NovelToon NovelToon

The Detective And The Doctor

Ghani dan Alexandra

New York, Amerika Serikat

Seorang dokter cantik berjalan terburu-buru menuju bagian belakang rumah sakit. Wajahnya terlihat tegang meskipun tidak mengurangi kecantikannya.

"Aku sudah datang!"

Seorang dokter tua berusia sekitar 60 tahunan menoleh. "Lakukan autopsi secara detail Alex. Karena korban kecelakaan ini bukan orang sembarangan."

"Siapa dia grandpa?" tanya gadis yang dipanggil Alex itu sembari memakai baju operasi untuk menutupi sweaternya.

"Stanley Miller, anak Joseph Miller."

Alex mengangguk.

Top priority case berarti ini!

Alex memakai topi operasi, sarung tangan media dan mempersiapkan bisturi atau pisau bedah. Sebelumnya dia hendak melakukan pemeriksaan luar sebelum korban dibersihkan.

Alex memfoto kondisi korban sebagai arsip yang disimpan dan juga alat bukti jika dibutuhkan di ruang sidang. Setelah lengkap membuat foto seluruh tubuh dengan dibantu sang kakek.

"Kecelakaan dimana dia grandpa?" tanya Alex sambil masih memeriksa tubuh Stanley Miller.

"Broadway."

Alex meraba leher Stanley dan merasakan tulangnya patah. "Fraktur cervical."

Dr Robbins, pria tua itu hanya mengangguk sambil menulis. "Wajar tulang lehernya patah. Dia ngebut dengan Ferrari nya."

"Siapa korban tabrakannya?"

Dr Robbins membaca laporan polisi yang dikirimkan oleh Tyson Smith, petugas yang disana.

"Sopir bernama Sam Denver dan penumpangnya seorang pianis berkebangsaan Indonesia, namanya Rhea Giandra."

Scalpel yang dipegang Alex terjatuh. "Giandra?"

"Apa maksudmu Rhea Giandra itu saudaranya detektif Ghani Giandra?" tanya Dr Robbins.

"Setahuku Rhea adalah adiknya Ghani. Oh my God! Bagaimana keadaannya?"

"Grandpa belum tahu. Alex, konsentrasi dulu. Ambil darah Stanley, kalau grandpa rasa dia minum alkohol banyak karena badannya saja bau minuman keras."

Alex memeriksa wajah Stanley yang rusak sebagian. "Tidak hanya alkohol, Grandpa. Ini aku menemukan bubuk kokain di hidungnya."

"This is getting better and better, Lex" komentar Dr Robbins.

Alex dan Dr Robbins lalu mulai membersihkan tubuh Stanley sebelum dibedah untuk memeriksa organ dalamnya.

***

Ghani mondar mandir di rumah sakit menunggu Rhea selesai di operasi sedangkan Duncan hanya terdiam seperti tidak bernyawa. Hatinya benar-benar remuk redam mengetahui sang tunangan harus mengalami kecelakaan mengerikan sehari sebelum mereka melakukan lamaran secara resmi.

James Park dan Tyson Smith menemui Ghani setelah pria itu meminta ijin pada Abi dan Dara untuk memeriksa kasus kecelakaan.

Dan semua pihak pun sepakat untuk tidak menuntut Joseph Miller karena dia sendiri mengalami kejadian yang lebih parah dari Sam Denver dan Rhea. Dia harus kehilangan anak.

***

Sidang Sam Denver

Ghani masuk ke ruang sidang bersama Daddy dan keluarga Duncan. Dalam hatinya, dia cukup terkejut melihat bagaimana Oom Edward saling mengobrol dengan para mafia di New York yang notabene beberapa orang menjadi incaran para petugas NYPD yang menyelidiki kasus perjudian dan minuman keras. Namun Ghani tidak mau ambil pusing karena dirinya masuk ke tim detektif pembunuhan bukan kasus mafia.

