NovelToon NovelToon

Affair With CEO

Resepsi yang kacau

“Kirana, kamu pulang dulu ya ke rumah orang tuamu. Mas ada pekerjaan yang nggak bisa ditunda, kurang lebih satu bulan. Mas nggak mau kamu sendirian di rumah, lebih baik temani ibu saja. Itung-itung menghabiskan waktu di sana supaya dekat sama orang tua.”

Masih teringat jelas di benak Kirana ketika sang suami memintanya pulang ke rumah orang tua. Tanpa protes dia menyetujui usulan sang suami, tetapi ternyata permintaan suaminya memiliki makna lain.

Setelah mendapatkan kabar yang kurang menyenangkan, dia segera menyambar tas dan kunci mobil kemudian segera bergegas dari rumah sederhana milik orang tuanya.

“Ma, aku titip anak-anak dulu ya. Aku pergi sebentar,” ucap Kirana yang berpapasan dengan sang ibu di halaman.

“Mau ke mana kamu? Baru juga sehari udah keluyuran aja.” Sang ibu menatapnya dengan kesal, tetapi wajah paruh baya tersebut tak menunjukkan kemarahan.

“Aku mau pulang ke rumah Mas Zidan. Ada urusan.” Tanpa mengatakan apa pun lagi, Kirana segera bergegas pergi dari rumah.

Mobil yang dikendarai melaju dengan kecepatan tinggi mengingat lalu lintas di siang hari tak terlalu padat.

Tiba di rumah, Kirana tak melihat apa pun. Rumah tinggalnya terlihat sepi. Akhirnya Kirana memutuskan menuju rumah mertuanya yang ada di perumahan sebelah.

Seratus meter dari rumah mertuanya, dia bisa melihat rumah tersebut begitu ramai seperti sedang ada acara. Kirana menyunggingkan senyum sinis, matanya berkaca-kaca dengan bibir yang bergetar menahan tangis.

Sebelum turun, dia kembali merapikan penampilan dan riasannya supaya tak terlihat menyedihkan.

“Mas Zidan!” teriak Kirana keras ketika melihat sang suami menggandeng wanita lain yang lebih muda. Senyumnya mengembang dengan penuh kebahagiaan.

Mendengar suara teriakan, bukan hanya sang suami yang menoleh, semua orang ikut menoleh ke arahnya yang berdiri kaku sambil menatap mereka semua.

Terlihat Zidan terkejut dengan kedatangannya. Pria itu segera menghampiri istrinya bersama dengan wanita paruh baya dengan dandanan hedon.

“Kamu ngapain di sini, Kira?” tanya Zidan pelan.

Belum sempat Kirana menjawab, wanita paruh baya tersebut menarik Kirana menjauh sambil mencengkeram pergelangan tangannya.

“Ngapain kamu di sini? Jangan ganggu pernikahan anakku!” teriak wanita paruh baya tersebut di depan wajah Kirana.

“Anak ibu itu suamiku. Ayah dari anak-anakku!” balas Kirana ikut berteriak.

“Diam! Jangan keras-keras,” teriak wanita paruh baya tersebut sambil melotot marah.

“Kenapa harus diam Bu? Mas Zidan ini suamiku, ayah dari anak-anakku. Ibu kenapa tega melakukan ini.” Tangis Kirana seketika pecah, apalagi melihat sang suami yang diam saja tak mengatakan apa pun. Tidak melakukan pembelaan atau penjelasan.

“Tapi Zidan nggak bahagia sama kamu yang nggak bisa kasih dia anak laki-laki.”

Apa bedanya?

Anak laki-laki atau perempuan itu sama saja. Tidak ada bedanya, toh dikasihnya memang seperti itu.

Kalau memang Zidan tidak bahagia hidup bersamanya, kenapa pria itu tak menceraikannya saja baru menikah lagi dengan wanita yang diinginkan.

Kenapa harus mendua?

