Anggun POV
Aku termenung memandang foto pernikahanku bersama Adrian dua tahun yang lalu. Tidak terasa, sudah dua tahun berlalu setelah kejadian itu. Aku tak percaya kalau saat ini aku akan mengecap kebahagiaan lain dalam hidupku.
Tentu, itu karena aku yang awalnya berharap akan hidup bahagia dengan Bagas, namun ternyata takdir menuliskan lain dalam garis hidupku. Aku menikah dengan adik dari mantan kekasihku tersebut. Dan serasa mimpi dimana aku harus mengalami hal-hal sulit terlebih dahulu sebelum akhirnya aku menapaki kehidupan manis yang sekarang ku alami.
Aku terkejut saat sebuah tangan kekar melingkar penuh pada tubuhku. "Kenapa kau melamun?" Suara serak dan berintonasi besar itu terdengar jelas di balik telingaku. Aku mengulas senyum tipis sebelum akhirnya membalikkan tubuh menghadapnya.
"Kenapa? Kau pikir aku melamun?" Aku melebarkan senyumku pada pria di hadapanku saat ini.
"Apa kau pikir aku tidak tahu? Aku bahkan memanggilmu beberapa kali dan kau masih asyik memandangi potret kita. Memangnya apa yang kau pikirkan?" Dia mengerdikkan kepalanya, bertanya.
"Hmmm..." Aku mencoba mengulur waktu untuk memancing rasa penasarannya. Dan dia semakin memperkuat keyakinanku dengan menautkan kedua alisnya. Akupun jadi tertawa geli.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" tanyanya terheran.
"Kau lucu," jawabku asal.
"Aku?"
"Hmmm." Aku mengangguk. "Kau bahkan sangat lucu dan menggemaskan." Aku mencubit hidungnya sekeras mungkin lalu melarikan diri seketika.
"Hei...Anggun...Kau?! Awas ya! Jangan kau pikir bisa lari dariku!" teriaknya di tengah-tengah tawaku yang menggema memenuhi ruangan.
Ah...betapa ini sangat membahagiakan. Aku berharap kebahagiaan ini tak pernah berakhir. Dan hal-hal kecil yang kami lewati bersama, tak pernah lepas dari senyum dan tawa yang mengurai.
👇
👇
👇
"Jadi apa kita jadi ke rumah Bapak dan Ibu?" tanyaku pada Adrian yang sudah selesai dengan mandinya dan saat ini mulai mengenakan pakaian.
"Ya. Semua sudah menunggu kita. Ingat, hari ini hari istimewa kita. Hari pernikahan kita yang kedua." Adrian sudah membetulkan jasnya. Dia lalu menghampiriku dan memberikan dasi warna biru laut kesukaanku untuk ku pasangkan padanya.
"Ini sebenarnya terlalu berlebihan. Kita yang berulang tahun, kenapa mereka yang harus repot?" Aku memasangkan dasi sambil menggerutu.
"Sudahlah. Anggap saja kita menyenangkan hati Bapak dan Ibu. Bukankah mereka sendiri yang ingin merayakannya?"
"Ya. Tapi mereka pasti membuat acaranya dengan mewah. Dan aku tak suka itu karena sama dengan melakukan pemborosan. Mereka harusnya berhemat untuk masa tua mereka." Aku lalu ganti menyiapkan diriku.
Adrian lalu memelukku dari belakang. Menyeruakkan kepalanya di balik leherku. "Jangan takut mereka akan kekurangan. Bukankah ada kita yang akan menanggung masa tua mereka nantinya?"
Mendengar pernyataan tulus Adrian barusan, tentu aku tak mampu menahan senyum haruku. Sebenarnya, ungkapanku barusan hanyalah sekedar pancingan untuknya. Aku ingin melihat sejauh mana kasih sayangnya pada Bapak dan Ibu.
"Baiklah. Kalau begitu, aku setuju. Dan sebelum kita kesana, kita harus membelikan oleh-oleh dulu kepada mereka." Adrian mengangguk meng-iyakan.
