NovelToon NovelToon

Istri Di Atas Kertas

Bab 1 Tak di duga

*Estsaffa Ahiara,

anak angkat satu-satunya pasangan Damar Wiyono dan Esther. Besar di panti asuhan hingga umur 10 tahun, mengira akan bahagia selamanya. Tanpa diketahui ternyata ada rahasia besar tersembunyi*.

Bugh..

Tiba-tiba saja terdengar suara benda jatuh di luar mobil. Ara yang semenjak tadi fokus mencari ponselnya di dalam tas sampai tak sadar melemparnya hingga berhamburanlah isinya tak karuan. Penasaran, ia segera membuka pintu mobil.

"pak.. pak"

Tubuhnya sepucat kapas mendapati sopirnya tergeletak tak sadarkan diri. Ia menoleh dan tak mendapatkan apapun di sejauh matanya mencari. Perlahan ia kumpulkan keberaniannya untuk menghampiri sang sopir.

"pak.. pak Karim, bapak kenapa" tak jengah digoyang goyangkannya tubuh pria itu. Tapi nihil, bahkan pria itu tak bergerak sedikitpun. Cemas menggelayut di otaknya.

Pikirannya melayang dengan kata-kata mantan bodyguardnya. Yaa mantan, karena dengan tiba-tiba papi memecat semua bodyguard beserta pembantunya tanpa alasan yang jelas tadi pagi.

"non.. mulai saat ini nona harus hati-hati" ucap andri setengah berbisik. " saya tidak bisa menjaga nona lagi, Tuan sudah memecat semuanya tanpa kecuali" lanjutnya dengan perasaan was-was. " perasaan saya tidak enak non, akan ada sesuatu yang terjadi".

Wajah andri tampak serius dan khawatir. Apalagi matanya tampak sibuk mengawasi sekitar, seperti tentara dalam mode waspada. Sedikit merundukkan kepalanya, Ara berbisik.

"Apa maksudmu An_"

"Andri cepat kemasi barangmu," teriak papi yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Bahkan Ara ataupun Andri tak bisa memprediksi kedatangannya, karena sedari tadi tak mendengar langkah kaki mendekat atau suara apapun.

Si pemilik nama bergegas ke belakang tanpa memperdulikan nonanya yang seperti orang kebingungan. Mata Ara mengekor perginya sang bodyguard yang memberinya teka teki untuk dijawab.

"pii.. ini ada apa sebenarnya? "

Tangan kekar meski termakan usia itu lembut membelai pucuk kepala Ara." Tak ada apa-apa sayang, persiapanmu sudah selesai?"

"Sudah, pii, kenapa dengan Andri dan yang lain? ". Pertanyaan itu seakan melirih di bagian akhir, menyiratkan ragu dan ketakutan.

"Tak apa sayang, kita hanya mengurangi sedikit orang-orang kita. Lagipula kau kan akan lama disana " Dibelainya punggung Ara dengan lembut. Tapi itu tak mengurangi kebingungan di hati Ara. Seakan ada tanda tanya besar yang belum terjawab, atau lebih tepatnya jawaban yang menggantung.

" Bisakah di undur? " netranya berkaca-kaca.

" Itu impianmu sejak dulu kenapa harus diundur, lagipula kau ingin mengecewakan mamimu dengan membatalkannya seperti dulu? "

"Ahh tidak.. tentu saja tidak pi" bapak dan anak itu berpelukan seperti akan terpisah lama. Mami esther menghampiri dan mereka bertiga berpelukan.

" Jaga diri baik-baik ya sayang " kecup mami sembari tangannya mengelus lembut pundak Ara. " Kami percaya kau bisa menjaga diri disana " kemudian tangan itu meraih pucuk kepala Ara kemudian membelainya.

••••••

Sekelompok pria berpakaian hitam menerjang pak Karim dan salah satu dari mereka membekap mulut Ara. Mereka bertiga ah tidak berlima tepatnya dengan garang mengacungkan pistol seperti seorang polisi yang menangkap penjahat.

