Prolog dan Pengenalan Karakter!
Dendy Faresh, sekertaris sekaligus tangan kanan Brydan Robson yang sangat anti dengan namanya wanita. Pria dingin tak tersentuh itu hanya menunggu untuk satu wanita masa lalunya. Yang kini entah dimana. Namun, Tuhan berkehendak lain ketika ia harus terpaksa menikahi seorang wanita yang telah dihamilinya.
Tica Maharani, seorang wanita dengan segala sifatnya yang menyebalkan. Anti jaim, ceroboh dan bar-bar, harus terpaksa menikah dengan seorang pria dingin yang perfeksionis serta kegalakannya. Setiap yang ia lakukan pasti akan selalu salah di mata pria itu. Karena dirinya bukanlah wanita yang diinginkan oleh pria itu, hanya karena wanita di masa lalu. Mahligai rumah tangganya harus dihantui oleh bayang-bayang masa lalu si pria. Tak peduli sekeras apapun diinya berusaha, jika Dendy tidak mau membuka hai untuknya, bagi Tica itu semua hanya akan sia-sia.
***
One night stand, kebiasaan buruk yang marak terjadi di kalangan masyarakat, baik muda atau tua, kaya atau miskin. Namun naasnya, Dendy pun juga harus terjerumus dunia kotor itu. Pria yang sangat anti dengan namanya wanita, terpaksa harus menodai seorang wanita hanya karena permainan dari temannya. Permainan itu yang membuatnya harus meminum obat perangsang dan menodai seorang wanita yang masih murni.
Sampai si wanita hamil dan meminta pertanggungjawabannya, Dendy pun tidak bisa lari dari tanggung jawab, karena bagaimanapun juga wanita itu tengah mengandung benihnya.
Namun, walaupun sudah menikah dan memiliki istri, Dendy masih saja berharap dan selalu menunggu untuk wanita di masa lalunya. Bahkan ia melihat sang istri yang kerap kali menangis di malam hari, karena perbuatannya. Namun Dendy seakan tutup mata dan telinga untuk semua itu, rasa belas kasih kepada sang istri seakan hilang terkikis oleh cinta masa lalunya.
Hingga akhirnya Tica memilih untuk berpisah dari Dendy, karena ia sudah lelah digantung tanpa kepastian. Wanita itu memilih pergi kembali ke kampung, dan dengan mudahnya Dendy mengiyakan. Lihat saja penyesalan selalu datang terakhir. Dendy, pria itu pasti akan menyesal karena telah membuat berlian hanya demi seonggok batu yang sudah kotor.
***
Empat bulan kemudian.
"Hy keponakan aunty."
"Hy Aunty cantik."
Hari ini Tica datang ke mansion Brydan. Untuk menjenguk Nadya, sahabatnya itu kini tengah hamil dan sudah menginjak usia tiga bulan. Bahkan setiap akhir pekan Tica selalu menyempatkan diri untuk datang ke mansion Brydan dengan membawa oleh-oleh tentunya.
"Tic, jangan bawa makanan terus ih, aku jadi engga enak ngerepotin kamu terus."
"Eleh, sejak kapan kamu jadi jaim? Perasaan dari orok kamu emang selalu ngerepotin deh."
Nadya menggeplak bahu Tica, wanita itu tidak heran lagi. Tica memang bar-bar dengan segala ucapan kocaknya. Siapapun yang berbicara dengan wanita itu akhirnya pasti akan dibuahi dengan tawa.
"Kamu kapan kontrol?"
Tica seraya terus menyuapi Nadya bubur ayam. Tadi Tica memang membawa bubur ayam, karena ia tahu betul kalau Nadya sangat suka dengan yang namanya bubur ayam.
"Masih sebulan sekali, tapi kata dokter kalau udah masuk bulan ke lima, kontrolnya harus dua Minggu sekali."
"Oh, gitu yah."
Tica hanya manggut-manggut saja, toh dia sama dengan author yang tidak tahu-menahu perihal kehamilan dan segala sesuatunya. Karena kita masih polos ye kan Tic?
