"Kalau enggak di paksa, enggak akan bisa, malas tuh harus di buang jauh-jauh"
Sepasang suami istri tampak bernapas lega setelah tim Dokter dari RS Emanuel Makasar, berkolaborasi dengan tim dokter bedah terbaik berhasil melakukan operasi bedah saraf yang terakhir untuk putra mereka.
Butuh waktu sekitar 2,5 jam untuk melakukan operasi bersama dokter spesialis dari kota Jakarta yakni diantaranya dr Aksara Galileo SpBs, dr. Riandra birawa, SpBs dan dr. Jerry manggala, SpBs.
Keberhasilan itu membuat para dokter melakukan fistbump lengkap dengan senyuman yang terukir di bibir mereka masing-masing.
Selama hampir lima hari melakukan tindakan Intensive Care pada pasien penderita kerusakan saraf di otaknya, Aksa dan kedua dokter lainnya akan kembali ke Jakarta esok hari.
"Kita berhasil bro" Ucap dokter Riandra yang biasa di panggil dokter Rian. "Ini operasi terakhir kan, itu artinya besok balik ke Jakarta"
"Memangnya kamu mau di sini terus-terusan?" sambung Jerry sambil melempar struk pembayaran kopi yang sudah ia remas. "Kalau aku si ogah, udah kangen sama anak bini"
Aksa, Rian, dan Jerry adalah tim dokter bedah dari salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta. Saat ini mereka mendapat tugas untuk membantu para dokter di rumah sakit Emanuel Makasar guna melakukan operasi yang di lakukan sebanyak tiga kali.
Ketika tengah terlibat perbincangan santai sembari menikmati kopi di kantin rumah sakit, tiba-tiba Aksa di kejutkan dengan nada dering yang berasal dari ponselnya.
Rian dan Jerry kompak memindai pandangan pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan jarak yang cukup dekat, mereka bisa membaca panggilan yang masuk atas nama Sesilia.
"Dia tidak berhenti menelfonku sejak kemarin" ucap Aksa dengan pandangan tertuju ke layar ponsel.
Rian dan Jerry tersenyum dan saling melempar pandangan lalu menggelengkan kepala merespon ucapan Aksa.
"Ada apa?" tanya Aksa menjawab panggilan telfon setelah menggeser ikon hijau.
"Lagi bareng sama Rian dan Jerry"
"Ya"
"Ya"
"Aku tutup dulu ya, nggak enak sama mereka"
Tanpa menunggu persetujuannya, Aksa mematikan panggilan dari Sesilia. Kekasih yang sudah dia pacari lebih dari dua tahun.
Sekian detik berlalu, wanita itu kembali menelpon namun segera di rijek olehnya. Rasanya, pria itu enggan berbicara dengan sang kekasih mengingat dia sedang bersama teman-temannya saat ini.
"Kenapa nggak di angkat?" tanya Jerry menyelidik. Otomatis mata Aksa mencari netra hitam milik Jerry yang baru saja bertanya.
"Dia sangat posesif, aku nggak suka" jawabnya dengan nada malas. "Aku merasa terkekang dengan sikapnya yang selalu curiga"
"Wah tanda-tanda bubar nih"
"Mungkin saja" sahut Aksa menimpali ucapan Rian. "Aku juga dapat informasi dari sekertarisku bahwa dia sudah menginap di hotel dengan seorang pria, dan saat di selidiki, ternyata mereka menginap hampir tiga malam, sekertarisku juga menemukan beberapa alat kontrasepsi bekas di tong sampah kamarnya"
"Nggak bener tuh cewek, kenapa nggak langsung putusin saja, dan cari yang lain"
"Nggak segampang itu Jer" Aksa lalu menyesap kopi di cangkir. "Aku belum memegang bukti perselingkuhannya, Sesil pasti menolak aku putusin. Dia sangat keras kepala, aku harus ada alasan yang tepat untuk mutusin dia"
Sampai beberapa jam berlalu, Aksa, Rian dan Jerry kembali ke mes untuk mengistirahatkan badan setelah puas mengobrol.
