"Saya terima nikahnya Gera Anindita binti Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai." Sekali tarikan napas Danis mengucapkan ijab qobul dengan lancar.
"Bagaimana saksi," tanya pak penghulu.
"SAH." Sahut para saksi dan para tamu undangan lainnya.
Kedua sepasang pengantin baru itu tersenyum bahagia karena mereka resmi menjadi suami istri.
Mereka melangsungkan pernikahan yang sederhana karena Gera seorang anak yatim-piatu ia hidup berdua dengan bibinya.
Gera dan Danis saling mengenal sejak Gera bekerja di sebuah rumah makan kebetulan rumah makan tersebut langganan nya Danis.
Seiring berjalannya waktu mereka berdua saling mengutarakan isi hatinya masing-masing dan akhirnya mereka setuju untuk menikah. Perjalanan cinta mereka bisa dibilang singkat.
Sayangnya Danis tak pernah mengenalkan Gera pada orangtuanya yang berada di Surabaya. Menikah pun kedua keluarganya tak hadir. Gera sempat ragu untuk menikah dengan Danis karena ia mengira bahwa pernikahan dirinya tidak direstui oleh mereka.
Danis selalu menyakinkan dirinya bahwa orang tuanya setuju. Danis beralasan bahwa orang mereka sibuk. Gera mendengar penjelasan dari Danis pun ia setuju menikah dengan nya.
"Mas, terimakasih," ucap Gera dengan derai air mata, bukan air mata kesedihan namun air mata kebahagian.
"Untuk apa Sayang?" jawab Danis dengan membelai lembut pipi Gera.
"Mas, sudah mau menerima kekurangan aku? aku hanyalah seorang gadis miskin! anak yatim-piatu, sedangkan Mas anak orang kaya, dan pekerjaan Mas juga di kantoran tak seperti aku yang hanya menjadi pelayan rumah makan yang ada di pinggir jalan," tutur Gera dengan tatapan kosong.
"Hay! lihat Mas," Danis mengangkat wajah istrinya dan menghadapnya,"Mas tidak melihat dari status melainkan dari sini? kebaikan yang selalu kamu perlihatkan kepada semua orang, disitulah Mas mencintaimu dengan tulus. Dalam rumah tangga bukan status yang dilihat, bukankah dalam suatu hubungan kita harus melengkapi kekurangannya pasangan kita masing-masing," ujar Danis yang di anggukan oleh Gera.
"Loh loh, kok malah diam? bukanya kalian harus cepat pulang ke rumahnya Nak Danis? Gera Sayang, nanti keburu malam," Bibinya Gera memperingatkan agar Gera cepat-cepat bersiap-siap untuk pergi kerumah suaminya.
"Bibi mengusir ku? apakah Bibi tak mau melihat aku lagi?" ucap Gera dengan raut wajah sedih.
"Kamu harus ingat sekarang kamu sudah menjadi istri dari Nak Danis, jadi? kamu harus ikut pulang ke rumah suamimu." Bi Murni tersenyum dan mengelus rambut Gera.
"Bibi ikut kami kejakarta," usul Danis yang membuat Gera tersenyum manis.
Bi murni gelengan kepala,"Bibi disini saja, kalau kalian kangen sama Bibi kalian yang datang ke sini ya?" pinta bi murni.
"Kenapa Bibi gak ikut kita sekalian aja, Bibi satu-satunya yang aku punya aku gak mau kehilangan Bibi," Isak tangis Gera seketika pecah.
"Benar Bi. Apa yang dikatakan oleh Gera." Danis mengiyakan ajakan Gera agar Bi murni mau ikut dengan nya kejakarta.
Bi Murni keuhkeuh tak mau ikut dengan mereka. Membuat Gera dan Danis tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ya sudah, tetapi Bibi harus ingat! jaga kesehatan jangan lupa makan. Jangan bekerja terlalu berat aku gak mau melihat atau mendengar Bibi sakit, bila akur dengan itu semua, aku tidak akan bisa memaafkan diri ku sendiri." Ancam Gera membuat Bi murni terkekeh-kekeh.
