NovelToon NovelToon

Duren Sawit

prolog (Revisi)

Pengenalan karakter dalam cerita.

Rianti.

Seorang remaja yang nyaman dalam kesederhanaan, tidak suka mencari ribut apalagi sensasi. Hanya ingin mengalir seperti air, tenang dan damai, dirinya ingin hidup seperti itu. Rianti sendiri mempunyai paras yang lumayan cantik, beralis tebal, hidung mancung dan pipi yang sedikit tirus. Hanya saja tidak percaya diri. Kuper ( kurang pergaulan) mungkin itu sebutan yang pas untuk dia sandang. Dengan postur badan yang kecil, cenderung pendek serta rambut lurus sebahu, dirinya sering dikira siswi SMP. Kesal? Tentu saja, dianggap anak dibawah umur itu menyakitkan.

Sopan santun, itulah yang selalu tertanam dalam benak Rianti. Karena ayahnya, Ady Gustiawan yang berprofesi sebagai guru sering menasehatinya akan pentingnya sikap itu. Sikap yang akan membuat kita tentram, karena dengan bersikap sopan akan membuat orang lain nyaman.

Rianti sendiri adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Kakak sulungnya bernama Reka. Berumur 24 tahun yang sekarang menjadi guru honorer di sekolah tempat ayah mereka mengajar. Lalu Riko 21 tahun yang sekarang sedang kuliah di luar negeri. Sedangkan adik-adik Rianti bernama Reza , Rosi, dan ada si bungsu, Roni.

Shinta.

Dia adalah sahabat sepermainan Rianti, teman setia sedari kecil. Gadis periang, suka tersenyum dan selalu optimis. Hobinya nonton drama Korea dan berkreasi dengan alat make up.

Shinta sendiri adalah gadis yatim piatu. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil saat umurnya baru dua tahun. Dan semenjak saat itu, ia diasuh oleh paman dan bibinya yang rumah mereka tidak jauh dari kediaman keluarga Rianti. Sebab itulah mereka begitu akrab. Menjadi soulmate satu sama lainnya.

Shinta bersyukur mendapat keluarga yang sangat baik dan begitu menyayanginya. Hingga Shinta merasa bukanlah seorang keponakan di sana.

Setelah lulus SMA, Shinta memutuskan pergi merantau bersama Rianti untuk bekerja di kota Semarang, meninggalkan kampung halaman mereka yang ada di Jogja. Disaat yang lain sibuk mendaftar di berbagai universitas, mereka malah sibuk mencari pekerjaan. Meskipun tidak bisa berkuliah, mereka tetap bahagia dengan keputusannya.

Ardi Mahendra Abbas.

Adalah seorang duda tampan dan gagah berusia 32 tahun, bertubuh ideal dengan tinggi badan 180 cm. Ia berprofesi sebagai dosen di Universitas Harapan di kota Semarang. Selain menjadi dosen, ia juga sesekali membantu sang ayah mengurus perusahaan. Walaupun kaya, tapi Ardi tidaklah sombong, malah terkenal dermawan dan baik hati. Tak heran, begitu banyak wanita yang ingin mendapatkan gelar sebagai nyonya Ardi Mahendra Abbas.

Keseharian Ardi begitu sunyi. Selalu melewati hari dengan tenang tanpa keributan. Ia selalu saja sendiri, membaca buku, mengajar, kekantor, dan sesekali menjenguk ayahnya.

Mahendra Abbas.

Adalah ayahnya Ardi. Mahendra adalah seorang pengusaha yang berkecimpung di dunia perhotelan. Dengan kemampuan yang mumpuni, dirinya berhasil membuat hotel bintang tiga milik keluarganya menjadi hotel berbintang lima. Mahendra juga seorang duda. Istrinya meninggal sejam setelah Ardi dilahirkan. Walaupun tanpa kehadiran sang istri, Mahendra tetap menjadi orang tua yang baik. Selalu menanamkan norma-norma agama dan selalu menyayangi anak semata wayangnya itu.

Veno Damian Sanjaya.

