"Saaaah!"
Satu kata yang terdengar begitu merdu di telinga Anggika Purnamasari saat dirinya resmi dan syah secara agama menjadi seorang istri tepat dua tahun yang lalu.
Kata itu adalah kata kunci untuk memulai hubungan halalnya bersama sang suami yang merupakan teman semasa sekolahnya.
Tapi, saat ini kata itu terdengar miris di hatinya, membuatnya merasakan ribuan luka yang teramat seperti mendapat serangan bertubi-tubi dari benda tajam saat suaminya tiba-tiba menjatuhkan talak padanya.
Hanya karena banyak ngidamnya, padahal ngidam buah cinta hasil pernikahan yang dimulai dengan cinta, suaminya itu tega menalak dan mengusirnya.
Salahkah seorang wanita yang tengah hamil muda mengidam?
Salahkah jika seorang wanita yang tengah hamil muda tidak bisa mengontrol apa saja yang sedang ia ingin makan?
Hati Gika--sapaannya, mencelos saat mendengar sebuah kata yang tidak pernah terpikirkan olehnya keluar dari mulut suaminya.
"Aku talak kamu! Aku tidak sudi menuruti kemauanmu yang aneh-aneh dengan alibi calon anak yang ada di kandunganmu! Silahkan keluar dari kontrakanku. Di sini aku yang bayar, bukan kamu."
Kalimat serta tatapan tajam itu terngiang di telinga dan pikiran Gika saat kini ia berjalan menyusuri pinggir jalan raya untuk mencari tempat berlindung untuk sementara.
Hati dan pikirannya yang terus berperang, tidak memberanikan ia untuk kembali ke rumah orang tuanya yang berbeda kota dengan kota yang ditinggalinya sekarang.
Karena suaminya, ia berkorban demi cintanya agar bisa hidup bersama dengan meninggalkan kedua orang tuanya, bahkan tak menganggapnya ada.
Ya, Gika menikah dua tahun lalu dengan wali hakim dan tega meniadakan Ayah kandungnya yang masih hidup untuk menjadi wali nikahnya dengan alasan tidak bisa hadir karena sedang bekerja di luar kota.
Gika memang gila. Julukan itu yang mungkin pantas kini disandingkan untuknya.
Gika gila karena cinta.
Gika gila karena ingin hidup bersama orang yang dicintainya.
Gika gila mengorbankan perasaan kedua orang tuanya yang pasti teramat kecewa karena keputusan sepihak darinya.
Gika gila karena sekarang ia menjadi gelandangan setelah ditalak dan diusir oleh suami yang dicintainya.
Apa ini karma untuknya? Kalau iya.. Bagaimana ia bisa menebusnya? Sedangkan pulang ke tempat dimana orang tuanya tinggal saja dia tidak punya nyali.
"Hikhikhik.. Bunda.. Ayah.. Maafin Gika. Maafin semua salahnya Gika, Bun.. Yah." gumam Gika di sela isak tangisnya.
"Aku harus kemana sekarang. Aku pengen makan gethuk, tapi beli dimana?" Gika bermonolog dengan terus berjalan menyusuri pinggir jalan raya seraya mengusap perutnya.
Usia kandungan Gika baru berjalan dua bulan, sehingga perut Gika belum terlihat membuncit, masih datar seperti anak perawan.
"Jiah! Merah!" keluh seorang pengendara motor setelah menekan rem saat melihat traffict light berwarna merah.
Keluhan seorang pengendara motor itu mengalihkan dunia Gika yang sedang termenung sendiri pada dunia nyata yang ada di depannya.
Ia pun buru-buru menghapus jejak air matanya, lalu menoleh ke kiri di mana mobil dan motor sedang menunggu traffict light berganti warna hijau karena kebetulan ia sedang berjalan di sebelah kanan jalan.
Tatapan Gika seolah biasa bagi yang melihatnya, sebagian dari mereka mengartikan jika Gika mungkin seorang perantau yang mau mudik ke kampung halaman karena menggendong sebuah ransel yang cukup besar.
