NovelToon NovelToon

produk gagal

Manusia Normal

Pagi yang cerah, bangun lebih awal, sarapan pagi, tidak terburu-buru dan berhasil masuk kantor tepat waktu. Sungguh, rutinitas yang sangat menyenangkan, bukan? Hari ini, entah mengapa semuanya dimulai dengan langkah yang lancar.

Aku dengan bangganya, melewati pintu masuk kantor. Menyapa para resepsionis yang masih bersiap-siap, dengan senyum secerah cahaya. Aku bisa melihat, mereka sampai tertegun sambil membalas sapaanku.

Ya... Aku memang, rajanya telat sih. Siapa yang tidak kenal, Reine Dallaire? Si asisten manajer Front Office, yang selalu datang terlambat. Sudah puluhan kali, Manajer memarahiku. Saking seringnya, terkadang dia sampai malas dan bingung mau memarahiku yang seperti apa.

Enggak, bukan karena aku terlalu larut tidur dan bangun kesiangan kok. Alasan klasik! Tentu, bukan itu! Aku terlambat, karena alasan yang sangat penting. Jika aku tidak telat, aku akan membuat seseorang berada dalam bahaya.

Hmm, agak rumit sih. Jadi gini, setiap kali aku hendak naik bus, selalu saja ada seseorang yang membutuhkan pertolongan. Entah di jambret, kecelakaan, sakit mendadak ataupun hal lain yang membuatku tidak bisa berdiam diri. Karena hal sepenting itulah, aku harus menyelamatkan mereka semua! Harus!

“Pagi, Miss Dallaire... Kau, sudah tidak berubah jadi Captain Marvel lagi? Atau Black Widow? Mungkinkah, Spiderman? Biar ku tebak, karena hari ini datangnya cepat berarti, berubah jadi... Flash?” sapa seorang wanita 35-an. Rupanya, dia baru saja tiba lewat pintu belakang kantor. Aku hanya menyunggingkan senyum yang paling manis.

Ah, ya, kenalkan. Dia adalah atasanku, Manajer Front Office di tempatku bekerja. Namanya, Claudia Harlett. Biasa di sapa, Lady Dia.

Sebagai info saja, aku bekerja di sebuah hotel berbintang lima. Hotel berkelas dengan kemewahan yang tiada tara, Golden Luxury Hotels. Kami memiliki fasilitas lengkap berupa, Restoran dan Bar, Salon dan Spa, Kamar dengan tipe Standar dan Suite, kolam renang, fasilitas olahraga serta...

He’em.

Sorry, aku bukan sedang beriklan. Hehehe...

Oh, ya, hampir lupa! Di hotel kami, panggilan pada sesama staff juga agak berbeda. Hotel ini memiliki konsep berbeda. Setiap staff wanita yang lebih tua dipanggil, Lady. Dan sisanya yang lebih muda, dipanggil Miss.

Kalau pria, tentu saja Mister untuk yang lebih muda. Dan yang tua, Sir. Ah, ya. Ini juga berlaku untuk para tamu, lho!

Biasanya, kami memanggil tamu yang lebih tua dengan sebutan, Madam. Kalau pria, Sir. Dan kalau yang lebih muda, tentu Miss dan Mister. Itu sebuah aturan yang harus dipatuhi. Kalau sampai dilanggar... Bakal potong gaji. Langsung!

So, seperti itulah tempat kerjaku. Karena hotelnya besar, jadi tentu pekerjaanku seperti tiada habisnya. Kesana, kemari. Membantu ini, itu, dan lainnya. Yah, begitulah.

Tentu, lebih baik begitu. Karena semua hal yang ku kerjakan, merupakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya. Lebih tenang dan nyaman, meski harus mondar-mandir tak karuan.

“Miss Dallaire?” panggil Lady Dia dengan nada sedikit kencang. Mungkin karena, aku terlalu enak melamun dan mengabaikan perintah darinya. Aduh, padahal hari ini aku sudah sukses tidak dimarahi, karena datang lebih awal.

Tapi, mengabaikannya saat sedang menugaskan sesuatu, tentu adalah hal yang sangat enggak baik. Pasti, bakal di marahi lagi nih...

“Miss Dallaire? Sudah bagus, tidak telat datang. Sekarang, kau malah melamun. Kenapa? Ada wanita paruh baya yang sedang kau khawatirkan? Dia pasti, sudah di tangani oleh tim dokter dengan baik. So, dengarkan aku, oke?” pinta Lady Dia mengingatkan. “Baik, Lady. Mohon maaf, saya menyesal...” ucapku memohon. Lady Dia tampak menghela nafas sembari mengangguk pelan. Hhhh, aku aman.