Ia adalah sepupunya Ardi. Umurnya sudah menginjak 30 tahun tapi masih betah melajang. Ia tidak ingin menikah karena merasa menikah itu merepotkan. Veno sendiri bertubuh tinggi, putih, dan hidung mancung. Dengan hanya bermodalkan tampang ia selalu mendapatkan wanita yang menjadi incarannya. Bahkan dirinya tak keberatan ketika teman-temannya memberikan gelar playboy padanya.

Andra.

Adalah sepupu Shinta, pria sederhana yang baru pulang dari luar negeri. Ia bahkan mendapat gelar Doctoral degree.

****

Di suatu malam di kota Jogja, terlihat sepasang suami istri yang sedang duduk di teras. Mereka adalah orang tua Rianti.

Ady Gustiawan dan Dewi. Tampak raut kesedihan yang terukir di paras mereka yang sudah mulai menua.

"Pak, ibu rindu Riri," ujar Dewi. Riri adalah nama panggilan dari Rianti.

"Sudah enam bulan dia pergi merantau, Ibu khawatir, Pak. Tidak ada yang mengurus makan dan memperhatikan kesehatannya di sana." Dewi berucap seraya menahan air mata yang siap tumpah. Perasaan was-was selalu menghampiri, apalagi anak gadisnya itu sama sekali tidak pernah jauh dari mereka.

"Insya Allah tidak akan ada apa-apa, Bu. Kita berserah kepada Allah, kita berdoa biar Riri dan Shinta baik-baik saja. Lagipula, mereka merantau karena keinginan mereka sendiri. Bukankah Ibu juga yang mengizinkan mereka pergi," ucap Ady mencoba menenangkan istrinya itu. Direngkuhnya tubuh lemah Dewi dengan sebelah tangan. Mendekapnya dengan erat.

"Kita percaya saja pada mereka, Bu. Kita juga sudah sering ngajarin dan nasehatin Riri, tentang mana yang baik mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram. Semoga dia di sana selalu di jauhkan dari marabahaya," tambah Ady lagi

"Iya, Pak. Mudahan anak gadis kita baik-baik saja, dan selalu ingat nasehat dari ibu ...."

Ady dan Dewi sama-sama terdiam. Bergelayut dengan pikiran masing-masing. Menatap langit malam yang tak berbintang. Menikmati angin sejuk yang menerpa kulit.

"Riri minggu depan ulang tahun, 'kan?" tanya Ady menengahi lamunan Dewi.

"Besok coba Ibu telepon dia, suruh pulang, kita rayakan ulang tahunnya sama-sama," sambung Ady lagi.

Dewi terdiam, mencoba mengingat tanggal kelahiran Rianti. Dan beberapa detik kemudian matanya langsung membelalak lebar dan refleks memukul dahinya sendiri. "Oalah ... iya ya. Lupa Ibu, Pak."

Ady tersenyum, memahami sifat pelupa Dewi. Karena selain umur yang sudah tak muda lagi, kesibukan Dewi sebagai ibu rumah tangga dengan enam anak bukanlah lelucon. Adi salut akan itu. Dirinya beruntung dan selalu bersyukur karena mempunyai istri super seperti Dewi. Walaupun hubungan mereka bermula bukan dari cinta, tapi tetap saja, jika Ikhlas, rasa cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya.

"Oh iya, Reka udah pulang belum, Bu? Tadi izin sama bapak katanya mau keluar sebentar untuk nge-print soal-soal ulangan untuk besok." Pandangan Adi kembali terarah ke langit malam. Ada kabut kesedihan di bola matanya.

"Udah, Pak. Sekarang mungkin dia lagi tidur di kamar," jawab Dewi sambil membereskan mainan Roni yang berserakan di lantai.

Ady lagi-lagi termenung memikirkan Reka, anak sulungnya itu. Di usia Reka sekarang seharusnya sudah mempunyai calon suami dan sudah waktunya untuk menikah. Namun, setiap ditanya soal pacar, Reka hanya diam dan langsung mengalihkan pembicaraan.

"Bu, bagaimana kalau kita cariin jodoh buat Reka." Ady menatap serius pada Dewi yang sedang membereskan mainan.

