NovelToon NovelToon

SELINGKUH BALAS SELINGKUH

Pacar Suamiku

“Kenalkan, Naura. Pacarnya mas Yogas.” Perempuan itu mengulurkan tangannya pada Alisa yang masih diam memaku tak percaya.

Seorang perempuan muda bergaya stylish tersenyum ramah pada Alisa. Menenteng beberapa kantung papper bag sebagai buah tangan untuk Ratna, yang tak lain adalah mertua Alisa. Alisa tahu jika Naura bukan perempuan biasa, ia bisa melihat dari gaya berpakaian Alisa yang modis, serba branded dan juga mobil yang dikendarainya merupakan mobil Alphard keluaran terbaru.

“Pacarnya?” Akhirnya setelah Alisa berusaha untuk tetap tenang dan wajar di depan pacar suaminya. Memang terdengar aneh, karena ada seorang perempuan cantik tak tahu malu memperkenalkan dirinya di depan istri pacarnya.

“Naura?” Yogas sudah berdiri di ambang pintu, air mukanya nampak terkejut karena melihat Naura berada di rumahnya.

“Mas Yogas.” Perempuan itu dengan sangat tenang dan tanpa merasa bersalahnya menghampiri Yogas dan hanya melewati Alisa begitu saja. “Maaf ya Mas, aku datang nggak ngasih tau kamu. Soalnya hape kamu nggak aktif. Maafin aku yang lancang ya.” Wajah perempuan itu berubah sendu dan merasa bersalah.

Yogas melirik pada Alisa, entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu sekarang. Nampak jelas sekali wajahnya sekarang pucat masai. Yogas tak memberikan respon apa-apa pada Naura, entah karena canggung pada Alisa atau memang sikapnya selalu seperti itu.

Dari dalam rumah terdengar suara sandal melangkah mendekat, Alisa melihat Ratna dan Mika datang. Ibu mertua dan adik iparnya tersebut sangat berbinar begitu melihat ada Naura datang, terlebih Ratna pandangannya terpaku pada barang yang dibawa Naura.

“Naura, apakabarnya?” Ratna menyapa Naura, mencium pipi kanan dan kiri Naura dengan hangat.

Melihat itu Alisa mengerjap tak percaya atas apa yang baru dilihatnya. Mertuanya tahu dan kenal dengan Naura.

“Ada apa ini? Mama kenal dengan perempuan ini?” tanya Alisa, sambil berjalan menghampiri mereka yang sedang bercengkrama akrab.

“Tentu aja kenal, ini kan Naura. Pacarnya Yogas,” jawab Ratna enteng.

Alisa mengerjap tak percaya, jadi apa yang selama ini ia curigai benar adanya kalau suaminya memang telah berselingkuh. Tapi, sejak kapan?

“Ini nggak benar. Mas, katakan sama aku kalau ini bohong,” pinta Alisa dengan suara bergetar hebat. Suaminya sendiri dengan tega telah mengkhianati janji suci ikatan pernikahan mereka.

Yogas menatap istrinya tajam. “Naura memang pacarku. Dan aku berniat akan menikahinya.”

Alisa menggeleng tak percaya. “Nggak, Mas. Kamu nggak boleh lakuin ini sama aku. Aku nggak mau!” Alisa tak dapat lagi menahan-nahan air matanya, meski inginnya ia tak menangis di hadapan Naura.

“Aku lelah, Lis. Aku lelah, aku juga ingin kepuasan. Aku juga ingin mamerin istri aku di depan banyak orang. Sedangkan Naura, kamu lihat dia.. bukan hanya cantik. Dia juga pandai berdandan, dia bisa bawa diri dan yang paling utama, dia nggak malu-maluin aku.” Begitu kejamnya Yoga mengatakan semua itu pada Alisa, sementara pernikahan mereka baru berjalan 2 tahun.

“Lisa, kamu harus sadar diri. Penampilan kamu itu tidak menarik dan kolot, usia kamu masih muda. Tapi, terlihat udah tua. Nggak sebanding sama Yogas yang tampan dan terlihat segar. Kamu terima aja nasib kamu, siapa suruh seperti itu.”

Alisa mengepalkan tangannya, ia memang kalah telak sekarang. Tapi, jangan harap ia akan diam mendapatkan perlakuan menyakitkan dari suami dan ibu mertuanya.