Namanya Aksara Galileo, anak tunggal dari mendiang Raka dan Shafira, dia adalah seorang anak yatim piatu karena orang tuanya telah meninggal ketika masih duduk di bangku SMA.
Saat ini Aksa tinggal bersama kakek dan neneknya. Sama seperti dirinya, sang papa juga anak tunggal dari pasangan Rudito Galileo dan Diajeng Nimas, tapi papah dari Aksa memiliki saudara sepupu yang sudah di angkat anak oleh orang tuanya.
Rudito sendiri adalah pemilik perusahaan Dandelion group, Dia tidak pernah menyetujui hubungan Aksa sang cucu, dengan Sesilia yang notabennya adalah seorang artis.
****
"Sa, nanti sore jemput mami ya di rumah sakit" perintah Anjar saat baru saja duduk di kursi meja makan.
"Kenapa pih?" tanya Khansa sambil menuangkan air putih ke dalam gelas. Tidak biasanya Anjar meminta Khansa menjemput maminya, padahal selama ini dia jarang mengijinkan anak-anaknya untuk menjemput sang istri di rumah sakit setelah bekerja.
"Papi ada meeting dengan klien sampai pukul lima sore, nggak bisa jemput mami"
"Iya udah nanti sasa yang jemput, jam empat kan?"
"Hmm" respon pria yang masih tampan di usianya saat ini. Dehemannya, bersamaan dengan suara Meira, putri ke empat yang datang dari balik punggungnya.
"Selamat pagi pih, pagi kak, Mami mana tumben belum keluar?" tanyanya lalu duduk seraya meletakan buku mata kuliah di atas meja makan.
"Mami lagi mandi, kamu tuh sekali-kali terjun ke dapur, minta ajarin kak Sasa nyiapin makannan, kamu udah gede loh Ra, anak perempuan wajib bisa masak, kaya mami sama kakak"
"Sebenarnya sudah bisa pi" Khansa menimpali ucapan Anjar setelah menelan sebagian makannan dalam mulutnya "Dia cuma perlu ngurangin rasa malasnya yang banyak-banyak itu"
"Aku tuh bukannya malas kak" Timpal Meira seolah tak terima "Tiap malam aku belajar dan paginya nggak bisa bangun awal" sambungnya lagi berusaha membela diri.
"Memangnya nggak sholat kamu?"
"Usai sholat bobo lagi pi"
"Jangan di biasain seperti itu dek, malas tuh harus di buang jauh-jauh" kata sang Kakak menasehatinya.
"Kak Sasa nggak usah mengejek, nanti kalau dapat suami malas kayak aku gimana tuh"
"Ya nggak mungkinlah, orang disiplin pasti jodohnya juga disiplin, sama kaya papi, jodohnya sama mami Puspa dan mami Diana, orang baik sama orang baik"
"Belum tentu kak, buktinya bang Azam dapat jodohnya mbak Kesya, orangnya judes, jarang dan irit bicara, gampang tersinggungan lagi"
Mendapat sanggahan cepat dari Meira, Khansa langsung mengatupkan bibir, lalu kembali fokus dengan sarapannya. Sementara Anjar langsung menegur Meira. "Nggak boleh bilang gitu loh, nanti kalau abang Azam dengar kamu bakalan kena marah"
"Maaf"
"Ada apa ini, kenapa Meira minta maaf?" sang mami yang baru datang dengan terburu-buru ikut menyela, dia bergegas duduk lalu menyiduk nasi liwet buatan Khansa.
"Nggak ada apa-apa mih" kata Khansa mengelak.
"Nggak ada apa-apa kok minta maaf"
"Nanti kak Sasa yang jemput mami ya, udah tahu kan mih?" tanya Khansa mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya sayang, tadi papi bilang katanya ada meeting, jadi nggak bisa jemput mami"
"Ingat loh mih, nunggunya di dalam saja jangan di pinggir jalan, meskipun bukan papi yang jemput, mami harus tetap ikuti aturan papi"
"Ngerti pi" sahut Diana singkat, sementara Khansa dan Meira hanya diam sembari menyimak.