Sebagian dari mereka mengartikan jika Gika merupakan orang yang kehilangan arah karena setelah menoleh pada mobil dan motor, wanita itu menghadapkan dirinya lurus pada barisan motor dan berbagai jenis mobil yang mengantri dan mengarahkan kakinya menuju sebuah mobil truck makanan ringan yang berhenti di barisan ke lima.
Ceklek~~~
Gika tanpa dosa membuka pintu truck yang tidak sengaja tidak dikunci oleh Arkana Maheswara--Arka, karena melihat Arka sedang memakan gethuk--makanan yang ia idam-idamkan.
Air liur Gika hendak menetes saat melihat Arka menggigit gethuk itu dengan nikmatnya.
Dan..
"Minta!" pintanya manja dengan binar bahagia di matanya.
Arka yang sedang memakan gethuk dengan melihat barisan mobil mengantri di depannya seketika terlonjak saat mendengar suara seorang wanita di sampingnya.
"Kamu siapa? Keluar dari mobilku. Enggak sopan banget masuk mobil orang sembarangan." bentak Arka yang membuat Gika langsung menangis.
"Aku mau gethuk itu." lirih Gika dengan menundukkan pandangannya.
"Gethuk?" Arka mengernyitkan dahinya, lalu sedetik kemudian tersadar dan melihat pada tangannya yang masih memegang setengah potong gethuk. "Enggak bisa. Ini punyaku. Kalau mau ya beli."
"Memang belinya di mana?" Gika dengan polosnya bertanya.
Dalam usia yang seharusnya dia masih bebas bisa bermain bahkan kuliyah, ia malah menikah, lalu hamil dan sekarang ditalak suaminya.
"Enggak tahu." ketus Arka, lalu tanpa sadar laki-laki itu membiarkan Gika tetap berada di dalam mobil trucknya saat traffict light berganti warna hijau dan mobil di belakangnya sudah membunyikan klakson agar truck yang dikendarainya cepat berjalan.
"Kasih tahu dimana belinya biar aku bisa beli. Aku sedang sangat menginginkannya." ujar Gika dengan menoleh kaca jendela di sebelahnya.
"Aku tidak tahu belinya dimana. Kamu kan bisa cari lokasi penjual gethuknya lewat mesin pencarian canggih di internet. Jaman sekarang kok gaptek." sindir Arka dengan tanpa sadar tetap mengizinkan Gika berada di dalam trucknya.
"Kamu sendiri yang katanya enggak gaptek enggak tahu kan aku tanya dimana penjualnya." skak Gika yang membuat Arka menoleh sekilas lalu mengembungkan pipinya kesal.
"Kamu mau ke mana? Kamu siapa sebenarnya? Kenapa enggak juga turun dari truck aku?" Arka pun bertanya saat mereka kembali berhenti di traffict light yang berwarna merah guna mengalihkan pembicaraan yang membuatnya kesal.
Wanita yang sedang duduk di sampingnya ini bisa memutar balikkan perkataannya.
"Aku Gika. Aku lagi pengen makan gethuk. Aku lagi cari gethuk. Antarkan aku mencari penjual gethuk." jawab Gika yang membuat Arka tiba-tiba menghela napasnya.
Arka yang malas berdebat dan sempat melihat mata Gika yang sembab, akhirnya melajukan terus trucknya ke arah dimana basecamp-nya berada.
"Turun!" titah Arka saat mereka sudah berhenti di basecamp di mana Arka dan teman-temannya berada.
Arka tidak tahu jika inisatifnya membawa wanita ke basecamp-nya akan merubah statusnya karena kedua orang tuanya tengah menunggunya.
Menginjak usia kepala tiga, Kedua orang tua Arka memang kerap kali mendatangi Arka agar laki-laki itu mau merubah mindset-nya dan cepat menikah.
Melainkan karena Arka merupakan anak pertama, tapi juga kedua orang tua itu ingin segera menggendong cucu.
Apalagi pergaulan sosialita ibu-ibu jaman sekarang, semua teman arisan Anita--Mama Arka sudah bisa menggendong cucu dan dia sendiri yang selalu menjadi bahan ledekan karena belum mempunyai cucu.