Abi menepuk tangan Ghani ketika Stephen Blair memanggil Dokter Alexandra Cabbot masuk ke dalam ruang sidang sebagai saksi ahli yang mengautopsi Stanley Miller agar diketahui kondisi akhir pria itu apakah sebagai tersangka atau korban.

Dia cantik lho G! Abi menuliskan kalimat itu di kertas karena mereka harus tenang di ruang persidangan.

Ghani hanya melirik judes ke Daddynya yang sepertinya ketularan Oom Edward berusaha menjodohkan dia dengan dokter yang mulutnya sepedas cabe Jalapeno.

"Anakku bukan pecandu!" teriak Joseph Miller.

Hakim Rachel Wood sampai harus menegur Joseph Miller di ruang persidangan.

"Alkohol dan kokain lah yang membuat korban Mr Stanley Miller seharusnya tidak duduk di belakang kemudi karena efeknya akan fatal." Alexandra Cabbot menatap dingin ke arah Joseph Miller. "Anak anda adalah pecandu narkoba dan alkoholik. Hasil pemeriksaan saya bisa dipertanggungjawabkan, Mr. Miller" ucap Alexandra Cabbot dengan sorot mata dan wajah dingin.

Untuk pertama kalinya, Ghani terpana melihat keberanian dokter jalapeno di depannya.

Dia keren sekali!

Alexandra Cabbot kemudian turun dari kursi saksi dan hendak berjalan diantara kursi para penonton sidang.

Ghani melirik ke arah Joseph Miller yang tampak begitu marah hingga matanya memerah ingin menghajar Alexandra. Tanpa sengaja mata elang Ghani melihat Joseph memakai knuckle di tangannya.

Bagaimana itu bisa lolos metal detektor?

Joseph pun berdiri dan hanya berjarak dua orang dari posisi Alexandra hendak keluar. Tiba-tiba dia hendak meninju Alexandra. Ghani yang duduk di kursi paling pinggir dan dekat dengan lorong jalan, langsung meraih tubuh Alexandra. Akibatnya pukulan Joseph Miller mengenai bagian belakang kepala Ghani dan membuat pria itu kehilangan kesadarannya lalu keduanya ambruk dengan posisi Ghani diatas tubuh Alexandra.

Abi yang kaget melihat anaknya ambruk langsung meraih tubuh Ghani dan betapa terkejutnya melihat belakang kepala anaknya berdarah.

Joseph Miller langsung ditahan oleh Raymond Ruiz dan James Park yang melihat kejadian itu.

"G! G! Bangun son!" teriak Abi.

"Saya tahan pendarahannya dulu Mr Giandra" ucap Alexandra yang sudah hilang shocknya. Gadis itu mengambil saputangannya dan menahan sisi kepala Ghani yang sobek akibat pukulan knuckle.

Petugas paramedis pun datang dan Alexandra memberitahukan apa yang terjadi lalu dia ikut ke dalam ambulans.

"Kami ke Bellevue" ucap Alexandra kepada Abi memberitahukan rumah sakit yang dituju.

Abi, Edward dan Duncan lalu mengikuti mobil ambulance yang membawa Ghani. Abian, Joshua, Stephen dan Neil Blair lalu melanjutkan sidang meskipun sang penuntut harus ditahan oleh pihak kepolisian karena penyerangan kepada saksi ahli dan anggota kepolisian NYPD.

***

Kini di ruang rawat Ghani, sudah berkumpul Abi, Duncan dan Dr Alexandra Cabbot untuk makan malam berupa pizza dan camilan kentang goreng.

Usai makan pizza, Alexandra pun berpamitan. Abi dan Duncan menawarkan untuk mengantarkan dokter cantik itu namun ditolak.

"Saya membawa mobil sendiri kok Mr Giandra, Mr Blair. Don't worry, sudah terbiasa." Alexandra mulai membereskan bawaannya.