Anjar memang sangat protective bukan hanya pada ke empat anaknya, tapi juga pada istrinya. Karena dia tidak ingin hal yang sama terjadi pada Diana. Seperti Puspa, istri pertamanya yang meninggal karena tertabrak motor ketika berjalan menuju mobil, saat dia menjemputnya.
"Kak Sasa berangkat jam berapa ke restoran" tanya Diana yang terlihat tengah mengunyah makanan.
"Agak siangan mih"
"Bos mah bebas, mau berangkat jam berapa aja suka-suka ownernya" Kata Meira. "Aku juga pengin jadi bos"
"Tapi kalau malasnya banyak-banyak nggak mungkin jadi bos kan?" ucapan Khansa yang berbalut sindiran, membuat Meira mengerucutkan bibir, dan seketika senyum tipis di bibir Khansa terbit.
Wanita berambut panjang itu memang suka sekali menggoda siapa saja, apalagi abang-abangnya dan adik perempuan satu-satunya. Dia kerap melakukaknnya terutama di waktu kebersamaan seperti saat ini.
"ish kak Sasa dari tadi yang di bahas tentang malas mulu, nggak ada topik lain memangnya"
"Habisnya kamu lucu, malas kok di pelihara"
"Malas-malas gini kan adik kesayangan bang Azam sama bang Emir"
"Sudah-sudah, kalian kalau mau debat jangan di meja makan" ucap papi mereka sambil mengelap mulut menggunakan tisu. "Papi tunggu di mobil mi" lanjutnya seraya bangkit dari duduknya, dan kalimat terakhir itu, jelas di tujukan untuk istri tercintanya.
"Pi ikut sekalian dong, anterin ke kampus" sambar Meira buru-buru meneguk air di gelasnya lalu meraih punggung tangan Khansa dan Diana. Ia setengah berlari mengikuti Anjar yang lebih dulu melangkah meninggalkan meja makan.
"Aku duluan kak, mih. Assalamu'alaikum" ucapnya sedikit berteriak.
"Walaikumsalam"
"Kak Sasa jangan lupa nanti jemput mami jam empat ya"
"Siap mih"
"Ya sudah mami berangkat dulu. Minta bi siti buat bantuin cuci piring-piring ini, jangan di kerjain sendiri, ngerti!"
"Iya, Hati-hati mih"
"Ok sayang, assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Khansa Laura Dhaniswara, Wanita yang lahir sekitar dua puluh empat tahun lalu di Singapura, menjadi anak ketiga dari pasangan Anjar Dhaniswara dan Diana Aisyah Rahmania.
Dia adalah owner di beberapa restauran yang tersebar di seluruh DKI Jakarta, selain di Indonesia, dia juga memiliki beberapa restauran di Singapura, Korea dan Jepang.
Khansa termasuk wanita yang selalu menempatkan keluarga di urutan pertama. Rasanya tidak ada lagi yang dia inginkan selain mereka, papi maminya, dan ketiga saudaranya.
Bersambung
Protagonis Pria : Aksa
Protagonis Wanita : Khansa (Biasa di panggil Sasa)
Subuh tadi, ketiga dokter bedah yang terkenal tampan, menaiki pesawat dari Makasar menuju Jakarta. Setibanya di bandara Soekarno-Hatta, mereka berpisah karena akan pulang ke rumah masing-masing.
Suara musik dari amplifier mobil menemani perjalannan Aksa menuju rumah.
Pria itu menghembuskan nafas panjang bersamaan dengan laju mobil yang melambat karena terjebak lampu merah.
"Hufftt" keluhnya lirih, setelah menarik rem tangan usai mobil berhenti. Siku tangan kanannya bertumpu pada jendela pintu di sebelah kanan, sementara telapak tangannya menutupi bagian hidung ke bawah.
Saat tengah menunggu lampu berubah warna, tiba-tiba terdengar suara hantaman sedikit keras dari arah belakang.
Braakk....!
Persekian detik sepasang matanya melirik ke arah spion samping, lalu dengan cepat tangannya bergerak membuka pintu mobil.
Ia memberi kode pada si pengemudi yang telah menabraknya untuk menepikan mobilnya.
