NovelToon NovelToon

Terpaksa Jadi Pelakor

Terpaksa Jadi Pelakor

Suara pintu yang di buka dengan sangat kasar membuat aku

membuka mata. Suara teriakan seorang wanita membuat kesadaran ku kembali lebih cepat dari biasanya, samar-samar aku melihat tiga orang menatapku dengan mata menajam salah satu di antaranya melihatku dengan iris mata di penuhi kobaran

api yang siap melahap sekujur tubuhku. Aku menutupi tubuhku yang tidak mengunakan satu helai benangpun, sedangkan seorang lelaki masih tertidur lelap di samping ranjang ku, dan dia adalah Mas Sadam-majikanku.

“Dasar wanita ******! Apa yang kamu lakukan pada suamiku.” Suara Mbak Tasya-istri Mas Sadam melengking ngeri menendang gendang telingaku,

aku hanya bisa menundukkan kepala dengan menutupi tubuhku mengunakan selimut berwarna putih.

“Anak kurang ajar bangunlah sebelum, Papa membunuh kamu.”

Suara Pak Damar-Papa Mas Sadam membuat lelaki itu mengerjapkan matanya kaget.

Sadam mengucek kedua matanya lalu mendudukkan tubuhnya masih

berusaha mengusir rasa kantuk yang mengelayuti matanya. “Ada apa dengan kalian?” tanya Sadam masih tidak menyadari apa yang terjadi.

“Kau berselingkuh dengan pelayan rumah kamu sendiri! Sungguh

memalukan sekali.” Nyonya Elsa-mama kandung Sadam menatap putranya dengan rahang mengeras penuh amarah.

“Mas, kenapa kamu tega melakukan ini padaku?” teriak Tasya-istri Sadam. Manik mata wanita itu sudah menganak sungai dan kini

pertahannya runtuh ketika melihat suaminya tidak mengunakan satu helai benangpun di balik selimut yang menutupi tubuh suaminya.

“Sayang, aku tidak mungkin main gila dengan pelayan rumah kita, aku mohon kamu percayalah padaku. Wanita ini telah menjebak aku, entah

bagaimana caranya aku juga tidak tahu kenapa bisa berbaring di ranjang ini,” Sadam mengacak rambutnya merasa frustasi karena ia lupa akan apa yang terjadi semalam, lelaki itu hendak berdiri dari posisi duduknya, tetapi langsung terhenti ketika lelaki itu menyadari bahwa dia tidak mengunakan satu helai benangpun.

Pak Damar menatap kami berdua secara bergantian lalu berkata, “Lekas kenakan baju kalian! Kami akan menunggu di luar.” Setelah

bicara Pak Damar langsung memutar tubuhnya dan berlalu keluar dari ruangan ini.

“Wanita ******! Aku akan membunuh kamu.” Mbak Tasya hendak

melangkah mendekatiku akan tetapi, Bu Elsa segera meraih tubuhnya lalu membawa wanita itu keluar dari ruangan kamar ini dengan paksa.

Samar-samar aku mendengarkan Mbak Tasya mengumpat dan aku tahu dengan sangat jelas jika umpatan itu pasti untukku. Hingga kini suara Mbak Tasya tidak terdengar lagi, ya wanita itu pasti sudah jauh dari ruangan kamarku.

Aku berdiri di hadapan semua orang yang sedang duduk di sofa sembari menatapku penuh kebencian, tapi aku tidak berdiri sendirian karena Mas

Sadam berada di sampingku-paling tepatnya ia tidak di ijinkan duduk sebelum menjelaskan semuanya.

Lelaki itu mencoba menjelaskan jika antara kami berdua tidak terjadi apapun, akan tetapi aku diam membisu tidak berani membuka mulut hingga Pak Damar mulai memutuskan untuk menikahkan kami berdua. Sekilas Aku melirik kearah wajah Mbak Tasya dan juga Mas Sadam yang terlihat keberatan dengan keputusan yang di ambil oleh lelaki paruh baya tersebut, akan tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali menuruti apa yang Pak Damar inginkan.