"Kenapa, Pak? Umur Reka baru 24 tahun lho, biarkan saja dulu, Pak. Kalo udah ketemu jodohnya ya ... pasti bakalah nikah kok, jadi gak perlu di jodoh-jodohin segala," jawab Dewi sambil kembali duduk.

Ady mengembuskan napas panjang. "Bapak kok rasanya aneh aja, Bu. Reka itu gak kayak gadis lain. Kerjanya cuma di kamar mulu, dia keluar kamar kalo mau makan sama mau ke kamar mandi aja. Gimana mau dapat jodoh kalo gitu, Bu?" Ady usap wajah gusarnya dengan sebelah tangan. Menyalirkan rasa frustrasi yang kembali mencuat.

"Sabar, Pak. Rejeki, maut dan jodohkan sudah ada yang atur."

"Tapi Bapak pengen cepet nimang cucu. Guru-guru yang lain udah pada nimang cucu semua, giliran bapak kapan, Bu?" Ady kembali menghela napas.

Dewi hanya tersenyum mendengar keluh kesah suaminya itu. Sebenarnya dia juga menginginkan seorang cucu. Tapi mau bagaimana lagi. Anak sulungnya itu terlalu pasif, kurang lebih Rianti yang lebih memilih diam daripada berbicara panjang lebar.

"Ya udah lah Pak, masuk dulu yuk, udah malam," ajak Dewi sambil berdiri dan menggandeng tangan suaminya untuk masuk kedalam rumah. Ady pun ikut masuk lalu mengunci pintu.

****

Kalau suka mohon like, vote dan komentar ya. Tinggalin jejak di setiap bab-nya. Tanpa jempol kalian apalah daya author receh ini.

in the kost (Revisi)

Suara derap sepatu yang membentur lantai terasa jelas masuk ke indra pendengaran. Membuat Rianti mau tak mau menyudahi mimpi dan kembali ke dunia nyata. "Jam berapa sekarang?" Suara serak Rianti menghentikan aktifitas Shinta yang sedang merias diri.

"Jam enam," jawab Shinta tanpa melihat Rianti. Ia masih asyik menatap diri di cermin, menjepit bulu matanya menggunakan ayelas curler.

"Hmm ...." Membetulkan posisi, duduk sebentar sekedar mengumpulkan tenaga, kemudian mulai berjalan dengan sempoyongan menuju kamar mandi dengan handuk yang sudah terkalung di leher.

Lima menit berselang. Rianti keluar dengan wajah segar.

"Cepet amat mandinya, Neng."

"Ngapain di sana lama-lama, aku bukan kamu loh ya, yang betah lama-lama di kamar mandi. Mandi aja udah kaya orang lagi semedi," celetuk Rianti santai.

Shinta hanya tersenyum kecil, mendengar ledekan dari sahabatnya itu sama sekali tidak membuatnya sakit hati. Ia pun kembali melanjutkan aktifitasnya, merias wajah biar terlihat lebih cantik.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Rianti sudah siap untuk berangkat kerja. Ia sudah rapi dengan seragam kerja yang pas di tubuh dan rok hitam selutut. Manis, ditambah riasan wajah yang natural, membuatnya terlihat lebih cantik. Tidak lupa juga ransel hitam kecil menempel di punggung, tempat menyimpan mukena, peralatan make up, dompet, handphone, dan tak ketinggalan pula pembalut, jaga-jaga kalau tamu bulanannya datang.

"Ayo kita berangkat, aku udah siap, nih," kata Rianti yang sudah berdiri di belakang Shinta.

"Tunggu bentar, aku sisiran dulu," jawab Shinta tanpa menoleh ke arah Rianti. Menyisir rambut panjangnya yang tergerai kemudian meletakkan bando berwarna pink di atas kepala.

"Oke. Yuk, kita berangkat," ajak Shinta sembari tersenyum, terlihat jelas lesung pipi yang makin menambah kecantikannya. Shinta lalu meraih tas di atas meja, kemudian menghampiri Rianti yang berada di belakangnya.

Melihat wajah cantik dan ceria sahabatnya itu juga berimbas pada ekspresi Rianti. Bahagia, itu yang Rianti rasa.