Aku melangkah keluar dari ruanganku. Lady Dia memberiku tugas, untuk memastikan kesiapan kamar Suite yang nantinya, di tempati oleh tamu VIP kami. Hari ini, akan ada tamu khusus yang menginap. Menurut data yang kulihat, tamu ini adalah sahabat dekat pimpinan hotel. Jadi, kami harus benar-benar melayaninya dengan baik.

Hhh, jadi hari ini bakalan sibuk nih. Selain memastikan semuanya berjalan lancar, aku juga harus menyambut tamu VIP yang akan datang, tak lama lagi. Entah kenapa, Lady Dia mendadak memintaku untuk menemaninya menyapa tamu. Biasanya, paling aku berada di meja resepsionis untuk berjaga-jaga.

Duh, kalau ikut menyapa, berarti... aku juga harus menjelaskan keunggulan hotel kami, layaknya tour guide nih. Hhhh, lagi-lagi... Karena bakal super sibuk, aku harus menghemat energi, supaya fit pas nanti tamunya datang. Pimpinan juga, pasti akan ikut turun untuk menyambut. Aku enggak boleh lengah!

Belum sempat aku melangkahkan kaki ke kamar Suite, di meja depan mendadak ramai. Aku segera memeriksa apa yang sedang terjadi di sana. Dengan berhati-hati, aku melangkah ke arah meja depan, tempat para resepsionis tengah bersitegang.

Ketika kepala resepsionis melihat kedatanganku, dia terlihat mengode, menyuruhku untuk segera membantunya. Keadaan kala itu, sangat genting. Tamu dari kamar 245, mendadak mengamuk.

Dengan kesopanan tingkat dewa, aku berusaha menangani masalah. Saat ini, Lady Dia sedang ada rapat dengan para manajer dan pimpinan lain, di lantai atas. Aku harus menghandle-nya, tanpa bantuan lain.

“Mohon maaf sebelumnya, ada yang bisa saya bantu, Madam?” tanyaku diikuti senyum manis. Tamu tersebut, wanita berusia paruh baya. Dengan setelan gaun hitam, dia mencoba memadukan gayanya bersama sebuah selendang merah.

Panjang selendang itu, hingga terbentang di sepanjang tubuhnya. Bahkan selendang itu, terlihat sampai jatuh ke lantai. Ku rasa, akan sangat sulit untuk mencucinya. Pasti, ongkosnya bakal mahal. Kainnya bagus. Keluaran brand ternama, kali ya? Mewah sekali...

“Apa kau... kepala hotel di sini?” balasnya balik bertanya. Aku buru-buru kembali fokus. Alih-alih mengomentari fashion, ku pikir segera menyelesaikan masalah adalah hal yang lebih penting saat ini. Hmm.

“Saya Reine, asisten manajer meja depan. Ada yang bisa saya bantu, Madam?” tanggapku. Ya, kalau anda sedang mencari atasan, tentu mereka enggak ada di sini. Jadi, tolong... hadapi aku saja.

Tanpa babibu, wanita tersebut langsung menyiramku dengan sebotol air mineral. Baru tahu, kalau dia membawa sebotol air. Dan aku enggak tahu, dia mendapatkannya dari mana. Oh, ya, dari meja dalam kamar. Hotel kami kan, selalu menyediakan air di seluruh kamar.

Sontak, semuanya tampak syok. Baik itu resepsionis, kepala resepsionis hingga tamu lain yang sedang berada di sana. Di siram air di pagi yang cerah kayak gini, sama sekali enggak enak. Hhhmm, nasibku...

Salah satu resepsionis bernama, Miss Cara yang bertugas saat itu, mencoba untuk membantu menyeka air yang membasahi kedua mataku. Gara-gara airnya ikutan masuk ke dslam mata, aku agak sukar melihat. Miss Cara memberi beberapa tisu, untuk mengatasi kekacauan di wajahku terlebih dahulu.

Rupanya, aku benar-benar harus menyelesaikan hal ini dengan cepat. Agar kejadian ini, tak menjadi masalah lain yang makin besar. Belum lagi, beberapa tamu lain tampak mengabadikan insiden ini. Ouwh, yang benar saja!