“Maaf ya, Mbak. Kedatanganku gak ada niat buat keadaan di rumah ini jadi nggak nyaman,” ucap perempuan itu pelan.

Perempuan itu memang terlihat cantik dan anggun, rambut hitamnya yang lurus tergerai indah. Alisa tak menampik itu, wajar jika suaminya tergoda. Namun, kehadirannya tidak tepat waktu di saat suaminya masih sah memilliki istri. Percuma, untuk apa cantik, berkelas dan anggun atau bahkan memiliki harta berlimpah dengan segudang kesuksesan. Jika, hanya dicap sebagai pelakor.

***

Alisa berniat menemui suaminya yang sedang duduk santai selepas kepulangan Naura. Yogas sedang berbincang dengan Ratna di ruang makan.

“Gas, kapan kalian akan menikah? Saran Mama lebih baik kamu cepet nikahin dia, sebelum Alisa gagalin rencana kamu.”

Alisa menghentikan langkahnya, ia mendengarkan percakapan mertua dan suaminya di balik pintu yang terbuka.

“Yogas emang akan nikahin Naura. Tapi, nggak segampang itu, Ma. Yogas kan masih terikat pernikahan dengan Alisa, gak bisa gegabah juga,” timpal Yogas.

Hati Alisa sangat sakit mendengarkan pembicaraan dua orang yang ia kenal sangat baik dan berbudi. Sayangnya, mereka kini menampakan wajah aslinya yang tak bisa ditebak.

Berangkat dari desa yang sama, Yogas berpacaran dengan Alisa sejak di bangku kuliah. Memang sejak awal Ratna tidak setuju Yogas menikahi Alisa, karena Alisa bukan berasal dari keluarga kaya di desa seperti mereka. Alisa hanya anak dari seorang pensiunan karyawan biasa. Hanya saja Yogas membujuk agar Ratna mau menerimanya. Setelah Yogas berhasil dengan pencapaian kerjanya di salah satu perusahaan bonafied, dan mengenal kehidupan Kota Jakarta dan juga lingkungan perkenalannya. Yogas mulai membandingkan Alisa dengan para perempuan yang sering ia temui di luaran.

Alisa merasa, suami dan keluarga suaminya sudah gila. Rasa empatinya sudah hilang, bahkan mati rasa.

Dengan mata yang sembab sehabis menangis. Tapi, ia sangat ingin mendengar semua perbincangan keduanya.

Alisa masih tak menyangka ibu mertua yang begitu baik di depannya sangat tega ikut menyakiti hatinya. Ia kira, Ratna akan menyadarkan anaknya dan mendukungnya. Namun, Ratna malah mendukung anaknya menikah lagi. Kurang apa dirinya pada Ratna, semua yang ia berikan pada Ratna apa tidak cukup. Pakaian, perhiasan, kebutuhan Mika, selalu ia berikan. Posisinya sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan terkemuka ternyata tidak membuat Yogas cukup melihatnya sepenuh hati.

“Mas, katakan kalau semua itu bohong?” ucapnya sedih, ia menangis sambil menunduk. Mimpi apa ia semalam, hingga kenyataan pahit menghampirinya saat ini.

“Alah gitu aja nangis, cengeng banget sih,” cibir Mika, bibirnya tersenyum smirk seolah mengejek Alisa.

Alisa yang sedang menagis segera mengusap air matanya, ia menatap Mika dengan kecewa. Adik ipar yang tak pernah dianggap orang lain dan malah menganggapnya sebagai adik kandungnya sendiri, ikut menambah lukanya semakin dalam.

“Kamu setuju masmu nikah lagi, Mika?” tanya Alisa, berharap Mika tidak ikut mendukung mereka.

“Kenapa nggak. Mbak kan lihat sendiri, mbak Naura itu lebih cantik, lebih kaya, lebih banyak uangnya dan juga nggak perhitungan kalau ngasih. Nih, lihat. Aku dibeliin iphone keluaran terbaru,” ujar Mika, sambil memamerkan ponsel ios berlogo apel tersebut. “Kalau Mbak kan, ngasihnya perhitungan. Ngasih, tapi harganya jauh di bawah ini. Mama aja dikasih cincin berlian loh, Mbak. Mbak sanggup beliin buat Mama?”

Alisa memejamkan matanya sangat tak percaya. Ia memang kalah telak telak sekarang.

