Reynand Adam, merupakan seorang anak laki-laki yang lebih memilih hidup mandiri jauh dari keluarga yang terpecah, karena perceraian kedua orang tuanya.
Rey. Begitulah sapaan dari teman terdekatnya.
Rey mempunyai satu orang sahabat di kost yang bernama Vicky. Mereka baru berkenalan sekitar dua minggu yang lalu, Rey dan Vicky akan melaksanakan MOS (Masa Orientasi Siswa) pada esok hari.
“Rey, semua perlengkapan MOS udah Lu siapin?” tanya Vicky.
“Belum, Vic. Gue belum beli spidol buat nulis nama.” Rey berucap.
“Oh ... iya! Gue juga belum Rey. Ke warung, yok?” ajak Vicky.
Rey dan Vicky bergegas menaiki satria FU milik Vicky.
“Lu yang bawa, nih!” Vicky melempar kunci motor.
“Hap! Oke!” Rey menangkap kunci motor.
Mereka berlalu pergi menuju warung sekitar kos-kosan. Warung demi warung mereka sambangi, namun nihil. Spidol yang dicari kebanyakan kosong. Karena memang banyak yang mencari untuk keperluan MOS esok hari.
“Kosong terus, gimana dong, Rey?” tanya Vicky.
“Lanjutlah, udah nanggung juga. Lagian kita udah gak punya waktu lagi.” Pungkas Rey.
Mereka melanjutkan mencari spidol sampai ke mini market yang berada jauh di ujung jalan.
Motor FU di parkirkan. Rey dan Vicky masuk ke dalam mini market. Setelah mendapatkan spidol, akhirnya Rey membawa spidol ke kasir untuk melakukan pembayaran.
“Ini aja, Mas?” tanya si kasir.
“Iya.” Ucap Reynand singkat.
BRUKKK
Barang yang ada di keranjang seorang gadis terjatuh.
“Sorry, Mba. Gue gak sengaja!” ucap Reynad sambil membantu mengambil barang yang berjatuhan.
“Iya, gak papa,” ucap gadis itu.
“Sekali lagi. Sorry ya, Mba.” Pungkas Rey yang berlalu pergi setelah semua barang sudah kembali masuk dalam keranjang belanjaannya.
Gadis itu tersenyum.
.
Rey dan Vicky melanjutkan perjalanan pulang ke kost. Ternyata, gerbang sudah di kunci oleh ibu kost. Karena mereka pulang di atas jam sebelas malam.
“Sial! Gimana dong?” Vicky menggaruk kepala.
“Ya udah, Lu titip ke kost sebelah motornya. Entar Kita naik ke pagar,” ucap Rey.
Akhirnya Vicky menitipkan kepada temannya yang ada di kost sebelah. Vicky orang yang humble, jadi banyak temannya.
Dengan susah payah. Mereka menaiki pagar kost yang lumayan tinggi. Mereka masuk dalam kamar masing-masing yang bersebelahan.
***
“Vic! Banguunnnn!” Rey menggedor pintu kamar Vicky.
“Paan sih?” Mata Vicky terlihat merah.
“Kita telat, kamvret!”
Vicky dengan santainya menoleh ke dinding kamarnya yang terdapat jam yang menempel.
“Baru jam enam. Sante ae, Bro!”
“Buruan mandi! Gue ambil motor.” Ucap Rey yang berlalu pergi.
Rey membawa motor dengan kencang. Menyalip-nyalip kendaraan di pagi ini. Karena, Rey tidak ingin telat pada hari pertama ia sekolah.
Gerbang hampir di tutup.
“Tunggu, Pak!” ucap Rey dan Vicky.
“Kalian itu! Baru juga awal masuk sekolah udah hampir telat,” ucap pak security sekolah.
Mereka berdua nyelonong masuk karena MOS sudah hampir di mulai. Mereka pun cepat mengisi barisan yang masih kosong.
Banyak sekali siswa baru yang masih mengenakan seragam putih-biru dan kakak pengurus OSIS yang mengecek perlengkapan siswa dan siswi baru.
“Kamu!” salah satu kakak kelas menunjuk Vicky.
“Saya, Kak?”
“Iya. Kamu. Sini!” ucap kakak kelasnya yang terkesan galak.
Vicky maju ke depan.
“Kamu juga. Sini!” Kakak OSIS memanggil Rey.
“Kenapa kalian tidak menulis nama, di kertas yang tergantung di leher kalian?” tanya kakak OSIS dengan begitu galaknya.
“Squat jump!” Perintah kakak OSIS.
Setelah pengarahan di lapangan. Akhirnya semua di bubarkan untuk istirahat. Rey memilih duduk di pinggir lapangan.
Tiba-tiba ada yang menyodorkan minuman dalam botol kemasan. Rey menoleh.
“Mba?” ucapnya dengan keringat yang masih mengucur di keningnya.
“Panggil Gue Jo. Bukan Mba.” Gadis itu tersenyum.
“Oke!”
“Ambillah!” Gadis itu kembali menyodorkan air mineral dalam botol.
Reynand meraih “Thank’s.”
Tiba-tiba ada arahan dari Kakak pengurus OSIS suruh masuk dalam ruangan dan Reynand pun lari tanpa permisi kepada Jo.
Rey mencari Vicky yang tadi sempat terpisah karena Vicky pergi ke kantin. Rey masuk dalam kelas yang sudah di tentukan.