"Siap komandan bawel." Bi murni memberi hormat pada Gera. Ketiganya pun tertawa lepas saling berpelukkan.
Sebelum masuk ke dalam mobil Danis bertanya lagi pada Bi murni, untuk memastikannya lagi agar mau ikut dengan nya. Sebenarnya Danis tak tega harus meninggalkan Bi murni sendirian di rumah itu.
"Bi. Ikut kita ya," bujuk Danis.
"Kalau kalian membujuk Bibi terus-terusan? kapan kalian sampai rumahnya?! percuma saja membujuk Bibi, sampai kapanpun jawaban Bibi tetap sama." Bi murni berkata penuh penekanan.
Kami berdua hanya mengehala napas berat dan menganguk.
"Kami pamit, Bi. Jaga kesehatan ya Bi?" ucapku sebelum masuk ke dalam mobil.
Bi Murni melambaikan tangannya, ada rasa kecewaku dengan sikap bibi yang menolak ajakan kami, ya tapi mau gimana lagi, aku tak bisa memaksa dirinya.
Mas Danis membawa aku ke sebuah salon kecantikan entah apa yang akan dia lakukan. Aku mengernyit heran bukankah kami akan pulang ke rumahnya? apa mungkin dia ingin mengenalkan aku dengan seseorang, batinku.
"Mas, kok malah ke salon? bukanya kita mau pulang ya," aku bertanya pada nya.
Mas Danis mengelus punggung tangan ku dan mengecupnya seraya berkata.
"Mas, pengen liat istrinya Mas lebih cantik biar dilihat orang banyak dan mau membeli mu dengan harga yang mahal."
Aku terkejut dengan jawaban dari nya, maksudnya aku mau dijual? Ku beranikan diriku untuk bertanya lagi.
"Mas. Mau menjual aku?" tanyaku penuh selidik.
"Hahaha," kekeh nya membuat aku semakin curiga. "Mana mungkin aku akan menjual istriku sendiri yang cantik begini?" jawabnya dengan senyum yang penuh arti.
"Mbak, saya minta tolong, dandani istri saya buat secantik mungkin." Kata Mas Danis yang di anggukan oleh pelayan salon.
"Mari Mbak," ajaknya padaku dengan senyum.
Ku anggukan kepala dan tersenyum manis padanya, tak ada pilihan lain kecuali mengikuti kemauan Mas Danis ucapannya tadi membuat hatiku gelisah ada apa dengan suamiku? namun aku tepis semua prasangka buruk tentang suamiku sendiri.
Seorang wanita kemayu yang mendandani diriku ia tersenyum sendiri setelah melihat hasil karyanya di wajahku yang begitu sempurna atas polesan make up nya.
"Rebess! yey. Cantik bingit." Pujinya dengan senyum membelikan matanya.
"Ini semua berkat tangan lincahnya kakak," tuturku, memang aku akui polesan make up di wajah ini membuat aku pangling aku tak percaya dengan diriku sendiri, apa ini benar-benar aku? Gera Anindita, tanyaku pada diri sendiri.
"Yey. Sudah cantik dari sononya, hanya dipoles tipis aja udah kece badai, emangnya yey, mau ke acara nikahan atau ke acara para petinggi," cerocosnya tanpa jeda dasar walior, umpatku dengan gelengan kepala.
"Aku gak tau Kak," jawabku dengan menyentak napas ku.
"Gimana sih yey. Bukanya itu cogan yang di luar itu suami yey," tunjuknya kearah Mas Danis.
"Iya."
"Ihhh! Gemes. Gemes deh. Masa gak tau, suami mau ngajak yey kemana? kalau yey, di jual sama dia gimana, tapi maaf ya bukan eyke mau takut nakutin yey ya' eyke hanya ingetin yey. Soalnya banyak cerita yang aku baca di novel kalau suami sendiri yang tega menjual istrinya demi harta, tahta, dan wanita lainnya."