Sampai ketika lampu berubah hijau, Aksa kembali menarik tuas gigi lalu melajukan mobilnya ke tepi jalan, di ikuti oleh mobil yang menabrak di belakangnya.
Sesaat setelah mobil terhenti, Ia mematikan mesin dan buru-buru keluar dari mobil. Melangkahkan kaki ke arah belakang, pandangannya jatuh pada bagian mobil yang sedikit tergores dan lampu sign dalam keadaan pecah. Kemudian pandangannya ia alihkan pada sosok wanita yang baru saja keluar dari dalam mobil.
Aksa terpaku menatap betapa cantiknya wanita di hadapannya. Mengenakan dress sedikit di bawah lutut, di rangkap jas warna hitam yang tampak sederhana namun tetap elegan. Raut wajahnya tampak panik sekaligus takut.
"Maaf mas" ucap Khansa tanpa menatapnya, sebab matanya bergantian mememindai goresan pada mobil Aksa dan mobilnya.
Mengabaikan permintaan maafnya, Aksa masih termangu menatap penampilan Khansa dari atas hingga ke bawah. Apalagi saat netranya menangkap bibir tipisnya, membuat Aksa seolah tak bisa menahan diri untuk tidak memakannya. Ah, keterlaluan memang, wanita ini benar-benar mampu menghipnotis dirinya.
"Sekali lagi saya minta maaf" Kata Khansa kedua kalinya, dan langsung membuat Aksa tersadar dari lamunan.
"Kalau mengemudi lihat ke arah depan" Aksa akhirnya bersuara setelah beberapa saat lalu hanyut dalam pikirannya. "Jaga jarak setidaknya dua meter" imbuhnya datar dan tanpa Ekspresi.
"Apalagi jika nyetir sambil melamun, bahayanya nggak cuma buat kamu, tapi buat orang lain juga"
"Iya saya minta maaf, saya salah"
"Lalu bagaimana dengan mobilku?"
Bukannya menjawab pertanyaan Aksa, Khansa justru sibuk membuka tas, tangannya seperti bergerak mencari sesuatu di dalam sana.
"Ini kartu nama saya" ujar Khansa seraya menyodorkan kertas berukuran ID card. "Saya akan bertanggung jawab, mas bisa kirim biaya perbaikan mobil mas ke alamat rumah, atau bisa kirim pesan ke nomor ponsel saya"
"Lain kali hati-hati, jangan bahayakan diri sendiri" katanya setelah menerima kartu nama, lalu berbalik dan memasuki mobilnya.
Saat sudah duduk di kursi bagian kemudi, Aksa menatap kartu nama yang di ketahui pemiliknya bernama Khansa Laura Dhaniswara. Ia kembali melajukan mobilnya menuju jalan pulang. Meninggalkan Khansa yang masih diam mematung saat Aksa meliriknya melalui spion.
Sedangkan Khansa, terus menatap menyorot mobil mewah yang tampak semakin mengecil dari pandangannya.
****
Jam di dashboard sudah hampir menunjuk angka sepuluh ketika mobil yang Aksa kendarai mendekati pagar rumah sang kakek.
Setibanya di rumah, sudah ada kakek Rudito yang menunggu di teras sembari membaca koran. Ada secangkir kopi dan satu piring berisi lumpia menemani kakek pagi ini.
Turun dari mobil, Aksa langsung melangkah ke bagian belakang mobil membuka pintu bagasi, lalu mengeluarkan koper berisi pakaian selama dinas di luar kota. Menutup kembali, ia menarik koper dan melangkahkan kaki menghampiri kakeknya.
Pria berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tampak mengulas senyum tipis begitu melihat sang cucu berjalan ke arahnya.
"Assalamu'alaikum kek?" ucapnya lembut.
melipat koran, kakek meletakkannya di atas meja lalu menjawab salam seraya menerima uluran tangan Aksa yang akan mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumsalam. Akhirnya kamu pulang nak"
"Loh, janjiku kan memang mau pulang kek"
"Iya-iya" balas Kakek Rudito, mereka sama-sama melangkah memasuki rumah. "Bagaimana kerjaanmu disana?"