Kenapa harus berbuat curang seperti ini?

Kirana menoleh, menatap pria yang menjadi suaminya. Mata pria tersebut berkaca-kaca siap menumpahkan tangis, tetapi dengan cepat segera memalingkan wajah enggan menatapnya.

Lagi dan lagi, Kirana harus menelan kecewa melihat respons yang diberikan sang suami.

“Zidan, lebih baik kamu ceraikan saja wanita ini. Dia jadi wanita juga nggak guna!” Wanita paruh baya tersebut terus memprovokasi anaknya.

“Aku nggak akan menceraikan Kirana, Bu.” Zidan menjawab dengan pelan.

Belum sempat perdebatan yang dilakukan ketiga orang tersebut usai, datang sosok pengantin wanita menghampiri dengan wajah kesal.

“Kenapa malah di sini. Ini pernikahan kita loh, Mas. Ibu juga ngapain sih?” Wanita dengan kebaya pengantin tersebut mengomel sebelum matanya melirik ke arah Kirana sinis. “Ini lagi, istrimu ngapain ke sini. Katanya udah diungsikan, kok masih ganggu acara kita sih, Mas.” Wanita itu menatap Zidan dan mertuanya dengan kesal.

Kirana hanya bisa mengepalkan tangan. Ketiga orang di hadapannya ini benar-benar tega. Membicarakan sesuatu tanpa peduli dengan perasaannya yang saat ini hancur berkeping-keping.

Ibu mertua, tidakkah kau sebagai sesama wanita memiliki sedikit empati?

Sebegitu tak punya perasaan kah mereka?

“Kirana, kamu pulang aja dulu. Kita bisa bicarakan ini di rumah,” ucap Zidan menatap Kirana singkat. Pria itu segera mengandeng pengantin wanita tersebut untuk masuk kembali ke dalam tenda acara.

Sebelum pergi, wanita yang menjadi mertuanya itu menatap Kirana dengan tatapan menghina. “Lihat, kan! Suamimu itu udah nggak mau sama kamu lagi. Jadi lebih baik kamu pulang aja, jangan ganggu di sini.” Setelah mengatakan kalimat yang menyakitkan, wanita paruh baya itu berjalan pergi meninggalkan Kirana yang hanya menatap datar.

Kirana memejamkan mata sejenak sambil mengatur emosinya. Setelah perasannya sedikit mereda, dengan cepat kakinya melangkah ke arah rumah mertuanya lagi.

Kirana mengangkat kursi plastik yang ada di sana dan melemparkannya asal hingga menimbulkan keributan.

Semua orang terkejut, mata mereka melebar dan bisik-bisik tetangga mulai menggema, tapi Kirana tak peduli. Matanya menatap tajam ke arah pelaminan di mana keluarga dari pengantin sedang ada di sana dengan pose yang siap dijepret kamera.

Kirana menggila, dia melemparkan kursi plastik tersebut ke arah pelaminan. Kakinya bahkan tak segan menendang meja hingga terbalik. Apa yang dilakukan menimbulkan kekacauan hingga menyebabkan mereka yang ada di sana bergidik takut melihatnya.

Suara pekikan ibu mertua dan mempelai wanita tersebut terdengar begitu histeris meneriaki Kirana dengan sebutan wanita gila. Apa pedulinya.

“Kirana!” pekik Zidan segera menghampiri dan mencekal tangannya, tapi Kirana segera menyentak pegangan tangan sang suami dengan kasar.

“Jangan sentuh aku Zidan Pranadipa!” teriak Kirana keras sambil mendorong pria itu mundur.

Kekacauan yang dibuat oleh Kirana disaksikan semua orang. Dia bukan hanya mengacaukan acara yang dibuat oleh mertuanya, tetapi juga menakuti para tamu yang hadir.

Emosi menguasai hingga membuatnya kalap menghancurkan pesta pernikahan suaminya.