Selingkuh Ya Selingkuh

Alisa mengepalkan tangannya, ia sangat marah, kecewa bercampur jadi satu. Mendengar ungkapan polos sang adik ipar yang tak seharusnya diucapkan di depannya.

Alisa memang perhitungan, tapi dengan kata bukan pelit. Ia memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang jadi keinginan. Ia juga harus mengatur keuangan, jangan sampai semua gaji yang didapatkan habis begitu saja. Butuh proses panjang demi mendapatkan pekerjaannya yang sekarang. Jadi manager keuangan di posisinya sekarang bukanlah sulap juga bukan sihir.

"Gak bisa kan, Mbak?" Mika jelas-jelas mencibir, memamerkan tinggi-tinggi ponsel kebanggaannya tepat di depan wajah Alisa.

Alisa mendesah pelan, ia tak boleh memperlihatkan amarahnya pada Mika jika tidak ingin suami dan ibu mertuanya ikut campur.

"Mbak memang tidak bisa memberikan semua kemewahan untuk kamu, untuk kalian. Semua karena Mbak pernah merasakan hidup susah dan tau bagaimana susahnya cari uang." Alisa meninggalkan Mika begitu saja dengan perasaan yang tentunya sangat terluka.

Di dalam kamar, Alisa merenung. Ia melihat dirinya di depan cermin. Rambut lebat ikalnya, kulitnya yang putih tapi kusam. Ia sadari itu, ia memang tidak suka perawatan. Apalagi memakai skin care yang sering para wanita pakai setiap hari atau setiap malam sebelum tidur. Pakaian yang dikenakannya memang tidak modis dan ketinggalan jaman.

"Fiiuuuhh." Alisa mendesah berat. Pantas suaminya mencari perempuan lain dan tidak pernah mengajaknya ke acara-acara penting kantor suaminya. Jadi, semua ini ada alasannya.

Sakit tapi tak berdarah.

Kriiiieeett...

Suara pintu terbuka, berdecit pelan. Yogas masuk tanpa melihat ke arah Alisa yang sedang duduk di depan cermin.

Alisa memutar tubuhnya, menatap Yogas sendu.

"Mas," panggil Alisa.

"Heeem," jawab Yogas, sambil membereskan bantal yang akan dipakainya dan bersiap untuk tidur.

"Kamu yakin mau nikahin Naura?"

Yogas tak segera menjawabnya, mungkin ia pura-pura tak mendengar.

"Mas," ulang Alisa masih menunggu jawaban.

"Kalau iya kenapa? Kamu nggak bisa halangin aku, Lis. Sudah, jangan ganggu aku mau tidur!" Yogas memutar tubuhnya memunggungi Alisa.

Keputusannya menikahi Naura tidak bisa diganggu lagi bahkan jika Alisa merintih sekalipun Yogas tidak bisa bergeming.

Merasa tak bisa ditawar-tawar lagi, Alisa memilih diam.

***

"UHUUK.." Medina tersedak begitu mendengar pengakuan Alisa tentang prahara rumah tangga sahabatnya tersebut. "Kamu gak canda kan, Lis?" tanya Medina super kaget.

Karena yang Medina tahu, rumah tangga Alisa tidak bermasalah dan adem ayem. Selama 2 tahun ini Medina tidak pernah mendengar Alisa ribut dengan Yogas.

"Gak, aku gak canda. Semuanya nyata, Yogas mau nikahin Naura. Kemarin perempuan itu datang ke rumah."

"Waaahh... sekarang jamannya pelakor semakin di depan ya." Medina tak habis pikir, ia merasa iba melihat Alisa. "Apa alasan Yogas seperti itu ke kamu?"

Alisa membuang wajah, jika saja sekarang mereka tidak sedang berada di kantin. Ingin sekali Alisa menangis dan mencurahkan semua perasaannya pada Medina.

"Karena aku gak cantik. Penampilanku tak menarik dan kolot."

Medina lama terdiam, jika mengenai penampilan Alisa. Ia tak berani berkata banyak. Takut, jika nanti yang dikatakannya menyakiti hati sang sahabat.

"Apapun alasannya, jika memang Yogas selingkuh ya selingkuh aja. Karena laki emang dasarnya kaya gitu, Lis. Kamu yang tabah ya, aku yakin kamu bisa lewatin ini semua." Medina meremas tangan Alisa, mengalirkan kekuatan dalam diri perempuan yang hanya terpaut usia satu tahun itu.