👇
👇
Mobil yang kami lalui sudah berjalan sejak setengah jam yang lalu dan saat ini kami hampir sampai di rumah Bapak dan Ibu. Namun kami sungguh terkejut manakala melihat suasana rumah itu nampak sepi dan tak kelihatan seorangpun. Aku dan Adrian saling berpandangan. Rupanya pertanyaan di hati kami sama. Apakah mereka lupa?
"Mas Bagas dan Niken datang juga kan?" tanyaku pada Adrian kemudian.
"Ya. Mereka bilang begitu."
"Tapi, kau lihat sendiri, tidak ada mobil siapapun di sini." Kami mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mencari sebuah mobil Fortuner atau mungkin mobil lain. Namun rupanya memang tak ada satu buah mobil pun yang terparkir di sekitar area rumah Bapak.
"Jangan-jangan kau salah informasi." Kini aku menebak.
"Tidak mungkin! Kau dengar sendiri bukan, kalau mereka sudah menunggu kita." Aku terdiam membenarkan perkataan Adrian. Ya. Aku memang ingat, Ibu menelfon dan menyuruhku untuk cepat datang. "Sebaiknya kita masuk dulu. Mungkin mereka ada di dalam dan memang sudah menanti kita," sambungnya kemudian.
Aku dan Adrian lalu turun dari mobil dan mulai memasuki halaman rumah. Awalnya kami membunyikan bel sambil mengucap salam. Namun sampai pada salam ketiga rupanya tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu.
Tiba-tiba, ceklekk!!! Tanganku yang tak sengaja memegang gagang pintu. Dan ternyata pintu tidak terkunci. Kamipun saling berpandangan kembali. Seperti di komando, aku dan Adrian masuk ke dalamnya. Dan saat itu pula tiba-tiba...
"Surprise....."
🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺
"Surprise....."
Semua berteriak sekencang mungkin dan seketika lampu rumah yang awalnya padam kini menyala seketika. Tak cukup hanya itu, letusan balon dan terompet yang di tiup secara bersamaan sungguh membuatku terkejut dan hampir melompat seketika ke arah Adrian.
Aku hampir menangis terharu di buatnya. Semua orang ternyata sudah berkumpul di sini. Bapak, Ibu, mas Bagas, Niken, Dinda bahkan kerabat dari Bapak dan Ibu pun datang semua kesini. Ya, mereka yang sebelumnya membenci dan pernah menghinaku habis-habisan kini seakan lupa pada kejadian waktu itu. Budhe Ranti, tante Lastri dan tante Yeni, mereka semua sudah tak memandang sebelah mata lagi padaku. Sikap mereka sudah kembali lagi seperti saat aku masih bersama Bagas dulu.
"Happy anniversary," seru mereka dengan kompak. Baiklah. Kini aku tak dapat menyembunyikan tangisku lagi. Aku memeluk Adrian erat guna menumpahkan luapan haru dan kebahagiaanku yang datang bersamaan.
"Ayo, kalian tiup lilinnya!" Budhe Ranti menginterupsi. Dinda yang membawa kue ulang tahun dalam sebuah troli, datang mendekati kami berdua. Ah...sebuah kue yang sangat indah bahkan terlalu sayang kalau untuk di makan.
"Jangan lupa, buat permintaan kalian dulu!!" Seru tante Lastri yang terkenal paling bawel. Aku dan Adrian tersenyum karenanya. Kami memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya sama-sama meniup lilin tersebut.
Tepuk riuh membahana memenuhi ruangan seketika. Kelihatan jelas sekali kalau mereka semua ikut bahagia bersamaku. "Ayo Rian, potong kuenya dan suapkan pada istrimu." Kini ibu menyuruh. Beliau lalu memberikan sebilah pisau pada Adrian. Dan tanpa banyak komentar, Adrian menuruti perintah sang ibu.
"Buka mulutmu, Sayang!" suruh Adrian padaku. Dengan wajah malu-malu akupun membuka mulutku. Memakan kue tersebut dalam sekali gigitan.
"Dan sekarang, giliran mbak Anggun yang menyuapi mas Rian." Suara Dinda menengahi. Anak itu kini sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Saat ini Dinda sudah duduk di bangku SMA kelas X.