Tak ada yang berani mendekat, tak ada yang berani menghentikan aksi gila Kirana, bahkan Zidan sendiri hanya melihat dengan kedua tangan yang mengepal.

Kirana dengan emosi yang membumbung tinggi, melemparkan kursi-kursi plastik, kakinya menendang meja hingga terbalik. Matanya menyorot tajam namun air matanya meleleh deras membasahi kedua pipinya. Tanpa diucapkan, cukup matanya saja sudah membuktikan banyak hal.

Kirana terluka.

“Cepat usir wanita gila ini!” teriak sang pengantin wanita membuat Kirana menoleh.

Kirana tersenyum tipis dengan bibir yang bergetar. Langkah kakinya menuju pelaminan hingga membuat beberapa orang yang ada di sana segera berhambur karena ketakutan.

“Wanita gila ini adalah istri sah dari suamimu. Istri pertamanya!” sahut Kirana dengan penuh penekanan.

Kirana berdiri di depan sang pengantin baru yang menatapnya dengan tatapan menghina. Kepalanya menoleh kembali ke arah kumpulan tamu yang menatap dengan takut.

“Kalian semua yang ada di sini tahu nggak kalau pria ini, dia adalah suamiku, ayah dari dua anakku. Bahkan sampai saat ini statusnya masih sah menjadi suamiku. Tapi bisa-bisanya dia menikahi wanita lain tanpa seizin istrinya, apalagi dengan tidak tahu malu mereka mengadakan pesta besar seperti ini,” ucap Kirana lantang membuat beberapa orang yang tidak tahu, menampakkan wajah terkejut. “Dan seharusnya, yang menjadi pertanyaan adalah ... bagaimana caranya mereka bisa menikah secara sah sementara saya sebagai istri pertama saja tidak mengetahui?”

“Kamu sudah menandatangani surat persetujuan, Kira!” teriak Zidan menyangkal.

“Kapan? Aku tidak pernah sekali pun menandatangani persetujuan pernikahan keduamu,” sahut Kirana.

“Tapi aku punya bukti kamu telah menyetujui pernikahan ini dengan persetujuan di atas materai.” Senyum tersungging di bibir pengantin wanita mendengar ucapan Zidan.

Kirana mencoba mengingat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Tawanya pecah dengan keras sembari menggeleng pelan. Jika benar dugaannya, maka suaminya itu memang menipu, karena tanda tangan yang diberikan untuk surat persetujuan Zidan tugas ke luar kota.

“Kamu menipuku. Kamu memanipulasi isinya.”

“Apa pun yang kamu katakan itu nggak akan mengubah apa pun, Kira. Mereka sudah resmi menikah secara sah hukum dan agama,” sahut wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya Zidan.

“Kalian lihat? Suami dan mertuaku mendukung pernikahan yang jelas-jelas tanpa persetujuan istri pertama.” Bisik-bisik mulai terdengar dari para tetangga.

“Hentikan, Kira! Lebih baik kamu pulang!” bentak Zidan sambil menyeret Kirana turun dari atas pelaminan.

Sebelum benar-benar keluar dari tenda hajatan, Kirana menoleh ke belakang menatap semua orang yang saat ini tengah menatapnya. Ada yang menatap iba, ada pula yang menatap sinis.

“Nggak apa-apa ibu perlakukan aku kayak gini. Ingat Bu, Anda masih punya anak perempuan. Semoga anak ibu tidak akan mengalami hal kayak gini,” ucap Kirana pelan kemudian menyentak tangan suaminya hingga genggaman terlepas. Matanya menatap tajam suaminya sebelum kembali melanjutkan, “Dan semoga kamu nggak menyesal dengan apa yang telah kamu lakukan, Mas.” Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Kirana segera bergegas pergi.

To Be Continue ....