"Are you sure Dokter C?" tanya Ghani dengan nada mengejek.

"Biasanya juga saya ke kamar mayat berangkat sendiri juga. Siapa yang suka kirim mayat korban pembunuhan malam-malam?" pelotot Alexandra.

"Hei, bukan aku yang kirim ke kamar mayat ya! Salahkan itu para pembunuh kenapa harus bunuh orang malam-malam! Emang enak baru saja tidur langsung dapat panggilan ke TKP?" balas Ghani.

Abi dan Duncan hanya menyaksikan pertengkaran mereka berdua sambil ngemil kentang goreng.

"Bilang sama calon pembunuh, suruh siang saja kalau mau ambil nyawa orang!"

"Kalau aku tahu siapa calon pembunuh, dunia aman sejahtera! Tahu nggak!" omel Ghani.

Kedua orang itu saling memandang dengan sengit lalu saling membuang muka.

Abi dan Duncan melongo melihat sikap kedua orang itu.

"Kalian kapan pacarannya?" tanya Duncan usil.

"Haaaahhhh?" seru Ghani dan Alexandra.

***

Yuhuuu Up perdana Yaaaa

Thank you for reading and support author

Don't forget to like vote n gift

Tararengkyu ❤️🙂❤️

First Met

Dua Bulan sebelum Rhea kecelakaan

Ghani dan Raymond Ruiz mendatangi kamar mayat forensik guna mengetahui korban pembunuhan yang sedang mereka tangani. Dua detektif tampan itu datang ke kantor koroner untuk bertemu dengan dokter Robert Robbins yang biasa dipanggil Dr Robbins.

Sesampainya disana, Ghani mencari dokter yang sudah berusia lanjut namun masih energik meskipun harus memakai kruk karena kakinya kecelakaan waktu masih muda.

"Dok Robbins" panggil Ghani sedangkan Raymond masih melihat-lihat para dokter muda yang bekerja disana.

"Sebelah sini Giandra."

Ghani pun masuk ke ruang autopsi dan tampak Dr Robbins sedang memeriksa korban pembunuhan Ghani dan Raymond.

Namun dia tidak sendirian. Ghani mengernyitkan alisnya yang hitam demi melihat seorang gadis berambut coklat dengan wajah dingin disana sedang menuliskan sesuatu.

"Siapa dia?" tuding Ghani dengan dingin. Ada ya cewek cantik berani masuk ruang autopsi dengan baju model begitu! Mana bibirnya merah lagi! Salah ruangan atau gimana sih?

"Giandra, dia cucu ku. Seorang dokter forensik juga namanya Alexandra Cabbot." Dr Robbins meminta Alexandra untuk berkenalan dengan Ghani. "Alex, itu detektif Giandra dan detektif Ruiz."

"Hai. Aku Alex. Senang berkenalan dengan kalian" ucapnya lalu kembali menulis.

Ghani melongo sedangkan Raymond mengerjap-kerjapkan matanya tidak percaya.

"Whoah! Bro, baru kali ini ada cewek yang tidak terpesona dengan kita!" kekeh Raymond.

"Matanya perlu diperiksakan ke dokter kayaknya" sahut Ghani asal.

Alexandra pun berdiri dan berjalan menuju Ghani.

"Mataku bagus! Tidak perlu diperiksakan ke dokter mata! Lagian apa sih bagusnya kalian kalau nantinya juga akan terdampar di meja stainless dingin seperti korbanmu!" sergah Alexandra memandang Ghani judes.

"Heh! Kamu doain kita mati terus kamu autopsi gitu? Benar-benar deh!" Ghani membalas menatap mata hazel itu. "Lagipula aku nggak yakin kalau kamu cucu Dr Robbins. Mulutmu pedas seperti jalapeno!"

"Kamu kira mulutmu nggak pedas? Ibumu sebenernya ngidam apa sih waktu hamil kamu?"

"Jangan bawa-bawa mommyku!" balas Ghani.

