Tut …tut …tut ...jreg ...jreg …jreg bunyi kereta api melaju.
Rambut pirang nan ikal itu berterbangan. Perempuan itu, mengejar kereta api yang meninggalkannya.
“Hey Masinis gila, tunggu!” ujarnya sambil terus berlari.
Seorang lelaki yang berdiri di bagian pintu kereta. Dia melihat perempuan yang berlari mengejar kereta api. Lantas ia pun mengeluarkan kepalanya. Tepat di bagian pintu kereta, seraya berkata. “ Wahai … perempuan! Lemparkan tasmu!”
Nampaknya perempuan yang berlari itu berpikir. Sebenarnya apa yang diucapkan lelaki itu.
“Aku rasa dia tidak paham!” Lelaki itu bergumam pelan.
“AYO! Apa kau mau berlari terus?” Tangannya seolah sudah siap, menerima lemparan tas milik perempuan itu.
Tanpa pikir panjang, perempuan itupun melemparkan tasnya. Menuruti perintah yang lelaki itu inginkan.
BUG! ...Lelaki itu mundur, karena tas yang ia tangkap sangat berat.
“Tas isi apa ini? Tidak mungkin berisi batu bata!” gumamnya pelan, seraya menjatuhkan tas.
“CEPAT! Pegang tanganku!” perintah lelaki itu, sambil mengeluarkan tangannya. Agar perempuan yang berlari itu, bisa menaiki kereta yang berjalan sedikit pelan.
Perempuan itu, terus berlari mengejar kereta dan tangannya mencoba untuk meraih tangan lelaki itu.
Dengan tetesan keringat di dahi. Perempuan itu, tetap kekeh agar bisa meraih tangan lelaki itu.
SETSSS! Tangan mereka saling menggenggam. Lelaki itu mecoba menarik tangan perempuan berambut pirang. Sedangkan perempuan itu, mencoba meloncat kan kakinya, agar naik besi kereta.
SET! BUG! Punggung lelaki itu terpentok pintu kereta. Karena perempuan yang ia tolong mendorongnya. Lelaki itu meringis menahan sakit bagian belakang dan depan. Karena kepala perempuan itu, juga menatap dadanya.
“Harjunotttttt! Bangunnnnnnn!” teriakan dari luar pintu kamar, membuat Harjunot bangun.
“ iya, Agh!” jawabnya dari dalam kamar.
Harjunot mengacak rambutnya dengan kedua tangannya. Seraya berjalan kearah kamar mandi.
Setelah selesai mandi Harjunot keluar sambil mengeringkan rambutnya.
“Kenapa mimpi hari ini aneh sekali?”
“Bahkan sudah beberapa tahun, aku tidak pernah jatuh cinta. Dia lebih memilih pria lain! Yang umurnya jauh diatasnya”
Harjunot bicara menatap pantulan wajahnya di cermin. Dahinya berkerut nampak mengingat sesuatu.
“Tunggu, kenapa wajah perempuan yang ada dalam mimpiku persis seperti atasanku?”
“Ah …ini hanya mimpi!” Setelah itu Harjunot keluar kamarnya.
“Not! Kebiasaan bangun, selalu dibangunin adikmu. Cari istri sana!” Ibu berbicara tatkala ia mau menghempaskan bokongnya dikursi.
“Bu, aku berangkat dulu. Aku ada janji bertemu atasanku hari ini.” Harjunot memutuskan tidak sarapan karena ocehan sang Ibu. Enggak ada bedanya sama burung tetangga yang berkicau di pagi hari.
“Ah …alasan! Kau hanya menghindari pertanyaan dari Ibumu ini kan? Ingat Not, umur sudah tiga tiga! Apa kau mau membujang selamanya?”
Harjunot hanya diam, tidak ingin membalas ucapan Ibunya. Sedangkan Bapak, hannya menggeleng karena ulah istri dan anaknya.
“Ibuk, anaknya jarang pulang ke rumah, loh ya. Sekali pulang ditanya seperti itu. Mbok yao di kasih perhatian toh. Ojo takok ngeniku kui Buk! Masalah jodoh kui, wes ono Seng Ngatur!”