Hati yang kau sakiti

Tubuh Kirana merosot di lantai ketika pintu kamarnya baru saja tertutup. Isak tangis terdengar begitu menyayat hati, tubuhnya bergetar hebat. Dalam sekejap luluh lantak kepercayaan yang diberikan Kirana kepada sang suami. Dadanya bergemuruh dengan hebat, tetes demi tetes air mata mengalir membasahi pipinya.

Ternyata, sepuluh tahun pernikahan dengan Zidan tak berarti apa-apa bagi pria tersebut.

Mengapa Zidan begitu tega membohonginya?

Kirana masih terisa dengan segala kepedihan yang mendera. Memori ingatannya berputar tentang perjuangannya selama ini menemani sang suami. Mengorbankan banyak hal termasuk karir dan keluarganya.

Selama ini Kirana tak pernah menuntut apa pun dari Zidan. Apakah hanya karena ia tak bisa memberikan anak laki-laki, lalu pria tersebut memutuskan menikahi wanita lain, sementara ia telah melahirkan dua putri untuknya.

Selama ini, mertuanya memang selalu menuntut Kirana untuk melahirkan anak laki-laki. Namun sebagai manusia biasa dia tak bisa menentukan karena semuanya kembali kepada sang pencipta yang mengatur segalanya.

Dia bukannya tak bisa memberikan keturunan, dia telah memberikan dua putri yang sangat cantik. Lalu apa bedanya?

Dia masih terisak, dadanya begitu sesak. Membayangkan perlakuan suaminya yang tak pernah menuntut banyak hal, membuatnya tak pernah memiliki firasat apa pun. Zidan masih berlaku seperti biasa, menjadi suami dan ayah yang baik bagi kedua putrinya.

Namun kenapa semua ini harus terjadi.

Ponselnya berdering beberapa kali, nama sang ibu terpampang di layar ponsel. Kirana segera menghapus air matanya dan mulai mengatur napas sebelum menjawab panggilan tersebut.

“Ah, iya, Ma. Bentar lagi aku balik. Masih ada urusan. Diusahakan sebelum pukul tujuh aku udah di rumah. Kalau kiranya aku belum balik, nggak apa-apa kan kalau ajak anak-anak? Nanti aku langsung jemput di tempat acara.”

Setelah panggilan terputus, Kirana bernapas dengan lega. Sang ibu hanya mengabari jika beliau ada urusan sehingga memintanya pulang karena tidak tega meninggalkan kedua cucunya. Namun dia tak bisa pergi begitu saja sebelum mendengar penjelasan dari sang suami. Masih ingin mendengar langsung alasan apa yang membuat Zidan memilih menikahi wanita lain.

Kirana masih terduduk di lantai, menatap kosong kamar tidurnya. Bayangan manis kebersamaan dengan suami dan kedua anaknya membuat mata Kirana kembali memanas.

Jarum jam terus berputar, tanpa terasa sudah pukul empat sore. Kirana masih menunggu, menunggu untuk sebuah penjelasan tetapi ternyata tak ada seorang pun yang datang, bahkan Zidan sama sekali tak menghubunginya.

Sebelum pergi, mata Kirana menatap kosong rumah impiannya. Rumah yang telah lima tahun menjadi tempat bernaungnya mimpi-mimpi dan harapan sebuah keluarga yang indah dan bahagia. Satu tetes air mata mengalir sebelum Kirana berbalik dan masuk ke mobilnya.

...✿✿✿...

Kirana duduk di halaman rumah orang tuanya sambil menikmati angin malam. Gelapnya langit tanpa hadirnya bintang atau rembulan sama seperti apa yang dirasakan saat ini.

Abdillah dan Rahma—kedua orang tua Kirana menatap sang putri yang sedari pulang tadi hanya merenung dan tak banyak bicara.

Kedua paruh baya tersebut saling berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Namun mereka enggan bertanya jika yang bersangkutan tidak mengatakan apa pun.

Dalam diam, tetesan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Kirana membiarkannya.