Acara hari ini diisi dengan perkenalan Kakak pengurus OSIS yang ada di kelas. Ada Fandy sebagai ketua OSIS yang digilai anak-anak cewek. Kak Salsa, Fanya, Frisca dan Jo.
Mata sipit Rey membulat ketika melihat Jo ada dalam barisan pengurus OSIS.
“Lu kenapa?” Vicky berbisik.
“Gak. Udah diem nanti kena marah Kita.” Ucapnya mengakhiri.
Acara demi acara telah terlewati dengan lancar hari ini.
“Besok, kalian menulis surat cinta atau kekaguman kalian untuk Kakak pengurus OSIS, gak mesti yang ada di sini. OSIS yang lain juga boleh,” ucap Salsa, salah satu pengurus OSIS.
“Asikkk!” ucap Vicky girang.
“Hadeuhh! Ada-ada aja!” ucap Rey bernada pelan.
Seluruh siswa akhirnya pulang. MOS hari ini telah usai. Rey membawa FU milik Vicky. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau sesungguhnya Rey itu anak orang kaya termasuk Vicky. Rey hidup sederhana.
Jalanan macet.
Mereka tempuh untuk sampai kost yang jaraknya lumayan jauh dengan sekolah mereka. Seragam putih-biru pun masih mereka kenakan selama MOS masih berlangsung.
***
Dari sudut lain ada Jo, ia merupakan anak yang kurang kasih sayang. Mamanya sibuk arisan dan kumpul-kumpul dengan temannya. Sedangkan papanya sibuk dengan bisnisnya.
Naura Jovanka. Itu nama lengkap dari Jo. Ia lebih dekat dengan tantenya yang bernama tante Emillia yang akrab di sapa tante Emi. Tante Emi itu adik dari papanya Jo. Ia berprofesi sebagai dokter.
***
“Bi, Mun!” panggil Jovanka memanggil Mumun, asisten rumah tangga di rumah Jovanka.
“Iya, Non.”
“Mama ke mana?”
“Lagi arisan katanya, Non.”
“Papa belum pulang?”
“Belum. Katanya pulangnya larut malam, Non. Ada lembur,” ucap asisten rumah tangga Jo.
Jo masuk dalam kamar. Kakinya menaiki anak tangga dan bergegas membuka handle pintu. Tubuhnya ia hempaskan ke atas ranjang yang besar.
Tiap hari memang seperti itu. Tak ayal, Jo lebih dekat dengan tante Emi ketimbang dengan orang tuannya.
Drett ... Drett ....
Gawai yang berada di atas nakas bergetar. Jo meraihnya. Menyentuh layar gawai dan membuka pesan WA dari Fanya.
‘Entar malam karokean, yuk?’ Isi pesan singkat dari Fanya.
‘Oke! Jemput Gue di simpang tempat biasa, ya?’ balas Jo.
‘Oke!’
Setelah malam tiba. Mama dan Papanya belum juga datang. Jo sudah siap-siap berdandan cantik ala ABG dengan baju yang seksi untuk seusianya.
Jo keluar melewati jendela ketika hendak pergi ke tempat karaoke. Pintu kamarnya sengaja ia kunci dari dalam agar orang tuanya mengira Jo telah tidur.
Mang Wawan (security) terlihat sedang khusuk memainkan gawainya. Jo menyelinap dengan pelan dan menuju ke gerbang yang memang pintunya sedikit terbuka.
“Hai, Jo!” sapa Salsa.
“Ayok, Naik!” ucap Frisca.
Tak banyak bicara. Jo langsung menaiki mobil Honda Jazz warna merah. Melesat menuju tempat karaoke yang berada di pusat kota.
Mereka memasuki salah satu ruangan dan bernyanyi ria melepas penat. Terutama Jo yang bukan hanya penat di sekolah tapi juga penat dengan keadaan rumah.
Tiba-tiba hape Fanya bergetar.
“Mampus Gue!” ucapnya.
“Kenapa?” tanya Jovanka.
“Mama nyuruh balik. Gue balik duluan, ya Girl’s. Bye.”
“Gue ikut!” ucap Salsa dan Frisca berbarengan.
“Woy! Gue gimana?” Jo berteriak.
“Sorry, Bab. Lu balik sendiri, ya? Karaoke udah Gue bayar kok. Santai aja!”
Fanya, Frisca dan Salsa beranjak pergi meninggalkan Jovanka di tempat karaoke.
Jo menikmati bernyanyi ria sendiri. Hingga waktu hampir habis, Jo baru tersadar kalau hand phone dan dompetnya tertinggal di rumah.
“Astaga! Gimana Gue balik?”
Ia keluar dari tempat karaoke menyusuri jalan di tengah malam gelap. Ada rasa takut dalam dirinya. Tapi harus bagaimana lagi? Gawai dan dompet tidak ia bawa. Nasib!
Jo terus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh dari tempat karaoke. Langkah kakinya telah gontai karena rasa lelah yang mendera, ditambah keringat yang menetes dengan derasnya.
Langkah terhuyung dengan pandangan ke bawah.
SRETT!
Tepat di depannya, ada motor yang di Rem. Jo mendongak walau ada rasa takut dalam dirinya.
“Mba Jo? Ngapain jalan kaki tengah malam? sendirian lagi?”