“Tan! Mau sekolah? Ayo sekalian sama Mas!”
Tantiyana hanya mengangguk, dan segera minum susu.
“Awas ya Not, setahun belum nikah. Ibu jodohkan sama anak tetangga!”
“Mana mungkin anak tetangga tidur di kamarku saat kedinginan!”
“ Bukanya itu selimut tetangga ya Mbak? Kelamaan singel jadi gesrek!” cibir Tantiyana, sambil berjalan meninggalkan ruang makan.
... ***...
Mobil itu segera melaju ke sekolah Tantiyana. Hampir lima belas menit, mobil itu sudah berhenti didepan gerbang sekolah favorit.
"Tan! Sudah tahu belum, kalau ...Kakaknya! Kaka! Akan mengajar disini!"
Tantiyana mengangkat kedua bahunya acuh, gadis itu tidak terlalu suka bicara.
Setelah ada didalam kelas, Tantiyana segera duduk di bangkunya. Dan meletakan bukunya di atas meja.
"Kenanga, kapan Guru baru akan ngajar?" tanya temen sekelasnya yang tadi juga bertanya kepada Tantiyana.
Kenanga yang duduk di samping Tantiyana, itu pun menengok kearah Melly.
"Kenapa kau bertanya padaku?"
"Ya! Kan kamu anaknya Kepala Sekolah!"
"Aku tidak tahu, tanya saja pada Kafka!"
Pemuda yang baru diomongin masuk kelas, dengan gaya khas anak muda.
"Ka, kapan Kakak lu ngajar?" tanya Melly.
Sedangkan Kafka hanya diam, sambil melewati Melly. Pemuda tanggung itu duduk di bangku paling pojok.
"Ka, yang tanya itu gebetan lu loh. Masa lu enggak kasih tau!"ujar Melly kesal, karena teman sekelasnya sangat irit bicara.
“Siapa? Tua'an juga lu!” Kafka memainkan bolpoin.
“ Tantiyana!” Melly membuat Tatiyana terkejut.
“Kenapa aku? Heh Mel, jangan fitnah. Jika kau tidak mau difitnah.” Tantiyana bicara dengan wajah sebal.
“Carvil, kalau bicara enggak usah di masukin hati Tan, kayak lu enggak tahu saja.” Kafka tersenyum miring.
“Carvil, siapa maksud lu?” Melly menatap tajam Kafka.
“Nama lu siapa?” Mata Kafka melirik, sedangkan bibirnya tersungging.
“Melly!”
“Karena gua baik, jadi gua ingin angkat derajat lu. Melly kan Cuma sepuluh ribu, kalau carvil kan paling murah lima puluh ribu.”
“Anjaa lu Ka, lu kira gua sendal?”
Tantiyanna dan Kenanga menahan tawa, karena pemikiran Kafka.
“Lu enggak bersyukur, dari pada gua panggil lu Melly Gus Slow!”
“Bukannya itu lebih bagus Ka?” celetuk pelajar yang baru masuk.
“Kata siapa? Orang kepanjangannya melly bagusan suwalow.”
Tantiyana dan Kenanga hanya menggeleng. Jika pemuda tanggung itu sudah menghina pasti parah.
“Berasa murah banget masa suwalow, anjaa lu Ka!” Melly seperti orang yang menahan marah.
... ***...
Beralih perusahaan di bidang kontraktor. Harjunot keluar dari mobilnya kemudian berjalan kearah pintu utama perusahaan.
“Siang, Mas Arjunot!” sapa Satpam penjaga pintu.
“Siang!” Harjunot mengangguk, kemudian masuk kedalam perusahaan itu.
Saat melewati Resepsionis Harjunot berbicara. “Pak Dirut, ada kan?”
“Ada Mas, baru masuk!” jawab Resepsionis itu.
Harjunot yang sudah mendapat jawaban, dia langsung keruangan Dirut.
Tok ... Tok …
“Masuk!” jawab dari dalam ruangan.
Harjunot pun masuk dan menutup pintu itu kembali.
“Duduklah! Not!” ujar paruh baya kemeja hitam. Sambil melerai tangannya yang dijabat oleh Harjunot.