Tidak, Reine! Sebelum gajimu terpotong, kau harus menghentikannya. Buru-buru, ku perintahkan resepsionis untuk menenangkan tamu lain. Mereka juga ku perintahkan, agar membubarkan tamu yang masih bergerombol serta, meminta mereka untuk berhenti merekam. Harus kupastikan, rekaman dari kejadian buruk ini, berhasil terhapuskan.

Sekarang, biar ku atasi tamu yang satu ini. Aku tidak mengerti, apa yang wanita tersebut lakukan. Jadi basah kuyup itu... juga enggak enak.

“Sebelumnya, mohon maaf. Kesalahan kami mungkin sangat fatal, hingga membuat Madam harus melakukan hal ini. Namun, alangkah lebih baiknya, Madam memberitahukan masalah kepada kami. Agar kami, bisa langsung menyelesaikan...” “Manis” sela tamu wanita tersebut. Aku mengerutkan kening. Tentu, siapapun bakal menanggapinya begitu. Manis? Apa maksudnya, sih?

“Maaf, Madam? Manis? Apa maksud anda...” ucapku tak sampai. Mulutku tiba-tiba kelu, saat menatap kedua mata wanita tersebut. Aku kenapa? Kenapa aku merasa seperti... Tidak bisa bergerak? Bohong, nih.

“Kau! Kaulah yang manis. Benar, tebakanku! Di mana lebah berkumpul, di situlah ada darah yang nikmat akhirnya muncul” ujar wanita tadi. Sepintas, dia terlihat gembira dan bangga, akan pencapaiannya. Hah? Apa sih? Lebah? Darah yang nikmat? Sejak kapan lebah, berkumpul mengerubungi darah?

Sumpah, aku enggak ngerti. Dari pada bikin bingung, tolong buat aku bisa bergerak lagi dong! Tubuhku benar-benar... Enggak bisa bergerak.

“Aku yang pertama! Tak ada yang boleh mengganggu santapanku!!!” seru wanita tersebut. Dia mendadak terbang ke langit-langit. Kau bisa bayangkan? Dia terbang, hanya menggunakan selendang merahnya yang panjang tadi. Iya, dia terbang!

Dan tanpa aba-aba, dia menukik ke arahku. Seakan, bersiap untuk menyantapku hidup-hidup. Aku masih terdiam, meski para resepsionis dan kepala resepsionis berusaha menghentikan wanita paruh baya tadi.

“Miss Reine, awas!!” teriak si kepala resepsionis, Miss Marine. Hah? Awas?

Tunggu, apa?!

Aku benar-benar tersadar, saat wanita paruh baya tadi mendadak mengeluarkan dua buah taring panjang. Saking panjangnya, sampai kedua taring keluar dari mulutnya. Tanpa diperintah, ragaku ingin berlindung.

Semua orang panik, berusaha berteriak untuk menyadarkanku ataupun berusaha menyelamatkanku. Tapi sayangnya, tubuhku... masih tidak bisa bergerak. Wanita paruh baya tersebut, terbang dengan kecepatan yang tak masuk akal.

Melihatnya terbang saja, bagiku tak masuk akal. Di tambah lagi, memamerkan taringnya yang tajam. Kurasa, hidupku enggak bakal lama dengan segala kegilaan ini.

Apa... sudah waktunya, ya? Kalau begitu, Mom, tunggu aku di sana. Mungkin hari ini, aku akan menyusulmu...

Mimpi

Wanita bertaring dengan selendang merah, menerjangku bak kilat menyambar. Tubuhku, masih tidak bisa bergerak. Walau beberapa orang, berusaha melindungiku.

Harusnya, aku segera menghindar, bukan? Kebodohanku, membuat nyawaku terancam. Mungkin memang, tak ada jalan lain selain, menerimanya. Aku mendadak putus asa dan pasrah dengan kehidupanku. Meski aku masih berharap, ada sedikit cahaya yang dapat membantu.

Kuputuskan untuk memejamkan kedua mata. Agar aku, tak merasakan sakit ketika wanita bertaring itu hendak menyakitiku. Dalam hatiku berkata,

Ah ya, bukankah aku sudah sering mendapatkan ini?

Semenjak aku mengetahui rahasia kedua orang tuaku, semuanya menjadi semakin sulit. Bahkan, walaupun aku tidak mengikuti jejak mereka berdua, tetap saja... para iblis seperti mereka selalu mengancam nyawaku. Kadang, aku memang bisa melawan mereka.

