Kutatap nanar seorang Marcus Alexander yang kini sudah duduk di sampingku. Tenang bersandar pada kursi sambil menunggu palu hakim mengetuk tiga kali sebagai proses berakhirnya suatu hubungan yang telah dipersatukan oleh Tuhan.
Ya, Hubungan pernikahan kami.
Pria ini terlihat begitu tenang seolah tak pernah ada badai yang menerjang hidupnya, tidak sepertiku. Dengan kemeja putih yang kuberikan padanya saat perayaan ulang tahunnya dulu, netra mata ini langsung membawa kenangan yang mampu mencabik hatiku secara tak kassat mata. Aku tak tahu apa maksud darinya dengan memakai benda pemberianku dihari kesakitanku, tapi yang kusadari bahwa tidak ada niatannya selain menunjukkan bahwa ia sudah bertekad untuk mengakhiri ini semua. Bersamaku.
Marcus Alexander. Terlalu banyak kata jika saja aku bisa mengucapkannya dan takkan usai hanya dalam waktu sehari saja. Betapa aku mencintai dan menginginkan lelaki ini membalas perasaanku di setiap lantunan doaku kepada Tuhan. Setiap harinya aku sudah terbiasa mengantarkan kepergiannya bekerja ke rumah sakit dan menyambut lelahnya di rumah. Setiap malamnya aku menunggunya yang terkadang pulang hampir pagi buta karena jadwal berjaga malam di rumah sakit atau mungkin disaat pria itu harus menjalani operasi dadakan. Dan tak pernah sekalipun kegiatan itu mengundang lelah di tubuhku.
Seharusnya dengan akal sehat, aku tak perlu melakukan semua itu untuk seseorang yang bahkan tak pernah menganggapku ada. Tapi jauh di sudut hatiku, aku menjerit. Aku sangat berharap Marcus pun merasakan yang sama, menyayangiku sebagai seorang teman hidup. Terbiasa dengan kehadiranku dan mulai mencintaiku. Meskipun terdengar mustahil, aku tahu jika hatiku takkan pernah berhenti berharap. Pernikahan kami yang hanya seumur jagung pun kuharapkan dapat menjadi abadi hingga mau memisahkan kita. Tapi, harapanku akan selamanya menjadi sebuah harapan.
Selama setahun aku berusaha membuat lelaki ini memandangku, berusaha membuatnya agar berpaling padaku. Menjadi istri yang baik dan berbakti kepadanya. Marcus memang bersikap bersahabat denganku, tidak menolak semua pemberianku, tapi lelaki itu tetap diam dan tak menunjukkan pertanda ingin membawa hubungan pernikahan kami lebih dalam. Seolah tembok tinggi sudah terbangun kokoh membatasi hubungan kami. Lelaki itu tak pernah membiarkanku memasuki ruangan kosong di dalam hatinya. Puncaknya adalah saat aku mengetahui bahwa masih ada sosok yang dicintai oleh mantan suamiku itu.
Kakakku, Angelica.
Marcus mengatakan bahwa kakakku memaksanya untuk menikah denganku. Saat itu Angelica baru saja melangsungkan pernikahan dengan Kak Moreno. Pria itu tanpa perasaan mengatakan semuanya bahwa dirinya tak pernah menginginkan cintaku, begitu pun sebaliknya. Pria itu sering berkata bahwa setiap hari doanya adalah agar Tuhan tidak akan memberikan perasaan cinta dihatinya untukku. Dan hasilnya, Selama pernikahan kami tak pernah kulihat cinta di mata suamiku sendiri. Doanya kepada Tuhan terkabulkan dan doaku tidak pernah terjawab hingga detik ini.
Marcus tetap mencintai Angelica dan aku merasa bahwa perasaan itu bukanlah paksaan. Tidak seperti pernikahan kami. Tapi, jika keduanya tak pernah bersatu tentu bukanlah kesalahanku. Sebegitu besarnya cinta suamiku kepada kakakku sendiri membuatku nyari mengenyam rasa iri seumur hidupku. Tak pernah ada yang mencintaiku sedalam itu. Mungkin bukannya tak pernah, tapi tidak ada yang seperti itu dalam hidupku.