“Rey? Lu, Rey anak baru itu kan?” ucap Jovanka.
“Iya, Gue Rey. Mba mau kemana sih?”
“Gue mau pulang tapi lupa gak bawa dompet.” Ucap Jo dengan malu-malu.
“Oh ... ya udah, Gue anter balik!” Rey menyodorkan helm.
Karena lelah, Jovanka tak banyak bicara. Ia langsung menaiki satria FU yang di kendarai oleh Rey.
Rey juga tak banyak bertanya. Rey berjalan mengemudikan motor dengan arahan dari Jovanka.
Jovanka minta di turunkan di samping rumah mewah yang gerbangnya tinggi. Jovanka turun dari motor dan tanpa berbasa-basi, Rey langsung tancap gas. Pergi dan menghilang tak terlihat lagi.
“Dasar, orang aneh!” ucap Jo.
Jo kembali berjalan pelan. Menyusup ke dalam rumah seperti maling.
CKLEK.
Jendela kamarnya ia buka. Sedikit demi sedikit, akhirnya Jovanka berhasil menyusup dari arah jendela.
Ia melangkah masuk dalam kamar dan langsung membuka lemari baju untuk untuk mengambil baju tidur. Dengan segera, ia mengganti baju dan masuk dalam selimut di ranjang tempat tidurnya.
***
“Non ... Non Jovanka, sarapan dulu.” Mumun mengetok pintu.
Belum juga ada suara di dalam sana. Jovanka masih tidur karena ia pulang larut malam.
“Non ... Bangunnn!” suara Mumun semakin keras, begitu pun dengan ketukan pada pintu kamar yang semakin mengencang.
“Iya, Bi.”
Jovanka membuka mata, menarik napas dan membuangnya. Ia beranjak dari tempat tidur dan melangkah membuka handle pintu kamar.
“Mari, sarapan Non.” Bi Mumun tersenyum.
“Iya, Bi. Jo mau mandi dulu. Mama Papa ada, Bi?” Jovanka bertanya.
“Tuan sudah berangkat dari tadi. Sedangkan nyonya, baru saja berangkat.” Ucap bi Mumun menjelaskan.
Huff ... Jovanka membuang napas, rasa kesal di pagi hari.
Seperti biasa. Jovanka sarapan seorang diri. Jo mengambil selembar roti tawar pandan yang ia oles dengan selai coklat. Jo meneguk segelas susu dan segera berangkat ke sekolah.
Tin ... Tin ....
Suara klakson mobil yang tak lain teman-temannya. Jo melangkahkan kaki keluar dan bergegas masuk dalam mobil.
“Tumben lama? Lu, kesiangan?” tanya Salsa.
Jo mengangguk.
“Emang, Lu balik jam berapa Jo?” tanya Frisca.
“Gue balik jam sepuluh tapi Gue jalan kaki.”
“What?” Fanya, Frisca dan Salsa menyahut kaget.
“Lu balik jalan kaki?” tanya Frisca dengan mata yang melebar.
“Iya. Dompet sama hape ketinggalan. Tapi, untung ada si Rey. Gue diantar pulang sama Dia.” Jo menerangkan pada ketiga temannya.
“Rey yang mana, sih?” tanya Salsa heran.
“Anak baru di sekolah Kita,” ucap Jovanka.
“Owalah! cuma anak ingusan ternyata,” ucap Salsa lagi.
Akhirnya mereka meluncur ke sekolah menembus kepadatan kendaraan di Kota Bandung.
Bersambung..
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
JANGAN LUPA LIKE/KOMEN/VOTE Ceritanya, karena itu merupakan hadiah terindah untuk Penulis🙏😁
“Shit! Masa suruh nulis surat cinta tapi di paksa? Apa-apaan ini?” Rey menggerutu.
“Paan sih, Rey?” tanya Vicky kepada Reynand yang masih menggerutu.
“Yaa ... Gue heran aja. Masa nulis surat cinta dipaksa? Gue mesti tulis apa coba?”
“Ungkapin aja isi hati, Lo! Kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Atau Lu tulis aja buat si Fandy ketua OSIS Kita, hahaha.”
“Apa yang dikagumi dari cowok alay, tebar pesona kek Dia? Hadeuh!”
Setelah menggerutu, akhirnya Reynand dan Vicky berangkat ke sekolah menggunakan motor FU.
.
Tak terasa, ini hari terakhir pelaksanaan MOS. Para pengurus OSIS meminta di kumpulkannya surat yang menceritakan tentang kekaguman kepada salah seorang dari pengurus OSIS.
Jovanka mendapatkan surat terbanyak. Bukan dari kaum adam saja. Banyak juga kaum hawa yang mengidolakan dirinya. Ada yang memuji penampilannya, kecantikannya dan hal lainnya.
Ada secarik kertas yang menarik perhatian Jovanka dan teman-temannya.
“Jo, ini surat atau pesan singkat sih?” tanya Salsa heran.
Jo tersenyum.
“Hahaha ... ni orang kelihatan banget gak romantis.” Fanya tertawa.
“Apa sih isinya?” Frisca mengintip isi surat yang membuat kedua temannya tertawa sekaligus heran.
(Dear : Jovanka. NO COMENT, GUE!) isi surat dari Reynand.