Tiba-tiba Shinta hentikan langkah. "Ya salam, aku lupa pake parfum," ujar Shinta sembari menepuk jidat. Ia keluarkan botol parfum dengan cepat dari dalam tas dan menyemprotkannya dari kepala hingga kaki. Membuat ruangan mendadak dipenuhi aroma stroberi.

Astaga, ni anak ribet banget sih, mau kerja aja udah kayak mau pergi kondangan. Rianti membatin dengan perasaan agak dongkol. Memencet hidung, tak sanggup menghirup parfum yang begitu menyengat.

Shinta yang menyadari perubahan sikap dan ekpsresi Rianti, tersenyum kikuk. Ia rangkul cepat bahu temannya itu seraya menjawel hidungnya. "Udah ... jangan cemberut, entar cantiknya hilang dipatok ayam."

"Beghh ... pribahasa dari siapa itu?" Masih memasang wajah cemberut, Rianti perlihatkan ketidaksukaanya.

"Hehehe ... dari aku dong," sahut Shinta cengengesan, memonyongkan bibirnya sedikit, membuat Rianti tak tahan menahan tawa lebih lama.

Pertemanan yang terjalin sudah dari kecil membuat mereka menjadi nyaman dan aman bila bersama. Walaupun perselisihan selalu ada, tapi tetap tidak bisa menggoyahkan hubungan yang sudah terjalin. Pribadi Rianti yang penyabar dan Shinta yang supel membuat keduanya saling bergantung antara satu dan yang lainnya.

"Yaudah, yuk kita berangkat," ucap Rianti setelah mengunci pintu, menggandeng lengan Shinta dengan erat, dan berjalan saling melempar senyuman. Lupa bahwa beberapa detik yang lalu sempat berselisih.

Kost tempat mereka tinggal adalah kost khusus putri, terdiri dari 6 pintu, dan bisa diisi 2 orang di setiap kamar. Pemilik kost adalah seorang wanita paruh baya bernama Anita. Janda baik hati yang selalu melemparakan senyum ramah pada siapa saja.

Tibalah mereka di depan garasi.

"Pagi ini kamu aja yang bonceng aku, ya. Aku lagi gak enak badan," pinta Rianti, menyerahkan kunci ke telapak tangan Shinta yang sudah terbuka.

"Emangnya kamu kenapa? Sakit?" Shinta menyentuh dahi Rianti dengan punggung tangan. Perasaan was-was menghantuinya seketika itu juga. "Gak panas, kok," tandasnya lagi, mengernyitkan dahi.

"Ya enggak lah. Aku 'kan gak demam." Rianti mendengkus kesal, menjauhkan tangan Shinta dari wajahnya. "Ayo, berangkat sekarang."

Di sepanjang perjalanan, Rianti yang duduk di belakang Shinta terlihat sedikit resah. Pikiran berkecamuk tatkala teringat dengan mimpi buruknya semalam. Dalam mimpinya, ia dikejar ular yang sangat besar dan melilit kaki kirinya. Dirinya berteriak histeris, meminta pertolong pada orang-orang yang melihat, tetapi parahnya, satu pun tidak ada yang mau membantu.

Rianti bergidik ngeri. Semoga mimpi itu tidak menjadi nyata, gumam Rianti dalam hati.

Sesampainya di toko, Shinta buru-buru memarkirkan motor dan membuka helm, mengambil sisir yang ada di dalam tas dan menyisir rambutnya yang agak berantakan karena tertiup angin.

"Udah cantik belom?" tanya Shinta dengan wajah sok imut.

"Udah cantik, kok." Rianti megangguk mantap.

"Ya udah, ayo kita cepet masuk, aku udah gak sabar mau lihat wajah tampannya pak Haikal," bisik Shinta, cengengesan dengan rona wajah yang telah berubah.

Rianti mendelik kesal, tanpa ragu mencubit perut Shinta dengan kuat. "Jangan aneh-aneh." Rianti memperingati temannya dengan nada menggeram dan mata yang sudah melotot tajam.