Mungkin ketika Tuhan sedang berbaik hati kepadaku adalah saat mempersatukanku dengan pria ini. Hal paling membahagiakan dalam hidupku adalah saat bersanding disamping lelaki itu dan mengucapkan janji kepada Tuhan untuk sehidup semati. Bayanganku, aku akan bahagia bersamanya, melahirkan anak-anak kami. Akan tetapi, meski harapan tentang anak itu terwujud, pernikahan kami tetap berakhir sampai disini.
Ketukan palu hakim yang terdengar telah mengakhiri apa yang menjadi penderitaan dalam pernikahan kami. Penderitaanku, penantianku dan perasaanku, mungkin. Permainan terkutuk yang tercipta telah sampai akhir babak dan lelaki inilah yang memenangkan permainan, aku kalah. Aku kalah, karena telah hilang akal untuk merebut hatinya. Semuanya sudah berakhir dan mencabut separuh hidupku selama setahun pernikahan kami.
Perceraian.
Saat kulihat lelaki ini berdiri, dapat terlihat dengan jelas bahwa punggung kokoh yang tengah membelakangiku itu terlihat lega. Seperti sebuah beban telah tercabut dari badannya dan aku tahu beban itu adalah pernikahan kami danperasaanku yang tidak pernah terbalaskan. Tidak ada yang lebih membahagiakannya selain berpisah denganku. Aku hanya bisa memandanginya, begitu kokoh dan bahagia dengan keputusan ini.
Aku pun menoleh ke suduh bangku ruang sidang yang diduduki oleh mertuaku. Ayah mertua yang baru saja hadir ke dalma hidupku menambah orang baik yang kucintai setelah Angelica dan Marcus. Meskipun baru sebentar aku mengecap kasih sayang sebagai anaknya, tapi kesannya tak pernah lekang dalam ingatanku. Wajah tua itu tampak datar tak menunjukkan emosi berarti. Aku tahu ayah mertuaku cukup kecewa dengan keputusan ini. Namun, semuanya sudah terjadi. Aku lebih memilih melepaskan suami yang tak pernah mencintaiku dari pada harus membiarkannya tersiksa bersamaku. Aku tahu Tuhan memiliki rencana yang sangat indah untukku.
"Margareth ..." Javier, ayah mertuaku datang menghampiriku. Sontak saja aku langsung berdiri dan mendekat ke arahnya. Biar bagaimana pun hubunganku dengannya tidak memiliki pengaruh atas pernikahanku dengan anaknya.
"Ayah, maafkan aku." Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku menyesal sudah membuatnya berharap. Aku tahu ayah mertuaku pasti tidak menginginkan hal ini, sama sepertiku. Tapi, ketika palu hakim terketuk, maka usai sudah semua kisah kami. Marcus dan pernikahan kami hanyalah sebuah masa lalu yang bisa kusimpan rapat.
Javier memelukku sangat erat. Aku tahu wajah yang disembunyikannya di balik badanku berusaha kuat untuk tidak mengeluarkan air mata. Aku sungguh merasa sangat berdosa telah menyakiti pria baik ini. Siapapun akan sependapat denganku, jika Javier adalah ayah mertua paling penyayang di dunia ini. Orang tua terbaik yang pernah kumiliki. Menganggapku sebagai anaknya, bukan sebagai menantu. Dan kini, statusku pun bukan lagi menantunya, Javier masih sama memperlakukanku. Sungguh, aku akan sangat merindukannya nanti.
"Berbahagialah. Aku pastikan anak itu menyesal telah melepaskanmu." Ucapnya dengan senyuman, tapi bukan jenis senyuman yang selama ini kusukai. Dibalik wajahnya yang terkadang menyeramkan, aku tahu bahwa pria tua ini adalah sosok penyayang. Cintanya yang tulus kepada setiap keturunan dan orang terkasihnya begitu terasa. Setiap membayangkan bahwa aku sudah bukanlah lagi keluarganya, rasanya aku ingin menangis meraung.
Kehilangan Marcus bukan hanya menghilangkan cintaku kepadanya, namun juga harapanku untuk menciptakan keluarga bahagia yang selama ini tak pernah kumiliki. Aku kehilangan semuanya, kecuali satu hal.