Selepas menyuapi Nadya, Tica segera pulang karena hari ini dia ada shift kerja malam. Karena dia hanya buruh pabrik di sebuah pabrik besar pengolahan makanan milik Robson.Drction. Milik suami Nadya.
***
Sore hari telah tiba, Brydan sudah pulang dari kantor. Semenjak istrinya hamil, ia tidak lagi begitu memfokuskan diri pada pekerjaan namun prioritasnya sekarang adalah sang istri. Walaupun kerap kali dirinya dibuat kesal akan tingkah laku istrinya. Entah kenapa semenjak hamil istrinya jadi begitu menyebalkan, jika Meysha bilang orang hamil mayoritas akan manja dan mudah menangis, ya walaupun tidak semua orang hamil jadi manja dan cengeng.
Berbanding terbalik dengan sang istri, semenjak hamil Nadya justru semakin sering menindas suaminya.
Contohnya kemarin, saat Brydan ingin menolak kemauan Nadya untuk memasak telur. Sang istri langsung saja memelototinya dan mengepalkan tangannya seakan bersiap untuk meninju seseorang.
Namun, perkataan Meysha ada benarnya juga. Karena semenjak hamil selain menindasnya, sang istri juga memiliki kebiasaan baru. Yaitu mencium bau keteknya sepulang bekerja, jika Brydan langsug membersihkan diri sepulang bekerja, maka dipastikan pipinya akan gembung sebelah karena tonjokan Nadya.
Maka, setiap pulang kerja, CEO Robson.Drction itu terlebih dahulu akan menina bobokkan istrinya. Barulah ia bisa membersihkan diri dan bersantai ria.
Seperti sekarang Brydan baru saja selesai mandi setelah menina bobokkan istrinya.
Saat malam tiba, Brydan membangunkan sang istri untuk makan malam. Setelahnya mereka pun beranjak untuk segera tidur. Namun, siapa sangka di tengah malam, Nadya terbangun. Perutnya kembali berbunyi pertanda lapar. Bukan siapa yang akan susah jika begini, tentu saja Brydan lagi dan lagi.
"Sayang, bangun aku lapar."
Setelah beberapa menit menunggu sang suami tidak kunjung bangun, akhirnya Nadya memutuskan untuk masak sendiri. Mungkin suaminya sedang lelah, pikirnya.
***
Pagi petang telah tiba, Tica baru saja hendak pulang dari pabrik. Pagi petang begini mana ada ojek, pikirnya. Namun, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Ia pun menilik dalam mobil dan ternyata itu Sekertaris Dendy.
Sekertaris Dendy mengajak dirinya untuk menebeng saja, walaupun ia mencium bau-bau aneh. Tetapi terpaksa Tica tetap numpang karena memang ia butuh tumpangan untuk pulang. Bayangkan saja, jarak antara rumahnya dan pabrik itu sekita dua kilometer. Kakinya bisa kiting kalau berjalan sejauh itu apalagi dalam kondisi yang lelah karena baru kelar kerja.
Di setengah perjalanan, semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, tiba-tiba mobil berhenti dengan ekspresi Dendy yang terlihat aneh. Pria itu melepas sabuknya, dan mendekatkan wajahnya ke wajah Tica yang tengah tertidur. Wanita itu tertidur karena kelelahan.
Dendy terus menatap wajah cantik itu. Gejolak dalam dirinya semakin membesar, hasratnya terus saja mendesak. Karena permainan sialan itu dirinya harus berada di posisi sekarang ini.
Dendy baru saja selesai reuni bersama beberapa temannya, dan mereka mengadakan sebuah permainan truth or dare. Dan sialnya Dendy memilih dare, jadilah dia harus meminum segelas air yang ternyata telah dicampur dengan soda dan obat perangsang oleh temannya.
Sungguh kini tubuhnya sudah terasa begitu panas. Walaupun hawa di malam hari sangatlah dingin.
Cup
"Ehmppp---" Tiba-tiba saja Dendy langsung ******* bibir Tica tanpa pikir panjang. Akal sehatnya seakan telah mati termakan hasrat yang membara.
.
.
.
.
TBC!
Vote like and komennya yah.