Seorang pria berkacamata hitam melompat masuk ke dalam mobil kemudian diikuti dua temannya tetap pada posisi mencekal lengan Ara dengan kasar. Dan dua lainnya melesat masuk ke dalam mobil pajero hitam yang diparkir di bawah pohon flamboyan. Dan menit berikutnya kedua mobil itu berjalan membelah kemacetan Jakarta.

Dug.. Dug.. Dug. Kaki gadis itu menendang ke segala arah. Mencoba melepas diri dari jerat para pria yang tak dikenalnya.

"auww... **** anjing kau " umpat si kepala botak mendapati pergelangan tangannya berdarah di gigit wanita itu. Reflek ia mengibaskan tangannya sambil tak henti juga mulutnya mengumpat kata-kata kasar. Hampir saja ditariknya rambut gadis itu kalau saja tak diingatkan.

"Hei hei hei.. kau masih waraskan untuk mencerna perintah bos 'JANGAN LECET SEDIKITPUN' ingat!! SEDIKITPUN "

" Epen kah.. dia su gigit beta pung tangan lai, macam drakula haus darah sa " logat kental suatu daerah yang bisa tertebak asal pria itu.

"Huhhh runcing juga taringnya" dengusnya kesal sambil memegangi tangannya yang berdarah.

"Lepaskan"

Kakinya menendang lagi, hingga sepatunya lepas, rambutnya acak-acakan, keringatpun mulai menetes tak terpengaruh oleh ac mobil yang dingin.

Bukannya melepaskan, si jangkung malah memegang erat tangan gadis itu.

"Ambil saputangannya " perintahnya kemudian.

Dengan cepat salah satu dari mereka membekap mulut Ara.

"Heppp... emmm... " dan selanjutnya gelap.

"Aman jekk, kau obati tanganmu itu, jangan sampai kau mati kehabisan darah dan jadi hantu"

" ha ha ha ha"

•••••••••••••

Ara mengerjap perlahan, rasanya pusing berputar-putar perlahan dia mencoba mengendalikan kesadarannya. Ruangan apa ini, hawanya panas dengan penerangan yang menyilaukan. Membuat matanya sakit sesaat.

Brakk..

Suara itu mengagetkannya, memaksa memicingkan kedua matanya menatap sekitar. Ada 2 orang pria didepannya, satu berdiri tegap dengan arah pandangan lurus kedepan, dan satu lagi duduk tepat didepannya diatas ranjang besar sambil menyilangkan kaki dengan tangan bersedekap dan pandangan datar.

"Hello... nona" pria yang duduk memiringkan sedikit badannya ke kanan. "Dengarkan aku, orang tuamu menjadikanmu jaminan atas hutang perusahaannya padaku. Dan ketika jatuh tempo mereka malah seenaknya kabur dan malah mengirimmu ke luar negri". Mata pria itu menatap Ara dari rambut hingga ujung kaki. "Dan kau yang harus menanggungnya!" bentaknya padat, singkat dan memaksa.

Pria yang berdiri mengeluarkan sesuatu dari dalam map, selembar kertas perjanjian lengkap dengan materai. Ditunjukkannya kertas itu di depan Ara. " Bacalah dengan cepat nona" ucapnya sambil menaruh jarinya pada pokok kalimat yang berhuruf besar.

Degh!

Disitu tertulis "....anak saya ESTSAFFA AHIARA sebagai jaminannya"

'Ya Tuhan, benarkah papi dan mami setega ini padaku. Padahal aku menganggap mereka malaikat penyelamatku. Mereka merawatku dengan baik setelah mengambilku dari panti asuhan. Benarkah sayang mereka karena pamrih, hingga aku berakhir hanya menjadi jaminan atas hutang- hutang mereka. Dan sialnya, hutang itu tak bisa terlunasi, hingga aku disini sekarang. Ahhh.. aku tak habis pikir,

ingin kupukul saja kepalaku barangkali aku hanya mimpi, tapi tak mungkin karena aku baru menyadari tanganku tertarik ke belakang dalam keadaan tertali. Hufft.. ini bukan lagi mimpi tapi mimpi buruk.

"Tapi aku tak tahu apapun Tuan" dengan wajah memelas Ara mencoba membela dirinya. "A-aku... "

"Bukan urusanku! " jawab pria itu ketus dengan senyum mengejek.