Hari ini kamu boleh menangis, habiskan air matamu karena besok kau tak akan menangisi dia lagi, Kira.

Mendengar langkah kaki mendekat, Kirana segera menghapus air mata yang masih mengalir.

“Ada apa Kak?” Kirana menoleh.

“Mama ngapain duduk di sini sendirian,” ucap Rina—anak sulungnya.

“Nggak apa-apa. Lagi pengen sendiri dan duduk aja. Memangnya kenapa Kak?”

“Mama aneh!”

Kirana tertawa pelan. “Kamu ini ada-ada aja. Sudah yuk, ayo bobo.”

Kirana dan kedua anaknya berbaring di satu ranjang yang sama. Tangannya terulur memeluk Lina—anak bungsunya yang baru berusia lima tahun. Dalam diam Kirana memikirkan banyak hal. Apa yang akan terjadi bila kedua anaknya tahu bahwa sang ayah telah memiliki istri lain. Membayangkannya saja sudah membuat hati Kirana sakit.

Hari-hari dilewati Kirana seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya saja tanpa ada kabar dari sang suami yang biasanya setiap hari akan menghubungi dan menanyakan banyak hal.

Kirana mencoba menghempaskan pikiran yang memenuhi isi kepalanya.

Sudah cukup Kirana menangis dan meratapi apa yang terjadi. Tak akan ia biarkan, air mata kembali tumpah untuk seseorang yang tak menganggapnya.

Sudah seminggu mereka berada di sini, kebetulan hari Senin kedua anaknya sudah mulai kembali bersekolah. Kirana mulai gundah, akankah dia memilih tinggal di sini ataukah kembali ke rumah.

“Ada apa, Nak?” Kirana dikejutkan dengan kehadiran sang ibu yang menyentuh bahunya.

“Nggak apa-apa Ma.” Seulas senyum tipis dipersembahkan untuk membuat wanita paruh baya tersebut tenang.

“Kamu ada masalah dengan Zidan?” tanya Rahma sambil menatap manik mata Kirana.

“Enggak,” sahut Kirana singkat.

“Tanpa kamu bicara, Mama tahu karena mama merasakannya.” Rahma berbicara sebagai seorang ibu yang memiliki ikatan kuat. “Katakan apa yang sebenarnya terjadi? Kalau ada masalah ya diselesaikan, bukannya malah kabur-kaburan.”

Kirana menatap Rahma dengan kesal. “Mana ada kabur-kaburan, Ma. Aku pulang juga atas perintah Mas Zidan. Katanya ada tugas luar kota sebulan ternyata kemarin dia baru aja melangsungkan pernikahan,” ucap Kirana berapi-api sampai tanpa sadar keceplosan.

“Apa!” Pekikan terkejut dari Rahma membuat Kirana terlonjak kaget. Wanita paruh baya tersebut menatap Kirana dengan intens seolah menuntut penjelasan tentang ucapannya.

Kirana mengangguk pelan sebelum menjawab, “Kemarin aku dapat kabar dari temenku katanya Mas Zidan melangsungkan acara pernikahan. Karena aku nggak percaya makanya kemarin aku datang untuk membuktikan secara langsung. Ternyata bener, Ma.” Bibir Kirana bergetar dan langsung memeluk Rahma dengan erat. “Mas Zidan mengkhianati pernikahan kami.”

“Kenapa Zidan ngelakuin itu, Kira?”

Kirana menggeleng pelan. “Aku nggak tahu Ma. Bahkan sampai detik ini, Mas Zidan belum menghubungiku sama sekali.”

Rahma mengusap lembut punggung Kirana yang bergetar. Membelai lembut punggung tersebut seolah menyalurkan kekuatan.

“Aku harus bagaimana, Ma.” Kirana sudah menguatkan diri dan hatinya, tetapi tetap saja batinnya tak sekuat itu.

