Berapa usia kandunganmu?" tanyanya datar. Ah, sikap dingin dan tegas yang kurindukan.
"Tujuh minggu," jawabku.
"Oke, kita menikah minggu depan."
Deg!
"Lian ...!" Tante Lidia berteriak, sementara aku hanya bisa membeku. "Kau sudah berjanji tak akan pernah menikah setelah kepergian Diana, bukan?"
Bisa kulihat senyum miring tersungging di bibir tipisnya. "Ah, janji konyol itu sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, Mbak. Lagi pula siapa lagi yang bisa menyelamatkan reputasi keluarga kita yang disebabkan suami benalumu kalau bukan aku orangnya?"
Tante Lidia terbungkam. Om Adrian terdiam.
Om Lian beralih menatapku saat menyadari tatapan nyalang yang dengan terang-terangan kutunjukkan. Tak lama dia mendekatkan bibirnya ke daun telingaku, lalu bergumam.
"Seharusnya kamu berterimakasih karena saya memuluskan jalanmu untuk masuk dalam keluarga ini, Lea, bukan menatap dengan raut tak suka! Jangan lupa, saya mengenalmu dengan sangat baik. Intinya, siapa pun Ayah dari bayi yang tengah kamu kandung ... bisa saya pastikan Mas Adrian tak termasuk di dalamnya. Ini jebakan, bukan?"
.
.
.
Bersambung.
Blug!
Kulempar tas selempang yang semula dikenakan ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di atas ranjang setibanya di kamar kosan.
Ck, bagaimana bisa umpan yang kulemparkan pada Om Adrian malah disantap Om Lian? Sebenarnya apa yang dia inginkan setelah menghilang lebih dari setahun tanpa kepastian?
Pernikahan? Seminggu dari sekarang? Apa-apaan.
Aku benar-benar tak menyangka dia bisa mengambil langkah untuk menikahiku demi menyelamatkan reputasi keluarganya. Sebenarnya apa yang disembunyikan lelaki itu? Bagaimana mungkin dia bisa tahu banyak tentangku? Bahkan tentang Om Adrian yang kemungkinan besar adalah Ayah kandungku!
"Aaargh." Kuacak rambut frustrasi. Ini melenceng jauh dari perkiraan.
Kupikir tragedi sembilan belas tahun lalu akan terulang kembali persis seperti yang diceritakan Tante Sarah. Namun, nyatanya tidak. Kehadiran Om Lian menghancurkan semuanya.
Bahkan sejak pergi tanpa alasan setahun lalu, lelaki itu masih saja berhasil mengusik hidupku.
Lian Fahlevi, seandainya saja kau bukan adik kandung dari wanita sundal bernama Lidia. Mungkin pernikahan ini cukup untuk membuatku bahagia memiliki figur seorang ayah sekaligus suami.
Sayangnya aku bahkan tak tahu skenario apa yang tengah dia rancang dalam pernikahan kita nanti.
***
Kutatap pantulan diri dalam cermin seukuran badan yang terpampang di hadapan. Entah ini anugerah atau kutukan. Wajah cantik dan tubuh proporsional dengan kulit seputih porselen. Dengan modal inilah aku bisa mendapatkan tiga Sugar Daddy di umur yang bahkan belum genap dua puluh tahun sekarang. Tak ada cela, semua mulus tanpa noda padahal aku sangat jarang melakukan perawatan.
Bila bisa memilih, sebenarnya aku ingin terlahir biasa saja. Wajah cantik dan tubuh indah terkadang membebani. Tak jarang aku mendapati tatapan lapar para lelaki yang seolah menelanjangi. Padahal pakaian yang kukenakan masih terbilang sopan.
Kehormatanku pertama kali hilang di usia enam belas tahun lebih delapan bulan, oleh Sugar Daddy pertamaku. Aku terpaksa melakukannya karena Tante Sarah sudah tak sanggup membiayai segala kebutuhan adiknya di rumah sakit jiwa. Saat itu aku bahkan sempat putus asa dan membawanya menempati sebuah kontrakan di daerah pinggiran. Namun, karena kondisi gangguan kejiwaan Mama yang terkadang masih sulit dia kendalikan, Mama pun kabur saat kutinggal kerja paruh waktu. Aku kelabakan mencarinya sampai 2 x 24 jam hingga menemukannya tengah jadi tontonan saat mandi di kali tanpa sehelai pun pakaian.
Hatiku nyeri. Serasa ditusuk ribuan jarum panas yang langsung diangkat dari arang yang membara, ketika mendapati wanita yang begitu kucinta ditertawakan dan dipermalukan depan umum tanpa dia sadari.
Ketika kesabaranku mulai tandas, saat itulah semua terbongkar. Hal yang membuat Mama begitu terguncang dan ada di posisi sekarang. Tante Sarah, satu-satunya kerabat kami yang tersisa juga saksi hidup Mama menceritakan semua yang terjadi sembilan belas tahun lalu. Saat kebahagiaan dirampas keserakahan dan nafsu binatang. Kedudukan sebagai ratu pun digulingkan, semua miliknya direbut paksa, lalu dia dibuang tanpa perasaan.
Talak dijatuhkan, perceraian disahkan. Semua orang menutup mata saat wanita malang itu meraung-raung di depan gerbang mengabarkan tentang janin yang tumbuh tanpa disadarinya. Fitnah keji dilontarkan, teriakan menghinakan mengudara. Wanita itu pun berakhir gila.