Di tengah malam yang gelap, tidak ada satupun pengendara yang lewat. Hanya ada kicauan burung hantu yang menjadi saksi bisu pergulatan panas Dendy dan Tica. Tak peduli sekuat apapun Tica memberontak, pria itu seakan tuli. Terus dan terus melakukan hal menjijikkan itu hingga dirinya puas. Sedangkan Tica, wanita itu sudah kacau balau. Dengan make-up yang luntur karena tersapu lelehan air mata dan baju yang sudah terlepas dari tempatnya.
"Hiks... Hiks..." Di perjalanan Tica terus menangis. Kenapa takdir sejahat ini terhadap kehidupannya. Kenapa ini semua harus terjadi padanya?
Ckitt.
Setelah mobil sampai di pelataran rumah kontrakannya, wanita malang itu segera turun dari mobil yang ia anggap pembawa sial itu. Dengan sesenggukan yang masih tersisa, walaupun hidungnya sudah memerah karena terlalu banyak menangis. Matanya sembab dan bibirnya membengkak karena ciuman laknat Dendy tadi.
Tica memakai kembali bajunya walaupun sudah ada yang robek dan juga beberapa kancing yang lepas. Wanita itu terlihat turun dengan tergesa-gesa. Ia berlari masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara apapun kepada Dendy, bahkan sepucuk kata terimakasih pun tidak keluar dari mulutnya.
Dendy, pria itu masih kalut akan perbuatannya sendiri. Bagaimana bisa ia sampai lepas kendali? Biasanya dirinya selalu bisa untuk mengendalikan hasratnya, tetapi semobil bersama Tica membuat akal sehatnya melayang entah kemana.
Dendy masih tidak sadar, kalau Tica sudah turun dari mobilnya. Pria itu masih terdiam membisu membenturkan dahinya ke stir mobil dengan sedikit keras. Ia merutuki perbuatan bejatnya tadi, padahal ia bukanlah pria bebas.
_Sial! Aku juga mengeluarkan di dalam, bagaimana kalau dia hamil?_
Dendy kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal, karena jalanan memang sepi. Ia harus segera membersihkan dirinya karena tubuhnya terasa sangat lengket akan cairan itu.
"Kau awasi dia! Beritahu aku jika dia hamil. Tutup mulut dan jangan sampai kau ketahuan!" Dendy yang baru saja selesai mandi, segera menelepon seseorang. Ia ingin mengawasi Tica, jika wanita itu memang hamil, ia akan bertanggungjawab karena bagaimanapun wanita itu mengandung benihnya.
["Baik Tuan."]
***
Di rumah Tica, wanita itu nampak tak berselera makan. Bahkan makan malamnya tidak ia sentuh sama sekali. Tica masih berdiam diri bersandar di headboard ranjang dengan kaki selonjor. Tatapan matanya terlihat kosong tak berarah, ingatannya masih menerawang kejadian tadi.
Ia gapai gawai yang terletak di atas nakas. Ia tatap foto pria yang selama ini ia cintai, Dendy Faresh. Ya, Tica menaruh perasaan pada pria itu. Namun, wanita malang itu sadar, bahwa ia dan Dendy bagaikan langit dan bumi yang tidak akan pernah bersatu.
Selama ini, diam-diam Tica sering memotret Dendy. Ia punya banyak foto-foto pria itu di galeri handphone-nya. Ketampanan pria itu telah membuatnya menjadi gila, bahkan setiap malam ia suka berhalusinasi sembari memandang foto pria itu.
Dua bulan berlalu, dalam satu bulan ini Tica menjalani hari-harinya dengan baik. Sekarang ia telah naik jabatan, bukan lagi seorang buruh melainkan sebagai staff kantor. Ini semua berkat kerja kerasnya. Nadya pun turut mengucapkan selamat kepada sahabat karibnya itu. Kini usia kandungan Nyonya Brydan itu tengah memasuki bulan ke lima.
"Tica, tolong kamu berikan laporan ini pada Sekertaris Dendy, karena aku diminta untuk mewakili perusahaan dalam event di luar kota." Manager Divisi itu menyerahkan sebuah laporan kepada Tica. Wajahnya terlihat begitu memelas, jujur ia sedang terburu-buru sebentar lagi pesawat akan take off dan ia harus segera ke bandara.