Deg..., debaran jantungku berdetak kencang badanku bergetar aku takutnya yang di katakan oleh kakak ini terjadi soalnya Mas Danis tadi keceplosan ngomong kalau aku akan ia jual, ya Allah semoga Mas Danis tak sejahat itu.
"Jangan melamun ya' eyke cuman bercanda kok, mana mungkin cerita pernovelan akan menjadi nyata," tuturnya dengan wajah cemasnya.
"Kak, aku gak percaya tuh sama cerita di novel yang akan menjadi nyata, itukan hanya cerita saja," jawabku dengan senyum walaupun hatiku dilanda gelisah dan takut.
"Lama sekali?" suara bariton mas Danis membuat aku terkejut dan menoleh ke belakang begitu juga dengan Kakak ini.
"Masih lama apa Kak Ros?" tanyanya sambil tersenyum manis padaku.
Senyuman Mas Danis membuat hatiku mulai takut.
"Udah tuh liat aja, istri yey, memang cantik," puji kak Ros dengan menggangkat dua jempolnya.
Mas Danis menyodorkan segepok uang berwarna merah semua, membuat aku bertanya-tanya apa semahal itu riasan wajah ku? apakah Kak Ros sudah tau kebenarannya siapa Mas Danis yang sebenarnya? Maka dari itu ia memperingatkan aku.
"Ayok, Sayang. Kita harus cepat sampai sana, jangan sampai terlambat," ujarnya seraya menuntun ku untuk cepat keluar dari salon tersebut.
Tak ada suara didalam mobil hanya ada kecanggungan yang tercipta diantara kami Seakan-akan kami berdua tak saling kenal. Kenapa Mas Danis tak sehangat tadi? sebelum membawaku ke salon. Ku coba memberanikan diri untuk bertanya.
"M--mas, kita mau kemana lagi?!" tanyaku dengan gugup.
"Kita mau menghadiri acara sahabatnya Mas," jawabnya singkat dan padat.
"Sudah sampai, ayok turun." Titahnya dengan acuh.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Mas Danis yang memerintah aku dengan sikap acuh nya.
Aku turun dari mobil dan Mas Danis memeluk pinggangku sambil tersenyum manis.
Rasanya aku ingin sekali bertanya padanya namun Mas Danis seakan-akan tau apa yang akan aku katakan.
"Ini acara lelang, siapa yang berani membayar mahal atas barang yang akan kita lelang maka orang tersebut yang akan memilikinya." Kata Mas Danis yang tersenyum menyeringai.
"APA! acara pe-pelelangan?!" Tanyaku dengan terbata-bata.
"Iya, kenapa? jangan gugup Sayang? Mas yakin bahwa kamu akan jatuh pada orang yang tepat."
"
Rasanya aku ingin sekali bertanya padanya namun Mas Danis seakan-akan tau apa yang akan aku katakan.
"Ini acara lelang, siapa yang berani membayar mahal atas barang yang akan kita lelang maka orang tersebut yang akan memilikinya." Kata Mas Danis yang tersenyum menyeringai.
"APA! acara pe-pelelangan?!" Tanyaku dengan terbata-bata.
"Iya, kenapa? jangan gugup Sayang? Mas yakin bahwa kamu akan jatuh pada orang yang tepat."
"Mas. Aku tak bodoh. Cepat katakan mau kamu itu apa Mas," hardikku dengan amarah yang bergemuruh di dadaku. Aku tak perduli dengan tatapan semua mata tertuju pada kami berdua.
"Jaga sikapmu! kamu pikir aku mau menikahi wanita macam kamu yang miskin! No! secuil pun aku tak punya perasaan dengan mu wahai gadis miskin."