"Aku juga tau kali. Dia udah punya istri. Aku 'kan cuma mengagumi ketampanan dan pesona pak Haikal, gak lebih," kilah Shinta. Mengusap perutnya yang terasa panas. "Lagian siapa juga yang mau jadi pelakor. Cowok tampan dan lajang di luaran sana bejibun," jelasnya lagi.

"Nah, itu kamu tau." Rianti memutar bola matanya malas. Tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyukai suami orang. Rianti kembali membatin, kesal akan tingkah polah sahabat baiknya yang tak masuk akal sama sekali.

Mereka pun berjalan menuju meja kasir masing-masing, sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Dari mengecek mesin kasir, mengelap meja dan lainnya. Ditoko baju ini ada 3 karyawan lainnya. Ada Shasa yang bertugas menjaga pakaian pria. Lalu Mini di bagian pakaian wanita, dan terakhir Kelli di bagian Sepatu dan sandal.

Jam dinding menunjukkan pukul 7 tepat.

Seseorang masuk kedalam toko dengan senyum mengembang. Membuat Shinta menghentikan kegiatannya sekejap, menatap minat pada sosok itu. Matanya berbinar dan ujung bibir tertarik lebar. "Tampan ...." Shinta menggumam pelan.

Ya, dia adalah Haikal. Pria tampan nan gagah berusia 33 tahun. Sosok pria yang dikagumi oleh Shinta.

"Pagi semua ...." Haikal menyapa semua karyawan dengan ramah. "Awali pagi hari ini dengan senyuman, dan berikan senyuman terindah kalian untuk para pelanggan," ucapnya kemudian.

****

Tanpa Rianti dan Shinta sadari, sedari tadi ada sesosok pria misterius yang mengikuti mereka. Mengawasi mereka dari seberang jalan, sesekali mengambil foto tanpa izin dari mereka.

Dert dert dert.

Pria misterius itu merogoh kocek dan menjawab panggilan itu.

"Siap, boss."

"Iya sudah saya laksanakan. Foto juga sudah saya kirimkan."

"Oke."

"Iya, saya mengerti."

Pria itu pun langsung memutuskan sambungan telepon, men-starter motor kemudian berlalu pergi melintasi jalanan yang masih lenggang.

Sementara di dalam toko. Rianti terlalu asyik dengan pekerjaannya, tidak sadar bahwa ada seorang pria paruh baya yang juga mengambil fotonya.

kamu itu cantik (Revisi)

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.

Waktunya mereka berlima berganti shift dengan karyawan lain. Shasa, Mini, dan Kelly sudah pulang terlebih dahulu, sedangkan Rianti dan Shinta memilih duduk di kursi yang ada di depan toko.

"Cape banget, ya. Rasanya semua skrup yang ada ditubuhku mulai rontok," keluh Rianti sembari memijit pundak dan menggoyangkan pergelangan kaki.

Shinta mendelik sekilas, heran akan ucapan Rianti yang tiba-tiba. "Emangnya situ mesin," celetuk Shinta. Kekehan ringan pun keluar dari bibirnya yang tipis. Membuat kedua ujung bibir Rianti turut tertarik. Sahabatnya yang terbilang agak centil itu pandai memperbaiki suasana hatinya. Entah itu sedang berkabut, berdebu bahkan ada badai sekalipun. Shinta selalu ada untuk mengobatinya.

"Hehehe ... habisnya aku capek, Shinta. Seharian berdiri itu bikin betisku pada melebar." Rianti berucap seraya mencubit pelan kaki di bawah lututnya. Memberikan bukti bahwa perkataannya benar.

"Untunglah tubuh kita ini diciptakan Tuhan, coba kalo terbuat dari mesin, pasti udah lama kita the end," ujarnya lagi. Mengembuskan napas lirih. "Ternyata nyari duit itu susah."

Shinta menghentikan kegiatannya yang sedari tadi memukul-mukul bahu. Menatap Rianti dengan pandangan tak percaya. Ternyata kamu juga pandai mengeluh ya. Padahal sudah enam bulan kita bekerja, dan baru kali ini kudengar kamu Seperti ini. Shinta tersenyum getir.