"Ternyata kamu tuh anak mommy juga ya?" sinis Alexandra.

"Kalau iya kenapa? Mommy adalah wanita hebat di mataku!"

Keduanya masih adu pandang dengan galak.

"Giandra! Alexandra! Sudah! Kalian tuh baru pertama kali ketemu kok sudah berantem!" tegur Dr Robbins. "Sudah! Alex, duduk dan segera selesaikan laporan forensiknya."

Alexandra mendengus di depan Ghani dan langsung berbalik dengan mengangkat wajahnya. Samar-samar Ghani mencium parfum berbau green tea yang menyegarkan.

Raymond Ruiz hanya menahan tawanya melihat partnernya untuk pertama kalinya bertengkar dengan perempuan. Biasanya Ghani paling malas ribut dengan perempuan meskipun membuatnya jengkel.

"What's going on with you bro?" kekeh Raymond Ruiz.

"Dunno" jawab Ghani apa adanya.

"Oke detektif, ini hasil autopsi korban pembunuhan kalian. Korban tewas karena dicekik dan aku sudah mengambil sidik jari yang tertinggal." Dr Robbins menyerahkan hasil foto yang diperbesar menunjukkan sidik jari disana.

"Pihak CSI juga sudah mengambil beberapa bukti seperti DNA, beberapa kotoran di tangan dan sebuah kertas yang digenggam korbanmu."

"Jadi kalian menunggu hasil sidik jari pelaku dari pihak CSI. Ohya, korban kalian dalam kondisi hamil sepuluh Minggu dan aku sudah mengambil DNA dari janin disana dan kalian tinggal mencari siapa ayah bayi itu."

"Aku rasa pria itu yang membunuhnya" gumam Raymond.

"Kita ke lab CSI sekarang. Siapa tahu sidik jarinya sudah muncul sembari menunggu hasil tes DNA." Ghani pun berpamitan ke Dr Robbins. "Thanks Dok. Bye cewek jalapeno."

Raymond hanya tertawa melihat wajah judes Alexandra Cabbot sedangkan Dr Robbins hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa sih dia, Grandpa?" tanya Alexandra.

"Namanya Ghani Giandra, orang Indonesia yang bekerja di NYPD. Dia sudah punya green card jadi bisa masuk. Dia cerdas, Lex. Lulusan Harvard Law School tapi memilih menjadi detektif."

"Aku nggak suka gayanya. Nyebelin!" sungut Alexandra.

"Mungkin kaget lihat kamu cantik begitu jadi ngawur ngomongnya" kekeh Dr Robbins.

"Menyebalkan!"

***

Ghani menunggu hasil pemeriksaan sidik jari di ruang CSI yang berada diatas kamar mayat. NYPD sengaja membuat gedung yang menjadi satu ruang autopsi dengan ruang forensik jadi memudahkan para petugas kepolisian untuk mendapatkan hasil forensik guna menunjang penyelidikan.

"Giandra, ini hasil sidik jarinya." Mac Tyler memberikan berkas kepada Ghani sedangkan Raymond sedang ke ruang DNA.

"Thanks Mac." Ghani pun membuka berkas dan terkejut melihat hasilnya. "Ini nggak salah kan Mac?"

Petugas CSI Mac hanya mendengus kasar. "G, aku sudah sepuluh tahun di CSI. Track record ku bagus!"

Ghani nyengir. "Hanya memastikan Mac, jangan marah."

"Dasar anak sekarang!" omel Mac.

"Ini kan bossnya Mac! Oke thanks. Akan aku tangkap dan kubawa ke ruang interogasi."

"Aku rasa dia membunuh gadis malang itu karena hamil. Partner mu sedang ke ruang DNA kan? Taruhan dua cangkir kopi, dia pembunhnya."

Ghani tertawa. "Dasar! Thanks Mac! Aku mau ke partnerku dulu."