DUARR
Bagaikan di sambar petir disiang hari. Luruh sudah air mata ini aku tak percaya mendengar ucapan Mas Danis yang bagaikan sebuah pisau belati yang tajam. Baru pagi tadi, ia berjanji didepan Pak penghulu dan bibi Murni bahwa dirinya akan menjagaku dalam suka dan duka.
"Mau kemana kamu. Jangan harap akan kabur dari sini, karena semua itu percuma saja membuang-buang tenaga kamu."
Benar saja ternyata di gedung ini penjagaannya begitu ketat. Sepertinya seekor nyamuk pun tak akan bebas terbang disini.
Dari kejauhan tampak seorang pria paruh baya dengan rambut beruban perut buncit menghampiri kami berdua.
"Tuan Danis mana barang yang anda bawa? apakah dia?!" tunjuknya pada ku membuat aku semakin takut, kaki ini rasanya sudah tak sanggup untuk menopang tubuhku yang mulai gemetaran.
"Bagaimana cantik bukan," jawab Mas Danis dengan penuh percaya diri.
"Ferfect! saya tafsir harganya bisa mencapai Milyaran," ucapnya dengan terkekeh.
"Danis gitu loh. Tak satu wanita pun yang bisa menolak pesona sang Danis Huda Atmaja," Mas Danis menyombongkan dirinya dengan menepuk-nepuk dadanya yang merasa bangga atas prestasi yang diraih nya.
Bukan prestasi belajar yang ia dapatkan melainkan prestasi kebiadaban yang sudah menjual istrinya sendiri demi uang.
Lelaki tersebut memutari tubuhku yang berdiri mematung di sampingnya Mas Danis.
"Tuan Danis, sepertinya dia masih ori, apakah anda belum memiliki tubuhnya?!" sungguh pertanyaan yang menjijikan.
"Saya belum mencuil nya walaupun sedikit. Saya jamin dia masih ORI dan masih di segel tentunya," keduanya tertawa terbahak-bahak.
Kini aku hanya bisa pasrah dan menerima nasib yang akan terjadi padaku. Aku panjatkan doa kepada 'Tuhan' semoga ada orang yang Sudi dan baik hati untuk membebaskan diri ku dari lembah hitam ini.
Dari arah podium seorang pria memanggil nama Mas Danis agar naik ke atas podium itu.
Dengan senyum Mas Danis melangkah maju kedepan tanpa melihatku yang masih setia berdiri.
"Terimakasih atas kedatangannya untuk menghadiri acara lelang," ujarnya dengan tersenyum pada para pengunjung.
"Untuk mempersingkat waktu maka saya akan mengumumkan bahwa saya akan melelang wanita cantik, seksi dan tentunya tak akan mengecewakan kalian, seandainya dia berbuat ulah silahkan anda bisa melakukan apa saja terhadapnya," dengan suara lantang ia mengatakan semua itu.
"Maka harga awal saya buka dengan harga Dua milyaran, bila ada yang menawar lebih tinggi maka dirinya akan jatuh pada orang yang menawar harga tersebut," ucapnya dengan mengetuk palu dan turun dari podium itu.
Satu menit, dua menit, kemudian seorang pria kurus berkumis tebal menunjuk jarinya ke atas. Ia menawarkan harga Tiga milyar.
"Tuan Bima sudah menawarnya dengan harga Tiga M apakah tak ada lagi yang menawar lebih tinggi lagi dari Tuan Bima?" ucap Mas Danis.
Kini aku sudah seperti barang siapa yang berani membayar mahal maka aku akan jatuh padanya.
Para pengunjung mulai kasak-kusuk untuk memperebutkan diriku ada yang menawar ku dengan harga Enam M. Seorang lelaki yang lebih menakutkan lagi dari yang lainnya.
Seketika semuanya terdiam sesaat karena sepertinya mereka tak sanggup untuk menawarkan harga di atas Enam M.
