NovelToon NovelToon

THE RULES

PROLOG

Sepasang suami istri sedang berjalan-jalan di sekitar perumahan terpencil dengan menggunakan mobil. Perumahan terpencil seperti pedesaan hantu.

Tampaknya sudah lama ditinggali. Mata mereka menyapu lingkungan dan menemukan sebuah rumah yang mewah dan megah.

Sang istri menepuk-nepuk pundak suaminya dan menunjuk rumah yang dimaksud. Suaminya mengangguk dan memarkirkan mobil di depan rumah.

Spanduk yang menggantung di pagar rumah menarik perhatian pasangan itu. Mereka menghubungi nomor yang tertera dan mengurus biayanya. Mereka membeli rumah mewah tersebut.

Tiga bulan berlalu. Sepasang insan tersebut dikaruniai anak. Namun, lingkungannya yang sangat sepi membuat mereka kesepian. Akan tetapi mereka harus menerima kenyataan tersebut.

Kemalangan menimpa mereka saat anak telah lahir. Suami dari wanita itu meninggal dunia karena serangan jantung mendadak.

Kesedihan menyelimuti ibu dan anak laki-laki tersebut. Semenjak kematian suaminya itu sang anak diabaikan, minimal memberi makan saja.

Beberapa tahun kemudian. Anak itu sudah bertubuh dewasa dan mencari pekerjaan di luar kota. Meski tidak sekolah, anak itu memiliki fisik yang kuat.

****

Di kota, pria itu mengambil pekerjaan sebagai kuli bangunan. Sudah seminggu lebih, dia hanya makan nasi bungkus. Dia bosan dengan hidupnya yang miskin. Rumah besarnya hanyalah sebuah bangunan tua, tapi tidak terisi dengan kekayaan.

Lalu suatu hari, pria tersebut menuju warung internet untuk mencari hiburan. Saat melihat-lihat, pikirannya mengarah ke ilmu hitam, bertepatan dengan artikel yang dia baca di internet.

"Coba cari yang lain, deh." Dia mengklik-klik mousenya dan menemukan nomor telepon yang tercantum di sebuah laman web.

Pria tersebut mengeluarkan ponselnya dan mengetik nomor tersebut agar tidak lupa. Kemudian dia mambayar biaya sewa dan pergi dari tempat itu.

"Telpon gak ya ... Lagi pula aku gak kenal." Pria tersebut masih menimang-nimang untuk menghubungi nomor itu. Pria tersebut menebak kalau itu adalah nomor dukun yang nyasar di laman web. Pria itu mengantungi ponselnya dan melanjutkan perjalanan.

****

Setelah dua hari, akhirnya dia berniat menghubungi nomor itu dan menunggu kedatangan pemilik nomor. Pemilik nomor itu meminta pria tersebut menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.

Malamnya pemilik itu datang dengan pakain serba hitam. Ia bertanya dengan sang Pria tentang keinginannya. Tentu saja pria itu menjawab kalau ia ingin menjadi kaya.

seseorang dengan jubah hitam itu mengangguk. Ternyata dia akan membantu dan caranya sangat mudah. Dia meminta agar pria itu memakai lilin saja sebagai penerangan.

****

Empat bulan kemudian. Kerena ritual itu pria tersebut, dia menjadi pengusaha dan memiliki tokoh buah dimana-mana. Dia juga memiliki istri yang cantik. "Aku sudah sukses, sudah kaya, dan sudah punya keluarga kecil yang bahagia. Tapi, apakah aku akan memilikinya selamanya?"

"Iya! Aku harus memilikinya. Karena ini hasil jerih payahku saat ritual," gumamnya.

Akhirnya dia melakukan ritual hitam kepada anak yang ada dikandungan sang istri sebagai percobaan.

"Semoga saja berhasil, karena aku juga ingin mencobanya dan bisa hidup abadi!" seru batin pria tersebut.

****

6 bulan kemudian, anak itu lahir. Anak laki-laki yang manis dan imut. Pria itu berpikir ingin mengajaknya ke rumah orang tuanya. Namun, saat anaknya berumur 10 tahun. Ada yang aneh dari anaknya, masih terlihat seperti anak umur 5 tahun.

"Sepertinya berhasil, nanti akan kucoba." Dia mengeluarkan sebuah gelang yang sudah diberi mantra dan mengikatnya pada tangan anak itu. Dia meminta anaknya untuk jangan melepas gelang itu untuk seumur hidup. Sang anak hanya menurut saja.

"Oh ya, bagaimana kalau kita ke rumah ibuku?" tawa pria itu pada sang istri.