"Anytime G!" sahut Mac yang masuk ke ruang steril untuk memeriksa kasus lainnya.

Ghani mendapatkan Raymond yang sedang merayu ahli DNA bernama Mary Stewart untuk mempercepat penyelidikan.

"Please Mary, seperti di film-film itu lho dalam waktu beberapa jam langsung nongol hasilnya" rengek Raymond.

"Nggak bisa seperti itu Ray" ucap ahli DNA berusia 40 tahun itu. "Giandra, seret partner mu ini! Bikin pusing aku saja!"

Ghani tertawa. "Sorry Mary, dia memang begitu." Lalu dia menyeret Raymond untuk ikut dengannya.

"Sidik jari sudah cukup untuk mendapatkan tersangka Ray." Ghani pun menyerahkan berkas hasil sidik jari yang diberikan Mac Tyler.

"Bossnya?"

"Kemungkinan besar begitu. Kita bawa sekarang ke markas dan interogasi dia."

"Berangkat!" seru Raymond.

***

Ghani menikmati kopi di tangannya. Hari ini sangat melelahkan karena proses penangkapan boss korban sempat membuatnya harus membanting pria itu.

Seperti dia dan Raymond duga, pria itu ketakutan ketika selingkuhannya hamil dan hendak memberitahukan pada istrinya. Dia takut istrinya tahu dan akan menceraikannya karena selama ini istrinya yang membiayainya.

Lagi-lagi alasan klasik untuk membenarkan pembunuhan. Hasilnya apa? Toh istrinya tetap menceraikannya dan dia dipenjara.

Di sini, di Starbucks, Ghani menenangkan otak dan fisiknya. Dia sangat menyukai pekerjaannya tapi terkadang dia lelah jika orang terus menerus melakukan kejahatan.

Tiba-tiba matanya melihat seseorang yang dikenalnya.

Dokter Jalapeno.

Ghani tersenyum smirk. Cantik-cantik pedes!

Alexandra yang merasa dipandangi pun mencari-cari siapa yang memandang dirinya. Wajahnya menjadi kesal melihat siapa yang berada di sudut cafe.

Detektif anak mama!

Alexandra memutar matanya malas. Kok bisa ketemu disini sih! Dengan banyaknya counter Starbucks di Manhattan. Manis tapi nyebelin.

Ghani dan Alexandra saling memandang namun setelah itu keduanya sama-sama membuang muka.

***

Yuhuuu Up Malam Yaaaa

Thank you for reading and support author

Don't forget to like vote n gift

Tararengkyu ❤️🙂❤️

Sial!

Pasca insiden di gedung pengadilan...

Ghani masih berkutat di meja kerjanya untuk membuat laporan kasus pembunuhan yang berhasil mereka pecahkan. Ghani teramat bersyukur karena CCTV banyak membantu mereka menangkap pelaku kejahatan.

"Giandra!" panggil Kapten Briscoe.

"Yes kap!" sahut Ghani dengan masih menulis laporan.

"Masuk!"

Ghani pun meletakkan bolpoinnya lalu masuk ke dalam ruangan kaptennya.

"Tutup pintunya Giandra." Ghani pun menutup pintu ruangan kapten Briscoe. "Duduk!"

Ghani pun duduk di depan meja kerja kapten Briscoe.

"Begini Giandra, FBI meminta seluruh jajaran kepolisian di Amerika Serikat untuk mengirimkan kandidatnya untuk pendidikan disana. Nanti selama pendidikan dua tahun, kamu bisa kembali ke NYPD atau bergabung dengan FBI. Aku mengirimkan lima kandidat dan salah satunya kamu. Jadi dalam waktu dekat akan dilaksanakan seleksi dari lima kandidat yang aku ajukan."

Ghani melongo. "FBI?"

Kapten Briscoe mengangguk. "So? Setuju ikut seleksi?"

"Yes kap!"

"Good. Nanti kamu diberitahu jadwal seleksinya."