“HAHAHAHA ....” tawa mereka pecah seketika ketika membaca isi surat dari Reynand.
***
Selesai sudah acara MOS siang ini. Seluruh siswa kembali pulang. Rey dan Vicky berlalu menggunakan motor FU.
Tak sabar menunggu esok lusa untuk memakai seragam putih-abu. Rey menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia mencoba seragam barunya.
“Ganteng juga Gue kalau pakek baju putih-abu.” Ia memuji dirinya sendiri di depan cermin.
Tak berselang lama. Tok ... Tok ... "Rey!" Suara Vicky memanggil.
“Paan? Bentar, Gue mau ganti baju!” ucap Rey dalam kamar.
CKLEK (Pintu kamar terbuka)
“Lama amat sih?” Vicky berucap.
“Hehe sorry!” ucap Rey sambil menggaruk kepala. “Paan?” timpalnya lagi.
“Antar Gue beli sepatu, yok?”
“Lah ... pan yang kemaren masih bagus, Kuya!” ucap Reynand menyebut Vicky dengan sebutan akrabnya.
“Udah jelek! Mau Gue buang.”
“Jangan dibuanglah, sayang nyaho!”
“Yodah, buat Lu aja. Gue udah bosen.” Ucap Vicky mengakhiri sebelum mereka pergi ke sebuah toko.
***
Sore hari setelah shalat asar. Rey dan Vicky membawa motor FU ke arah Kota Bandung. Motor melaju santai ke arah alun-alun Kota Bandung.
Setelah motor di parkirkan. Rey dan Vicky berjalan kaki menyusuri pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Memasuki dari toko ke toko demi mendapatkan sepatu yang Vicky cari.
Ramai sekali sore ini. Banyak yang membeli barang, banyak juga yang hanya sekedar nongkrong, jalan-jalan melepas penat setelah seharian telah beraktivitas.
“Rey, sini!” Sahut Vicky dari dalam toko.
Reynand menghampiri. “Paan?”
“Bagus, gak?” Vicky mengangkat sepasang sepatu.
“Baguslah, harganya juga bagus.” Rey berucap.
“Dari mana Lu tau harganya bagus?” tanya Vicky heran.
“Dari internet.” Rey beralasan.
Padahal, Reynand telah banyak mengoleksi sepatu ketika masih berada di rumah lamanya. Ketika Papa dan Mamanya belum bercerai. Mereka merupakan keluarga yang harmonis. Namun, keharmonisan itu telah berakhir ketika tante Helena hadir dalam kehidupan mereka.
Tante Helena merupakan ibu tiri Rey, istri muda dari papanya Rey. Awalnya tante Helena merupakan sekretaris dari pak Reyfan alias papa dari Reynand. Namun, bukan hanya sebatas rekan kerja. Seringnya mereka bertemu, bahkan hampir selalu bersama-sama menjadikan benih cinta mereka tumbuh dan memutuskan untuk menikah.
Ibu Nadin, yang tak lain Mamanya Reynand, tak mau di madu akhirnya memutuskan untuk berpisah. Dari situlah, Rey memutuskan untuk kost dan sekolah di Kota Bandung. Sedangkan orang tuanya berada di Jakarta namun sudah beda rumah.
“Ayok balik!” Ajak Vicky kepada Reynand.
“Oke!”
Merekapun berjalan menuju parkiran. Namun, bukan Vicky namanya kalau enggak godain cewek.
“Hai ....” Vicky menyapa seorang gadis.
Gadis itu pun memberi respon yang bagus. Dia tersenyum.
“Boleh kenalan, ya?” ucap Vicky.
Reynand memilih pergi meninggalkan Vicky dengan gadis kenalannya. Rey memilih duduk di bangku halte. Rey memperhatikan laju kendaraan.
Ia melihat ada seorang ibu muda yang tengah kebingungan.
“Kenapa mobilnya, Tan?” tanya Rey.
“Gak tau, tiba-tiba aja enggak bisa distarter.” Ucap tante itu dengan wajah panik.
“Boleh Saya, cek?” Rey menawarkan bantuan.
“Silakan.”
Rey membuka bagian depan mesin mobil, melihat semua perangkat mesin dan mulai mengecek.
“Ini overheating.” Rey menjelaskan.
“Maksudnya?”
“Isi air radiatornya habis, Tan.”
“Oh ....”
“Tante ada coolant untuk pendingin radiator? Tanya Rey.
“Gak ada.”
“Air mineral ada?”
Wanita itu membuka pintu mobil, mengambil air mineral yang ada dalam botol.
“Ini.” Wanita itu menyerahkan air dalam botol.
Rey mengisikan air itu ke dalam radiator mobil perlahan. Wanita itu terus memperhatikan Rey yang mempunyai wajah rupawan. Badannya tinggi sekitar 180 CM, kulitnya putih, hidungnya mancung dan bermata sipit.
“Udah, Tan. Coba di starter.” Ucap Rey.
Wanita itu terperanjat karena ia sedang memperhatikan seorang anak muda yang menurutnya piawai memperbaiki mobil.
“Oh ... Iya.” Wanita itu membuka pintu mobil dan menstarter mobilnya.
“Bisa,” ucap wanita dalam mobil. Ia pun kembali turun dan menghampiri Reynand.
“Makasih,” ucap wanita itu.
“Sama-sama, Tan.”