Alasan sepele itulah yang membuat Anita selalu mengajak suaminya hampir setiap hari mengunjungi Arka agar mau secepatnya menikah dan memberikannya cucu seperti teman-teman arisannya.
"Aku mau gethuk." Gika menolak halus dengan menatap tautan jemarinya.
"Aku masih punya setengah di dalam. Itu boleh buat kamu, tapi kamu harus langsung pergi dari sini." jelas Arka yang membuat Gika yang awalnya menunduk kini mendongak dengan binar bahagianya, tapi tidak bisa menyembunyikan mata sembab dan bengkaknya.
Tanpa dibantu Arka, Gika turun dari truck dengan tetap menggendong ranselnya lalu membuntuti Arka masuk ke dalam basecamp-nya yang kebetulan terlihat sepi.
"Masuk." titah Arka saat melihat Gika sudah mencapai daun pintu masuk basecamp-nya.
"Enggak apa-apa aku masuk?" Gika dengan takut-takut bertanya, bagaimanapun ia takut laki-laki yang baru ditumpangi trucknya itu mempunyai niat yang tidak-tidak dengannya.
"Kamu mau gethuknya enggak?" ketus Arka yang membuat Gika akhirnya mau tidak mau masuk ke dalam basecamp-nya.
Sesampainya di dapur, Arka pun membuka tudung saji yang di dalamnya ada setengah porsi gethuk yang masih tersisa.
"Ini buat kamu." ketus Arka dengan memberikan setengah porsi gethuk dengan Gika yang berdiri di depannya.
Kedua orang tua Arka yang tengah menunggu di kamar Arka pun bangkit lalu berjalan menuju dapur di mana ia mendengar suara Arka.
Dan..
"Ada apa ini?" tanya Anita pada Arka, lalu saat ia berjalan ke depan Arka barulah ia melihat jika ada seorang wanita cantik dengan mata sembabnya berdiri di depan Arka dengan menggendong ransel.
"Ya Tuhan.. Arka.. Arka anak Mama.. Ini wanita yang kamu cintai, Sayang? Ah.. Betapa bahagianya hati Mama.. Besok kalian harus menikah ya. Enggak bisa ditunda lagi. Harus." ujar Anita dengan wajah sumringahnya yang membuat Arka dengan cepat menggeleng untuk menolaknya.
"Pa.. Arka besok mau menikah. Ini calon mantu kita, Pa." teriak Anita memanggil Husni--suaminya dengan tawa bahagianya.
"Dia bukan wanita yang aku cintai, Ma. Dia--" ucapan Arka terpotong saat jari telunjuk Anita menempel di bibirnya.
"Mama tidak mau kamu menyangkal lagi, Ar. Kamu belum pernah membawa wanita masuk ke dalam basecamp-mu. Dan pernikahan kalian akan tetap dilaksanakan besok."
"Tapi, Ma--"
"Tidak ada tapi-tapian, kamu membawanya ke sini, berarti kamu mempunyai niat di baliknya. Lebih baik kalian cepat menikah agar halal dalam melakukannya." tegas Anita dengan senyuman khasnya.
"Nama kamu siapa, Sayang?" Anita pun bertanya pada Gika.
"Anggika Purnamasari, Tante." jawab Gika dengan menunduk.
"Boleh Tante melihat isi ranselmu?" Anita pun dengan lihainya merayu calon menantu dadakannya.
Dengan raut bingung dan terpaksa, Gika pun mengangguk lalu membolehkan Anita membuka ranselnya.
Anita mengotak-atik isi ransel Gika untuk mencari sesuatu yang berguna untuk mendaftarkan pernikahan Gika dan Arka pada Kantor Urusan Agama.
Setelah mendapatkannya, tanpa meminta izin dari Gika, Anita pun mengambilnya lalu menaruhnya ke dalam tas dengan wajah puas.
"Kalian akan menikah besok." putus Anita lalu menarik tangan Husni mengajaknya ke luar dari basecamp Arka dengan raut wajah bahagianya.
"Ini semua gara-gara kamu. Aku enggak bisa nikah sama kamu. Aku aja enggak kenal siapa kamu." teriak Arka dengan menunjuk wajah Gika lalu menyugar rambutnya ke belakang.