"Bener juga, sih. Padahal dulu waktu awal-awal kita kerja sama bu boss gak kayak gini. Tapi, semenjak pak bos yang pegang kendali ... begh, toko jadi rame pake banget." Shinta menarik setengah kedua ujung bibir. Wajah tampan si bos membanjiri ingatan. Membuatnya tak bisa menahan senyuman. Merekah, mengembang dengan sempurna.

Rianti menggeleng, tau isi kepala sahabatnya itu. Pasti lagi nge-halu. Haduh, Neng ... jangan cari penyakit ngapa?" Rianti membatin, diberi tau seperti apapun tingah Shinta tak akan berubah. Dan ketika ingin menasehati Shinta, tiba-tiba ponsel Rianti bergetar dan tertera nama 'ibuk' di sana.

"Assalamualaikum, Bu," sapa Rianti.

Waalaikumsalam, Ri. Gimana kabar kamu, Nak. Suara Dewi terdengar pelan di seberang telepon.

"Alhamdulillah sehat," jawab Rianti.

Oh iya, Ri. Hari minggu besok bisa balik Jogja, gak? Rencananya Ibuk mau bikin acara kecil-kecilan buat kamu. Gimana, bisa?

Rianti terdiam sejenak. Menekan-nekan bibir bawahnya. Bingung mau meng-iya-kan atau tidak. "Besok Riri nyoba izin sama bos dulu ya, Buk. Nanti Riri kabarin lagi."

Oh, ya udah. Nanti kabarin Ibuk ya. Kamu baik-baik di sana. Jaga kesehatan dan jangan macem-macem.

Mendengar nasehat sang ibu membuat Rianti sedikit merindukan sosok itu. Ia tarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Iya ... Ibu juga jaga kesehatan ya, salam untuk bapak. Assalamualaikum."

Rianti langsung memutuskan panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke dalam ransel.

"Kenapa?" tanya Shinta yang keheranan melihat wajah Rianti yang sedikit berubah.

"Ibu nyuruh kita pulang, Shin. Katanya mau bikin acara kecil-kecilan untuk ulang tahunku. Kira-kira diizinin sama pak Haikal gak?" Rianti kembali murung.

"Mudahan ajalah. Kita 'kan belum pernah minta libur," jawab Shinta penuh harap.

Keduanya kembali membisu hingga akhirnya Haikal keluar toko dan melemparkan senyuman pada mereka. Senyuman yang membuat Shinta seakan lupa status dan usia.

"Mata, mata ... tolong dikondisikan." Rianti berkata seraya mencubit bahu Shinta. Mencoba menyadarkan sahabatnya yang sudah seperti orang terkena hipnotis.

"Eh, iya ... iya ...." Shinta terkekeh ringan.

"Emang kamu suka banget ya sama pak Haikal?" tanya Rianti penuh selidik. Padahal dengan paras Shinta yang cantik, ia bisa berkencan dengan pria manapun. Bahkan baru-baru ini ada seorang mahasiswa yang menyatakan cinta padanya. Tapi sayangnya di tolak mentah-mentah oleh Shinta.

"Ya sukalah, tapi bukan berati aku rela jadi pelakor," jawab Shinta seraya mengerucutkan bibir. "Aku itu penikmat ketampanan," sambungnya sambil berbisik. Takut ada yang mendengar gibahan-nya tentang si bos.

"Terus, kalo kamu gimana? Apa jangan-jangan kamu gak suka cowok?" Tatapan Shinta penuh selidik.

"Apaan sih. Siapa juga yang gak suka cowo cakep. Mata sama hati aku masih normal kalik. Cuma, cowok mana yang mau sama cewe jelek nan pendek kaya aku ini." Rianti kembali murung. Menundukkan pandangan seraya meremas-remas ranselnya yang berwarna hitam.

"Hust! Gak boleh ngomong gitu. Itu namanya gak bersyukur, walaupun kita tercipta pendek, tapi tetep aja kita masih diberi kesehatan dengan tubuh yang lengkap," ucap Shinta, menepuk pelan bahu sahabatnya itu.