Keesokan harinya aku dan juga Mas Sadam menikah, pernikahan yang aku impikan tidak terwujud karena kini orang yang menjadi suamiku justru

sangat membenciku, tapi bagiku tidak masalah karena aku membutuhkan uang-uang untuk mempertahankan orang yang sangat aku sayangi di dunia ini. Penghulu menjabat tangan Mas Sadam dan lelaki itu mengumandangkan ijab Kabul dengan lancar, aku melirik kearah Mbak Tasya yang seketika langsung membulatkan matanya ketika melihatku, ini sungguh menakutkan tapi aku tidak bisa mundur.

“Bagaimana para saksi?” tanya Penghulu pada kedua orangtua

Mas Sadam.

“Sah!”

“Sah!”

Ku dengar suara Pak Damar dan juga, Bu Elsa secara tidak langsung mengatakan bahwa aku dan juga Mas Sadam sudah resmi menjadi pasangan suami istri.

“Sayang, kamu harus sabar ini cobaan bagi rumah tangga

kalian.” Bu Elsa mengusap pelan bahu Mbak Tasya dengan iris mata menyembunyikan sesuatu yang tidak aku mengerti.

“Ma, aku tidak sanggup berbagi suami dengan wanita lain, aku

sangat mencintai Mas Sadam.” Tasya menangis terisak di dalam pelukan, Bu Elsa tangisan wanita itu terdengar memilukan sekali.

Pak Penghulu keluar dari rumah ini setelah melakukan tugasnya.

Mas Sadam berdiri dari posisi duduknya lalu menatap aku

dengan sengit, iris mata penuh kebencian tersebut membuat nyaliku menciut lalu ku tundukkan lagi kepalaku agar tidak bertatap mata dengannya.

“Sifana, sampai kapanpun istriku hanya satu yaitu, Tasya saja! Kamu tetaplah pelayan di dalam rumah ini sampai kapanpun itu.” Suara lelaki Mas Sadam terdengar mantap seakan ia percaya sampai kapanpun tidak akan pernah suka dengan istri keduanya.

Suasana di ruangan ini terlihat pengap sampai dadaku merasa

sesak karena tidak ada oksigen yang maksud ke rongga-rongga paru-paruku karena rasa takut.

“Pelakor seperti kamu sebaiknya keluar dari rumah ini! Aku tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Keluar!” perintah Mbak Tasya membuat

tubuhku gemetar hebat.

“Tasya, kamu tidak bisa mengatakan itu karena dia juga sekarang istri sah Sadam-suami kamu. Jika sampai Sifana keluar dari rumah ini

maka, Papa akan memastikan tidak memberikan Sadam satu rupiah pun warisan untuknya.” Ancaman Pak Damar mampu membungkam paksa mulut Mbak Tasya.

“Pa, kenapa malah membela wanita itu, dia telah menjebak Sadam. Bukankah selama ini, Papa tahu kalau Sadam sangat mencintai Tasya, jadi

mana mungkin jika Sadam berselingkuh dengan wanita lain,” jelas lelaki itu sembari melirik kearah Sifana nyalang.

“Papa, tidak mau dengar penjelasan kamu karena sejak dari awal, Sifana hanya diam saja dan hal itu sudah cukup untuk membuktikan kalau

kalian berdua memang diam-diam memiliki hubungan di belakang Tasya.” Pak Damar kembali mengutarakan pendapatnya.

“Sifana, jelaskan pada mereka semua jika semalam tidak ada yang terjadi diantara kita. Dan katakan juga pada mereka kalau kamu yang menjebak aku semalam.” Lelaki itu melihatku dengan tatapan sengit dengan jelas

aku melihat satu tangannya menggenggam erat tangan Mbak Tasya dan satu tangan lagi terkepal kuat seakan ia melayangkan tinjunya itu padaku.

“Semalam, Mas Sadam sendiri yang masuk kedalam kamarku dan

memaksa aku melakukan hal itu,” nada suaraku terdengar gemetar, air mataku terurai begitu saja tanpa jeda. Aku terpaksa jadi pelakor di dalam rumah tangga orang lain.

“Dasar wanita ******, cepat katakan yang sebenarnya.” Suara Tasya menggelegar, wanita itu hendak melangkah mendekatiku akan tetapi Mas Sadam menahannya.

Sadam memeluk Tasya dari belakang sembari mencoba menenangkan

istrinya, lelaki itu juga berucap jika kehadiran Sifana tidak akan pernah ada pengaruhnya dalam kehidupan rumah tangga mereka.