"Aku juga enggak mau menikah sama kamu. Tapi berkas berhargaku diambil Mamamu. Ini semua gara-gara gethuk ini. Kenapa kamu nyuruh aku masuk ke dalam sih buat ngasih gethuk aja. Apa jangan-jangan kamu memang menjebakku ya?" Gika dengan beraninya membalikkan lagi perkataan Arka.
Padahal dalam hatinya ia mengesah, ia bingung harus bagaimana.
"Aku menjebakmu? Gila ya kamu. Yang ikut mobil truck aku siapa. Yang enggak mau turun siapa. Yang merengek terus minta gethuk siapa." teriak Arka tidak terima.
"Ya maaf. Aku cuman pengen makan gethuk kok. Aku sama sekali enggak ada niatan kayak gitu." Gika pun merasa bingung dengan posisinya sekarang.
"Hah!" Arka pun marah karena ia tidak bisa membantah perkataan Mamanya, juga tidak bisa mengusir Gika, dan sedetik kemudian ia pun masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintunya.
"Kenapa jadi begini?" gumam Gika dengan berjalan gontai menuju kursi tunggal yang ada di depan TV di base camp Arka, memikirkan nasibnya ke depannya.
Bukan hanya gara-gara gethuk semata, tapi karena kecerobohannya yang langsung masuk truck Arka yang menyebabkan kesalahpahaman ini terjadi.
Lalu bagaimana caranya agar ia bisa menolak pernikahan dadakan yang diputuskan sepihak oleh Mama Arkana?
Tanpa terasa.. Karena lelah yang melingkupinya, Gika jatuh terlelap memasuki alam mimpinya saat ia masih berkutat memikirkan hal yang bisa membatalkan permintaan sepihak dari Mama Arkana.
Bersambung...
"Saaaaahhh! Saaaahh!"
Kata itu terdengar lagi di telinga Gika tapi dengan suasana berbeda.
Berbeda.. Karena dia menikah bukan hanya secara agama saja, tapi juga secara negara.
Berkali-kali Gika meneteskan air mata saat menyalami tangan laki-laki yang kini jadi suami syahnya.
Apalagi terdengar di telinga Gika jika Arkana berkali-kali mengembuskan napas kasar karena juga terpaksa.
Arkana juga sama sekali tidak pernah mengajaknya berbicara setelah hari itu, karena laki-laki itu tidak bisa menentang keinginan Anita.
Mereka berdua terjebak pernikahan karena Gika yang menginginkan gethuk, dan seakan semesta sedang mendukung pertemuan keduanya, hingga Arkana lah yang mempunyai gethuk yang sedang diinginkan oleh Gika.
Kondisi Gika yang sedang berbadan dua membuatnya didera perasaan bersalah paling dominan pada laki-laki di depannya.
Ia tidak berani jujur, tapi juga tidak berani membatalkan permintaan Anita saat melihat binar bahagia di mata Anita.
"Apa yang harus aku lakukan? Mereka tidak bertanya statusku, mereka berpedoman pada berkas berhargaku. Lalu aku harus bagaimana?" kata-kata itu selalu berteriak dalam hati Gika saat keesokan harinya ia terbangun dan mendapati Anita bersama Husni mengatakan padanya jika akan melamarnya pada kedua orang tuanya.
Dan benar adanya karena kali ini, Kakak kandungnya lah yang menjadi wali nikahnya karena Ayahnya sedang sakit setelah ditinggal pergi olehnya dan tidak bisa ikut ke Jakarta untuk menjadi wali nikahnya.
Penjelasan itu ia dengar sendiri dari mulut Anita.
Kata "syah" itu terdengar lagi di telinga Gika setelah tiga hari ia tinggal di base camp Arka bekerja.
Ya, pernikahan Gika memang diundur beberapa hari oleh Anita karena wanita yang telah melahirkan Arkana ke dunia itu menginginkan mengenal calon besannya.
Berbekal berkas berharga milik Gika, Anita bersama Husni terbang dari Jakarta menuju kota Semarang di mana orang tua Gika berada untuk melamar Gika terlebih dahulu dengan baik.