Aku melepaskan pelukannya ayah mertuaku. Kuberikan senyuman terbaik yang kupunya dibalik pahit yang kurasakan. Aku ingin ayah mertuaku mengenalku sebagai sosok yang kuat dan murah senyum, bukannya sosok Margareth yang lemah dan mudah menangis.
"Aku bahagia jika dia bahagia. Percayalah, dia takkan menyesali keputusan ini. Rumahnya bukanlah bersamaku. Marcus takkan pernah bisa mendapatkan rumahnya jika terus terjebak bersamaku, Ayah."
Javier menepuk kedua pundakku dan pergi dari hadapanku. Pria paruh baya itu pergi bukan karena tersakiti oleh ucapanku. Ayah mertuaku merasa sudah tak ada yang bisa dilakukannya untuk membantuku. Pernikahanku sudah berakhir sekarang. Hubungan kami hanyalah sepasang orang yang pernah saling mengenal dan itu cukup bagiku.
"Margareth."
Tubuhku menegang. Aku tahu suara ini, tapi untuk kali pertama aku tak mengharapkan telingaku mendengarkannya. Aku berharap suara itu hanyalah ilusi bagiku. Saat ini aku sedang tidak ingin mendengar suara itu, apalagi dengan memanggil namaku. Aku tahu, setelah ini aku akan dibuat merinduk akan itu.
"Margareth."
Kembali, suara itu memanggil namaku. Dari balik punggungku aku tahu pria ini memanggil nama yang jarang diucapkannya itu dengan riang. Marcus begitu bahagia dengan perpisahan kami. Dengan pelan dan mengambil napas dalam-dalam, aku membalikkan tubuhku. Kulihat senyuman kecil tercipta dibibirnya. Meski begitu, senyuman itu sangat hangat dan penuh perasaan.
Bukan rindu, tapi kebahagiaan.
"Terima kasih dan maaf atas setahun yang telah kita lalui." Suara berat itu pasti akan sangat kurindukan disetiap paginya. Dan tahukah, ini kali pertama ia mengucapkan kalimat panjang kepadaku. "Aku tahu setelah ini kita berdua akan bahagia. Aku yakin."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Setelah semua perjuangan yang telah kulalui demi menggapai hatinya, hari ini aku telah merelakan segalanya. Hati dan hidupku tidak bisa berjalan beriringan. Aku perlu menyehatkan pikiranku untuk tetap hidup. Bersamanya, tidak ada yang kudapatkan selain kedinginannya. Tak pernah ada cinta dan kelembutan disana. Mungkin jika lelaki itu melakukannya, dunia ini akan kiamat.
"Sampai berjumpa lagi, Marcus Alexander." Ucapku parau. Kulihat tatapan tak suka itu kembali. Dahinya membentuk lipatan saat dia marah. Aku tahu ucapanku bagian mana yang telah menyinggungnya. Yang jelas, apapun yang dilakukannya aku tak perlu lagi takut membuat perasaannya tersinggung.
"Tidak. Selamat tinggal, yang benar. Aku harap kita tidak lagi dipertemukan, Retha." Sahutnya sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkanku yang masih terpaku di ruang sidang pengadilan agama. "Jangan pernah lagi bertemu denganku. Jangan pernah mendatangiku lagi. Jangan pernah menyadari kehadiranku sekalipun kau melihatku. Anggap aku dan pernikahan ini tak pernah ada."
Aku mengangguk pelan. Mencoba menahan laju air mata sialan yang akan jatuh membasahi wajahku. Hanya sekali ini saja aku memohon kepada Tuhan agar aku dikuatkan. Hatiku yang rapuh ini sudah terlalu roboh untuk dibangun kembali. Aku pasrah.
Tanpa sadar, aku pun mengelus perut rataku. Aku tahu "dia" ada dan mendengar suara pria yang telah membuatnya hadir di dalam sana. Kuharap tidak pernah teringat olehnya perkataan Marcus. Biarlah Perpisahan ini terjadi tanpa dendam. Aku tidak marah. Tuhan tidak pernah salah dalam menyusun skenario. Kehadiran Marcus di dalam hidupku pasti memiliki makna dan arti yang akan mengajarkanku tegar menghadapi kerasnya hidup.