"Lancar kek, Nenek dimana kok sepi?"
"Dia sedang pergi ke rumah bibi Ami"
Aksa tersenyum mengangguk merespon ucapan kakeknya. "Terus gimana perusahaan kek?, aku nggak ada kabar apapun dari Fajar mengenai urusan kantor?"
"Sedikit terbengkalai, tapi kakek melarang Fajar memberitahumu, karena kakek tahu kamu pasti sangat sibuk"
"Maaf kek"
"Maukan kamu berjanji pada kakek?"
Alih-alih merespon permintaan maafnya, kakek Rudito justru mengatakan hal yang membuat Aksa bingung, dan detik itu juga pria dengan alis tebal itu menatap kakeknya penuh lekat.
"Janji buat apa kek?" tanyanya heran, kini mereka sudah duduk di sofa ruang tengah, dengan mata saling memandang.
"Putuskan hubunganmu dengan Sesilia, kakek sama nenek tidak suka dengannya, dia bukan wanita yang baik untukmu. Lagi pula" Sahut kakek menggantung kalimatnya sejenak, kemudian kembali bersuara. "Nenek tidak mau menghadapi situasi sulit karena media. Sesilia itu seorang artis Aksa, melihat perilaku dia, pasti hidupnya berada dalam lingkaran yang kurang baik, dan pasti tak pernah lepas dari gosip para netizen"
"Kakek sama nenek nggak pernah mencoba untuk mengenalnya lebih dekat, itu sebabnya kalian nggak tahu karakter dia yang asli"
"Tapi tetap saja kakek dan nenek tidak mau punya menantu dari kalangan selebrity"
Menarik napas panjang, Aksa merasa dilema dengan permintaan kakek dan nenek. Satu sisi dia masih mencintai Sesilia, tapi berita tentangnya yang sudah menginap bersama seorang pria di hotel, membuatnya ingin mundur dari hubungan yang sudah terjalin lebih dari dua tahun.
Janji Sesilia yang tidak akan menerima kontrak dari menejemen produksi setelah kontraknya habis, nyatanya sampai saat ini justru selalu di perpanjang. Membuatnya kian frustasi, di tambah restu kakek nenek yang masih belum mereka kantongi, semakin sulit untuk Aksa melangkah pada hubungan yang lebih serius.
"Aku ke kamar dulu kek"
"Hmm" sahut Kakek Rudito sambil menganggukan kepala.
Aksa berjalan menuju tangga, sementara mata coklat kakek, tidak lepas menatap punggungnya yang semakin menjauh.
"Sepertinya kakek benar, aku memang harus memutuskan hubunganku dengan Sesilia". Aksa membatin seraya menaiki tangga "Selama ini aku berusaha menutup perilaku buruk Sesilia di depan kakek, tapi sepertinya usahaku sia-sia. Wanita itu benar-benar tidak mau melepas karirnya sebagai public figur. Bukannya berusaha mengambil hati kakek dan nenek untuk meminta restu, dia justru semakin sibuk menaikan popularitasnya" Hingga sampai di depan pintu kamar, tangan Aksa memutar handel pintu lalu menekan tombol saklar untuk menyalakan lampunya.
Menjatuhkan bobot tubuh di atas kasur, kedua tangan Aksa terlentang dengan pandangan fokus menatap langit-langit kamar.
"Aku harus bicara dengan Sesilia" Aksa bergumam lalu melipat tangan untuk bantalan di bawah kepalanya. "jika dia mau memutuskan kontrak kerja saat ini juga, maka aku putuskan akan segera menikahinya, toh usiaku sudah cukup matang untuk menikah"
Sibuk dengan pikiran tentang Sesilia, hingga tak mampu lagi membuka mata yang seolah menuntut untuk segera di pejamkan. Perlahan kesadarannya menghilang seiring dengan jam yang terus berputar tanpa henti.
Aksa tertidur hampir dua jam lamanya, sampai deringan ponsel berbunyi, mau tidak mau pria itu harus membuka mata dan mengangkat panggilan telfon dari orang kepercayaannya.