Wajah Reynand terlihat berlepotan kotor oli. Wanita itu mengelap wajahnya dengan tisu yang ia ambil dalam tas selempang kecilnya. Mata Reynand yang sipit kini membulat, ia kaget ketika tisu itu menyentuh kulit wajahnya.
“Sorry ... wajah Kamu tadi ada olinya,” ucap wanita itu.
“Nama Saya Emillia, sebut saja Saya Emi. Saya bekerja di Rumah Sakit Bunda Asih. Namamu siapa?” wanita itu menjulurkan tangannya.
“Reynand. Panggil saja Rey.” Rey meraih tangannya.
Mereka pun berkenalan. Ternyata, wanita yang mengaku bernama Emillia itu merupakan seorang dokter. Emillia wanita yang cantik dan anggun. Pakaiannya juga rapi, enak di pandang karena ia seorang dokter jadi berpenampilan rapi.
Bola mata berwarna hitam yang sayu, sangat teduh apabila memandang. Rambut yang sedikit ikal bergelombang menambah kesan anggun pada wajahnya yang cantik.
“Ya udah. Makasih ya, Rey. Saya pamit takut telat sampai Rumah Sakit.” Ucap Tante Emi.
“Oke! Hati-hati, Tan.”
Emillia berlalu pergi dengan mobil yang berwarna putih.
Tak berselang lama, Vicky pun menghampiri. Dengan wajah yang ceria, ia menceritakan tentang perkenalannya dengan gadis yang baru ia kenal.
“Bro! Akhirnya Gue dapat nomor WA-nya Desi!” Vicky terlihat bahagia.
“Desi?” tanya Rey heran.
“Iya. Cewek yang tadi kenalan sama Gue!” Wajah Vicky semakin berbinar.
“Lah ... apa untungnya buat Gue coba? Lapar iya, Gue nunggu Lu dari tadi. Keriting Gue!” ucap Rey bernada kesal.
“Heleh! Matahari aja gak ada pakek ngomong keriting, Lu! Ya udah, ayok kita makan. Gue yang teraktir dah! Lagi bahagia Gue!” pungkas Vicky yang menarik tangan Rey.
***
Sementara di tempat lain. Ada Jovanka yang bersiap pergi mengendap-ngendap dari jendela. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Jo tengah asik menikmati kehidupan malam dengan teman-temannya. Kadang mereka ke Mal, Cafe, atau ke tempat karaoke.
Dengan baju yang minim dan membawa tas selempang kecil. Jo keluar dari pintu gerbang rumahnya dan langsung masuk dalam mobil Fanya yang berwarna merah.
“Jalan ke mana kita malam ini, guys?” tanya Jo.
“Ke Cafe aja yuk, di Braga. Biasanya banyak tuh cowok ganteng di sana, apa lagi ini malam minggu. Iya gak, guys?” Fanya bertanya kepada Frisca dan Salsa.
“Yuhuuu ....” jawab Frisca dan Salsa.
“Oke! Gue ikut!
Mobil melesat ke jalan Braga dengan kecepatan sedang. Jo dan kawan-kawannya telah janjian memakai mini dres di atas lutut. Terlihat cantik namun terlalu seksi apabila kaum adam yang melihat.
Di Cafe itu mereka duduk di meja yang berada di pojokkan. Semua terlihat ceria. Ketawa-ketawa bersama. Hingga akhirnya ada empat pemuda yang menghampiri mereka.
“Hay ... Girl’s. Boleh Kami gabung bersama kalian?” ucap seorang pemuda.
“Silakan,” Salsa membuka tangan lebar.
Akhirnya ke empat pemuda itu bergabung dalam meja yang sama. Perkenalan pun terjadi seiring perbincangan hangat mereka.
Fanya, Frisca dan Salsa sudah terbiasa mengobrol bersama laki-laki. Sementara Jo, dia lebih kalem.
Akhirnya mereka berenam pulang di mobil Fanya. Sedangkan Jo di tinggal dengan seorang laki-laki bernama Tristan.
Tristan seorang laki-laki yang tampan tapi karena ketampanannya itu, ia menjadi seorang play boy di kampusnya.
Kampus?
Ya! Tristan seorang mahasiswa di salah satu universitas swasta di Kota Bandung.
“Kak Tristan, balik, yuk?” Ajak Jovanka.
“Santailah Jo, masih siang.” Ucap Tristan yang menyepelekan. Padahal jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Tapi Aku takut sama Mama, Kak,” ucap Jovanka.
“Ya udah, Gue anter Lu balik. Ayok!”
Jo mengekor dari belakang dan masuk dalam mobil sementara Tristan masih terlihat santai di luar mobil.
“Kak, ayok!” sahut Jo.
Tristan menarik handle pintu mobil. Badannya ia condongkan masuk ke dalam mobil yang berwarna silver.
Tiba-tiba, tangan Tristan meraih tangan Jovanka. Dengan sekejap, jemari Jovanka telah ia genggam.
“Kakak mau ngapain?” Jovanka coba melepaskan genggaman erat dari Tristan.
“Santai aja kalik, Jo. Cuma pegangan tangan doang.” Ucap Tristan bernada santai.
“Lepasin! Aku enggak suka!” Jovanka menghempaskan lengan Tristan yang menggenggam jemari lentiknya.
Jovanka meraih handle pintu mobil dan bergegas ke luar dari dalam mobil.