"Lalu apa mau Tuan, e.. maksud saya. . "

"Mauku? " pria itu berdiri dan mendengkus kasar, berjalan mondar mandir di depan Ara dan berhenti di depan jendela yang mengarah ke rooftop. Kemudian berbalik "Lunasi utang mereka atau... " pria itu berbalik dan menggantung ucapannya.

"Atau apa Tuan? " Ara membulatkan matanya, sadar atau tidak kini badannya terasa panas dan butir- butir peluh berdesakan keluar membayangkan apa yang akan diucapkan pria itu. Tentu saja "atau" itu bukanlah sesuatu hal yang baik, melihat keadaannya sekarang.

"Mengabdi seumur hidup padaku " ucap pria itu santai. Senyumnya licik dan menyeringai.

Masih tak habis pikir apa yang didengarnya, Ara mencoba mencerna kembali kata-kata pria itu. 'mengabdi' dan 'seumur hidup' oh Tuhan demi apa kalau tiga suku kata itu luas sekali penjabarannya. Bahkan meraba-raba pun tak ketemu juga ujung definisinya. Membayangkan hidupnya akan membosankan karena setiap hari hanya akan bertemu dengan orang yang itu- itu saja.

"Mengabdi seperti apa Tuan?" Ara memberanikan diri bertanya, dalam hatinya berharap ini tidak semengerikan yang ada dipikirannya.

"Sama seperti yang lain" matanya menyapu ruangan itu, kemudian dia membungkukkan badannya dan berbisik di telinga Ara "Mengabdi berarti menuruti apapun yang aku mau! " dimasukkan tangannya di saku celana dan dia melenggang pergi, tanpa berbalik Ara dengar pria itu berkata " 15 menit nona, tidak lebih, ingat 20 milyar ".

"Lepaskan ikatannya lang ".

"Iya Tuan.. " pria dibelakangnya langsung mengangguk hormat dan menghampiri Ara kemudian menarik tali yang mengikat tangannya. Dan sedikit berlari ia mengikuti langkah kaki Tuannya yang meninggalkan ruangan itu.

Seperempat jam, dan sekarang sudah berjalan. Darimana Ara akan mendapatkan uang sebanyak itu, bahkan tabungannya tak ada sepersepuluhnya. Kalaupun pinjam entah kepada siapa, selama ini dia tak pernah punya teman orang kaya. Hidupnya pergaulannya hanya di kelas menengah saja. Bukan berarti tak mampu, tapi Ara selalu ingat darimana dia berasal, sehingga ia lebih menyukai kehidupan sederhana.

Tiba-tiba saja terbersit dipikiran Ara untuk kabur. Menghela nafas panjang dilangkahkan kakinya menuju rooftop. Oh rupanya keberuntungan masih sedikit memihaknya, entah bangunan ini berlantai berapa yang jelas posisinya saat ini berada di lantai 2 dan hemmm ini terlihat tak begitu tinggi, pikirnya.

'Aku bisa menggunakan kain itu untuk membantuku turun' tangannya menunjuk kesana kemari mulai mereka-reka adegan melarikan diri yang akan dilakoninya.

Sepuluh menit berlalu, dan sekarang dia siap untuk menaiki teralis pagar tepi rooftop kemudian turun kebawah seperti adegan film gadis kabur dari kamarnya karena tidak diijinkan kencan oleh orang tuanya. Hanya saja keadaannya berbeda, Ara tak seberuntung gadis itu.

Oke siap.. let's go, gumam Ara menyemangati dirinya sendiri. Segera dipindahkannya tangan yang menggenggam erat pada seutas kain putih itu bergantian. Kakinya lincah mengikuti pergerakan itu. Well..tidak terlalu buruk dan tidak sesulit yang terbayangkan..Meskipun dia tidak bisa beladiri tapi dia adalah anggota pramuka aktif saat SMA dulu, sedikit banyak membantu aksinya bukan.

........

Sementara itu di ruangan lain

Sesekali melirik arloji di pergelangan tangannya . Pria berkharisma yang dipanggil Tuan oleh para bodyguard itu mencoba menenangkan dirinya. Seperempat jam itu waktu yang lama ternyata, harusnya dia hanya memberi waktu 10 menit atau lima menit saja waktu berpikir untuk gadis itu hingga tak membuang waktunya menunggu.