"Ta.. tapi--"
"Please!"
"Heuh, baiklah."
Akhirnya Tica menyerah, ia tidak tega melihat wajah memelas temannya itu. Manager itu memang salah satu temannya.
Tica sudah mengecek ruangan Dendy, namun ruangan itu terlihat kosong. Akhirnya Tica kembali ke ruangannya, wanita itu terlihat lemas dan wajahnya juga sedikit pucat. Entah kenapa ia merasa pusing dan perutnya serasa mual. Tica menilik jam kecil yang menempel di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul satu siang.
"Kenapa aku pusing yah, perutku juga mual. Apa asam lambung aku naik?"
Wanita itu beranjak menuju ke ruangan Dendy, walaupun kepalanya sudah sakit tak karuan. Dan ia serasa ingin segera ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.
Tok tok tok.
Sampai di depan ruangan Dendy, ia mengetuk pintu kaca itu. Sang pemilik ruangan terlihat memintanya untuk masuk. Jantungnya seakan ingin copot dan kepalanya terus berdenyut nyeri serta desakan perutnya yang terus bergejolak ingin muntah.
"Tu... Tuan."
Degg.
Dendy menoleh, hatinya seakan luruh melihat wajah putih pucat itu. Serta tubuh yang terlihat tidak kuat menopang dirinya sendiri.
"Kau kenapa?"
"Sa.. sa--"
Belum selesai berbicara, ia telah roboh dalam pelukan Dendy.
Dendy panik, ia segera membopong tubuh wanita itu menuju ke bawah. Memasuki mobilnya dan meminta sopir untuk segera ke rumah sakit. Ia tidak memperdulikan lagi semua orang menatap mereka dengan tatapan aneh. Karena baru kali ini sejarah dalam hidupnya seorang Dendy Faresh menyentuh tubuh wanita.
"Tangani wanita ini!" Dendy berteriak tidak karuan, sampainya di rumah sakit, seorang perawat langsung membawa Tica ke ruang pasien untuk dilakukan pemeriksaan. Sedangkan Dendy menyelesaikan administrasi.
"Bagaiman keadaannya?"
"Lebih baik Tuan bawa Nona ini ke dokter obgyn."
"Apa?"
"Iya Tuan, sepertinya Nona ini hamil, untuk lebih tahu mendetail perihal kehamilannya silahkan Anda ke dokter Meysha."
Sesuai arahan dokter Dendy membawa Tica ke ruangan Meysha. Pria itu terlihat tidak menentu, raut wajahnya seakan menggambarkan kegelisahan.
"Bagaimana, Mey?"
"Tunggu, engga sabaran banget sih." Meysha terlihat mengoleskan gel di perut rata Tica. Wanita itu masih pingsan dengan wajahnya yang masih seputih salju. Dan bibir yang ikut memucat.
"Dia hamil, kamu lihat gumpalan kecil itu. Itu janinnya, kalau boleh tahu suami Nona ini kemana?"
Degg.
Jantung Dendy mencelos, detakan kencang itu seakan tembus ke kulit dadanya. Suasana seketika menegang, karena Dendy yang tidak kunjung menjawab pertanyaan Meysha.
"Sebentar aku resepkan vitamin untuk Nona ini."
"Kenapa dia pingsan Mey?"
"Itu hal biasa, Den. Oh ya, usia kehamilan Nona ini masih kurang lebih lima Minggu berjalan enam Minggu. Usia itu masih rentan, tolong hindari stres berlebihan dan makanan tidak sehat. Seperti soda atau makanan pedas berlebihan atau obat-obatan yang berdosis tinggi."
Dendy senang, tetapi pria itu juga gundah. Kalau Tica hamil, ia harus bertanggungjawab dengan menikahi wanita itu. Tetapi bagaimana dengan cinta pertamanya? Dendy sudah berjanji pada gadis itu untuk menunggunya.
"Ini, kamu tebus di apotek RS ini aja yah. Biar Nona ini di sini dulu." Meysha seraya memberikan sebuah kertas resep.
Dendy pun segera beranjak menuju ke apotek dan menebus vitamin yang Meysha resepkan tadi.
.
.
.
.
TBC!