Aku lalu mengambil pisau yang tadi di letakkan Adrian di atas nampan. Ku iris kecil dari kue tersebut dan seperti Adrian sebelumnya, akupun menyuapkan kue tersebut padanya. Kami berdua tersenyum bahagia dan saling berpelukan. Sekali lagi terdengar tepuk tangan riuh rendah dari sanak keluarga.
"Terima kasih, Pak, Bu," ucapku haru lalu memeluk mereka satu persatu.
"Semoga kalian bahagia selalu," kata Ibu dengan posisi masih mendekapku.
Satu-persatu mereka memberi ucapan selamat dan doa padaku dan Adrian. Kami benar-benar merasa bahagia saat ini. Lalu Ibu mengajak kami semua ke ruang makan. Disana derai tawa tak lepas dari bibir kami semua. Berbagai obrolan dan candaan membaur seiring dengan dentingan garpu dan sendok yang bertabrakan pada piring.
"Jadi kapan kalian akan punya anak? Apakah kalian belum merencanakannya sampai sekarang?" Budhe Ranti tiba-tiba membuka obrolan yang membuat kami tersedak hampir bersamaan. Kejadian tersebut sempat membuat beberapa keluarga tertawa.
"Jadi, benar apa yang di tanyakan mbak Ranti? Kalian masih belum pengen punya momongan?" Tante Yeni menyela sambil meneguk orange jusnya. Dan semua mata kini tertuju pada kami berdua.
"Ehmm....kami...." Aku tak bisa meneruskan kata-kataku. Pertanyaan itu tak pernah terbersit sedikitpun pada benak kami berdua. Aku dan Adrian memang tak pernah membicarakan tentang hal ini sebelumnya.
"Pasti Tante. Tentu kami pengen segera punya anak. Benar kan, Sayang?" Adrian menjawab tiba-tiba dan menoleh ke arahku bersamaan dengan kalimat yang ia lontarkan. Adrian meraih tanganku dan menggenggamnya. Dia pasti bisa merasakan suhu tubuhku yang berubah dingin.
"Ehm...yach..." akupun terpaksa mengikuti kata-kata Adrian. Entah itu hanya sekedar alasan atau memang sebuah kejujuran. Yang pasti hingga saat ini belum sekalipun aku dan Adrian membicarakan soal anak. Dan hingga detik ini, aku juga masih menjalani kontrasepsi. Kalau untukku sendiri, tentunya aku memang belum siap dengan kehadiran seorang anak. Ini jelas karena hadirnya Cinta. Meski dia sekarang ada dalam asuhan Bagas dan istrinya, tapi rasanya aku masih belum siap untuk punya anak lagi.
Dan pembicaraan itupun mati seketika berganti dengan topik yang lain. Aku dan Adrian menghabiskan waktu hingga malam hampir larut.
"Kalian tidak tidur disini?" tanya Ibu saat aku berpamitan pulang.
"Ndak, Bu. Lain kali saja. Besok mas Rian ada pertemuan penting di kantor," aku menolak halus.
"Ya sudah. Oh...iya, kau tak mau menemui Cinta dulu sebelum pergi? Karena besok Bagas dan Niken akan kembali ke Semarang pagi-pagi sekali."
"Ya. Ini saya mau ke sana. Tapi mungkin saat ini Cinta sudah tidur."
"Pergilah! Kau bisa memberikan ucapan selamat malam untuknya." Aku mengangguk seraya tersenyum tipis pada Ibu mertuaku.
Benar saja. Ternyata Cinta memang sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Niken yang sedang menungguinya sambil tiduran, bangkit seketika saat melihatku masuk ke dalam kamarnya.
"Mbak," desisnya lirih sambil mengulas senyum padaku. Ya. Meski secara fakta dia adalah kakak iparku, namun Niken selama ini tak pernah memanggilku dengan hanya menggunakan nama saja. Padahal aku sudah melarangnya, karena harusnya aku yang memanggil dia 'mbak'. Namun wanita itu tetap berkeras pada pendiriannya. Dia hanya ingin menghormatiku saja, itu katanya. Mungkin karena adanya Cinta yang membuat ia mempunyai pemikiran demikian. Dan aku hanya mengikut saja demi untuk menjaga perasaannya.