Harjunot hanya duduk, tidak mengeluarkan suara. Lelaki itu, tidak akan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Kalau enggak ditanya, atau dirinya yang membutuhkan sebuah jawaban.
Sedangkan paruh baya, yang ada di depannya juga hampir sama. Sepertinya mereka butuh pihak ketiga. Agar ada pembicaraan dari kedua orang itu.
Pintu terbuka, memunculkan sosok pria tinggi dan bertubuh kekar. Mungkin usianya selisih tiga belas tahun dengan Harjunot.
“Bang, katanya buatan Singapure mau pulang?” tanyanya, sambil menutup pintu itu. Kemudian berjalan kearah meja kerja Direktur.
“Eh …Arjunot, kapan datang Not?” tanyanya yang baru sadar, jika Harjunot ada di sana.
“Baru lima belas menit!” jawabnya singkat.
“Aku rasa, aku telat datang! Aku tahu mereka belum berbicara, dasar sama. Kenapa enggak jadi mantu sama mertua cocok!” gumamnya pelan.
“Apa yang kau katakan?” tanya paruh baya itu.
“Menantu!”
“Maksudnya?” tanya Dirut itu.
“Arjunot!” Harjunot yang mendengar namanya dipanggil, ia mengerutkan dahi.
“Ada apa dengan Arjunot?” tanya paruh baya itu, sambil mengerutkan dahi bingung. Sama seperti Harjunot.
“Bang, jadikan si Harjunot sebagai menantu!”
...Harap Maklum Jika Banyak Typo! Terima kasih berkenan mampir. Dan saya mau minta maaf! Jikalau suatu saat nanti ceritanya tidak seperti yang kalian kira. Bertele-tele atau bahkan membingungkan pembaca. Masih belajar nulis soalnya!...
... Mencari Tokoh Utama Perempuan...
...Hayo Siapa Kira-kira?...
Lelaki itu memasuki lift, sebelum lift benar-benar tertutup. Harjunot melihat perempuan berambut pirang itu berlari.
"Tunggu, aku buru-buru." Hal itu membuat Harjunot mengeluarkan tangannya, agar perempuan itu bisa masuk lift.
Ting! Lift terbuka kembali. Perempuan itu segera masuk kedalam lift. Lift tertutup, tidak ada orang lain selain mereka berdua.
Harjunot menghela napas panjang, karena gaya pakaian perempuan yang berdiri disampingnya. Enggak ada bedanya sama anaknya Tuan Crepp di animasi Sepongbob.
"Heh, kenapa dia membuka kemejanya?" gumam perempuan itu, yang melihat Harjunot melepas kancing kemejanya.
Perempuan itu, mundur di bagian pojok. Karena Harjunot mendekat kearahnya. Sedangkan Harjunot yang berdiri di depan perempuan itu, dia memejamkan matanya. Sambil bergumam pelan. "Allahumma inni audzubika min finati nisaa. (Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari fitnah wanita)" Matanya memang terpejam, tapi tangannya mengikat kemejanya di bagian pinggang perempuan itu.
Sedangkan perempuan itu, tidak suka dengan kelakuan yang Harjunot lakukan. Lantas perempuan itu, mendorong tubuh Harjunot agar menjauh.
"Kurang ajar sekali, kau merendahkan ku? Tidak kenal, main ngikat kemeja ditubuh orang." Perempuan itu bicara, sambil melepaskan kemeja yang ada di pinggangnya. Dan membuangnya kasar.
"Aku memang tidak mengenal mu, tapi aku sangat mengenal Ayahmu!" Harjunot bicara dengan kesal.
"Aku yakin, Ayahmu juga tidak suka. Jika anaknya berpakaian bikini better!"
"Hey, matamu enggak katarak kan? Bikini dari mana, orang aku pakai kaus sebatas lengan juga. Dan rok ini, hampir menutupi lutut ku. Jangan munafik kau, bukannya lelaki suka dengan yang terbuka?" Perempuan itu tersenyum merendahkan.