Arman--Kakak kandung Gika dari sejak pagi sampai di Jakarta dan setelah kini selesai acara ijab qobul adiknya pun tidak mau sama sekali bertanya pada adiknya.
Hatinya masih teramat kecewa namun sebenarnya juga bingung dan ingin sekali bertanya pada Gika tentang kenapa adiknya 'baru' menikah, padahal adiknya itu pergi dari rumah sudah dua tahun yang lalu.
Dan yang paling tidak dimengerti oleh Arman adalah laki-laki yang menjadi suami adik kandungnya itu bukanlah laki-laki yang dulu mengajak adiknya pergi.
Arman tahu wajah mantan suami Gika dari poto yang dipajang Gika di meja nakas sebelah ranjangnya, tapi belum tahu jika Gika sebelumnya sudah pernah menikah.
Pun Gika yang ternyata belum berani mengatakan yang sebenarnya.
"Selamat. Semoga pernikahan kalian langgeng dan selalu bahagia." ujar Arman sembari menjabat tangan Arkana, lalu berjalan pergi tanpa menghiraukan tatapan nanar berisi sebuah kerinduan teramat besar dari Gika--adiknya.
Bahkan Arman tidak mau mengucapkan selamat pada Gika, karena kekecewaan teramat yang dirasakannya dan lagi.. Ia berada disini karena ditugaskan oleh Ayahnya untuk menjadi wali nikah adiknya agar adiknya itu bisa menikah.. Bukan untuk menemui adiknya, apalagi menanyakan kabarnya.
"Mas!" panggil Gika yang membuat Arman menghentikan langkahnya, dan seketika menoleh pada Gika seakan bertanya 'ada apa.'
"Mas mau kemana?" Gika pun bertanya akhirnya, setelah Arman tak jua menanyainya.
"Pulang."
"Ke Semarang?" Gika dengan bodohnya bertanya lagi.
"Iya. Ke mana lagi memangnya." jawab Arman dengan datarnya, yang membuat Gika akhirnya mengangguk pasrah membiarkan Kakaknya itu pergi.
Arkana yang melihat interaksi 'tak biasa' antara Gika dan Arman yang seperti bermusuhan pun mengernyitkan dahinya, namun juga malas untuk bertanya.
Seharian penuh acara pernikahan Arkana dan Gika dilangsungkan, bahkan malam harinya masih ada resepsi hingga pukul sepuluh malam.
Tanpa lelah dan seakan bayi yang ada di dalam kandungannya mendorongnya untuk melakukan itu, Gika sama sekali tak mengenal capek untuk membalas uluran jabat tangan para tamu yang hadir yang memberi ucapan selamat padanya, bahkan acap kali berpoto bersama.
Sesekali Gika menoleh pada Arkana yang sama sekali tidak mau menatapnya sedari tadi, terkecuali saat laki-laki itu mengecup pucuk kepalanya sesaat setelah ijab qobul dilangsungkan sebagai tanda halalnya mereka sebagai pasangan.
Itupun dilakukan Arkana hanya sekilas, karena tidak mau salah sasaran kecupan. Menurut Gika saat itu.
"Ar.." panggil Gika pelan saat kakinya terasa pegal.
Berjam-jam lamanya berdiri terus menerus dan duduk hanya untuk makan dan istirahat untuk membuang sesuatu yang terasa penuh di kandung kemihnya, membuat Gika akhirnya juga merasakan letih yang teramat.
Tak membohongi jika dia wanita yang sedang hamil muda yang ingin dimanja, sengaja memanggil Arkana agar laki-laki itu melihat kakinya yang lecet terkena high heels yang dipakainya dan mau menggendongnya turun dari panggung pelaminan menuju kamar Arka yang ada di base camp-nya.
Ya, karena cuman ada satu kamar di base camp Arka dan Gika sangat ingin merebahkan pinggangnya yang terasa pegal di kasur empuk milik Arkana.
Namun, sepertinya Arkana masih enggan menjawabnya. Bahkan saat acara sudah selesai, Arkana melengos begitu saja dari hadapan Gika dan langsung turun dari panggung tanpa mempedulikan panggilan Gika.