'Kau menatapku sebagai pelakor dan perusak rumahtangga kamu, bukankah seperti itu, Mas Sadam'

Pelakor Seperti Kamu Tidak Pantas

Tasya menangis terisak sembari memukul dada bidang suaminya

seakan mencoba untuk menyalurkan rasa sakit di hatinya dengan pukulan kecil tersebut. Suasana didalam ruangan ini terlihat pengap sekali karena mereka semua hanya diam sehingga suara tangisan Tasya terdengar melengking menyedihkan.

“Sifana, kamu harus melakukan semua sesuai rencana kita,”

bisik Elsa di dekat telinga wanita malang itu.

Aku menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan kacau, air mataku sudah mengenang hingga membuat pandanganku terlihat samar. “Anda juga harus menepati janji dan memberikan uang itu sebagai kompensasi atas apa

yang telah saya lakukan,” aku berucap dengan bibir yang gemetar, sedih sekali melihat tangisan, Mbak Tasya dan itu karena aku, aku sang pelakor yang menyelinap masuk kedalam kehidupan bahagia mereka.

Perasaan bersalah itu semakin besar tatkala aku melihat seorang gadis kecil berusia sekita 4 tahun berdiri mematung melihat kedua orangtuanya dengan tatapan bingung. Dia adalah Liora anak dari Mas Sadam dan juga Mbak Tasya.

“Papa, Mama kenapa?” aku mendengar suara gadis kecil itu

berbicara dengan gemetar seakan ikut merasakan apa yang di rasa oleh wanita yang telah melahirkannya itu.

“Sayang, ayo kemari,” aku bicara sembari menghampiri Liora-Liora sangat dekat denganku dan anak kecil itupun melangkahkan kakinya

menghampiriku dengan tangan yang sudah terlentang siap mendapatkan pelukan dariku.

“Jangan kamu berani sentuh anakku! Pelakor seperti kamu tidak pantas menyentuh tubuh putriku dengan tangan kotor kamu itu.” Tasya menatap dengan penuh kebencian seakan aku adalah makhluk yang menjijikan sekali, aku hanya bisa terdiam dengan kepala tertunduk malu.

“Tasya, jaga ucapan kamu! Sifana sekarang adalah istri sah, Sadam apakah kamu lupa.” Damar menatap Tasya dengan pandangan tidak suka.

“Aku curiga, jika ini semua adalah rencana, Mama dan juga Papa karena kalian sudah lama ingin memisahkan aku dengan, Tasya.” Sadam menatap

kearah kedua orangtuanya dengan iris mata menajam. “sampai kapanpun rencana kalian tidak akan pernah berhasil karena aku tidak akan pernah meninggalkan Tasya dan dia,” lelaki itu menunjuk Sifana. “Hanya pelayan di rumah ini.”

Aku menatap punggung Mas Sadam mulai menjauh membawa anak

dan juga istrinya, aku pantas mendapatkan semua cacian dan juga semua hinaan ini, ya demi uang dan demi orang yang sangat aku sayangi, hidupku pun rela ku korbankan.

“Pak Damar, Bu Elsa,” aku memainkan jari-jari tanganku yang sudah terasa basah karena keringat dingin yang membuatnya lembab.

“Kau adalah anak menantu kami, jadi kamu bisa panggil kami dengan sebutan, Mama dan juga Papa.” Elsa menegaskan jika Sifana adalah

menantunya mulai sekarang. Jujur saja Elsa lebih suka jika Sifana yang menjadi istri dari Sadam dari pada Tasya.

“Baik, Ma, Pa,” aku masih tergagap saat bicara karena masih belum terbiasa memanggil mereka dengan sebutan itu. “Bisakah, saya meminta uang yang telah kalian janjikan sekarang karena saya harus ke rumah sakit,” sambung ku dengan menghirup nafas dalam seakan menguatkan hati agar air mata ini tidak sampai jatuh

menyedihkan.

Aku melihat Pak Damar merogoh ponselnya dia mengetik sesuatu

di sana dan setelah selesai lelaki itu menunjukkan layar ponselnya di hadapanku sembari berkata. “Sudah saya kirim 50 juta ke rekening kamu.” Lelaki itu kembali menjauhkan ponselnya saat melihat aku sudah menganggukkan kepala mengerti.