"Apa kau menyamakan ku dengan lelaki hidung belang?" tanyanya, menatap sinis kepada wanita itu. Harjunot mendekat kearah perempuan itu. Sedangkan perempuan itu, ingin mundur tapi sudah mentok bagian pojok lift.
"Bagaimana jika aku melakukan, seperti yang kau pikirkan? Mumpung hanya berdua!" Harjunot menyunggingkan senyuman devil. Membuat perempuan itu, merosot ketakutan.
"Jangan macam-macam kau, aku bisa teriak!" Ancam perempuan itu, sambil menunjuk kearah Harjunot.
"Teriak saja, tidak akan ada yang dengar. Bahkan aku bisa menghubungi teknisi untuk menghentikan lift ini. Agar kita bisa berduaan dalam lift," ujarnya, sambil memalingkan wajahnya dari perempuan itu.
"Dasar lelaki gila! Aku tidak suka denganmu!"
"Sama, aku juga, tidak suka dengan perempuan bikini!"
"Hih, ku doakan kau tidak punya pasangan!"
"Terserah! Pakai kemejanya, kemudian keluarlah!"
"Enggak mau, kemejanya punya lelaki gila. Nanti jadi ketularan gila lagi, ogah!" ujarnya, sambil mau keluar dari lift.
Tapi langkahnya berhenti, tatkala ada suara sindiran dari belakang. "Terserah! Jika kau mau menjadi mangsa lelaki hidung belang
Di kantor ini banyak lelaki seperti itu. Aku tidak rugi, jika kau tidak memakainya!" Harjunot berbicara. Sambil melangkahkan kakinya keluar dari lift. Dan membuang kemejanya ke lantai depan lift.
Sedangkan perempuan itu menghentakkan kakinya, karena ucapan Harjunot. Perempuan itu, megambil kemeja yang tergeletak dilantai. Kemudian menatap punggung Harjunot yang tidak jauh darinya. Ia tersenyum simpul, merencanakan sesuatu.
BUGGGG! Perempuan itu melempar sepatunya hingga mengenai kepala Harjunot.
"Awwwww!"
"MAS HARJUNOT BANGUN!" Suara seorang dari di luaran kamar.
"Iya!" sahut Harjunot, dari dalam kamar.
"Kenapa aku mimpi perempuan itu lagi?"
"Tuh kan mimpi dilempar sepatu. Jadi terjatuh dari ranjang. Ditambah suara Titin, yang keras!" ujarnya, sambil mengorek telinganya.
Harjunot bangkit dan berjalan kearah kamar mandi.
... ***...
Setelah mandi, Herjunot memutuskan untuk ke tempat kerjanya. Untuk melihat para tukang bangunan. Karena dia adalah seorang Mandor. Tugasnya memimpin para anak buah agar proyek selesai. Sesuai target yang sudah ditetapkan. Berdasarkan jadwal dan rencana kerja, Mandor akan memberikan arahan dan instruksi kepada para pekerja.
"Siang Mas Mandor!" sapa anak buahnya.
"Siang juga! Seminggu lagi kita pindah di Jakarta, buat bangun gedung sekolah!" ujarnya, sambil menaruh kedua tangganya ke belakang.
"Siap Mas!"
"Setengah tahun harus selesai, karena mungkin kita akan pindah lagi ke Aceh!" Herjunot menatap gedung itu.
"Siap Mas Mandor!"
Wanita itu tersenyum, menatap wajah Harjunot dari arah barat.
"Mas Harjunot! Mau dibuatkan kopi?" tanya Titin, orang yang selalu ikut kemana Herjunot dan anak buahnya melaksanakan proyektor.
Titin adalah seorang koki yang bertugas penuh bagian konsumsi makanan untuk Mandor dan para tukang.
"Tidak, terima kasih!"
"Mbak Titin sama Mas Arjunot cocok loh jadi pasangan," goda anak buah Harjunot.
Titin yang mendengar hal itu tersenyum malu. Sedangkan Harjunot, tidak menanggapi godaan anak buahnya itu.
“Iya, Mas! Kalau. Mas Mandor nikah sama Mbak Titin enak loh. Kerjanya barengan terus, kan enggak perlu LDR. Jadi enggak menahan rindu kayak kita ini. Kangen anak bojo, ketemu mok sak wulan pisan.”