Entah itu, dengan sebongkah batu. Ataupun, dengan sebuah kayu. Biasanya memang, aku berhasil lolos dengan mudah.

Sayangnya, kali ini berbeda. Karena tak bisa bergerak, aku gagal membela diriku sendiri. Hhh, ya sudahlah... aku tidak tahu lagi. Pikiranku berhenti, ketika terdengar suara yang cukup keras berada di hadapanku.

Buakkkk!

“Miss Reine!” panggil sebuah suara yang tak asing. Khayalan. Tidak mungkin, suara itu memanggilku. Apa mungkin, karena hidupku tak lama lagi, aku jadi berhalusinasi? Mana ada, orang yang bisa membantuku? Para resepsionis saja, tidak berhasil menghalau monster bertaring itu.

“Miss Reine!! Cepat bangun!” seru suara itu lagi. Aku tidak akan membuka mataku sekarang. Pasti, nanti bakal syok. Suara itu, milik malaikat kali ya? Tidak, aku belum siap.

“Miss Reine!!!” teriaknya makin kencang. Mendadak, aku teringat suara tersebut. Seperti suara...

“Lady Dia?!” balasku pada akhirnya. Ya, setelah aku membuka kedua mataku, tentunya. “Aduh, ku kira kamu... Syukurlah. Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka?” tanya Lady Dia dengan wajah khawatir. “Saya... Eh?” ucapku terbata, usai merasakan tubuhku bisa bergerak kembali.

“Saya bisa bergerak!” pekikku girang. Lady Dia menghela nafas lega, diikuti senyumnya yang khas. “Miss, tolong bawa Miss Reine ke klinik. Dia harus beristirahat” pinta Lady Dia pada beberapa orang resepsionis. “Tapi... bagaimana dengan tamu VIP-nya?” tanyaku menolak.

Lady Dia tampak menghela nafas lagi. Kali ini, dia terlihat kesal sembari berkacak pinggang. “Kamu harus beristirahat! Bagaimana bisa... setelah semua kekacauan ini terjadi, kamu masih memikirkan tamu VIP. Cepat, bawa dia ke klinik sebelum aku yang akan menggigitnya!” perintah Lady Dia, terdengar agak menakutkan. Yah, meski dia enggak punya taring. Tapi, kupikir... lebih menakutkan dia sih.

Miss Cara dan Miss Marine buru-buru membantuku berdiri. Mereka memegangiku hingga sampai di klinik hotel. Di sana, Miss Emma memeriksa keadaanku dengan teliti.

Sembari masih terbaring di ranjang klinik, aku teringat akan wanita berselendang merah tadi. Bagaimana bisa, semuanya kembali normal begitu saja? Apa yang terjadi, ketika aku tidak sadarkan diri?

Eh? Apaan? Aku masih sadar, kok! Salahku, enggak membuka mata. Kalau tadi aku membuka mataku, pasti aku akan tahu apa yang terjadi dengan wanita berselendang merah.

“Miss Reine, kau baik-baik saja? Miss Emma, dia baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka, bukan?” tanya Miss Marine cemas. “Keadaannya normal. Hanya saja, Miss Reine mungkin masih syok. Jadi, biarkan dia istirahat dulu sebentar” terang Miss Emma. Miss Marine tampak mengangguk mengerti.

“Miss Marine, bagaimana dengan wanita berselendang tadi?” tanyaku penasaran. Sebelum dia dan Miss Cara meninggalkanku, aku harus tahu apa yang telah terjadi tadi. Aku menatap Miss Marine dengan sorot mata serius. Yah, meski mataku ingin sekali terpejam sejenak.

Miss Marine menoleh ke arah Miss Cara sejenak. Dia terlihat ragu untuk menceritakan kejadian tadi padaku. Padahal, aku sudah siap lho, akan semua hal yang bakal dia ceritakan. Aku baik-baik saja!

“Tolong, jangan membuatku tidak tenang. Kalian berdua, juga berada di sana. Jadi, tolong jelaskan padaku” pintaku setengah memohon. Mendengarku memelas, Miss Cara mengangguk pelan ke arah Miss Marine. “Sebelum itu, tolong jangan katakan pada Lady Dia, kalau kami yang memberitahu anda tentang ini” jawab Miss Marine sebelum menjelaskan. Mungkin, mereka diperintahkan untuk tidak boleh mengatakan apapun padaku, ketika aku menanyakannya.