"Lagi pula kamu itu cantik, kok. Hanya saja kamu jarang tersenyum. Coba deh, hidup itu jangan terlalu kaku, sering-seringlah tersenyum, karena senyum itu juga termasuk ibadah," jelas Shinta lagi. Menarik kedua ujung bibirnya. Berdiri menghampiri dan menggenggam kedua pundak kecil sahabatnya itu. "Inget gak, dulu waktu kita masih sekolah kamu pernah di tembak kakak kelas, itu membuktikan kalo kamu itu punya daya tarik tersendiri," kata Shinta sambil mencoba mengingat masa lalu mereka.

Rianti mengembuskan napas dengan kasar, menatap langit sore yang sudah berwarna jingga. "Ditembak sih ditembak, tapi gak ada kelanjutannya. Mereka semua semua ilang bagai ditelan bumi, bahkan Amir ...." Rianti berkata dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca dan tak lama bongkahan air terjun dengan bebas dari pelupuk matanya. Rianti sesenggukan, menutup wajah dengan telapak tangan.

"Jangan menagis dong. Kumohon ..." sesal Shinta. Ia tak menyangka perkataannya membuka kenangan pahit Rianti. Ia peluk tubuh kurus sahabatnya itu, menepuknya pelan. "Maafin aku ya ...."

"Gimana kalo kita jalan-jalan ke Mall." Shinta berkata setelah isakan Rianti mereda.

Rianti hanya menggangguk, mengambil helm dan langsung memakainya.

****

Disisi lain Kota Semarang. Tampak dua orang pria sedang duduk di ruang makan. Mereka adalah Mahendra Abbas dan anaknya, Ardi.

"Ayah sudah mengatur jadwal kencan untukmu nanti sore. Ayah harap kamu menyukai calon yang ayah pilihkan." Mahendra berucap setelah menenggak habis air putih di dalam gelas. Menatap intens putra semata wayangnya yang sedang menikmati makanannya.

"Tidak ayah, aku tidak mau," sahut Ardi singkat. Meletakkan sendok dan meraih gelas yang ada di dekatnya. Mendorong sisa makanan yang masih ada di dalam mulut.

"Sampai kapan kamu mau hidup sendiri?" Mahendra terlihat kecewa, manik matanya yang sayu menyiratkan kesedihan karena penolakan yang selalu anaknya layangkan. "Lupakan Stella dan lanjutkan hidupmu," tambah Mahendra lagi.

"Bukankah Ayah selama ini sendiri. Jadi biarkan aku sendiri, Yah." Ardi berkilah. Memasang wajah datar, menatap mata teduh ayahnya.

"Tapi, Ayah dulu punya kamu, Ardi.

Jadi sebisa mungkin ayah berusaha tegar demi kamu ...." Mahendra menghela napas panjang. "Mau, ya," bujuk Mahendra, membuat Ardi jadi tak enak hati dan akhirnya mengangguk setuju. Baiklah, ini hanya pertemuan biasa, batin Ardi.

Tak lama ponsel Ardi berbunyi, ada pesan masuk dan ada juga beberapa foto di sana. Pesan yang membuatnya menipiskan bibir.

Mahendra yang melihat kejadian langka itu juga ikut tersenyum, bukan karena Ardi menyetujui kencan buta yang ia atur, melainkan karena telah melihat kembali senyuman di wajah anaknya yang sudah lama hilang.

"Baiklah Ayah, aku pulang dulu. Nanti kirimkan saja alamatnya," kata Ardi sembil meraih kunci mobil miliknya yang ada di atas meja makan.

Ardi beranjak pergi menuju pintu keluar sambil sesekali melihat foto yang ada di ponselnya. Entah kenapa ia tidak henti-hentinya tersenyum, membuat para pelayan dan tukang kebun menjadi bertanya-tanya.

"Itu, den Ardi kenapa ya, Jum? Kok jalan sambil senyum-senyum gitu?" tanya Minah kepada Juminten, teman seprofesinya.

Juminten mengangkat kedua bahunya, sambil menggelengkan kepala. "Gak tau."

"Ya udah, yuk. Kita lanjut beres-beres di dapur, tuan besar dan den muda juga udah selasai makan," ajak Juminten kepada Minah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!