“Pak Agus, iki curhat toh?” Temannya terkekeh.
“La wong saya omong ngasih nasehat, Mas Mandor! Biar nasibnya enggak seperti saya.” Pak Agus terkekeh karena ucapannya.
Harjunot hanya mendengar, sambil menggaruk pelipisnya dengan telunjuk.
“Sudah-sudah, ayo kerja! Semangat, masalah masa depan saya. Sudah ada Yang Ngatur!” pungkas Harjunot, sambil meninggalkan kan anak buahnya.
“Siap, Mas!”
Harjunot sudah ada didalam gedung, yang hampir sembilan puluh sembilan persen jadi. Lelaki itu memasuki setiap ruangan gedung itu. Harjunot mengangguk-anggukan kepalanya, karena puas dengan hasilnya. Lelaki itu berdiri di bagian atas gedung. Mengambil napas dalam, sambil menutup mata. Kemudian membuangnya secara perlahan. Bayangan perempuan berambut ikal, membuat kepalanya menggeleng cepat.
“Perempuan itu lagi!” Harjunot mengacak rambutnya frustasi.
“Ada apa denganku? Kenapa selalu mimpi perempuan itu? Bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya! Lantas mengapa dia selalu datang dalam mimpiku?” Harjunot dibuat resah oleh mimpinya.
“Aku akan menemui Dirut, setelah pulang ke Jakarta. Dan aku akan bertanya tentang perempuan yang selalu ada dalam mimpiku. Kenapa wajahnya sama dengan Pak Dirut!” Harjunot bicara, sambil menuruni tangga.
“Masalah GM, yang menyuruh Pak Dirut! Menjadikan ku menantu. Membuat aku yakin, jika Pak Dirut, mempunyai anak perempuan.”
... ***...
Harjunot sudah kembali ke bawah, jam menunjukkan pukul sebelas. Membuat Harjunot harus memberi informasi agar anak buahnya segera istirahat.
“AYO SIAP-SIAP SHOLAT! SETELAH ITU KITA MAKAN!” teriak Harjunot, kepada anak buahnya yang masih berkerja.
Dibawah naungan Harjunot sangat santai. Karena lelaki itu, akan mengurangi jam kerja hanya agar anak buahnya bisa sholat tepat waktu. Kebiasaan para pekerja akan istirahat jam dua belas tepat. Tapi berbeda dengan Harjunot, yang memberikan waktu tiga puluh menit, sebelum adzan berkumandang. Karena anak buahnya perlu membersihkan badan.
“Mas Harjunot, nanti ini mau makan apa?” Titin berdiri di samping Harjunot.
Harjunot menatap Titin, sekilas kemudian memalingkan wajahnya.
“Samakan seperti mereka semua!” Setelah berucap seperti itu, Harjunot meninggalkan Titin.
“Pepet terus, Mbak! Mas Arjunot nya, mumpung masih bujang!” goda Pak Agus, setelah kepergian Harjunot.
Sedangkan Titin tersenyum malu, sepertinya Titin menyimpan perasaan dengan atasannya itu.
... ***...
Rambut pirang nan ikal itu berterbangan, karena angin yang sedikit kencang.
“Abang, ini kemana? Aku sudah menunggu lima belas menit yang lalu. Tapi dia tak juga datang!” Perempuan yang memakai mantel musim dingin itu, menggerutu kesal.
Perempuan itu baru keluar dari Bandara, sepertinya dia baru datang dari luar negeri. Jika dilihat dari gaya pakaiannya. Ia pun menyeret kopernya dan duduk di bawah pohon, sambil menunggu jemputan.
“Aku akan menelponnya.” Perempuan itu berbicara, sambil mengambil ponselnya disaku mantelnya.
“Abang! Aku sudah sampai di Jakarta, kenapa tak juga jemput?” Perempuan itu protes, karena Abangnya tak menepati janji.
“Baiklah, aku tunggu! Jangan lama-lama!” Ia pun mematikan ponselnya.