"Lang, lihat keatas apa yang dilakukan gadis itu ..aku tak sabar "

"Segera Tuan " pria yang dipanggil elang itu dengan sigap menaiki tangga ke lantai dua. Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki sedikit berlari menuruni tangga yang membuat Tuannya menoleh.

"Gadis itu tidak ada di kamar Tuan" ucapnya cepat dengan nafas memburu.

"Apa... periksa sekali lagi!" bentak pria berkharisma itu marah.

Elang hanya mengangguk dan berlalu bersama satu orang lain berlari menuju lantai atas, memeriksa kembali. Sedangkan sang Tuan bersama bodyguard lainnya menuju halaman depan.

Plok... plok... plok...

Suara tepuk tangan terdengar keras di telinga Ara. Matanya membulat menyadari pria berkharisma itu tengah menatap nyalang dibawah sana bersama para bodyguardnya. Dan demi apa ternyata pria yang dipanggilnya Tuan itu juga menempatkan satu bodyguardnya tepat segaris di atas Ara, berdiri di tepi pagar besi telah bersiap menerima perintah darurat.

"Kau mau main tarzan denganku nona " selorohnya.

Deg.. deg... jantung Ara berdebar tak karuan, takut, ragu dan entah perasaan apa yang bercampur jadi satu cukup untuk mematahkan nyalinya. Saking takutnya ia tak tahu harus berkata apa, mulutnya seakan terbungkam dan hanya gumaman kecil tak berarti yang keluar.

"Lakukan... " perintahnya tiba-tiba.

Ara merasakan kain tempatnya berpegangan terombang ambing. Pegangannya menguat, mengapa disaat seperti ini nyalinya benar-benar menciut, padahal itu tak terpikirkan sebelumnya.

"Krekkk.. krekkkkk"

Ara mendongak ke atas. "Oh Tuhan, ini gila'. Dilihatnya pria yang di atas memotong kasar kain putih tempatnya bergelayut. Suaranya menyayat hati dan...

"Aaaaaaaaaaa.........

...........

Apakah Ara terjatuh atau masih bertahan seperti tarzan... 😂 terimakasih sudah bersedia mengikuti... nantikan selanjutnya ya...

Bab 2 Tawanan

#Adrian Orion Ilyasa

Anak sulung dari Prabu Ilyasa dan Lina Ilyasa. Dengan jabatan CEO di Ilyasa Corporation, semua orang mengenalnya sebagai pribadi yang tegas dan dingin. Sekalipun wajahnya mempunyai nilai di atas rata-rata, tak seorangpun bisa dengan mudah berhubungan dengannya, karena dia bukan orang yang ramah.

...........

Ara berteriak sekuat tenaga, memejamkan matanya tak ingin membayangkan kemungkinan terburuk.

'Apa ini di surga, rasanya ringan dan nyaman'. Perlahan matanya mengerjap, rasa enggan dan penasaran menyatu bergelayut dalam pikirannya. Ketika netranya belum terbuka sempurna, terasa sekujur tubuhnya meremang. Sebuah lengan kokoh tengah merengkuhnya dalam dekapan, aroma aquatic yang menyegarkan berpadu dengan citrus yang menambah semangat siapapun yang menghirupnya.

Pelan ia melacak wangi itu, mengendus seperti anjing pelacak yang mencari korbannya. Dan tanpa sadar Ara mengulurkan tangannya, memegang mantap pada bahu seseorang.

Sekian menit menikmati. Aromanya seperti candu yang tak ingin ia lepas begitu saja, ingin lagi dan lagi.

Pletakk!

Setengah kaget Ara memegang dahinya. Kemudian memicingkan matanya. Mulutnya terbuka dan takjub apa yang hadir dihadapannya. Sesosok wajah tampan, sangat tampan dan..

"Sudah selesai pura-puramu Nona? ". Dilepaskannya kedua lengan yang mendekap tubuh gadis itu, dan tangannya melerai tangan Ara yang memegang bahunya. Hingga gadis itu hampir jatuh. Untung saja Ara kuat menahan beban tubuhnya sendiri.