"Bagaimana, apakah ada yang mau lebih membayarnya di atas Enam M." Kata Mas Danis.
Tak ada jawaban dari pertanyaan Mas Danis.
"Baiklah karena tidak ada lagi yang menawar, maka saya akan menghitung mundur karena harga yang tertinggi adalah Enam M."
"Tiga, dua, satu. Pemenangnya adalah...."
"TUNGGU!" ucap seseorang yang yang berpakaian serba hitam yang wajahnya tertutup kain kupluk.
Semua orang menatap kearah nya.
"Saya berani membayar mahal atas wanita itu dengan harga Sepuluh M," ucapnya dengan tegas.
Terlihat jelas di wajah Mas Danis yang bahagia karena orang misterius itu berani membayar mahal atas diriku dengan harga yang fantastis.
"Ada lagi yang mau menawar lebih tinggi daripada pria ini?!" tanya Mas Danis, para pengunjung mengelengkan kepalanya tanda mereka tak sanggup untuk membeli diriku seharga Sepuluh M.
Hatiku sakit' atas penghinaan dari suamiku sendiri yang sudah tega menjual istrinya demi uang dengan harga yang bukan kaleng-kaleng. Hanya air mata ini yang menjadi saksi bisu kisah hidup ku. Rasanya aku ingin mati pergi bersama kedua orang tua ku.
"Sepertinya tidak ada lagi yang mau menawarnya lagi? baiklah maka saya umumkan pemenang nya adalah Tuan misterius. Silahkan Tuan bawa dia, karena dia sudah menjadi milik Anda sepenuhnya. Oh. Satu lagi. Saya akan menjatuhkan talak padanya terlebih dahulu." Mas Danis menghampiri ku dan berkata.
"Gera Anindita mulai hari ini kamu bukan istri yang lagi. Saya sudah menjatuhkan talak padamu. Sekarang kamu milik Tuan ini," Mas Danis menyerahkan diri ku pada orang tersebut.
"Mas, aku gak mau ikut dengan nya Mas, aku mohon jangan lakukan ini sama aku Mas," aku mengatupkan kedua tanganku untuk memohon agar ia tidak menjual diriku.
"Maaf. Mas. Lebih memilih uang Sepuluh M daripada kamu. Mas bisa mencari wanita yang lebih cantik dan tentunya kaya," ucapnya sambil pergi meninggalkan aku sendiri.
"M--mas tung...." ucapanku terpotong oleh nya.
"Mari ikut dengan saya," ujar lelaki itu.
"Saya mohon lepaskan saya Tuan?" jawabku dengan mengiba semoga dia punya rasa empati padaku.
"Mau ikut dengan saya dengan suka rela atau saya paksa." Jawabnya darinya membuat aku semakin panik.
"Kalau saya gak mau! Tuan mau apa!" Pekikku.
Lelaki ini mencentikan tangannya keatas dan dua orang berbadan besar menghampiriku dan mengendong ku secara paksa.
"Tunggu Tuan," seru Mas Danis membuat hatiku sedikit bahagia apakah dia akan membebaskan diri ku dari lelaki asing ini.
"Apa!" jawabnya tanpa menoleh kebelakang.
"Bagaimana dengan pembayaran nya," cicitnya Mas Danis ku kira ia akan membebaskan ku ternyata ia menanyakan tentang uang.
"Anak buah saya yang akan mengurusnya, Anda jangan takut."
"Baiklah. Silahkan bawa dia." Titahnya dan menatapku dengan senyuman iblisnya, seketika aku membuang muka ku.
"Jadilah mainan yang menyenangkan buat Tuan mu yang baru Gera?!" serunya dengan membelai pipi ku, yang masih dalam gendongan para bodyguard lelaki asing ini.
Gera terus berteriak memohon agar ia dibebaskan oleh pria tersebut, Gera berontak dalam gendongan bodyguard.