Alisa mengedarkan pandangannya ke arah lain. Pada semua perempuan yang berada di kantin, semua karyawan satu kantornya. Alisa sadar, semua perempuan itu bergaya modis, berdandan cantik. Berbeda dengan dirinya, pakaian yang dikenakannya saja model dulu dan terlihat kebesaran. Rambut dikepang dan tak lupa kaca mata yang sering ia gunakan setiap hari.

Senyum mengembang dengan pewarna bibir, sedangkan dirinya. Ah, Alisa benar-benar merasa tidak percaya diri.

Ia tahu kantor mempekerjakan dirinya bukan karena dandanannya, tapi karena kualitas dirinya. Karena ia mampu.

"Din, aku belum pernah merasa tidak percaya diri dengan diriku sendiri." Alisa mengangkat kepalanya menatap Medina lekat-lekat.

"Karena penampilan kamu itu?"

"Ya."

"Jangan pernah berubah karena orang lain. Berubahlah karena ingin kamu sendiri, Lis. Jangan pernah berpikir ingin merubah gayamu ini karena Yogas. Apa kamu pikir jika kamu berubah, Yogas akan balik ngejar kamu dan batalin rencana nikahin pacarnya?"

"Tapi, Din,-"

"Pikirkan matang-matang!" sela Medina tak sependapat dan tahu kemana arah pembicaraan Alisa.

***

Menjelang malam, Alisa baru saja sampai di rumah. Langkahnya terhenti mana kala ia melihat mobil Naura terparkir di depan rumah.

Dengan langkah gontai ia masuk dan mendapati Naura baru saja selesai memasak. Lengkap dengan celemek yang masih menempel. Senyumnya mengembang tak kala melihat Alisa berdiri mematung, seakan Alisa yang menjadi tamu dan Naura adalah tuan rumahnya.

"Hai Mbak, baru pulang? Ayo kita langsung makan," ajak Naura, sambil menyajikan makanan di meja.

Alisa melihat waktu di arlojinya, jam makan malam masih satu jam lagi padahal.

"Lis, kalau ditanya jawab dong. Sopan dikit kenapa." Ratna duduk lebih dulu di kursi meja makan, wajahnya nampak sangat puas melihat makanan enak tersaji di meja.

Alisa akui, aroma masakannya memang tercium enak. Mungkin rasanya memang benar-benar enak.

"Iya, baru datang. Ngomong-ngomong di mana mas Yogas?" Alisa mengedarkan pandangannya mencari-carinya. Menerka-nerka apakah suaminya masih belum pulang dari kantor.

"Mas Yogas ada meeting dulu, baru pulang katanya nanti jam tujuh. Emangnya Mbak nggak dikasih tau?"

Alisa kembali melirik Naura yang menjawab pertanyaannya. Yogas memang tak memberitahukannya. Ia akui itu.

"Mas Yogas emang gak ngasih tau aku kok. Aku kira mas Yogas sudah pulang karena kamu ada di sini," timpal Alisa.

"Aku ke sini sengaja mau masakin Mama, tadi sebelum ke sini aku tanya Mama udah makan apa belum. Katanya belum ya udah aku belanja dulu karena kata Mama stok kulkas juga pada abis," selorohnya seakan Alisa tidak memperhatikan kebutuhan dapur.

Kenapa harus Naura, rumah mereka kan memiliki ART. Sudah terbiasa disiapkan semuanya oleh ART.

"Emangnya bi Sum kemana?"

"Bi Sum lagi nyetrika," jawab Naura.

Alisa mengepalkan tangannya, ia merasa geram karena semua Naura yang jawab.

Sepertinya Naura memang sudah paham dengan keadaan di rumah ini dan semua seluk beluk rumah. Bila Alisa perhatikan, perabotan yang Naura ambil sudah tahu letaknya di mana. Tanpa bertanya lebih dulu.

"Mbak, daripada terus berdiri di sana mendingan Mbak ikut duduk dan kita makan malam bersama. Mbak pasti lelah sudah bekerja seharian. Gimana kalau misalkan mulai sekarang untuk urusan rumah biar aku yang urus aja, Mbak?"

Alisa mengerjap tak percaya, apa sekarang Naura sedang berusaha merebut kuasa di rumahnya?

***

Jangan lupa berikan komentarnya ya...