“Wanita tadi adalah iblis pengisap darah. Lady Dia bilang, wanita itu sangat berbahaya. Kalau saja Lady Dia tidak datang tepat waktu, mungkin saja anda telah berubah menjadi... ah, tapi untungnya, Lady Dia sudah mengusir wanita tadi” terang Miss Marine. Aku mengerutkan kening. “Mengusirnya? Dengan apa? Wanita itu sangat kuat, lho! Bahkan aku tadi, tidak bisa bergerak” tanyaku makin penasaran.

Miss Marine tampak kebingungan, ketika akan menjawab. “Dengan gagang sapu!” jawab Miss Cara cepat. “Haah?!” seruku tak percaya. Dia terlihat mengangguk, wajahnya berusaha meyakinkan.

“Lady Dia langsung memukulnya begitu saja. Saya pikir, anda-lah yang hebat! Saat kami berusaha melindungi anda, dengan menyerang iblis itu menggunakan kerikil, anda tiba-tiba memancarkan cahaya dan membuat sebuah pelindung. Lalu, iblis itu terpental mundur hingga tersungkur ke tanah. Dan seketika, Lady Dia datang serta memukul iblis dengan sapu” kisah Miss Cara panjang. Sudah kuduga, dia adalah pendongeng yang sangat baik. Tanpa ku minta, Miss Cara menjelaskan semuanya secara detail.

Padahal Miss Marine semenjak tadi, berusaha untuk menghentikan Miss Cara. Dia tampak menyikut lengan Miss Cara berkali-kali. Namun, tipe Miss Cara adalah tipe yang sekali bicara, dia bakal mengatakan segala fakta. Sampai ke akar-akar. Karena itu, aku selalu mengandalkannya saat ada perkelahian antar resepsionis atau karyawan lain.

Sekarang, aku jadi makin tak paham. Memancarkan cahaya? Membuat pelindung? Mementalkan iblis hingga tersungkur? Aku? Aku yang melakukannya?

“Hahahahahhh!!” tawaku keras. Saking kerasnya, baik Miss Cara maupun Miss Marine, tampak mundur selangkah. Mereka pikir, aku mungkin sudah kerasukan. Ya, kukira aku memang sudah kerasukan.

Astaga... bagaimana bisa, aku melakukan hal yang sehebat itu? Mustahil! Masih mimpi kali, aku!

“Berhentilah menceritakan novel orang lain, Miss Cara. Aku sedang tidak enak badan. Aku hanya ingin mendengar cerita yang sebenarnya, bukan cerita fiksi” pintaku kecewa. “Hah? Tapi barusan... saya menceritakan kejadian aslinya, Miss Reine! Anda yang melakukan itu! Hari gini... manusia biasa bisa apa, saat menghadapi para iblis? Kalau aku jadi anda tadi, pasti sudah tercabik-cabik tidak karuan. Tapi anda...” “Iya, iya...” selaku buru-buru mengiyakan. Yah, walau masih enggak percaya.

“Miss Reine, aku serius!!” pekik Miss Cara keras. Menandakan, dia benar-benar mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tapi ya... gimana ya? Bukannya tidak percaya, tapi aku kan enggak melihatnya sendiri. Jadi... ya...

“Miss Marine, Miss Cara, silakan kembali bekerja. Miss Reine, anda harus beristirahat. Sudah, lupakan hal yang tadi dan tidurlah. Anda harus rileks, agar keadaan anda stabil kembali” pinta Miss Emma. Dia mungkin agak kesal, karena melihat perdebatanku dengan Miss Cara. Memang, cukup berisik tadi.

Di sisi lain, dia mungkin juga mengkhawatirkan keadaanku. Setelah kejadian itu, aku mendadak lemas. Tubuhku, terasa agak melemah. Walau sedikit, tapi sangat berdampak sekali.

Sepeninggal Miss Cara dan Miss Marine, Miss Emma menyelimutiku dengan selimut milik klinik. Dia juga menyuruhku meminum sebuah obat, agar tubuhku fit kembali saat bangun. Tanpa menanyakan lagi, aku segera meminumnya. Obat itu, rupanya bekerja dengan sempurna. Beberapa detik saja setelah meminumnya, aku langsung tertidur.

~~

Reine...

Reine...

Reine...

Suara itu, memanggilku dengan lembut. Mirip suara ibu. Tidak, mungkin aku salah dengar. Paling, cuma mimpi. Tadi, aku kan habis minum obat dan tertidur.