"Brengs*k! lepaskan aku, apa mau kalian. Lepas." Gera terus berteriak dengan memukul punggung si kepala plontos itu. Apalah daya tangan mungilnya tak berasa apa-apa bagi bodyguard itu, anggap saja sebagai pijatan.
Setelah Gera dimasukan kedalam mobil, para bodyguard tersebut mengikuti tuannya dari belakang. Sedangkan Gera satu mobil dengan pria misterius itu.
Gera memberanikan dirinya untuk bertanya pada nya.
"Siapa kamu sebenarnya, buka wajah mu? dan saya mohon Tuan, biarkan saya pergi," lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tak perlu tau siapa saya. Seharusnya kamu bahagia karena saya sudah membebaskan kamu dari lubang buaya," jawabnya tanpa menoleh ke arah Gera.
"Apa maksudmu. Apa bedanya mereka dengan kamu," tuding Gera dengan tatapan nanar. Namun tak ada kemarahan di wajah pria tersebut.
"Setelah saya ikut dengan Anda. Apa yang harus saya lakukan. Apakah saya akan menjadi budak ranja*g mu atau..., bila benar Anda tak akan bisa melakukan semua itu pada saya. Berani Anda menyentuh saya disitu Anda akan melihat saya membujur dalam keadaaan tak bernyawa," ancamnya lagi dengan menatap wajah sinis.
"Hay! Nona, saya membayar mahal atas dirimu, mau gak mau kamu harus menuruti keinginan saya termasuk urusan ranja*g."
"Sudah saya duga sebelumnya Anda melakukan semua itu demi napsu mu, semua lelaki semuanya brengse*k. Bukankah Anda terlahir dari rahim seorang ibu?! akan tetapi Anda sebagai anak tak punya rasa empati pada seorang wanita." Umpatan demi umpatan di lontarkan kepada nya, sehingga pria tersebut menghentikan laju mobilnya dengan kasar membuat suara decitan yang begitu keras. Membuat kepala Gera terbentur dasboard mobil dan meninggalkan warna biru.
"Kenapa ngerem. Kenapa gak Anda tabrakan saja biar kita sama-sama mati Hah!" geram Gera dengan menahan amarahnya yang sudah di ubun-ubun.
"KAMU GILA IYA!" bentaknya tak kalah marahnya yang melihat kelakuan Gera.
"IYA AKU MEMANG GILA. KAMU MAU APA HAH." Tangisnya pecah seketika membuat pria tersebut memukul stir mobil nya dengan keras.
"Kamu jahat!" lirihnya pelan hampir tak terdengar oleh nya.
"Bangun. Nona." Ia menguncangkan tubuh Gera yang tiba-tiba tak sadarkan diri.
Suara ketukan pintu kaca mobil membuat dirinya membukakan pintu mobil dengan sedikit.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan." Si plontos memberanikan dirinya untuk bertanya pada Tuannya.
Pria tersebut anggukan kepala.
"Telpon Dokter Luis untuk datang ke rumah."
"Siapa Tuan," ia membungkukkan badannya dan pergi meninggalkan tuannya.
Masih dalam penyamaran pria tersebut enggan untuk membuka topeng diwajahnya.
'Danis, kamu akan menyesal sudah menjual istrimu padaku, aku akan membuat kamu menyesali kebodohan kamu. Kau membuang berlian hanya demi harta, kamu pikir aku akan membayar semuanya' kau dan ibumu sama saja. Gila harta! Gera aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu tak seorangpun yang dapat menyakiti hati mu. Ia membelai lembut pipi Gera yang masih dalam keadaan pingsan.
*****
Tak lama kemudian ia sampai di depan rumah nya, para satpam segera membuka pintu gerbangnya setelah tau kalau itu tuannya.
Setelah memasukan mobilnya kedalam garasi ia mengendongnya masuk dalam.
"Tuan? siapa wanita ini?" tanya salah satu asisten rumah tangga nya.