"Iya Jar, ada apa?"
"Saya dengar dari tuan besar pak Aksa sudah sampai di rumah"
"Iya, sekitar dua jam yang lalu, ada apa?"
"Begini pak, Barusan saya mendapat informasi, bahwa Nona Sesil akan melakukan tour ke Singapura"
"Oh ya?" Sahutnya lengkap dengan dahi yang mengernyit "Kapan tepatnya?"
"Tanggal Lima bulan depan pak"
"Itu artinya satu minggu lagi?"
"Betul pak. Dan maaf hanya itu yang bisa saya informasikan, selebihnya termasuk urusan perusahaan, akan saya sampaikan di kantor"
"Okey, terimakasih Jar"
Bergerak bangkit, Aksa bertahan menatap layar ponsel yang masih menyala terang. Setelah sekian detik, dia meletakannya kembali di atas nakas, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Bersambung
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aksa akan bangun terlambat karena dia selalu pergi ke rumah sakit setiap jam sembilan. Entah kenapa Aksa benar-benar tidak bisa bangun pagi dan selalu bermalas-malasan di atas ranjang sebelum pergi bekerja.
Lelaki itu bahkan sering melewatkan sarapan pagi, dan hanya jika sempat, akan menghabiskan sarapan yang selalu nenek sediakan di dalam kamarnya.
Sedangkan untuk urusan perusahaan milik sang kakek, dia menyerahkan sepenuhnya pada asisten pribadinya. Karena dia benar-benar tidak tertarik dengan dunia bisnis.
Fajar, pria berusia tiga puluh tahun sudah mengabdikan diri selama lima tahun terakhir. Pengambil keputusan jika Aksa tidak datang ke kantor.
Sepak terjang yang cukup bagus dalam mengelola perusahaan Dandelion Grup, membuat Aksa mempercayakan tugasnya pada Fajar.
"Aksa" panggilan Kakek di sertai dengan ketukan pintu terdengar sedikit tegas. bertelanjang dada, Aksa buru-buru bangkit dan mengambil langkah seribu untuk membuka pintu, bahkan ia tak memperdulikan penampilanya yang masih acak-acakan karena baru bangun tidur.
"Kamu belum mandi?" tanya kakek Rudito ketika pintu sudah terbuka. Beliau menggelengkan kepala saat mendapati sang cucu masih terlihat kusut.
"Belum kek"
"Bukankah kakek sudah bilang kita akan pergi ke kantor sebelum kamu ke rumah sakit?"
Tak merespon ucapan kakek, Aksa membalikan badan lalu melangkah menuju lemari, mengambil handuk bersih dan setelah itu, langsung berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri karena kakek pasti akan marah jika permintaannya tidak di turuti.
"Kakek tunggu di bawah" kata Aksa saat di ambang pintu kamar mandi. "Tiga puluh menit lagi aku turun"
"Lebih dari tiga puluh menit, kakek akan pergi sendiri" balas kakek, nadanya sedikit tersisipkan ancaman.
"Hmm" sahutnya lalu menutup pintu kamar mandi.
Sesuai kesepakatan tadi malam, Aksa harus menemani kakek menemui sahabat baik dari almarhum papahnya. Kakek bilang sahabat papanya memiliki anak perempuan dan firasat Aksa mengatakan mereka akan menjodohkannya sebab kakek selalu memuji anak dari teman papanya.
Kakek bercerita kalau anak dari sahabat papahnya itu adalah seorang pengusaha muda yang mengelola beberapa restauran tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Selain sebagai wirausahawati, gadis itu juga pandai memasak, dan masakannya sangat enak. Itu kata kakek, yang selalu tersenyum saat menceritakan gadis bernama Sasa. Kakek juga bilang bahwa istri dari Anjar adalah seorang dokter.
Dokter Diana Aisah Rahmania. Usai mandi, Aksa mencari daftar dokter di rumah sakit Kasih Bunda. Dia sangat penasaran seperti apa ibu dari gadis itu, kenapa kakek begitu menyukainya.