Ghani pun mengangguk lalu keluar dari ruang kapten Briscoe.

***

"Kamu kenapa dipanggil si kapten?" tanya Raymond.

"Disuruh ikut seleksi ke FBI."

Raymond Ruiz menghentikan pekerjaannya dan menatap Ghani. "Seriously bro?"

Ghani mengangguk. "That's a big step!"

"I know Ray. Cuma untuk lolos atau nggak, aku belum tahu."

"Aku yakin kamu lolos G."

"Semoga, karena aku tertarik bekerja di BAU."

***

Alexandra masih berkutat untuk mengautopsi seorang korban overdosis heroin. Meskipun sudah tahu pria itu meninggal over dosis, tetap saja pihak NYPD memintanya untuk mengautopsi karena ada hal yang ganjal.

Suara Elly Duhè terdengar di ruang autopsi itu. Alexandra memang tidak suka ruang autopsi sepi.

"Tie me tie me down" senandungnya sambil mengeluarkan organ dalam korban. Dengan telaten Alexandra menimbang hati, ginjal, jantung serta memeriksa paru-paru.

"Look mister, mau bagaimana pun kami juga bakalan mati enam bulan lagi melihat kondisi jantung dan ginjal mu ini." Alexandra hanya tidak paham kenapa orang suka sekali menggunakan heroin atau kokain padahal itu malah merusak kesehatan.

"Tuhan memberikan kamu tubuh dan organ tubuh yang sehat tanpa kekurangan apapun tapi engkau malah merusaknya. Itu namanya nggak bersyukur."

Alexandra masih saja berkutat sambil memarahi seonggok tubuh yang sudah terbuka semua.

"Bahkan lambungmu sampai rusak begini?" Alexandra masih ngedumel.

"Wait a minute. Ini seharusnya tidak berada disini."

Alexandra mulai mengambil sebuah peluru BB yang berada di dalam lambung. "Kok kamu bisa disini?"

"Ada apa Alexandra?" tanya Dr Robbins yang baru saja datang.

"Aku menemukan peluru BB yang ada di lambung pria yang overdosis ini grandpa."

Dr Robbins mengerenyitkan alisnya. "Peluru BB?" Pria tua itu kemudian membuat gerakan seolah sebuah pistol masuk ke dalam mulutnya. "Apa kemungkinan seperti ini?"

Alexandra mengangguk. "Suhu hati menunjukkan dia meninggal kurang dari 24 jam tapi untuk mengetahui apakah dia mati akibat peluru BB atau overdosis, masih aku cari. Karena aku baru menemukan pelurunya."

"Ayo grandpa bantu."

"Terima kasih Grandpa."

***

Ghani menatap Alexandra dan Dr Robbins setelah membaca laporan hasil autopsi yang mereka lakukan.

"Meninggal karena penembakan peluru BB dari mulut hingga membuat lambung terluka lalu disuntikan heroin dosis tinggi?"

Ghani memeriksa lagi laporan lalu menatap keduanya.

"Peluru BB?"

"Peluru BB" ulang Dr Robbins sedangkan Alexandra hanya memandang dingin ke arah Ghani.

"Aku tidak menemukan pistol BB di TKP." Ghani tampak berpikir.

"Tanpa harus disuntikan heroin pun, orang itu juga akan meninggal dalam waktu enam bulan" sahut Alexandra. "Organ tubuhnya sangat-sangat buruk."

Ghani menatap Alexandra. "Bibir Jalapeno mu emang pedes ya dr Alexandra."

"Besok lagi kalau bawa mayat, jangan yang selalu ketemu kamu, detektif Giandra. Risih kupingku setiap saat kamu bilang aku bibir Jalapeno!" Alexandra menatap tajam Ghani yang dibalas sama dengan pria itu.

Dr Robbins hanya tersenyum. "Lama-lama aku nikahkan kalian!" kekeh Dr Robbins.