“Mama nggak bisa ngomong apa-apa. Yang menjalani kamu, yang merasakan juga kamu, Mama cuma bisa berdoa yang terbaik. Apa pun keputusan yang kamu ambil, ingatlah bahwa kalian sudah memiliki dua putri dan melewati banyak hal bersama.”

“Mama memintaku bertahan?”

Rahma menggeleng pelan. “Itu keputusanmu, Nak. Tapi sebelum memutuskan apa pun, baiknya pikirkan dengan baik.

“Rahasiakan ini dari Papa. Aku nggak mau jantung Papa kambuh,” ucap Kirana pelan.

Kirana segera mengakhiri pembicaraan dengan Rahma. Tubuhnya kembali berbaring di ranjang dan menatap langit-langit kamar. Matanya memanas, tetapi Kirana memilih mendongak agar air mata tak tumpah lagi.

Pernikahan bukanlah permainan yang bisa diakhiri dengan mudah, apalagi ada anak-anak yang menjadi korban.

“Mama yakin kamu bisa melaluinya, Nak.”

“Jika aku memilih berpisah, maukah Mama mendukungku?”

“Mama akan selalu mendukung keputusanmu. Jangan merasa sendiri, ada kami yang akan selalu bersamamu.”

Kirana kembali memeluk sang ibu. “Makasih, Ma.”

To Be Continue ....

Kau datang membawa luka

Hari Minggu pagi, Rina dan Lina sudah bertanya tentang bagaimana sekolahnya. Kakak beradik tersebut tak mau dipindahkan ke sekolah yang ada di kota ini. Kirana mulai bimbang, sampai hari ini Zidan tak ada menghubungi atau sekadar bertanya kabar kedua putrinya.

“Kenapa sih, Ma? Kenapa kita nggak pulang ke rumah papa. Besok kami udah sekolah loh.” Rina merengek pelan.

Kirana tak mungkin menjelaskan tentang hubungannya dengan papa mereka yang sedang tak baik. Sebisa mungkin dia akan tetap merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Nanti ya,” sahut Kirana pelan.

Setelah obrolan singkat tersebut, Rina dan Lina diajak oleh Rahma ke pasar membeli sesuatu.

Duduk diam di belakang rumah, menatap hamparan pohon mangga yang tumbuh lebat dan sedang berbuah.

Tatapan matanya menerawang jauh, mengingat perkenalan pertama dengan Zidan saat mereka masih sama-sama bersekolah di bangku SMK.

Zidan dan Kirana bertemu saat keduanya sedang mengikuti lomba olimpiade sekabupaten. Dari pertemuan tersebut akhirnya benih-benih perasaan tumbuh di hati keduanya.

Keputusan menikah muda dibuat walaupun ada pertentangan yang terjadi di antara dua keluarga.

Setelah menikah, Kirana lebih dulu masuk universitas dan menjadi kakak tingkat Zidan. Semua itu dilakukan mengingat kedua orang tua mereka telah lepas tanggung jawab, mereka berdua harus mencari semua biaya sendiri. Semua yang dilakukan melalui proses yang tidak mudah. Jatuh bangun mereka lalui bersama hingga bisa sampai di titik sekarang.

Saat semuanya sudah diraih, mengapa justru cobaan itu datang dari pernikahan mereka.

Lamunan Kirana buyar saat mendengar suara ketukan pintu. Segera saja dia bergegas ke depan dan membukanya. Matanya terpaku menatap sosok seorang pria yang hampir seminggu tak ada kabar beritanya.

“Kira,” ucap pria itu dengan bibir yang bergetar gugup.

“Hai, Mas.” Kirana tersenyum tipis dan membuka pintu lebar-lebar, membiarkan Zidan masuk tanpa dipersilakan. Sikapnya lebih tenang dan seperti tak pernah terjadi apa pun.