Sekian menit berlalu, Aksa sudah menemukan profil dokter Diana. Dan detik itu juga dia benar-benar di buat takjub saat membaca informasi bahwa dokter Diana menjadi kepala rumah sakit di Kasih Bunda.
"Hebat juga, beliau di nobatkan sebagai dokter umum dengan pasien terbanyak" tanpa sadar mulutnya bergumam.
Menggembungkan mulut, Aksa melipat laptopnya lalu segera melangkah keluar kamar.
"Selamat pagi kek, pagi nek" sapanya sembari menarik kursi lalu duduk. "Maaf kek, sudah menunggu lama"
"Kamu di biasakan bangun pagi dong Aksa, kamu itu bukan anak kecil yang setiap hari harus di bangunin" ucap nenek yang masih kuat di usia senjanya.
"Ini lagi berusaha kok nek"
"Dari dulu berusaha terus" potong kakek tanpa menatap wajah Aksa. "Aturanmu kan memang paling benar dari pada aturan kakek dan nenekmu, jadi meskipun berusaha, tetap saja aturanmu yang di pakai"
Dia tak berani menyanggah ucapan kakeknya, Sang kakek memang menyayanginya, tapi ketegasannya tetap berlaku meski dia adalah cucu kesayangan.
"Kita jadi nemuin teman papah kek?"
"Jadi dong" sahut kakek semangat. Sepertinya Rudito sangat antusias sekali bertemu dengan sahabat anaknya saat kuliah di Australia.
Aksa mengerjap lalu menghembuskan napas agak berat dan meraih sendok yang nenek sodorkan.
"Kamu harus tahu, kalau om Anjar dulu sudah bantuin perusahaan kakek yang nyaris gulung tikar" kata Kakek selagi Aksa menikmati suapan pertama. "Sebelum papahmu meninggal, dia sempat bilang untuk jangan pernah memutuskan hubungan dengan om Anjar"
"Serius papah bilang begitu?"
Kakek merespon ucapan Aksa dengan bahasa tubuhnya mengangguk. Waktu dia meliriknya, sang kakek malah menyunggingkan senyum, dan tidak menjelaskan apapun lagi setelah itu.
"Kenapa lihatin kakek seperti itu?" tanyanya dengan alis yang menukik "Nggak percaya sama apa yang kakek katakan?"
Aksa tidak bisa menjawab karena mulutnya terisi penuh oleh makannan, jadi hanya bisa mendengkus.
"Kakek sudah selesai" ucapnya setelah beberapa menit tak ada obrolan apapun lagi lalu berdiri "Kakek tunggu di mobil"
Aksa menganggukan kepala dan memilih fokus dengan suapan terakhir. Detik berikutnya dia meneguk sisa air di dalam gelas dan berpamitan "Nek, aku berangkat dulu"
"Iya sayang, hati-hati ya, sekali saja turutin kakek, beliau sudah mengalah untuk mendukungmu meraih cita-citamu menjadi dokter"
"Turuti apa?"
Alih-alih menjawab, si nenek justru mengulas senyum, dan senyumannya itu benar-benar sulit untuk di artikan. "Ya sudah aku jalan sekarang nek" pamitnya langsung meraih tangan nenek lalu mencium punggung tangannya. "Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
******
Sesampainya di gedung perusahaan bertuliskan BOM & FOOD, Aksa menghirup oksigen lebih banyak dari normalnya untuk ia salurkan ke paru-paru. Langkah demi langkah, Aksa mengekor di belakang kakek yang terus melenggangkan kaki seolah tak ada beban dalam dirinya. Hingga sekian menit berlalu, mereka sudah berdiri di depan meja resepsionis.
"Selamat pagi mbak" sapa kakek dengan ketenangan yang luar biasa hebat.
Dan Aksa, entah kenapa mendadak gugup apalagi jika teringat anak perempuan Anjar yang selalu di ceritakan oleh kakek. Jantungnya mendadak tidak bisa di ajak kompromi.
"Selamat pagi pak" balasnya ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" lanjutnya dengan bibir tersenyum tipis.
"Kami ingin bertemu dengan pak Anjar, kami sudah membuat janji sebelumnya?"