"Huft!" Gika mengembuskan napas kasar melihat reaksi Arkana padanya.
"Kenapa, Gika?" Anita dengan perhatiannya bertanya, karena memang yang terlihat begitu menyayangi Gika hanyalah Anita--yang merupakan pihak perempuan dari Arkana.
Bukan Husni tak menyayangi Gika, tapi laki-laki paruh baya itu tahu batasan antara mertua laki-laki dan menantu perempuan.
"Enggak apa-apa, Ma. Kaki aku cuman lecet." jawab Gika dengan memperlihatkan kakinya yang lecet pada Anita.
Anita melihatnya, lalu seketika memanggil Arkana yang sudah hampir mencapai daun pintu masuk base camp-nya.
Ya, mereka melangsungkan acara akad nikah dan resepsi pernikahan Arkana dan Gika di pelataran base camp Arkana.
Pelataran yang biasanya digunakan untuk parkir truck-truck pengangkut makanan ringan itu pada malam hari.
"Arka!" seru Anita yang tidak mampu menghentikan langkah Arkana karena sengaja Arkana menulikan pendengarannya.
"Arka!" seru Anita lagi yang kali ini dihentikan oleh Husni, suaminya.
"Biarkan Arka, Ma. Mungkin dia tidak dengar dan capek." Husni berusaha bersikap bijak, lalu beralih menoleh pada Gika. "Lebih baik kamu menyusul Arka, Nak. Dia mungkin sudah ada di kamarnya."
"Mama dan Papa?" Gika pun bertanya, karena sejujurnya ia belum berani tinggal berdua dengan Arka.
Pengunduran hari pernikahan kemarin memang membuat Anita mempekerjakan seorang wanita paruh baya yang rumahnya ada di dekat base camp Arka untuk menemani Gika tidur di depan televisi dengan beralaskan kasur.
Dan malam ini, malam pertama Gika akan tinggal berdua dengan Arkana yang telah syah menjadi suaminya.
"Mama dan Papa harus pulang ke rumah. Kalian 'kan sudah menikah. Kalian butuh privasi agar kalian bisa secepatnya memberikan Mama cucu." Anita yang menjawab dengan binar bahagianya yang membuat Gika menelan salivanya lekat.
"Cucu?" batin Gika berperang dengan logikanya yang ingin mengatakan jika ia tengah berbadan dua, tapi bukan anak dari Arkana.
Tapi, saat melihat Husni dan Anita yang saling melempar kata dengan penuh pengharapan besar, Gika pun mengurungkan niatnya.
Ia pun berpikiran untuk lebih dulu jujur pada Arkana tentang dirinya yang tengah berbadan dua dan mencoba mengajaknya berbicara.
Bersambung...
"Pagi, Ar.." sapa Gika saat melihat Arka masuk ke dalam dapur, tempat ia sedang meracik segelas teh panas untuk Arka.
Semalam, niatnya ingin jujur dengan Arka ternyata gagal karena Arka mengunci pintu kamarnya dari dalam dan ia pun harus terpisah saat malam pertamanya menjadi pasangan suami istri dengan Arka.
Kepercayaan diri yang sudah dipupuk begitu tinggi oleh Gika untuk berkata jujur pada suaminya itu pun tidak bisa terealisasikan hingga pagi menjelang.
Bahkan sekarang Arka terlihat diam tak menanggapi, laki-laki itu langsung mengambil gelas bersih yang tersedia di dekat tudung saji lalu menuangkan air mineral dari teko yang sudah tersedia hingga gelas yang diambilnya penuh terisi dengan air, lalu meneguknya hingga tandas tanpa menghiraukan sapaan dari Gika.
"Ini teh panas buat kamu, Ar." Gika mengangsurkan segelas teh panas yang tadi dibuatnya pada Arka, demi baktinya menjadi seorang istri.
Pengalamannya yang sudah pernah menikah walaupun dalam usia yang masih terbilang muda, membuat Gika mencoba memberi perhatian agar Arka mau menganggapnya ada dalam menjalani rumah tangga.
Lagi.. Arka tak menganggapnya ada. Dan Gika pun tidak bisa menahan rasa kecewanya saat Arka sama sekali belum mau menatapnya.