“Apa kabar Kira?” tanya Zidan dibalas anggukan oleh Kirana. “Rumah kok sepi?” lanjutnya mengamati seisi rumah yang tak berubah walaupun hampir setengah tahun tak pernah dikunjungi.

“Mama ajak Rina dan Lina ke pasar. Papa masih di toko,” jelas Kirana. “Masih ingat sama aku dan anakmu ya, kukira sudah lupa,” sambungnya diiringi senyum sinis.

Zidan menunduk, entah apa yang dipikirkan.

“Bagaimana malam pertamamu? Pasti menyenangkan sampai untuk menghubungi aja nggak sempat.”

Jantung Zidan berdebar dengan keras. Kepalanya hanya bisa tertunduk sambil memikirkan penjelasan yang akan dilontarkan. Ketika kepalanya mendongak, tak sengaja mata keduanya bertemu. Zidan mencoba menatap manik mata Kirana dengan intens, mencoba menyelami isi hatinya. Dia tak menemukan kemarahan dari sorot mata sang istri.

“Maaf, Kira,” ucap Zidan lirih.

Kirana mengangkat bahu acuh tak acuh.

Telat, jika Zidan berniat minta maaf seharusnya itu dilakukan di awal. Percuma saja toh ucapan maaf tersebut tak akan mengubah apa pun. Kenyataannya adalah pria itu sudah mengkhianati pernikahan mereka. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Kirana harus menerima kenyataan bahwa kini dia bukan satu-satunya istri dari Zidan Pranadipa.

“Maafmu nggak bisa mengubah keadaan.” Kirana menjawab dengan tegas. “Kini kamu bukan hanya suamiku,” lanjutnya lagi dengan suara tertahan.

“Maafkan aku Kira. Ini semua kulakukan demi baktiku pada orang tua.”

Kirana terkekeh pelan. Alasan macam apa itu.

Omong kosong!

“Oh!” ucap Kirana sinis, “apa aku harus bersyukur atau sebaliknya? Memiliki suami yang berbakti pada orang tua tapi dengan menyakiti istrinya.”

Lagi dan lagi Zidan hanya mampu tertunduk mendengar ucapan Kirana. Sejujurnya berat baginya untuk memilih, tapi Zidan percaya bahwa kebahagiaannya tergantung kebahagiaan orang tua.

“Aku datang buat jemput kamu pulang. Besok anak-anak udah sekolah, kan? Sore nanti kita pulang ya,” ujar Zidan penuh harap.

“Hm.” Kirana berdeham, berlalu menuju dapur dan kembali dengan secangkir kopi.

Zidan tersenyum tipis. “Makasih.”

Keduanya kembali diam. Sejujurnya Kirana ingin menuntut penjelasan bahkan bila perlu ia ingin berteriak di hadapan Zidan. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Tidak cukupkah hanya dia dan kedua putrinya. Kenapa harus ada yang lain?

Sementara Zidan tak tahu harus berbuat apa. Sikap Kirana yang diam dan tak menunjukkan kemarahan justru meresahkan. Berkali-kali pria itu mencuri pandang dan menatap sosok sang istri yang hanya menampilkan raut datar.

“Ada apa? Ngapain harus curi-curi pandang, kamu boleh menatapku jika ingin,” ucap Kirana tanpa menunjukkan ekspresi. Wajahnya yang biasa dihias senyum kini tak ditunjukkan lagi.

Zidan menggeleng pelan. “Lebih baik kamu bereskan apa yang perlu dibawa. Aku mau duduk di depan sambil nunggu anak-anak.”

Tanpa menjawab Kirana berlalu dan segera masuk ke kamar. Sengaja pintu kamar dikunci agar Zidan tak bisa masuk ke dalam.

Tubuh ringkih itu bersandar di dinding dan merosot seiring luka hati yang dirasakan. Bisa-bisanya pria itu datang tanpa rasa berdosa, seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.