Tristan ikut ke luar dari mobil dan mengejar Jovanka yang telah lari darinya.
“Jo!” Teriak Tristan.
Jovanka masih berlari dan tidak menoleh ke belakang. Dengan napas yang mulai terengah-engah ia masih berlari hingga ia menabrak seseorang.
BRUKK! (Jovanka menabrak seseorang).
“Sorry!” ucap Jovanka yang masih melihat ke arah belakang.
“Ngapain Lu di sini?”
Jovanka mendongak karena tubuh pria ini jauh lebih tinggi darinya.
“Rey?” Netra Jo membulat.
“Tolong Gue, Rey!” Terlihat ekspresi panik pada wajah Jovanka.
“Tolong apaan?” tanya Rey heran.
“Tolong sembunyiin Gue, Rey! Ada orang yang ngejar Gue!” ucap Jo dengan wajah yang penuh keringat.
“Emang kenapa? Gue gak ngerti.”
“Gak ada waktu pokoknya amanin Gue dulu!” pinta Jo.
“Ya udah Lu sembunyi di sana.” Rey menunjuk ke toilet.
Jovanka masuk dalam toilet. Seketika Tristan mencari dan bertanya pada Rey.
“Sorry, liat cewek imut memakai mini dres lari ke arah sini, gak?” tanya Tristan dengan napas ngos-ngosan.
“Banyak, Bang yang kek gitu. Ada yang ke sana dan ada juga yang ke arah sana.” Rey menunjuk arah.
“Heleh! Gue bingung kalau kayak gini. Ya udah, makasih!” ucap Tristan yang berlalu pergi.
Bersambung
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
JANGAN LUPA LIKE/KOMEN/VOTE Ceritannya, karena itu merupakan hadiah terindah untuk Penulis🙏😁
Jovanka keluar dari toilet dengan wajah pucat. Kakinya melangkah gontai dari balik pintu toilet. Ronanya masih penuh dengan keringat karena sedari tadi ia berlari.
“**Thank**s, Rey. Lu udah bantu Gue,” ucap Jo sambil membuang napas.
“Emang Dia siapa sih?” tanya Reynand yang sedari tadi belum mendapatkan jawaban dari Jo.
“Dia Tristan. Gue baru aja kenal tadi, ketika main di Cafe sama temen-temen. Gue ditinggal sama Tristan. Nah, waktu di dalam mobil ketika Tristan hendak antar pulang. Tiba-tiba, jemari Gue digenggamnya. Gue gak suka! Makanya Gue kabur dari dia.”
“Lah ... terus sekarang Lu mau pulang?” tanya Rey.
“Iya. Tapi, ternyata dompet Gue ketinggalan. Gue juga gak bawa hape,” ucap Jovanka sambil tersenyum.
Melihat senyum Jovanka. Ada debar yang tak biasa pada diri Reynand yang notabene cuek terhadap cewek.
‘Kenapa perasaan Gue seperti ini ketika melihat lengkungan indah yang terukir di bibirnya Jo?’ isi hatinya berbicara.
“Bentar, ya?” ucap Rey pada Jovanka.
Jo mengangguk dan menunggu Rey di bangku taman di bawah rindangnya pepohonan.
Rey masuk ke warung dan menemui Vicky yang masih makan.
“Lama banget ke toilet? Ngapain aja sih, lu?” ucap Vicky kesal.
“Antre. Lu balik sendiri, ya?” Rey memberikan kunci motor milik Vicky.
“Lah ... Lu mau kemana? Udah malam ini. Bentar lagi gerbang kost ditutup.” Vicky mengingatkan.
“Gue ada perlu. Gampang, nanti manjat gerbang seperti biasa.”
“Serah, dah!”
Rey pergi meninggalkan Vicky dan kembali ke tempat Jo di dekat toilet. Jo terlihat sedang duduk di bangku taman. Ia memakai mini dress yang berlengan pendek. Rey menyerahkan jaketnya kepada Jovanka.
“Pake, nih!”
Jovanka menatap netra Rey dengan banyak sangkaan dalam benaknya.
“Gue gak kedinginan kok,” ucap Jo menolak.
“Bukan dinginnya. Tapi lebih buat nutupin badan Lu!”
“Emang kenapa? Apa salahnya dengan baju Gue?” tanya Jovanka dengan penuh kebingungan.
“Gue hanya bisa anter Lu pulang naik angkot. Dalam angkot pasti banyak orang. Lu mau dinilai negatif sama orang lain? Bagi Lu biasa aja. Tapi entah buat orang lain,” pungkas Rey.
Jo terdiam. Ia berpikir tentang ucapan Rey memang benar adanya. Jo tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Bagi Jovanka, hidupnya ya hidupnya, tidak mau mendengar kata orang. Tapi, berbeda ketika ucapan itu keluar dari mulut Rey. Seperti mengena ke hati Jovanka.
Rey.
Rey itu masih anak ingusan yang baru saja masuk SMA tapi pemikirannya sudah sejauh itu. Mungkin karena ini juga, Tristan tergoda. Hingga menggengam lenganku. Suara hati Jo berkata.
Akhirnya, jaket yang berada di lengan Rey di ambil oleh Jo. Jo memakai jaket Rey walau terlihat kebesaran pada tubuh mungilnya.