“Pergilah sekarang, kami akan di sini beberapa hari untuk menjaga kamu dari amukan Sadam dan juga Tasya,” aku mengganggukkan kepala dengan

senyuman di paksakan.

Rumah sakit Soewandhie Surabaya-salah satu rumah sakit besar di kota ini dan bisa di bilang kelas menengah kebawah.

Aku turun dari ojek online, tidak lupa aku berikan satu lebar uang 100 ribuan lalu aku mengembalikan helm tukang ojek itu yang sempat

menempel di kepalaku sepanjang perjalanan ke rumah sakit tadi. Aku langsung berlari masuk kedalam rumah sakit akan tetapi langkahku seketika terhenti ketika tukang ojek online itu memanggilku.

“Mbak … mbak … mbak! Kembaliannya

belum.”

“Pak, Ambil saja kembaliannya,” usai bicara aku kembali melanjutkan langkahku masuk kedalam rumah sakit ini. Sayup-sayup aku dengar

tukang ojek online itu mengucapkan terima kasih beberapa kali.

Aku baru saja masuk kedalam rumah sakit, bau obat langsung

menyeruak kedalam indra penciumanku, aku melihat lobby rumah sakit ini ramai sekali banyak orang yang berlalu lalang dan ada juga dokter yang sedang mendorong pasiennya yang sedang duduk di kursi roda, ada juga sekeluarga yang

menangis terisak-isak karena salah satu anggota keluarga mereka telah meninggal dunia hal itu bisa aku ketahui dengan sangat mudah dari dua dokter yang sedang

membawa pasien yang sekujur tubuhnya diselimuti oleh kain berwarna putih tulang.

Aku masuk kedalam lift yang kebetulan terbuka, aku memencet

tombol dimana dia-orang yang sangat aku sayangi berada dan menungguku dengan rasa sakit yang sedang menggerogoti tubuhnya.

“Ya, tuhan aku mohon biarkan orang yang aku sayang sembuh karna aku sudah melakukan semua cara untuk mendapatkan uang ini, demi membayar biaya pengobatan nya,” aku melangkah keluar dari lift ini setelah pintu terbuka kembali.

Beberapa kali aku menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan dari mulut, dengan tangan yang gemetar dan juga hati

mantap, mantap agar tidak menunjukkan kesedihan dan kehancuran yang telah aku

rasakan dihadapannya. Barulah aku memutar kenop pintu.

“Mbak Sifa, sudah datang, aku dari tadi menunggu, Mbak Sifa datang karena Anggun sangat rindu sekali,” suara yang sangat aku rindukan itu

seakan membuat hangat seisi dadaku, senyuman manisnya membuat semangat hidupku

kembali lagi, aku sempat terpuruk, tapi aku sadar kini dia membutuhkan aku untuk menemaninya di dunia ini.

Anggun Kirana, anak berusia 10 tahun dia adalah adikku yang sangat aku sayangi, setelah kedua orangtua kami pergi dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang, hanya Anggun saja yang aku miliki awalnya kehidupan kami baik-baik saja akan tetapi setelah aku tahu ada kanker yang diam-diam menggerogoti tubuh kecilnya itu membuat aku hancur-hancur hingga berakhir menjadi istri kedua yang tidak dianggap oleh dia-Mas Sadam.

Aku peluk tubuh kecil dan rapuh itu lalu aku mengusap puncak

kepalanya dan mendaratkan beberapa kali kecupan di sana. Kini aku berganti menangkup kedua wajahnya lembut dengan tangan, aku menatap bibir pucat dan juga

wajah yang memutih seperti kain, sakit sekali hatiku melihat Adik yang sangat aku sayangi seperti ini, akan tetapi Anggun tidak pernah mau terlihat sakit dihadapan ku, dia bahkan selalu tersenyum dihadapan ku seakan mengatakan bahwa

semua akan baik-baik saja. Tapi jika aku tidak berada dihadapannya, Anggun akan menangis merasakan sakit yang menggerogoti tubuhnya entah berapa kali aku melihat rasa sakit itu diam-diam dibelakangnya.