"Bolehkah ... aku memintamu untuk mengusap dan mencium perutku?" Tanyaku, meski kutahu hanya pandangan aneh yang kudapatkan darinya. "Hanya untuk terakhir kalinya."
Marcus mendengus. Kudengar tanpa berani menatapnya langsung. Aku takut hatiku semakin remuk redam dibuatnya.
"Kau bersikap seolah kau tengah hamil, Retha. Tapi, karena ini adalah permintaan terakhirmu, maka akan kukabulkan." Ujarnya setengah tak rela.
Pria itu segera menekuk kedua kakinya dan berjongkok didepanku. Wajahnya yang sejajar dengan perutku membuat hatiku bergetar. Andai lelaki ini tahu ada anak diantara kami, akankah pernikahan kami tidak berakhir seperti ini? Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan cintanya?
Ketika wajah itu mendekat dan mencium perutku, aku tak bisa menahannya. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah. Mataku panas hingga membuat pandanganku merabun. Isakanku mungkin terdengar di ruangan itu, tapi aku tidak peduli. Bahkan sampai pada pria itu berdiri dan mulai melenggang pergi meninggalkanku, perasaanku masih gamang. Seolah apa yang baru saja kudapatkan adalah kado terindah dalam hidupku.
Melihat punggung lebarnya yang menjauh membuat hatiku sakit. Rasa ngilu tak kasat mata yang menyayat perasaanku sangat kentara sampai aku bisa merasakan darah kelluar dari sana. Perih. Sangat perih mengingat pria itu takkan sudi bertemu denganku atau mengulang pertemuan kami. Selesai sudah.
Ya, dia adalah cinta pertama dan hadiah terindah yang pernah hadir dalam hidupku. Meski mencintainya itu berarti kesakitan, maka biarkan aku merasa sakit seperti ini. hanya untuk hari ini aku ingin mengenangnya sebagai laki-laki yang kucintai dalam hidupku.
"Nak, itu wajah ayah. Kau harus tahu bahwa ibu ... " aku mengelus perut rataku. Tidak ada yang bisa kukatakan kepada lelaki itu tentang keberadaan makhluk kecil kami. Tanpa kata aku mengabulkan permohonan pisah darinya. Dia yang tak pernah tahu keberadaan anak ini dan dia yang mungkin takkan menerima anak yang berasal dari wanita yang paling dibencinya, aku.
"Ibu sangat mencintai ayahmu." Ucapku melirih sambil memandangi punggung besar itu menjauh dariku.
Aku mencoba untuk memandang sekali lagi sosok pria tampan berjas putih yang kini tengah memandangku penuh senyuman yang lebar. Kalau saja kondisiku memungkinkan, aku bisa saja meneriakkan statusku yang sudah tak lagi menjadi milik siapapun. Pria tampan ini layak untuk menjadi salah satu kandidat calon suamiku.
Namun, apa yang bisa kulakukan selain mencoba untuk bersabar dan menerima kenyataan bahwa diatas meja milik pria bernama Adrian Aditama itu ada sebuah pigura yang menampilkan figur keluarga kecil yang bahagia. Istrinya yang cantik dengan tiga orang anak-anak yang sangat lucu membuat siapa saja terkesima. Entah berapa badai yang sudah dilewati oleh keluarga kecil pria itu. Yang jelas, untuk ukuran senyuman seorang wanita yang tengah hamil besar, bisa dikiranya bahwa istri dari Dokter Adrian adalah wanita yang paling bahagia diantara wanita mana pun di seluruh jagat raya ini.
Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecut. Betapa bahagianya keluarga itu seandainya saja akulah yang menjadi sosok wanita disana. Aku iri, bukan karena wanita itu merupakan istri Dokter tampan ini. Melainkan rasa iri yang memncak saat kusadari seumur hidupku nanti takkan pernah kualami nasib yang sama sepertinya.