Laki-laki itu terlihat membuka kitchen island-nya lalu mengambil sebungkus mie instant dengan telur, lalu mengambil pancinya dan menuangkan air sedikit untuk merebus lalu menyalakan kompor tanpa menghiraukan ujaran Gika.
Sakit hati? Mungkin itu yang kini dirasakan oleh Gika.
Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya diam dalam menghadapi keterdiaman Arka.
Bukan salah Arka jika laki-laki itu kini mendiamkannya.
Bukan salah Arka juga jika laki-laki itu kini tak menganggapnya ada.
Dia.. Yang ceroboh masuk ke dalam truck yang Arka kendarai.
Dia.. Yang memaksa meminta gethuk yang memang bukan haknya pada Arka dan memaksa Arka memberikannya, walaupun mereka belum pernah kenal sebelumnya.
Dia.. Juga yang membuat Arka tiba-tiba menikah dengannya dengan keputusan sepihak dari Mamanya.
"Aku udah masak oseng kangkung sama tempe goreng, Ar. Kalau kamu mau sarapan." ujar Gika lagi begitu pelan walaupun Arka dari tadi belum mau sama sekali mendengar perkataannya, menghiraukan keberadaannya dan menyahut setiap kata yang dilontarkannya.
Arka tetap konsisten dalam keterdiamannya, laki-laki itu tidak menjawab ujaran Gika, juga tidak berniat memakan masakan wanita yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Perempuan yang tiba-tiba saja datang ke kehidupannya, dan sialnya perempuan itu adalah perempuan yang dipaksakan oleh Mamanya untuk dinikahi olehnya.
Kesialan yang sungguh rumit kan? Itu yang ada dalam pikiran Arka saat ini.
Bertahun-tahun ia bisa menyakinkan Papa Mamanya jika ia bisa move on dari kekasihnya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar darinya.
Alasan yang dipakai Arka untuk menyembunyikan alasan sebenarnya.
Bertahun-tahun ia bisa menolak keinginan Mamanya yang ingin menjodohkannya dengan banyak wanita yang telah disiapkan oleh Mamanya.
Tapi, dalam beberapa hari ini setelah kesialan karena ia tidak sengaja ingin memberikan gethuk pada wanita yang dengan tidak tahu diri naik ke dalam truck yang ia kendarai karena melihat matanya yang sembab dan bengkak, wanita yang sedari tadi berdiri di sampingnya ini mampu merubah semuanya.
Merubah tatanan kehidupan yang ia rancang dengan apik, dengan tatanan dadakan serba baru yang belum bisa dimengertinya.
Baiklah, wanita ini memang dari kemarin pagi sudah syah jadi istrinya.
Tapi.. Apa Arka bisa begitu saja menerimanya?
Apa Arka bisa begitu saja menganggapnya ada setelah kesialan yang terjadi di hidupnya karena wanita yang ada di sampingnya?
Rasanya semuanya sulit bagi Arka.
Dia bukan tipe laki-laki yang gampang menerima wanita baru dalam hidupnya.
Merasa Arka tidak membalas ujarannya, Gika pun menghela napasnya lalu duduk di kursi yang tersedia di dapurnya.
Mengambil piring bersih yang sudah ditata rapi olehnya, lalu mengambil secentong nasi beserta lauk untuk Arka.
"Ini sarapan buat kamu, Ar. Udah aku siapin." ujar Gika dengan menoleh pada Arka, tapi lagi-lagi Arka mengacuhkannya.
Laki-laki itu terlihat sibuk mengaduk mie instant yang sedang direbus bersama telur dan sama sekali tidak menoleh bahkan mengangguk untuk menjawab ujaran Gika.
Gika pun diam mencoba melebarkan harapan dengan mengusap dadanya untuk menerima perlakuan Arka yang belum mau menghiraukannya.
Wanita cantik itu mengambil piring untuk dirinya sendiri, lalu ditaruhnya sedikit nasi dan lauk yang sudah dimasaknya, lalu kembali duduk di kursi untuk sarapan pagi bersama Arka.