‘aku mungkin kalian anggap sebagai ******, tapi kasih sayang seorang kakak pada adiknya membuat aku gila, gila karena telah menghalalkan

segala macam cara, bukankah seperti itu Mas Sadam’

Pengorbanan

Aku melihat Anggun tertidur dengan sangat lelap, aku menggeser perlahan kursi yang aku duduki kebelakang agar tidak menimbulkan bunyi

di ruangan sunyi ini. Helaan nafas lega lolos dari bibirku ketika melihat gadis kecil tersebut masih terlelap dalam alam mimpi. Aku mengecup lembut puncak kepala Anggun lalu mengusap air mataku dengan menahan isak tangis.

“Sayang, maafkan Mbak karena tidak bisa memberikan pengobatan yang layak untuk kamu selama ini, tapi mulai sekarang, Mbak Sifa akan memberikan fasilitas terbaik untuk kamu,” aku menatap pelupuk mata yang tenang seakan menandakan jika adik kesayanganku tidak merasakan sakit sedikitpun di tubuhnya. Aku kembali mengecup puncak kepala adikku kemudian berlalu pergi

dari sana dengan menutup mulutku agar isak tangis ini tidak terdengar olehnya.

Suara pintu yang tertutup perlahan membuat pelupuk mata gadis

itu pecah, satu tetes Kristal bening lolos dari singgasananya, isak tangis itu tertahan saat ia mengigit bibirnya dengan kasar. Beginilah cara Anggun

mengutarakan kesedihannya ketika Sifana sudah tidak berada di dalam jangkauan matanya. Gadis kecil ini tidak benar-benar tidur, ia tahu dan mendengarkan dengan sangat jelas apa yang Sifana katakan tadi.

“Mbak Sifa, maafkan aku karena telah menjadi beban di dalam hidup kamu, aku mengutuk hidupku kenapa harus menyusahkan, Mbak Sifa semenjak

kedua orangtua kita pergi.” Gadis kecil itu menutup kedua pelupuk matanya, air mata yang sudah mengenang menetes perlahan. “Tuhan, satukan saja, Saya dengan

Mama dan juga Papa agar tidak menjadi beban, Mbak Sifa.”

Kediaman Sadam.

Terdengar suara pertengkaran dari dalam ruangan kamar Sadam

dan juga Tasya, kedua orang dewasa itu berdebat sedangkan anak kecil berdiri membeku di sudut ruangan melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Liora gemetar

sembari memeluk guling kecilnya untuk melampiaskan rasa takut akan apa yang ia lihat sekarang, selama ini Liora tidak pernah melihat pertengkaran kedua orangtuanya seperti ini.

“Mas Sadam, memangnya apa kurangnya diriku sampai kamu masuk

kedalam kamar pelayan saat malam hari? Apakah karena pelayan itu lebih mudah usianya dariku ataukan karena kamu sudah mulai bosan padaku,” ucap Tasya dengan cairan

bening terburai di wajahnya tanpa henti. Bibir wanita itu gemetar seakan

menunjukkan rasa sakit yang mendalam melihat pengkhianatan suaminya di depan mata.

Sadam, menggenggam kedua tangan Tasya lalu menatap manik mata

sayu itu lekat sembari berkata, “Percayalah padaku, Sayang ini semua hanyalah jebakan papa saja karena ia tidak pernah menyukai kamu! Apakah kamu tadi tidak

melihat saat Mama dan juga Papa membela wanita kurang ajar itu dihadapan kita, andaikan Papa tidak mengancam akan mengeluarkan namaku dari daftar ahli warisnya

maka bisa aku pastikan, jika aku tidak akan pernah sudi menikahi wanita murahan sepertinya.”

Tasya langsung memeluk tubuh Sadam sembari berkata, “Sayang,

berjanjilah jika kamu tidak akan pernah membagi cinta kamu dengan wanita itu, walaupun kini statusnya adalah sebagai istri kamu,” ucap Tasya dengan tatapan penuh selidik.

Sadam melepaskan pelukan Tasya lalu menangkup kedua wajahnya

dengan tangan, kini ibu jarinya mulai mengusap pelan cairan bening di kedua pipi istrinya sembari berkata, “Kau adalah satu-satunya wanita yang aku cintai, saat ini dan untuk selamanya.”