"Aku tidak pura-pura" kata-katanya meyakinkan sambil melirik ke arah Adrian. "Hanya sedikit limbung" Ara menarik sebelah sudut bibirnya, kemudian bersedekap ingin menunjukkan ia baik-baik saja.

"Cih, sangat bisa terbaca. Cara kabur yang amatiran. Kau tahu, aku tak pernah melepaskan tawananku, apalagi dalam keadaan hidup" ucapnya keras, tegas dan menekan pada bagian akhir.

Ara merinding. Sendinya seakan kaku dan lemas dalam keadaan bersamaan. Ancaman nyata yang biasanya hanya ia dengar di film action kesukaannya, kini melenggang merdu di telinganya. Tanpa sadar ia menghela napas panjang, mencoba mengisi ruang paru-parunya dengan oksigen berharap ada sedikit rasa aman disana. Tapi kosong, bahkan pikirannya tak lagi berjalan, dia tak punya siapapun untuk menolongnya, bahkan sekedar mengadu.

Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tangannya. "Tuan.. " sedikit berlari ia mengikuti langkah kaki panjang pria di depannya. Dan pria itu hanya diam tak menggubrisnya. Menuju ke dalam rumah.

"Duduklah " perintahnya dengan menepuk ruang kosong disebelahnya. Dengan ragu Ara mengikutinya. Karena ternyata tak ada tempat duduk lain di ruangan itu.

"Tuan.. "

"Adrian," ucap pria itu datar.

"Tuan Adrian, saya tidak bermaksud kabur. Hanya saja saya takut, menghadapi anda. Emmm.. .maksud saya, saya takut tidak bisa mengikuti mau anda." Ara mengambil nafas panjang, dilihatnya Adrian hanya menatapnya tanpa ekspresi sama sekali.

"Bahkan aku belum mengatakan apa mauku, dan kau sudah takut? Itu bukan alasanmu saja kan?" manik matanya tajam dan senyumnya meremehkan.

"Emm.. saya bisa bekerja untuk anda di kantor anda menjadi apa saja, office girl atau cleaning service atau membantu anda membersihkan rumah ini juga tak apa Tuan atau mungkin_" Suara Ara tercekat di tenggorokan saat Adrian hanya memandangnya lurus seakan jengah dengan dirinya.

Kemudian pria itu tersenyum miring, tidak ada yang berani membuat penawaran dengannya sebelumnya. Apalagi mendiktenya dengan berani.

"Aku belum butuh semua itu Nona, tidak akan pernah butuh lebih tepatnya, tapi... "Adrian berdiri, berjalan agak menjauh dan berbalik " asisten pribadiku baru aku pecat kemarin, sepertinya kau cocok menggantikannya " senyumnya merekah, dan pasti bukan firasat yang baik, karena ini bukan simbiosis mutualisme.

"Aspri? "Ara tampak berpikir, ia memang pernah bekerja di kantor ayahnya. Itu satu tahun yang lalu, itupun hanya seperti anak magang karena ia hanya lulusan SMA, belum punya keahlian. Dan ia ditempatkan di bagian marketing, karena menurut ayahnya, marketing paling mudah dipelajari oleh Ara.

"Ya.. kau tak pernah dengar?"

"Pernah Tuan, tapi saya tidak tahu apa saja tugas aspri, apalagi saya tidak memiliki kompetensi di bidang itu, saya takut mengecewakan," Ara menunduk.

" Elang akan menjelaskan tugasmu beserta berkas perjanjian yang harus kau tanda tangani." Adrian mengangguk pada pria yang semenjak tadi berdiri di dekat pintu masuk ruangan itu.

Sambil membawa lembaran tebal di tangannya, pria yang di panggil Elang itu mendekati Ara dan mengulurkan apa yang dibawanya.

Kemudian Elang menyampaikan apa yang menjadi tugas Ara sebagai asisten pribadi Adrian secara lisan.

"Silahkan dipelajari berkasnya nona, untuk tugas anda yang saya sampaikan tadi, apabila ada yang kurang dimengerti bisa anda tanyakan pada saya" kata Elang sambil membungkukan badannya, kemudian mundur.