"Dia sangat pulas," ucapku sambil membelai wajah putri kecilku. Ah...tidak. Dia sekarang adalah anak Bagas dan Niken. Aku menciumnya beberapa kali untuk kemudian perlahan-lahan turun dari pembaringan. "Aku harus pulang, Niken." Aku lalu berpamitan pada Niken.
"Mbak Anggun tidak menginap disini?"
"Tidak. Besok Adrian ada rapat di kantornya. Jadi kami pasti harus berangkat lebih pagi dari biasanya."
"Ehmm...baiklah. Hati-hati Mbak."
"Yach, kau juga jaga diri baik-baik." Aku menoleh sejenak ke tempat dimana Cinta berbaring. Sejak tadi aku memang belum sempat menggendongnya. Itu karena dia rewel terus. Dan menurut informasi yang di berikan Niken, itu karena tadi pagi Cinta menerima imunisasi. Itulah sebabnya dia enggan di ajak siapapun termasuk juga diriku. Biarlah. Dengan melihatnya sehat saja, aku sudah cukup senang. Meski aku tak menampik kerinduan yang membumbung jauh dalam hatiku.
Bapak dan Ibu mengantarkan kami sampai ke halaman rumah. Aku melambaikan tanganku terakhir kali sebelum akhirnya Adrian menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah tersebut.
👇
👇
👇
"Apa permintaanmu tadi, Anggun?" tanya Adrian saat kami sudah ada di dalam mobil.
"Kau sendiri?" Bukannya menjawab aku justru balik bertanya.
"Aku hanya berharap, semoga kebahagiaan selalu bersama kita," jawabnya klise dan terdiam untuk sejenak. "Sekarang, katakan apa permintaanmu!!"
Aku masih belum ingin menjawab. Ada keraguan dalam hatiku. Permintaanku kali ini memang cukup aneh. "Aku, ingin kita menemukan cinta dan kebahagiaan kita." Aku melirik ke arah Adrian sekilas. Dan dia nampak mengerutkan keningnya. Dia pasti heran dengan permintaanku. Ah...jangankan dia, aku saja yang membuat permintaan juga di buat tak mengerti. Aku tidak tahu, permintaan itu terlintas begitu saja dalam pikiranku. Dan ku pikir Adrian akan mengungkitnya lebih jauh, namun nyatanya dia hanya terdiam sampai kami tiba di rumah kami kembali.
Kenapa? Kenapa aku meminta demikian? Sepertinya aku ragu bahwa Adrian adalah cinta sejatiku. Seakan bukan dialah yang merupakan kebahagiaanku. Entahlah...semoga itu hanya selintas pikiran iseng yang muncul dalam pikiranku dan bukan merupakan sebuah tanda dari awal yang buruk dalam pernikahanku. Semoga saja....
🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺
Author POV
Ny. Sujono sedang sibuk membereskan rumah saat tiba-tiba suara telfon rumah berdering beberapa kali.
"Bi, tolong angkat telponnya sebentar!" serunya pada Bi Inem yang sedang menyapu halaman rumah.
"Nggih Ndoro."
Bi Inem setengah berlari menuju pesawat telfon.
"Halo," suara bi Inem mulai menjawab panggilan tersebut.
*"*Selamat siang. Benarkah ini rumah keluarga Sujono, orang tua dari saudari Adinda Putri Wardhani?"
"Iya benar. Dari mana ini?"
*"*Kami dari rumah sakit, mau memberitahukan kalau saat ini saudari Dinda mengalami kecelakaan dan sedang di rawat di rumah sakit Kasih Ibu."
"Astaghfirullah hal adzim." Seruan bi Inem membuat bu Ratih sedikit tersentak dan buru-buru meninggalkan pekerjaannya dan datang menghampiri bi Inem berada.
"Siapa Bi?" tanya bu Ratih penasaran bercampur bingung. Wanita yang hampir lanjut usia itu hanya bisa berdiri terpaku dengan sebelah tangan yang menutup mulutnya dan tubuh yang sedikit gemetar. "Bi, siapa?" desak bu Ratih tak sabar.
"Ke-ketiwasan Ndoro. Non Din...Dinda..."