Liora menatap kedua orangtuanya secara bergantian. Detik berikutnya Tasya dan juga Sadam menatap kearahnya hingga kini iris mata

keduanya di penuhi dengan sosok gadis cantik yang sedang berdiri takut melihat pertengkaran mereka. Sadam tersenyum manis lalu melangkah mendekati putri yang sangat ia sayangi.

“Liora, apakah kamu sayang sama, Papa?” tanya Sadam seakan

mencoba membuka perbincangan antara dia dan gadis kecil kesayangannya.

Liora dengan polos mengganggukkan pelan kepalanya sembari berucap, “Liora, sayang, Papa.” Liora berbicara dengan nada khas anak berusia 4

tahun.

Senyuman Sadam mengembang setelah mendengarkan jawaban putri

semata wayangnya ini. “Kalau, Liora sayang sama, Papa peluk dong,” ucap Sadam sembari merentangkan kedua tangannya.

Dengan polos gadis kecil itu mulai berlari dan masuk kedalam

pelukan Sadam. Tasya ikut bergabung dengan mereka berdua orang yang sangat ia sayangi.

Tasya dan juga Sadam adalah tema dari kecil, jadi sangat tidak aneh sekali kalau keduanya bisa saling memahami satu sama lain. Keduanya

cukup dekat hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan lebih dari sahabat dan mulai dari sekolah dasar sampai duduk di bangku kuliah keduanya selalu bersama tidak pernah terpisahkan.

_ _ _

Setelah keluar dari ruangan adiknya, Sifana menuju meja resepsionis untuk membayar biaya pengobatan adik kesayangannya tersebut, dengan uang yang diberikan oleh Pak Damar dan juga Bu Elsa, Sifana meminta pada para suster agar sering menjenguk adiknya sebab gadis kecil itu berada di rumah sakit sendiri karena Sifana tidak bisa selalu menemaninya sebab ada tugas besar yang harus ia selesaikan.

Aku sudah berdiri di depan gerbang besi berwarna hitam pekat-sepekat saat dunia sudah kehilangan sinar mataharinya. Aku berdoa pada Tuhan agar ia melancarkan dan juga menguatkan segala sesuatu yang akan aku hadapi di dalam rumah besar ini, mungkin aku adalah istri kedua tapi aku tidak pernah menginginkan hal itu andai saja aku bisa memilih, akan tetapi takdir berkata lain.

Aku melangkah menuju dapur karena merasakan haus, tentu saja aku merasa haus karena tidak sempat membeli minuman di jalan sebab takut pulang ke rumah ini terlalu malam, sebenarnya aku tahu tidak ada satu orangpun yang akan perduli padaku akan tetapi, Pak Damar dan juga Bu Elsa akan mencari keberadaan ku karena aku masih berhutang janji padanya.

Langkahku terhenti ketika manik mata ini menangkap sorot mata membunuh dari lelaki itu, ya suamiku maksudnya dan juga Mbak Tasya. Keduanya jelas terlihat tergganggu dengan keberadaanku sekarang.

Aku memutar tubuhku hendak menelan bulat-bulat keinginan untuk membasahi tenggorokan yang sudah mengering ini, tapi suara Mama Elsa menghentikan langkah kakiku.

"Sifana, kamu mau kemana? Ayo bergabung bersama kami," ucap Elsa.

Aku melihat wanita paruh baya itu mulai berjalan mendekatiku dengan senyuman tipis terukir di bibirnya yang merah karena lipstik.

"Ma, saya sudah kenyang mau pergi ke kamar saja karena tidak mau mengganggu semuanya," ucapku dengan kepala tertunduk tanpa berani menatap wajah Mbak Tasya dan juga Mas Sadam.

"Kamu adalah bagian dari rumah ini, jadi tidak perlu sungkan seperti itu."

Mama Elsa meraih tanganku lalu mengajak aku melangkah mendekati meja, aku tidak bisa menolak keinginan wanita paruh baya ini dan terpaksa mengikuti langkah kakinya.

"Duduklah bersama kami," ucap Bu Elsa sembari menarik salah satu kursi untuk aku duduki.

"Sayang, ayo kita pergi dari sini, aku sudah kenyang! Melihat wajah penjilat itu membuat aku kehilangan selera makan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!