Tangan Ara membuka lembar demi lembar kertas itu, sampailah pada poin-poin yang menurutnya sangat janggal.

Poin 1 Mr. Adrian satu-satunya penentu keputusan.

Poin 2 Mengabdi sampai waktu yang tidak ditentukan.

Poin 3 Setiap melakukan kesalahan akan mendapatkan hukuman.

Poin 4 Setiap mencoba kabur, hutang akan bertambah menjadi dua kali lipatnya.

Poin 5 Jika ingin komplain kembali ke poin 1.

Ara menganga tak percaya, mencoba mengulang apa yang di bacanya tetap saja kembali dirinya yang dirugikan. Mengulang kembali kata yang pernah Adrian ucapkan 'MENGABDI SEUMUR HIDUP dan malah menjadi DALAM WAKTU YANG TIDAK DITENTUKAN'

"Tuan.. ini tidak salah kan? mengapa perjanjiannya hanya berat sebelah?" tanyanya ragu. Menatap Adrian yang sejak tadi tersenyum menyeringai memperhatikan mimik Ara yang menggemaskan karena kaget dengan isi dari lembar kertas yang dipegangnya.

"Berat sebelah? " Adrian mengernyit " Kau pikir kita sedang bernegosiasi? Tidak ada penawaran disini, yang ada apa yang aku mau kamu harus menyetujuinya" Adrian membungkukkan badannya dan berkata tepat di sebelah telinga Ara.

"Saya tidak menawar, hanya saja.. " Ara menggaruk tengkuknya mencoba berpikir cepat tapi buntu.. " hahhhh... " dia memalingkan wajahnya mencoba bernafas sejenak.

"Tanda tangani atau aku menelpon polisi?" Adrian mengeluarkan ancamannya. "Mungkin kau lebih senang hidup di penjara, kasus penipuan yang pasti akan membuatmu lebih lama mendekam di penjara" gertaknya kemudian.

Ara membulatkan matanya, pikirannya melayang kemana-mana" Jangan Tuan, baiklah saya ikut apa kata anda saja". Cemas dan takut bergelayut di hatinya. Ia duduk menenangkan diri kemudian dibukanya kembali lembar kertas itu dan segera ia tanda tangani.

"Good girl.." Adrian mengacungkan jempolnya. " Kau kerja mulai besok, untuk sementara kau tinggal di apartemenku saja. Lagipula sudah lama tak kutempati. Apapun kebutuhanmu katakan pada Ardi, dia yang akan mengantarmu kemanapun, kecuali ke kantor. Kau harus berangkat sendiri"

Pria itu berdiri kemudian melangkah pergi di ikuti para bodyguardnya. Ara memperhatikan mereka sampai hilang dari pandangan.

'Oh Tuhan ' batinnya sambil memegangi dadanya. Demi apa rasanya sesak, mengingat kembali orang tua angkatnya yang meskipun menjadikannya jaminan atas hutangnya. Namun Ara tak bisa membencinya begitu saja, ia ingin menanyakan sendiri apa alasan mereka melakukan itu.

Dan dimana mereka sekarang. Bahkan ponsel pun dia tak memegang, bagaimana dia tahu keadaan mereka.

Bab 3 Apartemen Adrian

"Silahkan nona "

"Kau tak perlu seperti ini Ar" ucap Ara pelan sambil menurunkan kakinya dari dalam mobil. Matanya menatap takjub bangunan di depannya. Ketika matanya menatap sekeliling, gedung ini terlihat menonjol di antara yang lain, menjulang tinggi dan megah. 'Orion Apartment', tulisan itu tercetak tebal pada plat besi berwarna gold berkilau yang kokoh menyiratkan betapa mewahnya fasilitas di dalamnya.

Segera dilangkahkan kakinya kedalam gedung itu dengan menarik satu koper kecil yang ringan mengikuti langkah kaki Ardi didepannya.

"Ting"

Pintu lift terbuka, terlihat dalam lift tak ada siapapun. Tampak lengang untuk jam sibuk seperti sekarang, atau mungkin karena yang tinggal disini orang berduit jadi mereka punya akses vvip untuk masuk ke dalam apartemennya. 'Mungkin saja' pikir Ara.