Aku, wanita yang baru menikah dengan seorang pria setahun yang lalu harus merasakan kenyataan pahit kalau saat ini statusku adalah seorang Janda.
Aku adalah wanita yang baru saja menghadapi kursi pesakitan didepan pengadilan, didepan hakim yang telah memutuskan sampai dimana usia pernikahanku dengan pria berhati dingin itu.
"Aku sungguh tak menyangka jika Marcus bisa memiliki istri yang sangat cantik sepertimu." Ucap Dokter Adrian, yang langsung menyentak pikiranku.
Aku segera mengalihkan tatapanku pada pria itu. Yang kutahu, Adrian adalah sahabat lama mantan suamiku. Entah mengapa Marcus tega menyembunyikan sosok pria tampan seperti ini dariku. Aku sendiri sangat menyayangkan mengapa bukan sosok Adrian-lah yang menjadi suamiku.
"Terima kasih atas pujianmu, Dok. Aku rasa Marcus tak merasa seberuntung itu."
Ya, memang. Apa yang kuucapkan memanglah sebuah kenyataan yang harus kuhadapi. Sebanyak apapun pujian yang melayang atas kecantikan dan rupaku, jika itu bukanlah berasal dari mulut suamiku sendiri rasanya menyesakkan. Mungkin Dokter Adrian adalah satu dari banyaknya orang yang mengagumi fisikku. Tapi, sayangnya Marcus bukanlah salah satu dari para pengagum itu. Dihati pria itu hanya ada satu wanita yang tetap memiliki tempat istimewa dihatinya. Hanya ada satu wanita yang menduduki tahta di kerajaan hati pria itu.
Wanita itu adalah kakakku sendiri.
TOK TOK
Aku mendengar suara ketukan dari luar, yang diiringi dengan kegaduhan lainnya. Suara anak kecil yang sedikit bertikai kudengar menembus langsung ke dalam pintu yang membatasi ruangan ini dengan lorong rumah sakit diluar sana.
Dokter Adrian langsung menoleh ke arah pintu dan berjalan ke sana, sebelum meminta ijin terlebih dahulu kepadaku. Aku mempersilahkan.
Selama pernikahan, tak pernah sedikit pun ada niat untuk menumbuhkan benih didalam rahimku. Tawa anak-anak hanya akan menjadi anganku sampai kapan pun. Marcus tak pernah menginginkan seorang anak. Baginya pernikahan kami hanyalah sebuah perjanjian untuk menyenangkan hati sang seseorang yang dicintainya.
Entah mengapa setiap kali teringat oleh hal itu, hatiku selalu terasa nyeri. Tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan melihat suami yang dicintai lebih memilih wanita lain ketimbang istri sahnya sendiri.
"Oh, Halo Margareth!"
Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat seorang wanita yang tengah hamil besar masuk bersama dua anak laki-lakinya yang mulai bertikai. Indah. Se-indah namanya wanita itu menebarkan senyumannya kepadaku. Wanita itu adalah panutan untukku menjadi seorang ibu. Meski terbilang tidak muda lagi, wanita itu menjadi kebanggaan Dokter Adrian. Pria itu selalu membanggakan istrinya di setiap kesempatan. Pada usia kehamilannya yang menginjak lima bulan, untuk ke empat kalinya wanita itu berhasil melahirkan keturunan keluarga Aditama dengan sempurna.
Seandainya ...
"Mbak Indah." Aku pun berdiri menyambutnya. Beruntung tak ada rasa cemburu atas hubunganku dan Dokter Adrian yang merupakan dokter dan pasien. Indah merupakan wanita yang cukup pengertian atas profesi suaminya.
"Anak Ke empat, Mbak?" Tanyaku, yang langsung tertuju pada perut besar milik Mbak Indah yang begitu menonjol. Setelah memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan, aku mulai menerka jenis kelamin anak ke empat mereka yang akan lahir ini.
"Kalau beruang besar ini sudah memiliki niat untuk menambah aliansinya, aku bisa apa."
Dokter Adrian merangkul pundak istrinya itu, seolah dunia milik mereka seorang.Dan aku, hanya mengontrak. "Tentu saja. Itu akan memungkinkan anjing lautku yang besar ini kesulitan berselingkuh."