"AAAPPAA???" seru keduanya.

***

"Peluru BB? Peluru BB?" seru Raymond. "Tapi kita tidak menemukan pistol BB disana, G."

"Sepertinya kita harus memeriksa ulang TKP Ray. Ayo kita berangkat kesana."

Keduanya pun berangkat ke sebuah apartemen di daerah Bronx dan masuk ke dalam setelah sebelumnya melepaskan police line bewarna kuning.

"Uh baunya!" umpat Raymond sambil menutup hidungnya sedangkan Ghani langsung memakai sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari.

"Lemari sudah kita bongkar kan kemarin Ray?" tanya Ghani sambil membuka lemari baju yang baunya seperti baju busuk hampir dua Minggu tidak dicuci.

"Sudah! Aku dan Susan, anggota CSI yang membongkar sembari mencari barang bukti."

Ghani mulai memeriksa satu persatu sisi-sisi di lemari itu setelah menyingkirkan baju-baju bau itu. Dirasakannya ada satu sisi lemari yang agak berbeda dan pria itu mengeluarkan pisau lipatnya lalu mencongkelnya.

"Ray!" teriaknya.

"What?" Raymond pun menghampiri Ghani. "Whoah!" Ternyata di dalam lemari itu ada ruang rahasia.

Tampak disana ada dua bungkus bubuk putih kokain sekitar satu kilo dan pistol. Raymond mengeluarkan kantong plastik untuk barang bukti lalu memasukkan dua bungkus kokain dan kantung satu lagi untuk pistol BB.

"Kok aku nggak Nemu ya kemarin?"

Ghani hanya terkekeh. "Kamu dan Susan saling ribut bau baju yang aduhai jadi nggak teliti."

Keduanya lalu memeriksa lagi di dalam lemari rahasia itu dan menemukan sebuah buku hitam disana. Ghani membuka buku itu dan terdapat catatan tentang transaksi narkoba.

"Pria ini makin membuat kepalaku pusing!" umpat Raymod.

"Sudah. Kita bawa semua barang bukti ke tim di lab CSI. Tampaknya akan makin dalam kita menyelidiki, semakin kita harus bekerja sama dengan unit narkoba."

Raymond memasukkan barang bukti itu kedalam kantong kertas dan keduanya keluar dari TKP dan menguncinya.

Ketika mereka hendak masuk ke dalam mobil, Ghani dan Raymond melihat sebuah mobil sedan melintas melewati mereka dan mengeluarkan senjata otomatis.

"Ray! Menunduk!" Ghani dan Raymond lalu berlindung di balik mobil mereka sedangkan dari dalam mobil itu suara micro Uzi ditembakkan.

Ghani dan Raymond memegangi kepala mereka sedangkan orang-orang disana lari kocar-kacir berusaha berlindung dari tembakan membabi-buta mobil sedan itu.

Setelahnya mobil itu tancap gas dan melarikan diri. Ghani dan Raymond tidak bisa melihat plat nomor polisinya tapi mereka melihat ada CCTV jalan disana.

"Apakah ada casualties?" Ghani melihat di sekelilingnya sedangkan Raymond sudah meminta bantuan dari markas.

Ghani melihat seorang wanita tergeletak terkena tembakan dan dia tewas.

"Damn it!" umpatnya.

"G, di sebelah sana juga ada casualties. Seorang anak kecil." Raymond menunjuk sesosok tubuh kecil yang tergeletak.

Ghani semakin lemas.

***

Yuhuuu Up Siang Yaaaa

Maaf agak telat hari ini coz Eike kurang tidur demi menyelesaikan Rain supaya lolos kontrak.

Kalau Ghani penuh adegan action atau berbau-bau forensik yaaa dimaklumi. Kasih input ya suka ga genre begini?

Eniwaiii thank you for reading and support author

Don't forget to like vote n gift

Tararengkyu ❤️🙂❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!