"Apa anda pak Rudito?"
"Benar mbak"
"Mari saya antar ke ruangan pak Anjar, bapak sudah di tunggu di dalam ruangannya"
Menggelengkan kepala, Aksa berjalan bersisian dengan kakek. Terus mengikuti langkah petugas resepsionis berjalan ke arah lift untuk menuju ke ruang CEO"
Aksa mendengar dari pembicaraan kakek dan petugas resepsionis, bahwa kantor CEO berada di lantai delapan.
Sembari menunggu lift sampai di lantai tujuan, Aksa berusaha keras menormalkan detak jantung yang entah dalam rangka apa, berdetak seperti drum di festival musik.
Saat sudah tiba di lantai delapan, secara otomatis pintu lift terbuka perlahan, petugas yang mengantar, mempersilahkan mereka untuk keluar dari dalam lift terlebih dahulu.
"Mari saya antar, ruangan pak Anjar ada di sebelah sana" ucapnya sembari menunjuk dengan tangan kanannya.
Aksa dan Rudito hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian berjalan mengikuti langkahnya.
Begitu pintu terbuka, Aksa menangkap pria tengah duduk dengan pembawaan yang kalem, namun tetap terlihat tegas. Pemilik perusahaan BOM & FOOD berdiri lalu mempersilakan masuk.
"Pak Dito" sapanya, saat Rudito dan Aksa melangkah mendekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan ketika sudah berdiri saling berhadapan dan hanya di batasi oleh sebuah meja.
"Baik" jawab kakek sambil menerima jabatan tangannya.
"Alhamdulillah, ini pasti Aksa" tangannya beralih menjabat tangan Aksa dan dia langsung mencium punggung tangan Anjar. "Masyaa Allah, tampan sekali"
Aksa tersenyum menimpali pujiannya, di iringi dengan anggukan kepala meski pelan.
"Mari silakan duduk"
"Lama sekali bapak nggak kesini Njar?"
"Iya pak, saya sendiri juga tidak pernah ke kantor pak Dito. Saya jadi malu, di datangi sama orang yang lebih tua"
Sementara Aksa diam menyimak obrolan mereka, sesekali ikut tersenyum karena obrolannya sedikit lucu.
"Bagaimana rencana yang sudak kita susun Njar?"
"Iya pak Dito, saya sendiri setuju, dan istri saya bahkan sangat setuju, apalagi saat tahu kalau Aksa juga seorang dokter, dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu" ucapnya di iringi gelak tawa darinya dan kakek. "Tapi semua kembali pada anak-anak, jika mereka cocok, kita lanjutkan ke jenjang yang lebih serius"
"Nah kan benar kan fillingku, mereka pasti akan menjodohkanku dengan si Sasa" Aksa membatin di sela-sela obrolan antara kakek dengan teman papanya.
"Tapi kalau cucu saya, sudah pasti setuju menikah dengan Sasa" Balas kakek sembari melirik cucunya "Iya kan Aksa?"
Tersenyum tipis, Aksa tidak bisa menganggukan kepala, pun tidak mampu menggeleng, dan bahasa tubuhnya itu, justru membuat dua pria beda generasi ini tertawa renyah.
"Kapan kita susun rencana buat makan malam bersama?" tanya kakek setelah tawanya reda. Seolah tak peduli dengan raut muka cucunya yang tampak shock mendengar ucapannya.
"Sepertinya bulan depan pak, karena anak saya besok sore harus ke Singapura untuk mengaudit beberapa restauran miliknya di sana"
"Wah hebat ya Sasa, masih muda sudah memiliki usaha sendiri. lihat, selain cantik dia pantar memasak loh Aksa" Saat mengatakan itu, pandangan kakek jatuh di manik hitam milik Aksa.
Dia tengah tersenyum kecut menanggapi kalimat kakek. Padahal Aksa sendiri berniat akan menikahi Sesilia jika dia setuju memutuskan kontrak kerja.
Tanpa melibatkan Aksa, kakek dan neneknya justru semakin gencar merencanakan perjodohan dengan putri teman papa.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!