"Ada apa dengan Dinda?" Bu Ratih mulai panik.
"Itu...itu Ndoro. Dinda mengalami kecelakaan."
"Apa?"
Suasana panikpun mulai terjadi. Tanpa menunggu waktu lagi Bu Ratih mencari suaminya. Dan dia baru sadar kalau pak Sujono sedang ada urusan di kelurahan. Akhirnya dia mengajak pak Doni, sopir pribadi mereka untuk segera meluncur lebih dulu ke rumah sakit yang di tuju.
"Mbok, tolong beri tahu Bapak supaya cepat menyusul ke rumah sakit." Bu Ratih masih sempat berpesan pada bi Inem sebelum ia pergi.
"Baik Ndoro."
Bi Inem mengantar majikan perempuannya sampai depan rumah untuk kemudian dia berlari segera ke kelurahan untuk menemui majikan prianya.
👇
👇
👇
Beberapa waktu kemudian, Bu Ratih sudah sampai di rumah sakit setempat. Tidak memerlukan waktu banyak baginya untuk mencari dimana ruangan putrinya berada.
"Bagaimana keadaanmu, Nduk?" tanya wanita itu saat sudah sampai di ruang Mawar yakni ruang yang di tempati Dinda.
Gadis remaja itu hanya tersenyum masam. "Saya ndak apa-apa, Bu. Cuma kaki dan lengan saja yang luka dan ini juga ndak parah kok."
"Tapi ini tetap membuat Ibu khawatir, Ngger. Sebenarnya bagaimana kejadiannya? Kenapa kamu bisa seperti ini?"
"Semua terjadi secara nggak sengaja, Bu. Ada motor yang melaju, dan salahnya Dinda ndak melihat motor itu. Dinda terlalu sibuk baca buku sampai mengabaikan cara bertata krama di jalan raya," cerita Dinda membuat Bu Ratih berdecak. Dia benar-benar menyayangkan keteledoran putrinya.
"Kalau sudah begini, berarti ini menjadi pelajaran bagimu, Dinda. Jangan pernah ulangi lagi kebiasaan buruk seperti ini. Seperti main ponsel di jalan. Atau bersendau gurau dengan temanmu. Karena jalan raya bukanlah tempatnya."
"Nggih Bu. Maaf. Dinda ndak akan ulangi lagi." Gadis itu merasa bersalah. Dia menyesal sudah membuat orang lain repot karenanya.
"Terus bagaimana keadaan orang yang menabrakmu?" Sang ibu menelusur.
"Dia lebih parah dariku, Bu. Kasihan. Motornya juga rusak karena menabrak pembatas jalan."
"Lalu? Dimana dia dirawat? Ibu juga harus menjenguknya."
"Dia ada di rumah sakit ini juga kok, Bu. Kalau ndak salah. Dia ada di ruang Anggrek. Namanya...." Dinda terlihat mengingat-ingat siapa orang yang menabraknya itu. "Mas Abi. Ya. Abimanyu kalau nggak salah."
"Masih anak-anak?"
"Kayaknya dia masih kuliah Bu. Saya juga ndak paham." Dinda terdiam sejenak. "Tolong jenguk dia Bu. Kasihan dia. Dinda merasa bersalah padanya."
"Ya. Tenanglah. Ibu pasti akan kesana. Sekarang nunggu bapakmu datang dulu." Dinda hanya mengangguk pelan. Bu Ratih lalu menyuruhnya istirahat. Sedang dia sendiri berusaha menghubungi Adrian. Setidaknya kakak kedua putrinya ini harus tau kalau adiknya terkena musibah.
👇
👇
Sekitar tiga puluh menit kemudian Pak Sujono sampai di rumah sakit. Perasaan cemas juga menyelimuti hati pria paruh baya itu. Tapi setelah melihat kondisi putrinya yang tidak terlalu parah, Pak Sujono merasakan sedikit kelegaan.
"Pak, tolong temani Dinda dulu. Ibu mau ke ruang Anggrek sebentar. Ibu mau menjenguk pria yang sudah menabrak Dinda," Bu Ratih meminta ijin suaminya.
"Apakah dia juga di rawat disini?"