Vote like and komennya yah.
"Dimana aku?"
Wanita yang baru saja sadar dari pingsan itu terlihat mengerjapkan matanya. Ia perlahan bangun dari tidurnya, masih dengan memegang kepalanya yang sedikit berdenyut. Namun, gejolak di perutnya memaksa dirinya untuk segera ke wastafel. Tica berlari ke kamar mandi yang ada di ruangan itu.
Huekkk.
Wanita itu terus memegang perutnya, seraya mengeluarkan semua isi perutnya yang sedari tadi bergejolak. Namun siapa sangka, saat ia hendak berbalik, seorang pria kekar nan tampan tengah berdiri di pintu kamar mandi. Pria itu terlihat membawa senampan makanan lengkap beserta air putih.
Deggg.
Tica terkejut, sebenarnya dimana ia sekarang. Kenapa bisa bersama dengan pria itu, dan ruangan yang ditempati olehnya itu terlihat begitu asing baginya. Ruangan itu sangat menunjukkan sisi laki-laki, bahkan dengan cat dindingnya abu-abu dan furniture di dalamnya.
"Tu... Tuan."
"Duduk!"
Suara dingin itu seketika membuat buku kuduk Tica meremang. Ia duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan di ruang kamar itu.
"Sa... saya dimana?"
Sial, perasaannya tidak bisa ditahan. Setiap kali berdekatan dengan pria itu, ia selalu saja lemah. Hati dan pikirannya seketika berbeda jalan.
"Jangan banyak tanya! Makan sekarang."
Dendy menyuapi Tica, walaupun tidak lapar Tica terpaksa memakan bubur itu. Dari pada ia kena semprot lagi. Tica heran, entah kenapa tiba-tiba pria itu perhatian begini kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi, ia tidak ingat apa-apa. Yang ia ingat tadi dirinya memberikan laporan itu kepada Dendy dan setelahnya pandangannya mengabur kemudian dirinya jatuh pingsan.
Suapan demi suapan terus Tica makan dan telan. Karena dirinya memang bukan tipe pemilih dalam makanan, apapun akan ia makan asalkan bukan racun, tanah dan batu. Walaupun begitu, tubuhnya tidak bisa menggemuk tetap saja ramping sejak dulu.
Setelah habis, Dendy memberikan segelas air putih dan sebutir obat untuk Tica. Tentu Tica heran, namun karena paksaan lagi-lagi Tica terpaksa menelan obat itu. Entah itu racun atau narkotika ia juga tidak tahu.
"Apa maksud semua ini, Tuan?"
"Kau hamil anakku!"
Degg.
Ucapan tanpa filter itu langsung menembus dadanya. Hamil? Bahkan ia belum siap untuk menikah, apalagi hamil. Dan bagaimana dengan keluarganya di kampung, apa yang harus ia katakan pada ibu dan ayahnya nanti? Apa ia harus berkata bahwa putri mereka telah hamil tanpa hubungan yang sah. Mungkin ayahnya akan mencoret namanya dari kartu keluarga, apalagi ibunya.
"Tidak, Anda pasti bercanda kan?"
"Terserah kau percaya atau tidak. Tetapi aku akan segera melamarmu pada orang tuamu! Besok kita akan ke rumahmu di kampung."
"Me... Melamar? Apa yang harus aku katakan pada ibu dan ayah nanti?"
Mata itu sudah berair membayangkan kekecewaan mendalam yang akan dirasakan oleh orangtuanya. Akibat ulahnya, ia telah mencoreng nama baik ayah dan ibunya. Ia anak tidak tahu diuntung. Semua itu memenuhi pikirannya.
"Kau hanya perlu diam, aku yang akan menjelaskan semuanya. Sekarang kau akan tinggal di sini!"
"A... Apa? Tapi barang-barang aku?"
"Aku sudah meminta orang untuk memindahkan semua barang-barangmu! Aku hanya ingin melihat tumbuh kembang anakku!"
_Aku tahu, mana mungkin wanita seperti aku bisa mendapatkan cinta seorang pria berpengaruh seperti dirimu._
"Sekarang aku hanya perlu kesaksianmu! Bersaksilah bahwa setelah anakku lahir, kau setuju kita untuk bercerai. Dan juga bersaksilah kau akan sepenuh hati mengandung anakku dan tidak akan melakukan hal yang membahayakan anakku!"