Reine sayang... harusnya, kamu tidak melalui hal yang buruk seperti ini. Maaf, aku tidak bisa menolongmu tepat waktu. Seandainya saja, aku lebih cepat. Mungkin, monster itu bisa terusir tanpa membuatmu kesulitan.

Maafkan aku, Reine...

Kenapa kau minta maaf? Siapa? Kau siapa? Kenapa? Ibu? Tidak, dia bukan ibu. Mimpi apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa aku bermimpi seperti ini?

Maafkan aku, sayang... maaf...

Berhenti, minta maaf! Berhenti! Berhentilah!!!

Insiden

“Miss Reine?” panggil Lady Dia sembari menggoyang-goyangkan tubuhku. Dia tampak cemas, ketika tidak berhasil membuatku bangun. Sepertinya, aku terlalu larut dalam mimpi. Hingga rasanya, rohku tak sanggup untuk memanggil jiwaku kembali.

“Miss?” panggilnya lagi. “Ya, Lady...” jawabku lemas. Mendengarku membalas, Lady Dia tampak menghela nafas panjang. Seharian ini, aku telah membuatnya terus khawatir. Aku benar-benar merepotkan.

Saat terbangun, keadaan sudah gelap. Aku tahu, di mana keberadaanku saat ini. Masih di ranjang klinik. Dan sepertinya, Lady Dia mengawasiku sedari tadi.

“Kamu baik-baik saja, Reine? Tadi sepertinya, kamu sedang mengingau. Sulit sekali dibangunkan. Aku jadi... agak sedikit cemas. Maaf, sudah mengguncang-guncangkan tubuhmu” sesal Lady Dia. “Hm, tidak masalah. Melihat wajah anda, tidak ada... masalah yang terjadi, bukan?” tebakku berhati-hati. “Tentu saja, tidak. Semua bisa dihandle dengan aman. Tapi, aku lebih khawatir padamu, ketimbang tamu VIP. Miss Emma bilang, kamu syok dan harus diberi obat untuk menenangkannya” kata Lady Dia.

Aku mencoba menampilkan senyuman terbaikku. “Saya baik-baik saja, Lady. Mendengar anda begitu baik, saya jadi agak merinding. Biasanya, anda akan memarahi saya kalau tiba-tiba tertidur dan sulit dibangunkan” ucapku. Belum sempat menutup mulut, Lady Dia mendadak menjewer telingaku.

“Kau?! Aku adalah orang yang baik! Kau pikir, aku orang yang jahat? Hah?! Aku tidak akan marah dan memberimu pelajaran, kalau bukan kau yang melanggar aturan! Dasar!! Kalau kau tadi membiarkanku khawatir saja, mungkin aku tidak akan menjewermu, meski tahu kau sedang sakit!!” teriak Lady Dia kembali menjadi atasanku yang normal. Aku tertawa senang, usai berhasil membuatnya marah-marah. Bukan maksudku, sih. Hanya saja... kalau melihatnya enggak ngomel seharian itu... kayak ada yang salah.

Lady Dia terlihat masih marah. “Pulang saja, setelah ini. Tamu VIP, biar aku yang urus. Besok tidak usah masuk dulu. Istirahatlah” perintahnya sambil bersedekap. “Tapi... saya baik-baik saja” tolakku sopan. Lady Dia menggeleng, dia bersikeras tetap pada keputusannya.

“Aku tidak punya banyak waktu. Cepat pulanglah!” pinta Lady Dia. “Tamu VIP?” tebakku. “Hm, begitulah. Dia mendadak, mengadakan pesta besar-besaran di ballroom. Auh... untung saja, tim dapur sempat stok bahan makanan. Dan untungnya, semua koki sedang tersedia. Kalau tidak, kami bakal kewalahan” curhat Lady Dia.

Lady Dia tampak memegangi keningnya. “Benar-benar kacau... Dan kau tahu bagaimana ekspresi Direktur? Dia bilang, dia sangat bersenang-senang dengan pestanya. Enggak tahu apa, aku hampir tersedak ludahku sendiri pas tamu bilang, dia sudah mengundang seratus orang buat hadir di pesta?! Brengsek, memang!” lanjut Lady Dia, yang berakhir mengumpat. Kalau sudah begitu, biasanya memang keadaan hotel benar-benar kacau. Sebelum dia makin meledak, aku harus membuatnya tenang.

Usai itu, aku memutuskan untuk pulang. Tubuhku, masih lemas. Dari pada aku mengacau, lebih baik istirahat dulu saja.