Aku Ingin Balas Dendam

Hampir pukul 11 malam, Alisa mengendap keluar kamar.

Tujuannya adalah ke kamar bi Sum. ART yang sudah ia pekerjaan untuk membantu

pekerjaan rumah. Kebetulan kamar bi Sum masih terlihat terang, pertanda orang

di dalamnya belum tidur.

Alisa mengetuk pintu kamar pelan-pelan, tak berapa lama nampaklah bi Sum membuka pintu.

“Non Alisa. Ada apa malam-malam, Non? Mau saya buatkan sesuatu?” tanya bi Sum, sambil membukakan pintu kamarnya lebar-lebar.

“Bukan, Bi.” Alisa lebih dulu menutup kamar bi Sum, agar tidak ada orang lain yang tahu dirinya hendak mengintrogasi ART mereka.

“Saya mau bicara sama Bibi,” sambung Alisa, membuat ART nya terheran-heran. Pasti bi

Sum berpikir kalau Alisa ingin membicarakan hal rahasia.

Alisa dan bi Sum duduk di pinggir ranjang saling berhadapan.

“Bi, coba katakan sama saya. Apa yang Bi Sum tau tentang Naura?”

Bi Sum nampak terkejut mendapatkan pertanyaan prihal kekasih suaminya Alisa, sekilas bi Sum nampak bingung, matanya melirik ke sana ke mari.

“Bibi gak usah takut, rahasia Bibi aman sama saya.” Alisa serius bertekad ingin membuka tanya dalam hatinya sejak melihat Naura tadi

sore.

“Anu, Non. Saya bingung harus bilang apa, saya takut salah bicara.” Perempuan berusia sekitar 45 tahunan itu sesekali membetulkan jilbab

instannya.

“Semua Bi, semua yang Bibi tau. Apa sudah lama mas Yogas berpacaran dengan Naura? Apa mama mertua saya juga sudah tau sejak awal?”

“Jujur aja, Bi. Katakan yang Bibi tau, daripada hidup Bibi merasa bersalah sama saya jika ternyata suami saya sudah lama berhubungan

dengan Naura.”

“Anu, Non. Maaf sebelumnya, saya tidak berniat ikut campur. Sebelumnya den Yogas wanti-wanti saya supaya jangan bilang sama Non Alisa. Ibu juga ancam saya katanya Nona jangan sampai tau kalau sebenarnya den Yogas dan non Naura sudah cukup lama berhubungan. Bahkan bukan sekali dua kali non Naura datang ke sini, sejak awal hubungan juga sering datang. Itupun Non Alisa sedang

di kantor.”

Tanpa ART nya tahu, Alisa mengepalkan tangannya kesal. Nyatanya suami yang begitu sangat ia cintai sudah lama bermain api.

“Lalu apalagi yang Bibi dengar?”

“Eeem, maaf Non sebelumnya. Non Naura pernah bilang dan saya dengar karena di sana hanya ada ibu dan den Yogas, katanya penampilan Non yang dijadikan topik pembicaraan mereka. Bahkan ibu ikut-ikutan komentarin penampilan Non yang kolot.”

Alisa hampir tak percaya, pengakuan ARTnya sedikit demi sedikit mulai membuka rasa penasarannya pada sosok perempuan yang bernama Naura. Di balik sikap tenang dan santainya, ternyata Alisa tidak bisa

meremehkan keberadaan Naura.

‘Pantas saja perempuan itu seolah sudah lama mengenal rumah ini, ternyata.’ Alisa memejamkan matanya beberapa saat, sebelum ia berterima kasih pada bi Sum dan kembali lagi ke kamarnya.

***

“Din, please.” Alisa terus membuntuti kemanapun Medina pergi seraya membawa majalah fashion dengan sampul seorang model internasional.

“Lupakan rencanamu, Alisa. Sorry, aku gak bisa bantu kamu.” Medina mengatupkan kedua tangannya sebatas dada. Terkesan jahat, tapi

sebenarnya Medina tidak ingin Alisa terjebak masalah baru nantinya.

“Aku ingin balas dendam, Din.”

Pernyataan Alisa berhasil membuat Medina kembali memutar tubuhnya, menatap sesosok perempuan yang berpakaian serba hitam itu untuk mendekat.

“Kenapa kamu ingin melakukannya?”