"Bodoh!" Indah meninju bahu Dokter Adrian. Wanita itu tak memperdulikan aku yang kini memandangi keduanya. Ya, memang seharusnya beginilah sebuah pasangan suami istri. Tidak seperti yang telah aku alami. Semuanya jauh dari kata bahagia.
"Anak-Anak dimana? sepertinya aku mendengar suara mereka tadi."
Mbak Indah menoleh ke arah pintu. "Aku menyuruh Suster Melia membawa anak-anak ke ruang tunggu anak. Aku yakin mereka disana akan tenang selama ada banyak mainan."
"Dan juga para wanita cantik?" Timpal Dokter Adrian, yang langsung membelalakkan mataku.
"Wanita cantik?" Tanyaku terperangah.
Mbak Indah tampak melemparkan tatapan mematikan pada Dokter Adrian. Aku terkikik geli melihat kedua pasangan itu. "Kau ini! Jangan mengatakan yang tidak-tidak pada anakku."
"Oke, maaf sayang. Tidak lagi."
Sangat menyenangkan rasanya melihat sepasang suami istri yang saling menyayangi seperti itu. Andai aku memiliki kehidupan seperti itu, pasti aku takkan berakhir dengan nasib seperti ini. Rasanya aku benar-benar ingin melewati itu semua dan langsung bahagia dengan pasanganku sendiri. Tapi, semua itu terdengar mustahil dengan kehidupanku yang sekarang ini.
"Saat sampai di rumah kau harus meminum semua vitamin yang telah aku resepkan, Margareth. Aku tak mau memberitahukanmu tentang hasilnya sekarang. Kau dan Marcus harus melihatnya bersama." ucap pria itu kepadaku.
Andaikan saja aku bisa berteriak didepam wajahnya, aku akan meneriakkan bahwa hari ini aku telah resmi berpisah dengan laki-laki sialan itu. Aku sudah tidak lagi berhubungan dengan Marcus atau siapapun. Aku sudah bebas. Benar-benar bebas.
"Ya, Terima kasih. kalau begitu aku permisi."
Aku segera pamit keluar. Sebelum Dokter Adrian membiarkan pria itu mengetahui kondisiku ang tadi pingsan setelah sidang perceraian kami, aku harus menjadi orang pertama yang mengetahui kondisiku sendiri. Kertas putih yang ditangankulah yang akan menjamin itu semua. Aku pun duduk disalah satu deretan bangku tunggu didepan ruangan Dokter Adrian. Dengan tergesa-gesa, aku membuka lipatan kertas itu ditanganku.
Hanya membutuhkan waktu beberapa saat. Untaian kalimat yang tak kumengerti itu berhasil mencuri napasku ketika aku membaca bagian terakhir dari semuanya. Kini aku tahu mengapa Dokter Adrian memintaku untuk membuka kertas ini bersama pria itu. Aku mengerti mengapa senyum pria itu tak pernah lepas setelah memeriksakan keadaanku. Hanya membacanya saja semua pertanyaanku terjawab sudah.
Aku ...
Tanganku bergerak mengusap perut rataku. Permukaan ini akan rata, tapi hanya dalam waktu sementara. Dalam hitungan beberapa bulan lagi, semuanya akan berubah. Aku sudah tak memiliki kebebasan apapun. Kehidupan yang sudah aku rencanakan takkan lagi sama.
Aku ... hamil.
Untuk kali ini Margareth harus menyiapkan rencananya matang-matang. Di dalam rumah kecilnya yang baru saja ditempati olehnya belum lama ini, Margareth akan menyusun berbagai rencana untuk masa depannya. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencegah orang terdekatnya mengetahui kehamilannya. Tapi, rasanya itu sangat sulit menyimpannya dari Arnetta. Wanita itu bersedia untuk mengacaukan hidupnya lebih parah jika dirinya sampai nekad untuk menyembunyikan rahasia ini darinya.
Lihat saja, baru beberapa saat dirinya menginjakkan kaki dirumahnya wanita itu sudah menduduki salah satu kursi di ruang televisinya sambil bersedekap. Wanita yang telah melahirkan tiga orang anak itu tampak lebih muda dari pada usia sebenarnya. Wajahnya terlihat masam ketika melihat ke arah Margareth yang baru saja memasuki rumahnya itu.