Sepanjang perjalanan keluar dari klinik menuju ruanganku, aku berkali-kali merasa tak habis pikir. Bagaimana bisa, mentang-mentang tamu VIP gitu... tiba-tiba meminta hal yang semendadak itu? Gila, kali! Kalau manusia normal, pastinya enggak begitu kan? Semuanya, harus diatur dulu. Dibicarakan baik-baik.

Tapi jadinya, aku ingin melihat keadaan. Separah apa sih, sampai Lady Dia semarah itu? Buru-buru, aku keluar dari ruangan. Setelah mengunci ruanganku, aku melangkah diam-diam menuju ballroom.

Ada sebuah pintu, yang digunakan secara khusus untuk pegawai. Jadi, aku berusaha untuk tidak ketahuan dan mengintip melalui pintu tersebut. Untungnya, di sekitar pintu itu sepi. Jadi, aku bisa mengintip sebentar.

Saat melihat keadaan di dalam ballroom, akhirnya aku memaklumi umpatan Lady Dia. Dengan orang sebanyak itu? Si tamu VIP membuat pesta besar, tanpa konfirmasi sebelumnya? Pesta hanya disiapkan satu jam saja?! Memangnya, kami robot? Astaga, aku ikut muak jadinya.

Tapi ya... pada siapa aku harus mengeluh? Ini, sudah menjadi pekerjaan kami kan? Karena itu, Lady Dia memaksaku untuk pulang dan beristirahat. Benar. Dari pada aku makin pusing, lebih baik aku pulang.

Aku keluar dari pintu khusus karyawan, yang menghubungkan ke ballroom. Ketika keluar dan hendak menuju ke arah pintu belakang hotel, seseorang menabrakku. Akibatnya, tasku terjatuh. Saat itu terjadi, aku sempat mencium bau sesuatu. Namun, aku mengacuhkannya.

Pas nunduk untuk mengambil tas, kepalaku mendadak pusing lagi. Rasanya berputar-putar tak tertahankan. Sembari memegangi kepala, aku berusaha untuk mengambil tas.

“Anda... baik-baik saja? Maaf, saya tidak sengaja” sesal seseorang. Aku enggak sempat lihat wajahnya. Kupikir, orang itu pasti yang tadi menabrakku.

Malas membesar-besarkan masalah, aku memilih hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Aku buru-buru pergi, usai tasku sudah berada di tangan. Kepalaku makin terasa berat saja, apalagi pas dibuat jalan.

Tiba-tiba rasa sakitnya makin tak tertahankan. Aku berusaha untuk memegangi kepalaku, agar aku bisa mengendalikan diri. Semuanya, tampak masih berputar-putar. Dan makin parah saja.

“Anda benar-benar baik?” tanya orang itu lagi. Suaranya, aku masih bisa mengenali. Suara dari orang yang menabrakku. Sepertinya, orang itu masih berada tak jauh dariku.

Tapi, kenapa? Kenapa dia enggak segera pergi? Padahal, aku sudah setengah jalan? Bodoh, ah. Yang penting, aku harus segera pulang dan...

Brakkkk!

“Nona?”

“Nona? Anda baik-baik saja? Nona?!”

Aduh, suara orang itu membuatku mual. Oh, aku jatuh ya? Tidak, aku harus segera berdiri.

Aku merasa, orang itu membantuku berdiri. “Sepertinya, anda tidak baik-baik saja ya?” bisiknya. Hah? Apa sih? Kenapa dia terasa makin dekat? Apa karena, dia membantuku berdiri? Tapi kan, aku sudah berdiri!

“Maaf!” seruku sambil berusaha menghindar. Lorong yang menuju pintu belakang hotel, memang gelap. Sepertinya, lampunya kembali eror. Sering sih, terjadi. Tapi, bukan itu masalahnya.

Masalahnya adalah... sekarang ini aku sedang melihat seorang pria tinggi, bertubuh atletis dan tentu saja, tampan. Hmm, ya, walaupun wajahnya terlihat agak pucat. Apa sakit, ya? Wajahnya benar-benar pucat, seperti orang sakit. Apa memang karena, saking mulus dan putihnya kulit pria itu?

Oh ya, masalahnya, tak ada orang lain selain karyawan, yang bisa melewati lorong ini. Para atasanku pun, tidak akan menggunakan pintu belakang, kalau mau pulang. Pasti, lewat pintu depan. Tapi, pria ini... kenapa dia berada di sini?

Dan dia, masih memegangi kedua bahuku lagi!