Andai saja kata maaf mampu memutar waktu dan mengembalikan keadaan maka dengan senang hati Kirana akan melakukannya. Berpura-pura kuat itu ternyata butuh tenaga ekstra ... dan mulai saat ini ini ia harus mulai terbiasa.

Kirana segera merapikan barang-barang yang diperlukan dan segera keluar ketika mendengar sang ibu berbicara dengan Zidan.

Langkah kaki Kirana terhenti sebelum mencapai pintu. Matanya menangkap Rina dan Lina yang berada di samping Zidan. Wajah kedua putrinya terlihat begitu bahagia, senyum mereka begitu lebar mungkin karena merindukan sosok sang ayah.

Inilah yang ditakutkan oleh Kirana. Bagaimana perasaan keduanya jika mengetahui ayah yang selalu dibanggakan ternyata telah menghianati mereka. Sebelum kakinya melangkah Kirana mengusap sudut matanya yang berair.

“Rina, Lina, kalian mandi dulu ya. Habis itu kita ikut Papa pulang.” Keduanya mengangguk dengan gembira.

Rahma segera meminta Kirana dan Zidan untuk masuk kembali ke rumah. Dari sikapnya Zidan sudah menangkap bahwa mertuanya ingin membicarakan tentang apa yang terjadi.

Ternyata dugaan Zidan salah. Rahma mengajaknya masuk hanya untuk bicara tentang kesibukan dan tidak berniat membahas tentang rumah tangganya. Mungkin Kirana tidak menceritakan apa pun, lebih tepatnya belum.

Kirana memilih menghindar dan kembali ke kamar, membiarkan ibu dan suaminya berbicara.

Zidan yang ditatap oleh Rahma terlihat gugup.

“Hei, ngapain kamu gugup Zidan?” Rahma tersenyum melihat tingkah menantunya.

“Papa apa kabar, Ma?” tanya Zidan mengalihkan pembicaraan.

“Kami baik, justru Mama lihat kalian yang nggak baik.” Rahma memancing.

Zidan tersenyum salah tingkah tangannya menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Mama kebanyakan nonton sinetron,” ucapnya.

Rahma sontak tertawa mendengar goyonan yang dilontarkan Zidan. “Iya. Mama sering lihat sinetron suara hati istri, yang mana si wanita cuma bisa nangis saat ditindas suaminya. Mama sampai heran itu wanita kok bodoh banget, ngapain juga nangisin suami macam itu. Udah dibikin berdarah-darah, eh ujung-ujungnya sekali minta maaf mau aja balik lagi.”

Tiba-tiba jantung Zidan berdegup dengan keras. Entah mengapa guyonan Rahma terdengar seperti sindiran halus.

“Namanya juga cinta, Ma,” sahut Zidan gugup.

“Cinta boleh, bodoh jangan,” sanggah Rahma lagi.

Zidan menelan saliva susah payah, tubuhnya meremang mendengar ucapan tersebut. Obrolan ini sepertinya begitu sensitif dan membuatnya tidak tenang.

Tiba-tiba Zidan dikejutkan oleh tangan Rahma yang menyentuh bahunya. Wanita paruh baya tersebut menatapnya dalam diam.

“Mama nggak mau kalian seperti itu. Kalau memang suatu nanti kamu udah nggak mau atau udah nggak cinta lagi sama Kirana, lebih baik kamu bawa dia pulang dan antarkan ke rumah baik-baik. Apa pun yang terjadi kami akan tetap menerimanya.” Rahma berbicara dengan serius membuat Zidan semakin diliputi rasa bersalah.

“Mama jangan ngomong gitu. Doain aja yang baik-baik untuk aku dan Kirana.” Zidan memalingkan wajah.

Rahma mengangguk sebelum berucap, “Mama selalu doain yang terbaik untuk kalian. Tolong jangan sakiti Kirana.”

Zidan tak berani menjawab ia hanya menganggukkan kepala pelan sambil bergumam kata maaf di dalam hati.

To Be Continue ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!