"Iya Pak. Katanya lukanya parah. Ibu harus memastikan kalau orang itu baik-baik saja. Dan lagi pula, Ibu juga ingin meminta maaf. Karena kesalahan putri kita, orang itu jadi kena akibatnya." Pak Sujono menarik napas panjang. Dia sudah mendengar kronologis kejadiannya. Tentu pria itupun tak bisa menyalahkan pemuda yang sempat menabrak Dinda, karena ini juga bukan semata-mata kesalahannya.
"Baiklah Bu. Pergilah kesana dulu. Nanti kita gantian menjenguk. Aku juga harus melihatnya." Bu Ratih mengangguk setuju
"Oh...iya. Aku tadi menghubungi Adrian, dan katanya nanti setelah pulang dari kantor, dia akan kesini dengan Anggun." Pak Sujono hanya terdiam mendengarkan. "Kalau begitu, aku tinggal dulu Pak."
Bu Ratih kemudian berlalu dari ruangan itu. Sekilas matanya mencari-cari dimana letak ruang Anggrek berada. Dan setelah sukses mendapat informasi dari seorang perawat, wanita paruh baya itupun melanjutkan langkahnya ke ruang yang di tuju.
Tok...tok...tok...
Bu Ratih mengetuk pintu kamar tersebut. Dan seorang wanita muda seusia Anggun menoleh seketika ke arah pintu.
"Iya, anda mau cari siapa?" tanya wanita itu heran.
"Maaf, saya adalah orang tua Dinda. Anak yang sempat di tabrak sama...." Bu Ratih tak meneruskan kalimatnya. Hanya matanya saja yang menoleh seketika pada sosok pemuda yang tengah berbaring di ranjang dengan beberapa perban yang menempel di tubuhnya.
Perlahan-lahan Bu Ratih mendekati pemuda itu. "Maafkan kesalahan putriku, Nak. Karenanya, kau jadi seperti ini," ucap wanita itu dengan nada yang sangat menyesal.
"Ndak kok, Bu. Saya tidak menyalahkan putri Ibu. Saya sendiri juga salah karena mengendarai motor dengan kecepatan tinggi sampai tak bisa mengerem mendadak." Pemuda itu berusaha menyandarkan tubuhnya. Dan karena kesulitan, Bu Ratih cepat-cepat membantunya. "Terima kasih, Bu." Wanita itu hanya tersenyum.
"Anda siapanya?" tanya Bu Ratih pada wanita yang ada di sampingnya kini.
"Saya Ayu, kakak Abimanyu," jawab wanita itu sambil mengulas senyum. Dia lalu mengambilkan sebuah kursi lipat untuk Bu Ratih duduk. "Silahkan duduk!"
"Terima kasih."
"Maaf, saya belum sempat menjenguk putri anda, Bu. Karena tidak ada yang menunggu Abi di sini." Perempuan itu tersenyum tipis.
"Tidak masalah nak Ayu. Lagi pula Ibu juga sudah kesini."
"Gimana keadaan putri Ibu?" tiba-tiba Abi menyela. "Ehm...maaf, saya tidak tahu namanya," lanjutnya pelan.
Bu Ratih tersenyum. "Namanya Dinda. Dia baik-baik saja nak Abi. Kau tak perlu mencemaskan keadaannya. Justru Ibu khawatir saat mendengar kalau lukamu lebih parah dari Dinda."
"Ehm...tapi saya sekarang sudah tidak apa-apa kok Bu. Oh...iya Kak, nanti kalau Kakak mau besuk Dinda, Abi ikut ya," serunya kemudian pada sang kakak.
"Tapi lukamu masih belum pulih, Abi. Kau tak boleh terlalu banyak bergerak," Ayu mulai mengkritisi.
"Ah...ini sudah tidak apa-apa, Kak. Lihatlah, aku bahkan bisa menggerakkan tangan dan kakiku sekarang. Boleh ya Kak?" Ayu dan Bu Ratih saling berpandangan untuk kemudian saling melempar senyum satu sama lain. Merasa lucu dengan sikap kekanak-kanakan Abimanyu.