“Negara ini sudah sangat maju, awal kesini saat usia satu tahun. Terakhir ke sini umur lima tahun, saat almarhum Mbah Buyut meninggal. Aku sangat kangen dengan keluargaku. Papa main pindah-pindah saja, dikira pindah kontrakan apa?”
“Ayi!” Perempuan yang duduk di bawah pohon itu tersenyum. Saat melihat Abangnya datang.
“Abang!” Perempuan yang dipanggil Ayi itupun langsung menghamburkan tubuhnya kearah Abangnya.
“Abang, tahu tidak? Ayi nunggu Abang, sampai jamuran.” Abangnya terkekeh, karena adiknya protes.
“Sudah peluknya, nanti lagi. Sekarang kita pulang, takutnya jamuran nya tambah banyak.” Abang mengelus kepala adiknya itu.
Kedua orang itu, sudah ada di mobil, sepertinya mobil itu siap melaju.
“Panas sekali.” Perempuan itu melepaskan syalnya, dilanjut mencopot mantel hitam.
Sedangkan Abang hanya menahan senyuman, karena adiknya.
“Ayi! Ini itu di Indonesia bukan Rusia, jadi enggak ada hujan salju. Kau salah Dek, jika pakai mantel kebesaran negara beruang putih itu!” Pria itu menggeleng pelan.
“Iya-iya Ayi tahu, inikan dalam bentuk memberitahu seseorang bahwasanya aku ini baru dari luar negeri!" Dia tertawa kecil karena bicaranya seperti orang konyol.
“Aku tahu! Aku pikir kau akan ke Singapura dulu, sebelum ke Jakarta!”
“Aku sangat lelah, besok aku sudah harus ngajar. Mungkin, Abang mau ke sana? Kalau benar, Ayi minta tolong buat sekalian ambilin baju Ayi!” Perempuan itu bicara, sambil minum air dari botol.
“Tenang saja, besok aku dan Kak Vi, akan ke sana. Untuk mengurus bisnis!”
“Balik kapan? Ini aku baru datang dari Rusia loh, masa iya Abang sama istri mau pergi!”
“Cuma dua hari, setelah itu segera balik. Lengkap dah keluarga kita! Tinggal kamu kapan nikah? Sudah punya pacar?” Abang tertawa melirik adiknya.
Yang ditanya mengerucutkan bibirnya. Karena pertanyaan yang Abangnya lontarkan.
“Nonik-nonik Rusia cantik-cantik nan elok dipandang. Jadi tidak ada lelaki Rusia yang mau aku pacari. Palingan kalau mau, cuma tinggal seatap tapi kagak di kawinin. Cuma buat koleksi sepertinya.” Perempuan itu menggeleng, dengan gaya hidupnya orang Rusia.
“Sepertinya ucapannya harus dikoreksi Dek! Kalau dikawinni iya, untuk dinikahi? Masih tanda tanya, besar!”
“I think so, aku di sana seperti tahanan! Aku hanya akan keluar dari apartemen, jika kuliaah atau membeli makan. Setiap harinya, aku harus menghabiskan waktu di apartemen sendirian. Hanya belajar-belajar dan belajar. Kalau jenuh palingan belajar masak, rebahan sama nonton anime. Sangat menyedihkan, sudah gitu jauh dari keluarga.”
“Itu kan kemauan kamu, kuliah di sana. Coba dulu ngikut apa kata orang tua, pasti enggak kayak tahanan! Seperti yang kamu bilang. Keras kepala sih, nyesel kan? Masa kuliah, harusnya banyak teman. Adek malah enggak ada bedanya sama tahanan.”
"Papa! Dulu sudah mau masukin kamu di Al Azhar University! Kan enak di Kairo, gaya hidupnya ketimur-timuran. Seperti negara Indonesia. Banyak orang Indo, kuliah di sana. Paling banyak ambil jurusan sastra Arab!" tukasnya kembali, mengingatkan sang adik tiga tahun silam.
"Ya elah, waktu itu iman masih Jahiliyah, jadi ya kan Ayi, kilap."
"Emang sekarang sudah enggak Jahiliyah?"
"Kadang-kadang masih sih, tapi enggak se—jahiliyah dulu." Perempuan itu menggaruk rambutnya, seperti orang salah tingkah.