“Yogas ternyata sudah lama pacaran dengan selingkuhannya, bahkan ibu mertuaku sudah tau sejak awal. Aku ingin membuatnya menyesal!” Nada suaranya penuh penekanan.

Medina lama terdiam sambil menatap lekat Alisa, perempuan yang mengenakan celana bahan itu menunjukkan ekspresi memelas.

“Oke, dengan satu syarat.” Medina mengacungkan satu jarinya ke hadapan Alisa.

“Apapun syaratnya akan aku lakukan,” jawabnya cepat.

Medina tak tahan melihat air mata Alisa yang hampir luruh, sudah terlalu sering Medina melihat sahabatnya itu menangis sejak tahu Yogas berselingkuh. Dan sekarang, wajah perempuan yang tak pernah ber make up itu sudah siap dengan air mata yang hampir saja meledak.

“Syaratnya, setelah kamu berhasil mengubah penampilanmu. Jangan pernah kamu berencana menarik perhatian Yogas lagi.”

“Oke, aku setuju.” Tanpa pikir panjang, Alisa menyetujui syarat yang diajukan sahabatnya tersebut. Ia tak banyak berpikir, yang

terpenting sekarang bagaimana caranya ia berhasil merubah penampilan cupunya supaya

jadi cantik dan menarik.

“Oke, kita ke salon langgananku. Dia profesional make up artis, jam lima teng aku tunggu kamu di bawah!” ucap Medina, sambil menunjuk arloji yang dipakainya.

Meski hujan deras melanda, tak menyurutkan keinginan Alisa serta rencananya untuk pergi ke salon. Dilihatnya mobil Medina sudah menunggunya.

Alisa memutuskan pergi bersama Medina dan meninggalkan mobil sedannya di basement kantor.

Hujan belum surut air, Alisa tak sabaran ingin segera sampai di salon rekomendasi sang sahabat. Sekarang, yang berada di otaknya hanyalah menjadi cantik dan menjadi pusat perhatian.

Rasanya, sudah terlalu lelah Alisa memperhatikan perempuan cantik dengan penampilan yang membuatnya iri. Sebagai sesama perempuan ia juga ingin ada orang yang memanggilnya cantik. Selama ini hanya Medinalah yang sering memanggilnya dengan sebutan seperti itu, cantik.

Sebuah salon dengan tempat khasnya sudah terlihat di depan mata. Medina memarkirkan mobilnya sedikit mepet ke depan, supaya ia dan Alisa bisa keluar tanpa terkena air hujan.

Tulisan 'OPEN' terlihat menggantung di pintu, Medina menghela Alisa masuk.

Seorang pria 'cantik' menatap kedatangan keduanya dan menyambutnya dengan senyuman lebar. Pria itu menghampiri Medina dan mendaratkan ciuman di pipi kanan-kiri Medina.

"Din, tumben dateng hari kerja. Biasanya kan weekend , lo dateng ke sini. Eh sapose ini?" Pria itu memindai Alisa, semua yang dikenakan Alisa.

"Lagi ada misi ni, Mi. Oh iya, ini Alisa. Lis, ini Mimi Perih, orang yang akan memake over kamu. Mi, aku serahin sahabat aku sama kamu ya, jangan dirubah total. Jadiin aslinya dia aja," tukas Medina sambil menyerahkan Alisa ke hadapan Mimi Peri, pria pemilik salon langganan Medina.

"Waw, yakin ini? Apa sekalian fashionnya juga gue yang urus, Din?" Bagi Mimi Peri, Alisa merupakan sebuah tantangan besar dan harus ia taklukan.

Alisa tersenyum tipis pada Mimi, kemudian mengulurkan tangannya pada pria 'cantik' tersebut.

"Kenalin, Alisa," ucap Alisa.

"Haii Darling, kenalin juga. Namaku Arifin, nama samarannya Mimi Perih. Karena aku ini sering dianggap sebagai penolong bagi mereka yang ingin tampil cantik," jawabnya asal, sambil menutup mulutnya.

"Ngarang. Udah, cepetan kerjain!" titah Medina mendorong Alisa duduk di kursi, menghadap cermin besar yang dihiasi lampu-lampu.

Cukup lama Mimi memandang wajah Alisa, harus seperti apa model yang cocok untuk menjadikan Alisa sebagai pusat perhatian nanti.

Medina memang benar, Alisa adalah kliennya dalam artian seseorang yang akan ia rombak besar-besaran.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!