👇
👇
Bu Ratih sudah keluar dari kamar inap Abimanyu dan bermaksud kembali ke ruangan putrinya di rawat. Namun di tengah jalan dia di kejutkan oleh sapaan seseorang.
"Ibu," suara halus itu membuat Bu Ratih menoleh seketika. Dan begitu terkejutnya ia saat melihat siapa orang yang menyapanya.
"Andini?" Desis Bu Ratih dengan mata yang membulat penuh.
"Apa kabar Bu? Lama tidak bertemu dengan Ibu," kata gadis itu lalu menyalami Bu Ratih. Kebiasaan lama yang tak pernah hilang dari perempuan yang pernah menjalin ikatan dengan putranya itu.
"Ya. Kabar Ibu baik Nak. Bagaimana denganmu sendiri?" Bu Ratih bertanya balik.
"Alkhamdulillah saya juga baik, Bu." Gadis itu menatap penuh pada sosok wanita paruh baya di hadapannya. Perempuan itu mengingatkan kembali akan hubungannya dulu dengan Adrian. Andini cepat-cepat membuyarkan lamunannya yang sempat menerawang. "Eh, ngomong-ngomong, ada perlu apa Ibu disini? Apakah ada yang sakit?"
Merasa kurang nyaman, Andini lalu mengajak Bu Ratih duduk di bangku taman rumah sakit yang kebetulan ada di dekat situ.
"Dinda. Dia mengalami kecelakaan," terang Bu Ratih setelah mereka duduk di bangku tersebut.
"Benarkah? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia baik-baik saja. Hanya mengalami sedikit luka ringan di lengan dan kakinya."
"Hmm, baiklah. Mungkin nanti setelah saya selesai dari tugas, akan menyempatkan waktu menjenguknya." Ah, bagaimana Bu Ratih bisa lupa kalau gadis itu juga bekerja di rumah sakit tersebut. Bu Ratih hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Bagaimana dengan Adrian, Bu? Mungkin anaknya sekarang sudah besar ya?"
Ingatan Andini melayang pada saat dimana ia bertemu terakhir kali dengan Ny Sujono di rumah sakit yang sama dan pada saat itu dia sedang mengantar istri Adrian memeriksakan kandungannya.
"Ehmm, ya. Tapi sayangnya dia tidak ikut dengan Adrian. Tapi diasuh oleh ayahnya sendiri, Bagas." Penjelasan Ny Sujono barusan membuat Andini menautkan alisnya tak mengerti.
"Maksud Ibu?"
"Kau tau kan, kalau anak itu adalah anak Bagas. Jadi karenanya, Bagas ingin menyelesaikan tanggung jawabnya dengan mengasuh anak itu." Andini semakin bingung di buatnya. Matanya menajam menandakan rasa keingin tahuan.
"Mas Bagas? Apa hubungannya dengan mas Bagas, Bu? Dini tidak mengerti?" Kini Bu Ratih yang dibuat membeku. Matanya berkedip-kedip memandang gadis di hadapannya.
"Apakah kamu tidak tahu, Nduk, kalau Bagas yang menghamili Anggun."
"Mbak Anggun?"
"Ya. Adrian terpaksa menikahi Anggun karena Bagas menghamili Anggun dan sebelumnya dia tak mau bertanggung jawab sampai akhirnya Adrian mengorbankan perasaannya dengan menikahi Anggun hanya demi menyelamatkan kehormatan keluarga."
Serasa ada petir yang menyambar kepala Andini saat itu juga. Bagaimana bisa dia tidak tahu soal alasan itu? Dan kini, ingatlah dia saat pertama kali Adrian memutuskan hubungan dengan dirinya, dia bilang karena sebuah alasan. Dan untuk berhari-hari lamanya pria itu masih saja berusaha mengejar Andini sekedar meyakinkan kalau perasaannya pada gadis itu tak pernah berubah.
Jadi karena itu? Jadi karena ingin menyelamatkan kehormatan keluarganya, dia menikahi wanita lain. Dan itu adalah wanita yang tak asing lagi buatku. Yaitu mbak Anggun. Kalau begitu, Adrian....mungkinkah dia masih mencintaiku hingga sekarang?
🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺🍃
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!