"Aku menunggu, Retha." Tangan wanita itu mengibas-ngibas diantara wajahnya. Sebuah kertas putih yang sengaja diperlihatkannya pada Margareth pasti menjadi kunci dari kemarahan wanita itu.
Margareth hanya bisa memutar bola matanya malas. Kalau sudah begini, siapa yang berani membalas amarah itu. Bahkan, suami tuanya yang terlampau mencintainya itu tak sanggup melawan seorang wanita yang tengah emosi ini.
"Oke, aku mengaku. Aku hamil, Arnetta. Aku hamil. Si janda tengah hamil." Ya, itu terdengar seperti sebuah desisan tajam pada Arnetta. Anehnya, wanita itu sama sekali tak merasa terganggu. Malah wajah Arnetta yang semula tampak suram menjadi begitu terpuaskan atas jawabannya.
"Hamil? Wah ... duduk sini. Sepertinya wanita tua ini sangat dibutuhkan untuk menasihati si janda hamil." Arnetta menepukkan sisi kosong pada sofa ruang televisi itu dan membiarkan Margareth mengisinya. "Jadi, apakah pria itu sudah mengetahuinya?"
Margareth tak kuasa menyembunyikan raut kekecewaannya. Memangnya siapa yang akan ia beritahu? Marcus tentu takkan menyukai kabar menyedihkan ini. Pria itu akan sangat senang meninggalkannya tanpa beban, agar bisa melanjutkan kehidupannya yang memuja sang kakak.
"Oh, hentikan itu. Aku tahu wajah-wajah ini." Arnetta berusaha sebisa mungkin memelankan nada bicaranya. Bukanlah hal mudah bagi adik kecilnya ini melewati semuanya. Pertama kali mengenal Margareth di kantor suaminya, Arnetta tahu bahwa wanita ini memiliki kehidupan yang menyedihkan. Ia pernah merasakan hal yang sama terhadapnya. Dan, lebih menyedihkannya lagi keluarga wanita itu tak menginginkannya sebesar apa yang semestinya.
Arnetta berucap terima kasih pada mendiang ibunya yang sangat mencintainya. Bagaimana pun peringainya dulu, mendiang Ratih sangat mencintainya melebihi hidupnya. Perasaan kekurangan kasih sayang dari ayahnya terkalahkan oleh cinta yang diberikan oleh wanita itu. Namun, apa yang disaksikannya ketika melihat Margareth lebih menyedihkan.
Bagaimana tidak? ibu yang diharapkannya dapat mendukung semua langkahnya justru hanya berjasa membiarkannya hidup. Wanita yang seharusnya dijadikan Margareth sebagai tumpuannya lebih memilih mengurus sang kakak dari pada si bungsu. Bukan menjadi rahasia diantara mereka lagi, jika saat ini tak ada satu pun orang yang ingin mendengar bagaimana kondisi wanita itu. Hidup didalam rumah yang kecil dan sempit serta serba kekurangan itu menjadikan Margareth sebagai sosok yang tersisihkan.
Kalau saja Arnetta mengenal mantan suami adik kecilnya ini, ia akan meminta Jullian untuk mengirimkan orang suruhannya untuk memukuli pria itu. Suaminya pasti akan selalu mengabulkan semua permintaannya dengan baik tanpa bertanya lagi.
"Arnetta, Bagaimana aku bisa membesarkan anak ini nanti? sepulang dari dokter kemarin, aku telah memikirkan langkah untuk menghilang sementara dari rumah ini. Aku ingin mencari kehidupan yang lain bersama bayiku." Margareth berhenti untuk menoleh ke arah perutnya yang masih rata. Hatinya menghangat mengingat bagaimana dirinya kini yang telah menjadi seorang calon ibu. Ia takkan meminta lebih selain kesehatan untuk calon bayinya.