“Gue kelelep pakek jaket Lu, Rey!” Jo tersenyum malu.
“Malah bagus, bisa nutupin sedikit lekuk badan, Lu.”
Mereka berlalu. Berjalan kaki menuju pangkalan angkot yang tidak jauh dari halte bus.
Jovanka naik di barengi oleh Rey di belakangnya.
“Sorry, ya, Jo! Gue bisa anter Lu pakek angkot doang,” ucap Rey berbasa-basi.
“Iya, gak papa. Gue seneng kok. Makasih ya?” ucap Jo dengan senyuman merekah.
Degup jantung Rey kembali tak keruan. Ada getaran lain di dada Rey yang tidak biasa. Rasa bahagia kini telah mendominasi hatinya. Melihat mata hitam Jo, melihat senyuman terukir pada bibir Jovanka membuat hatinya meronta. Ada rasa ingin dekat dan mengenal lebih jauh tentang Jovanka.
Namun, dengan cepat Rey menepis perasaan yang ada dalam hatinya. Ia ingin sekolah dan membuktikan kepada Papanya. Ia bisa membiayai hidupnya sendiri tanpa bantuan dana dari papanya.
“Rey,” ucap Jo yang duduk di sampingnya.
“Hem.”
“Kek nya, Lu bukan orang Bandung, ya?” tanya Jo.
“Iya, Gue tinggal di Jakarta. Gue nge-kost di sini.”
“Ada keluarga?”
Rey menggelengkan kepalanya.
Hening.
Angkot melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali berhenti untuk menunggu penumpang lain. Jam menunjukkan angka sebelas malam. Namun, angkot masih mengetem di pinggir jalan.
Angkot mulai berjalan ketika penumpang banyak yang protes. Akhirnya angkot kembali melaju.
***
“Kiri, Mang!” ucap Jo.
Angkot berhenti. Jo dan Rey turun dari angkot.
“Loh ... bukannya rumah Lu masih di ujung jalan sana, ya?” tanya Rey heran.
“Gue jalan kaki aja. Nanti ketahuan lagi kalau Gue pulang larut malam.”
“Lah ... orang tua gak tau kalau lu keluyuran?” mata sipit Rey melebar.
Jo menggelengkan kepalanya.
“Astaga! Lu jangan kek gini lah. Apa lagi lu anak cewek, bahaya, tau!” ucap Rey.
Jo terdiam.
Dalam hatinya ia berucap ‘Ni bocah kek orang gede aja nyeramahin Gue! Tapi, kenapa kok rasa ini senang dapat perhatian dari Dia?’
“Hey!” Rey membuyarkan lamunan yang ada dalam pikiran Jovanka.
“Iya ... Iya, lain kali gak gini lagi.” Pungkasnya.
“Janji?” jari kelingking pun diangkatnya.
“Iya!” Mereka mengaitkan jari kelingking tanda perjanjian.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan di tengah malam gelap dan sunyi. Hilir angin seakan menyapu tubuh mereka. Lagi-lagi jantung Rey berdetak kencang ketika Jovanka menyunggingkan senyuman.
Kaki melangkah berjalan santai. Akhirnya sampai juga di samping rumah Jovanka.
“Ya udah. Gue balik, ya? Bye.” Rey berpamitan.
Jo tersenyum, “ Makasih.”
Rey berbalik badan dan berjalan menjauh dari gerbang rumah Jo. Jo masih melihat Rey di depan gerbang hingga tubuhnya tak terlihat lagi.
Jo masuk dalam rumah dengan jurus andalannya. Menyelinap.
Karena sudah larut malam akhirnya Rey memutuskan untuk memesan ojek online. Tak berselang lama, ojol pun datang dan meluncur mengantar Rey sampai pintu gerbang kost-nya.
Rey memijakkan kakinya ke pintu gerbang. Memanjat seperti spider man!
JLEK!
Akhirnya, kaki Rey menginjak ke halaman dalam Kosan. Ia masuk dalam kamar. Menghempaskan tubuhnya yang didera rasa capek. Memandang langit-langit kamar dan membayangkan lengkungan indah yang terukir indah pada bibir Jovanka.
“****! Kenapa Gue jadi mikirin Dia?” ucapnya berusaha menepis.
Ia berusaha memejamkan mata, berharap dapat tidur nyenyak di malam ini. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Rey, terus teringat lengkungan indah yang terukir pada bibir Jovanka.
Sudah bolak-balik memutar posisi tidur, namun masih saja matanya terjaga hingga jam dua pagi.
Akhirnya Rey mengambil hand phone beserta ear phone yang ia pasang di telinganya. Ia menyentuh layar gawai dan mencari aplikasi pemutar musik. Ia meng-klik daftar lagu yang ada pada phonecell-nya sampai ia tertidur.
***
Tok ... Tok ... Tok ....
Pintu kamar Rey di ketuk, suaranya semakin kencang.
“Rey! Bangun, woy! Udah siang. Ayok cari makan, Gue udah laper. REYNAND!!”
Vicky berteriak kesal karena yang ada dalam kamar tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
“REYNAND!!!” Vicky semakin keras memanggil namanya begitu pun dengan ketukan pintu yang semakin mengencang.
“Apa?” Terdengar suara dari dalam.
“Buka pintunya, Rey!”
“Iya!”
Dengan mata yang masih memerah. Rey mengangkat badannya dan bangkit dari kasur lantainya.