"Bi, tolong siapakan kamar untuknya. Jangan lupa ganti bajunya," titahnya yang di anggukan oleh asistennya.
Wanita paruh baya menghampiri pria tersebut.
"Den. Siapa wanita itu?" tanyanya setelah pria itu keluar dari kamar Gera.
"Panjang ceritanya Bi." Ucapnya dengan wajah lesu.
"Ya sudah kalau begitu , Den Bara mandi dulu."
"Iya Bi," Ternyata pria itu Bara namanya.
"Bi." Bara menghentikan langkahnya ketika menuju kamarnya.
"Iya Den, ada sesuatu yang mau di tanyakan." Bi Asih balik bertanya.
"Tolong buatkan bubur untuknya," pinta Bara dengan senyum hangatnya.
Bi Asih tersenyum dan mengangguk.
"Den. Semoga gadis itu yang akan menjadi pendamping Aden," batin Bi Asih. Ia merasa senang melihat wajah tuannya yang begitu bahagia, ini yang pertama kali bagi Bi Asih melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya seorang Bara yang notabene merupakan manusia super dingin, arogan dan sedikit kejam.
Dokter Luis akhirnya sampai juga di rumah Bara.
Tanpa mengetuk pintu Luis langsung masuk, sesampainya di dalam ia melihat Bi Asih yang membawa semangkuk bubur dan segelas air putih. Dokter Luis pun mengerutkan keningnya heran.
"Bi, siapa yang sakit? apakah Bara yang sakit?" tanya dokter Luis.
Bi Asih tersenyum tipis dan mengelengkan kepalanya.
"Bukan Saya yang sakit." Bara menimpalinya dengan menuruni anak tangga.
"Lalu?!"
Bara menunjukan kamar yang sedang di tempati oleh Gera.
"Saya minta periksakan dia, dan ingat! jangan sampai kamu berbuat macam-macam dengan dia," ancamnya. Membuat Dokter Luis semakin curiga dengan sikap aneh yang ditunjukkan oleh Bara.
"Dia seorang gadis? apa kamu sudah menculiknya?" pertanyaan Dokter Luis langsung mendapatkan tatapan tak suka dari Bara.
"Kamu itu Dokter. Jadi kamu tau tugasnya sebagai Dokter."
Bi Asih hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Tuannya dan sahabatnya yaitu Dokter Luis.
"Den. Kapan mau diperiksa gadis ini? kalau kalian berdua ribut terus," ucapan Bi Asih seketika membuat mereka terdiam dan menoleh kearah Bi Asih.
"Cepat periksa dulu." Suara Bara sedikit meninggi.
Dokter Luis pun menurut dan mulai memeriksa Gera, saat tangannya hendak membuka kancing bajunya tiba-tiba Bara berkata.
"Kamu mau ngapain?! buka-buka bajunya segala," Geramnya.
"Ya mau aku periksa dulu?!" jawab Dokter Luis penuh dengan penekanan.
"Tuan Bara yang terhormat. Seorang CEO yang baik hati, dimana-mana kalau mau periksa pasien itu harus...."
"Gak usah! pake buka baju segala, kalau mau memeriksa detak jantungnya kamu bisa melakukanya di luar bajunya." Sahutnya.
Bukanya memeriksa kondisi Gera malah ribut, dasar manusia aneh. Keduanya tak mau mengalah yang satu masih keuhkeuh dengan pendapat nya tentang kedokteran dan yang satunya lagi gak mau mengerti, bikin pusing kepala Barbie, mereka tidak menyadari bahwa Gera sudah sadar dari pingsannya.
Sebenarnya Gera sudah sadar semenjak kedatangan Bi Asih kekamarnya untuk mengantarkan semangkuk bubur dan segelas air putih, sebenarnya ia ingin bertanya pada Bi Asih siapa pria misterius itu, rasa ingin tahunya sudah terjawab sudah dengan melihat wajah Bara yang tampan dan gagah.
Siapa kamu sebenarnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!