Arnetta ikut memandangi wanita itu. Meski usia mereka terpaut cukup jauh, nyatanya itu bukanlah penghalang. Ia bisa selalu menjadi orang paling nyaman di dunia saat bersama Margareth. Kesamaan nasib yang menimpa mereka menjadikan dasar dari kedekatan keduanya. Bekerja sebagai pegawai di kantor suami tuanya itu, membuat Arnetta nyaris setiap hari bertemu dengannya. Namun, hari ini ia mendengar dari Jullian bahwa Margareth telah mengundurkan diri secara mendadak. Hal itu yang menjadi alasan kedatangannya hari ini.
Wanita itu pun membelai rambut Margareth dengan lembut. Ia berharap jika wanita ini bisa hidup bahagia dengan bayinya. Ia sendiri cukup senang mendengarkan kabar menggembirakan ini. Setidaknya Arif, Rasya dan Mikaela akan mendapatkan teman baru. "Kau adalah wanita yang kuat. Aku yakin kau pasti bisa mengurus anak ini dengan baik, karena kau ibunya."
Margareth melihat kembali ke arah Arnetta. Ia bersyukur istri mantan atasannya ini begitu pengertian. Ia tak pernah menyangka jika hubungannya dengan Arnetta bisa berjalan sejauh ini. Ia sudah menganggap wanita itu seperti kakak kandungnya sendiri. Ia begitu menyayangi Arnetta. Dengan segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan, Margareth yakin anaknya akan bangga memiliki seorang bibi seperti Arnetta.
"Kau tahu, terkadang orang lain bisa lebih dekat, terasa dekat seperti keluarga dari pada keluarga itu sendiri." Ucap Margareth dengan mata berkaca.
Arnetta mengulurkan tangannya, membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya. Margareth yang malang. Selalu menutupi semuanya dengan senyuman. "Kau tidak perlu memberitahukannya. Hiduplah berdua dengan anakmu dan berbahagialah."
"Kalau kau membutuhkan rumah, kami memilikinya satu."
Dari arah kamar mandi, seorang pria berperawakan tinggi besar keluar sambil membenarkan rambutnya yang sedikit memanjang di dahi. Pria dengan wajah tegas itu tersenyum kala melihat keakraban diantara istrinya dan mantan pegawainya.
Arnetta menoleh dengan binar bahagia mendengar usulan suaminya. Wanita itu melepaskan pelukannya pada Margareth dan membiarkan wanita itu memandang suami tuanya.
"Pak Jullian?"
Jullian memilih untuk mengambil tempat duduk diatas sandaran tangan sofa didekat Arnetta. Sudah menjadi rahasia umum jika pria itu takkan pernah bisa menjauhkan tangannya dari sang istri. Dimana ada Arnetta, maka disanalah ada Jullian yang siap mengurung wanita itu kemana pun dirinya pergi.
"Ah, suami tuaku benar. Kami memilikinya satu."
Jullian tampak sangat terganggu dengan sebutan yang dialamatkan sang istri kepadanya. Ia belum begitu tua. 45 tahun bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan tua. Apalagi belum tumbuh uban di rambutnya.
"Perkataanmu menyakitiku, sayang." dan, dibalas ringisan oleh Arnetta.
Margareth tak bisa menyembunyikan rasa irinya melihat keharmonisan kedua pasangan itu. Rasanya sangat menyenangkan memiliki pasangan yang juga mencintaimu apa adanya, seperti Jullian. Ia begitu mendambakan pasangan yang ideal seperti yang didapatkan Arnetta dan juga Mbak Indah.
"Aku sungguh iri pada kalian." Sahutnya tanpa sadar.
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Margareth. Mereka tiba-tiba saja tertegun melihat wajah muram itu kembali terpasang diwajahnya.
"Retha, ..."
Wanita itu tersenyum pedih. Pikiranya terus melayang pada sang suami yang tak pernah melakukan itu kepadanya. Marcus adalah sosok yang dingin. Hanya berperan sebagai suami yang baik didepan kakak perempuannya yang sangat dipujanya. Selebihnya sikap pria itu akan kembali ketus terhadapnya.
"Percayalah, apa yang kau lihat ini bukanlah perjalanan yang mudah. sudah begitu banyak kesakitan yang kami lewati bersama." Ucap Arnetta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!