Tepat saat Gika baru saja duduk di kursi, Arka pun sedang menumpahkan mie yang sudah matang pada mangkuk yang disediakan sendiri olehnya.
Gika mencoba tetap tersenyum saat mendapati Arka berbalik badan hendak makan di meja yang sama dengannya.
Namun, seketika senyum itupun sirna saat Arka memilih untuk tidak duduk di dekatnya melainkan pergi ke depan televisi lalu duduk di sana dan terlihat menikmati mie yang tadi direbusnya dengan menonton serial televisi kesukaannya, dan lagi tak menghiraukan keberadaannya dan perkataannya sedari tadi hanya dianggapnya omongan kosong belaka.
Atau mungkin lebih tepatnya, Arka hanya menganggapnya angin lalu.
"Apa begini rasanya berumah tangga dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kenapa semua ini terasa begitu hampa?" gumam Gika dengan tetesan air mata yang tanpa sadar terjun bebas membasahi wajah cantiknya.
Wanita itu mencoba tegar dengan memakan sarapan hasil karyanya seorang diri di dapur yang terasa begitu sepi.
Sedangkan Arka, laki-laki itu terlihat seperti santai memakan makanannya tanpa terganggu dengan suara isakan tertahan yang terkadang tak sengaja keluar dari bibir Gika.
Beberapa menit berlalu, Gika pun keluar dari dapur setelah mencuci piring bekas sarapannya, dan menutupi makanan yang sudah disiapkan olehnya untuk Arka dengan tudung saji yang tersedia.
Lauk yang dimasak pun ia simpan di almari khusus yang ada di dapur itu agar jika Arka kekurangan lauk, Arka bisa mengambilnya sendiri.
Pelan-pelan, Gika berjalan mencoba mendekati Arka yang terlihat sudah menghabiskan makanannnya.
Wanita itu baru saja akan duduk di kursi tunggal yang tersedia tepat di samping Arka untuk berkata jujur tentang keadaannya yang tengah berbadan dua.
Bagaimanapun, rasanya tidak adil jika Arka belum mengetahui keadaannya.
Apalagi, pasti nanti Arka akan menuduhnya menjebaknya atau membohonginya.
Kalaupun Arka akan menalaknya, mungkin Gika akan menerimanya karena memang ia telah membohongi Arka walaupun itu tidak terniatkan olehnya.
Tapi, dalam waktu tiga hari yang diberikan oleh Anita saat Mama mertuanya itu pergi ke kota dimana orang tuanya berada bseharusnya waktu itu bisa dimanfaatkan oleh Gika untuk berkata jujur dengan Arka bukan?
Gika mengesah dalam hati memikirkan kejujuran yang akan ia ungkapkan pada Arka.
Tapi, lagi-lagi harapannya untuk berkata jujur dengan Arka seakan sirna saat baru saja ia duduk di kursi yang sama dengan Arka, laki-laki itu kontan berdiri tanpa menoleh pada Gika dan membawa mangkuk bekas makanannya tadi menuju dapur base camp-nya.
"Arka.." panggil Gika pelan saat Arka sedang mencuci mangkuk bekas makanannya.
Wanita berbadan dua itu tak berniat mengambil mangkuk itu lalu mencucikannya untuk Arka, tapi wanita itu hanya berniat meluruskan tentang keadaan sebenarnya pada Arka yang telah syah menjadi suaminya.
"Aku cuma mau bilang sama kamu soal keadaan aku sebenarnya." gumam Gika melanjutkan perkataannya walaupun Arka tak menyahut sedikitpun.
"Aku menginginkan gethuk yang kamu makan kemarin.. Karena aku.. Aku.. Aku sedang hamil muda dan aku sedang mengidamkan gethuk itu Arka."
"Maaf kalau aku belum pernah berkata jujur tentang keadaanku sebelumnya, tapi kamu selalu mengunci dirimu di kamar dan aku tidak bisa menjelaskannya sebelum kita menikah." lanjut Gika dengan menunduk, lalu sedetik kemudian ia pun berbalik badan hendak pergi ke depan televisi karena merasa telah mengataka hal yang ingin ia katakan pada Arka.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!