Pikirku, oh, mungkin pria ini tersesat. Atau mungkin, salah masuk pintu? Pasti, dia salah satu tamu yang lagi pesta di ballroom. Berarti, temannya tamu VIP, ya? Aku harus sopan nih!

“Maaf, anda tidak seharusnya berada di tempat ini. Apa mungkin, anda sedang tersesat? Jika anda mencari ballroom, dari sini, anda bisa langsung lurus saja dan masuk ke pintu yang ada di sebelah kanan” jelasku detail. Dia terus menatapku dengan intens, saat aku sedang menjelaskan. Pria itu hanya, tersenyum dan tak mengatakan apapun.

“Kalau begitu, saya permisi” ucapku pamit. Perasaanku enggak enak. Kalau tidak segera pergi, mungkin ada hal yang tidak bagus akan terjadi. Begitu, menurut firasatku. Kalau-kalau... dia iblis yang sedang menyamar, kan?

Eh, mana ada? Tapi, bodoh! Ada atau enggak, aku harus pergi. Ditatap dengan ekspresi yang begitu, membuat jantungku berdegup kencang tak karuan. Memang ya, kalau sudah iblis, terus ganteng, itu... damage-nya lebih berasa!

Masa iya, sih iblis? Ganteng begitu? Kalau iya, baru kali ini nih ketemu iblis seganteng itu. Apa? Kau bilang, kalau di gigit atau di sakiti iblis seganteng itu, kau bakal rela? Aku enggak, ih!

Asal kalian tahu ya, di sakiti iblis itu enggak enak. Mau seganteng apa itu, tetap enggak enak rasanya! Hati-hati! Jangan sampai kalian tiba-tiba ditarik, jatuh ke pelukannya, terus digigit. Sebaiknya, lindungi tubuh kalian saat itu terjadi.

Persis seperti, keadaanku sekarang. Eeeehhh, ya. Pria yang tadi itu, mendadak menarik tanganku. Terus, aku jatuh ke dadanya. Dan kedua mata kami, saling bertatapan. Duh...

Tubuhnya terasa dingin. Matanya merah. Dan bibirnya... mulai mendekat ke arahku. Dia mendorongku hingga tersudut di dinding lorong.

“Tu, Tuan, bisa tolong... lepaskan? Saya mau pulang” pintaku baik-baik. “Hmmm... melepaskanmu, ya? Biasanya sih, kalau sudah jatuh ke pelukanku begini... jarang-jarang ada yang lepas” jawabnya sok. Cih! Apaan?! Memangnya, kau yang merasa paling ganteng di dunia ini?!

“Ya, aku memang sering merasa begitu. Meski sebenarnya, aku enggak mau sombong. Tapi, yah... aku memang ganteng” ucap pria itu. Walah! Dia kok, bisa tahu aku ngomong apa? Aku tadi kan, ngomongnya dalam hati!

“Tidak usah kaget begitu. Karena kau sudah terpilih, jadi... nikmati saja...” ujarnya berakhir berbisik, tepat di telingaku. Orang ini... apa-apaan? Sumpah, aku merasa terganggu sekali.

Tanpa ragu lagi, aku langsung berusaha melepaskan diri. Sayangnya, cengkeramannya terlalu kuat. Secepat kilat, pria itu menyambar bibirku. Dia menggigit bibir bawahku hingga ku rasa, bibirku sobek.

“Hmmm...”

Eh?! Kenapa aku jadi mendesah gini?! Enggak, Reine! Bangun! Bangun dan pergi dari sini! Cepat!!!!!

Pria itu melepas bibirku sejenak. Dia tampak berpikir. “Mungkinkah kau...? Oh, menarik sekali. Akhirnya, takdir mempertemukan kita” ucapnya aneh. Tak lama, dia kembali menghabisi bibirku.

Semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin cengkeramannya terasa makin kuat. Aku tidak bisa melakukan apapun, selain merasakan bibir bawahku mulai mengeluarkan darah.

Pria itu, menyesap darah yang keluar dari bibirku. Rasanya menyakitkan, tapi... kenapa aku merasa... tidak bisa bergerak untuk menamparnya atau apapun itu? Jangan-jangan... aku lagi-lagi sedang berada di bawah mantra?!

Kini, dia beralih ke arah leherku. Tepat, di leher samping kanan. Dengan langkah yang sama dengan bibir, dia menggigit dan menyesap darahku. “Hmmm!!” erangku kesakitan.

Apa-apaan ini? Jangan bilang aku...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!