Ardi memencet angka dan menunggu dengan tenang. Mata Ara mendelik setelah memperhatikan angkanya '41'. Tidak salah, bukankah itu angka teratas lantai apartemen ini.

Seperti tahu yang dipikirkan gadis di sebelahnya "Sebagai owner, Tuan Adrian menginginkan tinggal di lantai itu nona" ucapnya sopan sedikit mengangguk.

"Ting"

Istimewa! kata yang digumamkan Ara untuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak, bahkan ia tak merasakan lift itu berjalan, dan tiba-tiba saja ia sampai di lantai teratas gedung ini.

Dua orang itu melangkah keluar dari lift. Sayup terdengar suara orang sedang berdebat. Suaranya semakin keras saat dua orang yang baru saja sampai itu semakin mendekat. Tak mungkin kan apartemen orang kaya macam ini tanpa ada fasilitas peredam suara di dalamnya. Ternyata pintu apartemen tak menutup sempurna, pantas saja. Terdengar suara dari dalam, pria dan wanita sama-sama berteriak lantang tak mau kalah.

"Kau egois Adrian, kau tak segera melamarku tapi melarangku menerima lamaran Tony"

"Jangan Tony"

"Kenapa? Tony mencintaiku dari dulu. Dan aku tak melihatnya karena kau.. karena aku pikir kau benar-benar mencintaiku tapi melamarku saja kau mengulur-ulur waktu"

"Lau.. kau tahu alasanku!!"

"Cih.. aku bosan dengan lagu lama mu"

"Baiklah menikahlah dengannya, dan jangan temui aku lagi"

"Baik.. aku ikuti apa maumu, dan jangan menyesal kalau aku tak perduli lagi denganmu"

"Lebih baik seperti itu.. "

"Adrian!! kau... brengsekk"

Ardi menghentikan langkahnya, tak urung Ara menabrak sebelah bahu Ardi yang berhenti tiba-tiba didepannya. Mata mereka berdua beradu, dan dari gesturnya terbaca bahwa mereka harus menunggu di depan pintu apartemen itu. Ara hanya mengangguk pelan, apalagi yang bisa dilakukannya selain menurut.

ceklek..

Daun pintu apartemen terbuka, muncullah Adrian dan seorang gadis cantik yang mengikutinya dari belakang, mereka tampak sedang tidak baik-baik saja. Mereka berdua melenggang meninggalkan tempat itu dengan diam dan tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan sepertinya tidak menyadari ada dua orang di ujung lorong yang memperhatikan mereka.

"Silahkan nona " Ardi membuka pintu dan mempersilahkan.

Begitu masuk, mata Ara memindai seluruh ruangan apartemen Adrian. Ini terlalu lebih, terlalu mewah baginya. "Ar, ini tak salah? Aku tak biasa tinggal di apartemen semewah dan sebesar ini apalagi sendirian"

"Tuan Adrian tidak menerima penolakan Nona"

"Tuan.. " ucap Ara tak berlanjut, hanya jari telunjuknya yang mengarah ke perginya dua orang yang tampak seperti sejoli tadi.

"Dan maaf, anda tidak boleh bertanya apapun dan mencampuri apapun privasi Tuan Adrian, namun tidak sebaliknya. Semua mengenai anda ada hak Tuan Adrian untuk mencampurinya" kata-kata Ardi tegas tanpa bantahan.

'Apa-apaan ini, kenapa hanya sepihak. Kesepakatan yang merugikan" batin Ara sambil menghembuskan nafas kasar.

"Pakaian Nona bisa diletakkkan di almari yang kedua. Kalau nona butuh diantar kemanapun, silahkan hubungi saya. Selamat beristirahat nona" ucap pria itu sambil membungkuk dan mohon diri.

Selepasnya, mata Ara memindai lagi sekeliling. Mengagumi seluruh isinya yang menurutnya sangat lebih. Terdengar bunyi cacing-cacing dalam perutnya yang kelaparan.

"Huft bahkan perutku belum terisi sejak tadi pagi" katanya lemas. Ara menuju dapur dan mencari di dalam kulkas barangkali ada yang bisa ia makan. Namun isinya hanya minuman dan buah. 'Ah lumayan daripada kelaparan' batinnya segera mengambil dua apel dan memakannya.