Abang hanya mengangguk pelan. "Tapi kalau sifat jahilnya masih enggak?"
"Tergantung, kalau ada yang dijailin. Pasti sifat jahilnya keluar. Nah kalau enggak ada? Ya ilang, sifat jahil menjahilnya!"
... ***...
Mobil itu memasuki rumah elit kawasan Jaksel. Kakak-adik itu pun turun dari mobil. Sedangkan perempuan itu, nampaknya tak sabar bertemu dengan keluarganya. Perempuan itu berlari, meninggalkan Abangnya yang mengeluarkan koper.
“Papa! Bunda! Ayi pulang!” teriaknya sambil masuk rumah.
Wanita paruh baya itu, menggeleng karena mendengar teriakan anaknya.
“Iya, Ayi! Wa'alaikumussalam!” Sebuah sindiran dari sang Bunda, karena sang putri lupa mengucap salam.
Perempuan itu, menggigit bibir bawahnya. Karena malu, ternyata gaya kebarat-baratan sudah melekat bahkan mendarah daging.
“MIS Ayi, sudah pulang ternyata!” Sahut seseorang dari dalam dapur.
“Bibik, jangan panggil aku MIS! I know, aku buatan Singapura. Tapi, aku ini orang bukan barang elektronik yang harus diberi gelar. Made in Singapura, juga kali!” Perempuan itu menggerutu sebal. Sedangkan Bunda dan Bibinya hanya terkekeh.
“Salah siapa kamu enggak mau dibuat di Indonesia. Malah harus nunggu bertahun-tahun, untuk membuatmu. Pindah ke negri singa, baru hitungan bulan, sudah jadi.” Bibik mencibir keponakan nya.
“Lah kok nyalahin Ayi, salahkan yang buat. Kenapa enggak made in Jepang saja. Aku lebih suka. Kalau buatan Singapura, semua bilang aku ini anak singa.”
“Ayi, sudah jangan debat dengan Bibik mu. Istirahatlah, kamu pasti lelah. Delapan belas jam lebih di pesawat!”
“Tidak-tidak, aku belum bertemu dengan Papa! Mana lelaki hebat itu? Aku kangen dengannya!” Anak kesayangan Papa, yang selalu menurut jika Papa bilang A dia juga ikut A. Semua yang ada dalam diri perempuan itu, mewarisi Papanya. Tinggi badan, parasnya, logat bicaranya sampai gaya jalannya juga sang Papa. Cuma sekali perempuan itu, enggak menuruti ucapan Papanya. Saat dia kekeh ingin kuliah Muskowa.
“Papa, masih kerja. Tidurlah, nanti sore dia akan pulang!” Bunda memberi tahu anak kesayangan Papa.
“Aku akan ke kantor Papa!” Perempuan itu berlari keluar rumah.
“Keras kepala!” Sebal Bunda, karena anak perempuannya.
“Abang, anterin aku ke kantor Papa!”
Abang yang mau menutup bagasi, menengok kearah adiknya.
Pria itu menghela napas panjang karena permintaan adiknya.
“Silakan, ini kuncinya!” ujarnya, seraya melemparkan kunci mobil kearah adiknya.
Perempuan itu, menangkap kunci mobil yang hampir mengenai wajahnya itu.
“Bilang saja enggak mau ngantar, pakai ngasih kunci segala. Buat apa ini kunci? Sudah tahu, aku tak diperbolehkan mengemudi!” gerutunya sambil mengerucutkan bibirnya.
Perempuan itu membalikkan badannya untuk masuk rumah.
“Adek, bukan cuma enggak boleh mengemudi. Ttapi Adek juga enggak bisa mengemudi!” cibir Abang dibelakang adiknya.
“Nanti, kalau udah menikah. Adek mau diajari nyetir sama suami.”
“Bahas suami, pacar aja kagak punya. Blusit! Kalau suaminya enggak kasih izin, Adek bisa apa?”
“Tuker tambah, mungkin?”
“Emang, suami Ayi barang? Made in Singapure!”
“Serahlah!”
... ***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!