"Aku Tica Maharani, bersaksi bahwa aku akan merawat anak ini dengan sepenuh hati dan akan bercerai setelah anak ini lahir!"
Hatinya sakit ketika melantunkan kalimat tercela itu. Dirinya hanya dibutuhkan untuk mengandung benih dari pria itu. Betapa hinanya dia? Sekarang kedudukannya dan pelacur tidak ada bedanya.
"Bagus!"
Setelah itu, Dendy keluar dari ruangan itu. Entah hendak kemana pria itu, Tica juga tidak tahu. Karena yang ada di pikirannya sekarang, bagaimana nasib anaknya nanti jika kedua orangtuanya berpisah.
"Maafin mamah, Nak. Mamah engga mau ini semua terjadi, tapi ini di luar kuasa mamah."
Tica seraya terus mengelus perut ratanya. Kini dirinya tengah berbadan dua, lama-kelamaan perutnya akan membesar. Apakah ia sanggup menjalani semua ini dengan lapang dada? Jika wanita hamil lainnya semakin di sayangi oleh suami, tetapi dirinya justru disuruh untuk bersaksi.
Hari sudah sore, Tica segera beranjak untuk mandi. Percuma juga ia bersedih, karena nasi telah menjadi bubur.
Selepas mandi, ia hanya memakai pakaian rumahan. Hot pant dan tangtop yang memamerkan perut indahnya. Dan juga paha putih mulus itu. Ia keluar dari kamarnya, apartemen pria itu bagus juga. Sudah ia perkirakan, harganya pasti membuat jiwa missquennya meronta-ronta.
Tica menuju ke dapur. Bubur tadi ternyata tidak mengenyangkan, ia butuh asupan lagi. Mumpung Dendy sedang tidak ada lebih baik ia makan sepuasnya. Wanita itu perlahan mengendap-endap menuju dapur, pelan bahkan pelan sekali sampai benturan sandal dan lantai marmer itu tidak menimbulkan suara sama sekali.
"Hey!"
"Astaga."
Tica terlonjak ketika melihat pria itu ternyata berdiri tepat di belakang dirinya yang hendak membuka pintu kulkas.
"Tu... Tuan."
"Kamu lapar?"
"Engga engga kok!"
Ah sial mulutnya sungguh naif. Jelas-jelas cacing perutnya sudah berdansa sedari tadi. Tetapi mulut bar-barnya itu justru menjawab lain. Mungkin efek gugup berdekatan dengan orang tercinta.
Krucukk krucukk.
Tica hanya cengar-cengir tidak jelas. Membuat Dendy jengah, kalau lapar kenapa bilang tidak, pikir pria itu.
"Duduk di meja makan!"
"Tapi saya mau masak, Tuan."
"Duduk!"
"Baiklah."
Tica tidak berdaya, ia hanya numpang di sini. Ia duduk dan hanya melihat saja Dendy yang tengah berkutat dengan alat-alat dapur. Pria itu terlihat seperti begitu lihai dalam memotong sayuran demi sayuran.
Tica bahkan sampai ileran melihat hasil masakan Dendy. Sup daging sapi, liurnya sudah ingin turun saja. Dendy menyajikan dalam dua mangkuk, satu mangkuk ia berikan tepat di depan Tica.
Tanpa jaim, Tica memakan sup itu dengan lahap. Seakan dirinya sudah tidak makan selama tiga hari. Padahal satu jam yang lalu ia baru saja makan bubur. Tapi bagi wanita itu, bubur hanya lewat saja tidak akan bisa mengganjal perutnya.
"Pelan-pelan nanti tersedak!"
"Uhukk!"
"Aku bilang apa?"
Dendy menyodorkan segelas air putih dan Tica meneguknya hingga tandas tak tersisa.
"Anak Tuan ngelitikin perut saya, bikin saya keselek!"
"Jangan mengkambing hitamkan anakku! Kau yang ceroboh!"
"Ya ya ya."
.
.
.
.
TBC!
Vote like and komennya yah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!