“Apaan? Howammmm.” Rey masih menguap.
“Njir! Pakek nguap lagi! Mandi sana.” Perintah Vicky.
“Emang mau ke mana? Kan sekolah libur, Kuya!” ucap Rey sambil memejamkan mata.
“Nyari makan, laper Gue! Ayok bangun! Bisa-bisanya merem sambil berdiri, Lu!” ucap Vicky yang bernada kesal.
“Iya, iya. Ni Gue mandi. Puas, Lu?”
Rey ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Vicky memainkan game yang ada di laptop Reynand.
.
“Ngapain, Lu?” tanya Rey sembari menggusah rambutnya yang basah memakai handuk.
“Maen game. Udah beres, Lu?” tanya Vicky.
“Udah!”
Rey berganti baju. Mengenakan kaos dan celana jeans pendek di bawah lutut, tak lupa sandal jepit yang ia kenakan.
Rey tampak sederhana, sehingga tidak ada yang curiga bahwasanya di Jakarta ia merupakan anak seorang pengusaha terkenal.
Rey dan Vicky melangkahkan kaki ke warung di ujung jalan. Di sana terdapat warteg yang terkenal murah meriah. Sehingga pas untuk kantong pelajar, mahasiswa atau pekerja yang mau mengirit duit.
“Bi, mau nasi, ayam goreng, tahu, tumis capcay sama sambel. Bungkus, ya?” Menu pesanan Vicky.
Bi Inah (pemilik warteg) membungkuskan pesanan Vicky, “Dua puluh ribu,” ucap bi Inah.
“Kamu pesen apa, Rey?”
Bi Inah yang memang telah mengenal nama Vicky dan Rey karena mereka tiap makan selalu ke warteg miliknya.
“Nasi sama telor dadar, Bi.”
“Tujuh ribu. Nih, Ibu kasih bonus tahu ya? Kamu kan enggak suka sayur,” ucap bi Inah.
“Yaelah, Rey aja di kasih bonus.” Ucap Vicky iri.
“Lu udah di potong, mestinya dua puluh satu ribu. Tuh udah diskon serebu,” ucap bi Inah.
“Ya udah, makasih ya, Bi.” Ucap Rey sambil tersenyum.
Bi Inah tersenyum.
Rey dan Vicky berlalu, keluar dari dalam warung dan menuju tempat kost mereka.
***
Drett ... Drett ....
Hand phone Vicky bergetar. Vicky merogoh saku celana dan mengambil benda pipih kecil yang tipis berbentuk persegi panjang. Ia menggeser kunci dari layar gawai miliknya. Vicky membacanya.
“Desi? Asikkkk! Gue datang Baby ....” Terlihat rona bahagia pada wajah Vicky ketika membaca pesan singkat dari Desi.
“Kenapa, Lu? Ngomong sendiri. Gila Lu, ya?” tanya Rey.
“Beginilah cinta, deritanya tidak berakhir,” Vicky berucap.
“Gak nyambung, Kuya!”
Mereka masuk ke dalam kamar yang bersebelahan.
“Rey!” Vicky memanggil.
“Paan?”
“Nih buat Lu aja! Gue mau makan di luar sama Desi," ucap Vicky sambil memberikan sebungkus nasi yang baru ia beli.
“Rejeki nomplok, thank’s ya, Bro!” Rey meraih satu bungkus nasi dari tangan Vicky.
Vicky berlalu pergi setelah mengganti bajunya dan menyemprotkan parfum ke badannya.
“Anjer! Vic, Lu pakek parfum satu botol?” teriak Rey dari dalam kamarnya.
“Haha ... biar Desi kelepek-kelepek sama Gue, Rey!”
“Yang ada, tu anak bisa mamvos kalik, Vic!”
Tidak ada lagi jawaban dari Vicky yang terdengar hanya suara motor Vicky yang berlalu pergi.
Hari minggu dipakai Rey untuk berbenah kosan tempat ia tinggal sekarang. Belum banyak barang di dalamnya, hanya ada laptop, kasur yang ia gelar di lantai tanpa ranjang, baju-baju yang ia letakan dalam kardus, beberapa perlengkapan untuk makan, dan karpet plastik yang ia gelar dalam kamar.
Buku dan tas ia geletakkan di samping tempat tidur. Hanya gitar yang menjadi temannya dikala ia kesepian. Rey pintar bernyanyi dan mempunyai karakter suara yang lembut.
Hanya Vicky yang menjadi temannya saat ini. Namun, Vicky kini telah mempunyai gebetan yang bernama Desi. Otomatis, Vicky mulai menjauh dari Rey. Karena waktu Vicky banyak berlalu bersama Desi.
Rey membuka bungkus nasi yang ia beli. Menikmati sarapannya setelah ia berbenah merapikan kost-nya.
Semua terlihat bersih, karena Rey sudah mengepel lantai. Rey tumbuh menjadi seorang laki-laki yang mandiri. Jauh dari kesan anak Mami. Terlebih, Rey merupakan anak pertama dari Reyfan Adam pemilik perusahaan besar di Kota Jakarta.
Bersambung..
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
JANGAN LUPA LIKE/KOMEN/VOTE Ceritannya, karena itu merupakan hadiah terindah untuk Penulis
By : Boezank ** (Dareen)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!