Terduduk didepan layar tv, dengan menghabiskan apel keduanya, membuat konsentrasinya hanya tertuju pada layar didepannya. Hingga dia tidak sadar lima belas menit yang lalu, ada seseorang yang masuk melalui pintu dan memperhatikannya sejak tadi.

Seorang pria lengkap dengan stelan jas hitam garis-garis tampak tersenyum tipis menatap Ara. Ia memiringkan kepala sambil tangannya masih bersidekap di depan dada.

"Ehem"

Bunyi deheman itu membuat Ara menghentikan kunyahannya dan menoleh. Kemudian Ara langsung berdiri salah tingkah serta melempar apel dalam genggamannya serampangan.

"Tuan.. maaf"

"Panggil Adrian saja kalau tidak ada orang lain"

"Emmm.. iya, maaf saya makan apel anda, Tuan Adrian" sambil menunduk dan sesekali melirik ke arah Adrian dilakukannya demi membaca ekspresi yang sepertinya dari tadi tak berubah. Datar.

"Adrian, Ara" katanya penuh penekanan.

"Iya... Adrian"

"Mulai sekarang kau tinggal di sini, kalau aku pulang kesini, berarti kau tidur di ruang kerjaku, disana ada sofa kecil tempatku beristirahat. Tapi kalau aku tak kesini, kau boleh tidur di ranjangku"

"Iya.. "

"Besok pagi kau mulai kerja di kantorku, jangan lupa untuk datang lebih awal untuk dijelaskan job deskmu. Hubungi Ardi, nomernya sudah kusimpan di ponselmu, dia akan memberitahumu lokasinya. Dan ingat, untuk apapun yang berurusan dengan kantor, kau tidak bisa meminta bantuan Ardi "

"Istirahatlah, aku hanya mampir"

"Terima kasih Tu_..emm maksudku kak Adrian"

"Aku bukan kakakmu, panggil namaku saja"

"Iya.. maaf, bolehkah aku emm meminta sesuatu dari kesepakatan kita, seperti sebuah penawaran"

"Penawaran?" Dahi Adrian mengernyit. "Aku tak pernah melakukan penawaran Ara, tidak mau dan tidak akan"

"Emm.. aku hanya ingin merubah tentang 'mencampuri urusan'.. kukira akan lebih baik kita tidak mencampuri urusan masing-masing

dan.. "

Adrian mendekatkan wajahnya ke wajah Ara. Bahkan hembusan nafasnya hangat terasa menyapu wajah Ara. Ada rasa berdesir yang datang dan hilang. Menyisakan sensasi sesak, jantung berdebar dan lemas. Wajah Ara terpaku dan matanya tak berkedip.

Oh tidak.. tidak, tak boleh memakai perasaan dengan pria itu. Dia sangat pemaksa dan tentu saja Ara tak mengenalnya dengan baik. Dia orang lain yang memanfaatkan keadaan. Bagaimana mungkin hanya karena hutang piutang pria itu menyetujui orang tua Ara menjadikan anaknya jaminan. Bukankah jaminan paling berharga itu adalah sertifikat rumah ataupun barang berharga lain bukan malah makhluk hidup manusia pula. Apalagi Ara tak memiliki harta benda atau uang yang banyak. Mengapa harus dia?

"Ahiara! Kau tawananku, apa pantas seorang tawanan mengajukan penawaran? Ketahuilah batasanmu!!" suaranya tegas, mendesak, dan meskipun lirih namun tersirat nada mengancam.

"Bukan seperti itu Adrian, maksudku.." belum sempat Ara melanjutkan maksudnya, tiba-tiba saja badannya yang sejak tadi melengkung ke belakang akibat Adrian yang terlalu mendekat.

Brukkk

Ara hampir saja terjatuh di lantai kalau saja tangan Adrian tidak melingkar di pinggangnya.

"Kau ceroboh sekali, sudah aku mau pergi..dan keputusanku mutlak!! " Sambil memandang tajam pria itu keluar tanpa bicara lagi.

Ara menghembuskan nafasnya pelan, segitu amat hidupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!