Ya, semua kekejian itu dialami Nita Safitri, ibu kandungku.
Satu-satunya hal yang kusayangkan di sini adalah ... aku terlahir dari rahim wanita yang begitu rapuh dan tak berdaya. Wanita yang bertekuk lutut atas nama cinta hingga rela mengorbankan segalanya. Segala yang dia punya untuk lelaki yang bahkan tak bisa disebut manusia.
Terkadang aku sering membayangkan bagaimana rasanya diperlakukan sebagai seorang anak sesungguhnya. Merasakan hangatnya dekapan Ibu atau menyenangkannya bercanda dengan Ayah. Namun, sayang semua itu hanya angan yang harus ditelan kejamnya realita kehidupan. Pada kenyataannya, aku hanya anak yang tak diinginkan.
Namun, tragedi itulah yang membuatku bangkit, hingga akhirnya ada di posisi ini.
Hanya ini yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kehormatan Mama. Meski caranya salah, tapi aku tak akan menyerah sebelum para iblis itu musnah.
Kusambar tas sama seperti yang sudah dikenakan kemarin di atas gantungan. Sejenak menatap barang-barang mahal yang selama ini hanya kujadikan pajangan di dalam etalase pojok kamar.
Semua itu pemberian para Sugar Daddy-ku tanpa diminta. Aku menerimanya, tapi tak pernah menggunakannya. Satu-satunya pemberian mereka yang kupakai hanya uang. Itu pun hampir semua kugunakan untuk kebutuhan Mama, sebagian lagi untuk biaya kuliah.
Karena aku melakukannya bukan untuk memenuhi gaya hidup, tapi untuk kebutuhan hidup yang harus kupenuhi.
***
Motor matix berwarna biru terparkir di halaman belakang Rumah Sakit Jiwa Barokah. Kulepas helm dan jaket yang melekat, lalu berjalan menuju bangsal Mama.
Beberapa perawat dan keluarga pasien menyapaku saat kami berpapasan. Aku mengenal hampir seluruh crew di rumah sakit ini. Tak heran memang, aku lahir dan tumbuh di sini. Elea bahkan nama yang diberikan salah satu dokter yang menangani Mama. Sementara Kenanga kebetulan adalah Bunga kesukaan Mama.
Miris, bukan? Nama yang seharusnya diberikan seorang Ayah, justru dipersembahkan orang lain sebagai bentuk keprihatinan.
Tiba di bangsal Mama, dahiku mengernyit saat tak mendapati beliau di sana.
Jangan-jangan Mama masuk ruang isolasi lagi? Kebetulan di sini beliau termasuk pasien dengan gangguan jiwa berat yang paling sering membuat keributan.
"Sus, Mama di mana, ya?" Kuhentikan langkah Suster Yuyun yang baru saja hendak berjalan ke arah taman.
"Ah, kebetulan Mbak Lea. Ini baru mau ke tempat Bu Nita, udah saatnya mandi. Beliau lagi ada di taman. Lagi makan coklat."
Dahiku mengernyit. "Coklat, siapa yang kasih, Sus?"
"Loh, Mbak Lea masa baru tahu. Seminggu sekali, kan Bu Nita dikunjungin Babang Tampan. Dia suka datang bawa macam-macam makanan, kadang dibagikan ke suster-suster yang lain. Cuma sama Mbak Lea, Bu Sarah, terus Babang itu doang loh Mama Mbak mau diajak bicara. Ya, walaupun nggak nyambung juga."
"Sebentar!" Aku menginterupsi ucapan Suster Yuyun.
"Ya?" Dengan polosnya dia mengerjapkan mata dan menunggu ucapanku tanpa peduli dengan pernyataannya yang membuatku cukup tercengang.
Babang Tampan? Berarti seorang lelaki. Sejak kapan?
"Siapa yang izinin Mama dikunjungi orang lain selain saya dan Tante Sarah, Suster!" bentakku tanpa sadar.
Suster Yuyun ternganga. "Ng, itu, anu ...."
"Suster Yuyun!" Suara lain tiba-tiba menginterupsi. Kulihat Suster Dini yang bertugas mengawasi Mama berjalan cepat menghampiri kami.
Sebelum tersenyum kikuk ke arahku dia sempat mencubit lengan Suster Yuyun.
"Saya yakin Suster Dini mungkin tahu jawabannya. Suster, kan yang lebih banyak habiskan waktu dengan Mama. Jadi, kasih tahu saya siapa orang yang dimaksud!"
Kulihat Suster Dini menelan ludah.
"Ng, anu. Sebenarnya saya juga nggak tahu, Mbak Lea. Beliau nggak pernah kasih tahu kita siapa namanya. Tapi, seinget saya orangnya tinggi kekar, kadang brewokan, umurnya sekitar akhir tiga puluh atau awal empat puluhan. Kulitnya cokelat terang, dan ganteng kebangetan. Mirip-miriplah sama Hamish Daun, suaminya Rais--"
"Hamish Daud," koreksi Suster Yuyun sembari menyenggol lengan teman seprofesinya.
Aku terdiam. Dalam benakku hanya ada satu orang tersangka sekarang.
Yaitu Om Lian.
.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!