"Baiklah. Kapan?"

"Malam ini?"

Wanita itu setuju dan mengangguk.

Mereka menuju desa terpencil dan membuat istri dari pria itu curiga karena perjalanan yang begitu lama dan juga lokasi yang sepi. "Kita mau kemana, sih?"

"Aku sudah bilang, ke rumah ibuku," jawab pria itu dan tetap fokus dengan jalanan.

Ketika sampai di rumah, mereka di sambut dengan hangat oleh sang penghuni. Lalu Si pria itu mendekat pada ibunya. "Bu, kita mau menginap beberapa hari."

Wanita tua itu menyetujui perkataan anaknya dengan mengangguk. "Oh, boleh."

Di tengah malam yang damai. Mereka sedang menonton televisi. Sang anak sedang menggambar dan menulis sesuatu di kamarnya. Sambil menulis itu, ia bergumam, "Kalau di rumah ini ada peraturan, pasti seru."

Disaat semua orang sedang kumpul dan menonton tv, tiba-tiba orang asing masuk dan menembaki semua orang dengan senjata api ke sembarang arah.

Enta darimana orang-orang itu. Tapi begitu mereka membunuh semua penghuni rumah yang dilihat, beberapa dari mereka mulai menyusuri tempat dan mencari benda berharga.

Sampai akhirnya salah satu dari mereka memasuki kamar dan melihat seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut langsung melarikan diri keluar rumah lewat jendela karena ketakutan dan meninggalkan keluarganya.

Setelah kejadian itu, kabarnya wilayah rumah itu menghilang dari pikiran warga setempat dan peta dunia, serta daerahnya tidak diketahui siapapun.

Episode 1

Pagi ini adalah hari di mana awal kehidupan baru manusia dimulai kembali. Semua orang pasti berharap dengan hari baru ini dapat lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Tepat di depan sekolah Dreamtion High School, sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbangnya. Lalu tak lama, seseorang turun dari mobil.

Orang itu bernama Azura. Lelaki tampan berambut coklat gelap dengan memakai seragam khas sekolahannya. Matanya berbeda dari yang lain. Ia memiliki mata yang berwarna merah terang.

Tak hanya ia seorang. Ada satu temannya lagi yang baru saja turun. Ia seorang lelaki tampan yang lebih tinggi dari Azura. Berambut coklat muda yang rapih ditambah dengan seragam dan jas sekolahnya jadi terlihat keren.

Nama lelaki itu adalah Leon yang merupakan teman dekatnya Azura. Mereka selalu berangkat ke sekolah bersama.

BLAM!

Leon yang terakhir keluar. Jadi ia kembali menutup pintu mobil, lalu berbalik badan dan berjalan masuk ke lingkungan sekolah bersama dengan Azura di sampingnya. Setelah mereka pergi, mobil yang mereka tumpangi tadi juga kembali berjalan menjauh dari sekolahan.

Begitu melewati pagar sekolah yang masih terbuka. Terlihat ada beberapa murid lain yang sedang berjalan, atau nongkrong di dekat pagar pun memperhatikan mereka berdua. Lalu ada dua orang perempuan yang berjalan melewati mereka. Jaraknya agak jauh sedikit.

Namun Azura memperhatikan kedua perempuan itu. Karena merasa diperhatikan, perempuan itu pun melirik ke Azura. Lalu dengan seketika, Azura menyipitkan mata dan tersenyum pada mereka. Tentu kedua gadis itu pun langsung tertawa malu, tapi sebenarnya mereka memang suka.

Setelah itu, Azura pun merapihkan poni rambutnya dan bergumam, "Aku keren juga, ya?" Lalu ia menghentikan langkah Leon dengan berdiri di hadapan lelaki yang lebih jangkung darinya. "Bing, nunduk dikit, dong. Kek tiang listrik banget. Mau ngaca bentar di bola mata lu!"

Leon hanya meliriknya sejenak, lalu menghindar dari Azura dan kembali berjalan. Azura pun mengejarnya dari belakang dan balik jalan santai di samping Leon. Sesekali menyapa beberapa murid.

"Eh, Kambing, mobil yang gw naiki tadi AC nya kurang gede. Gak enak, ah!" oceh Azura.

Leon itu lelaki pendiam yang jarang sekali bicara. Jadi saat Azura berkata seperti itu padanya, ia hanya melirik tajam ke temannya itu lalu menggerutu dalam hati, "Udah dikasih tumpangan, masih banyak komen. Dasar gak tau diri."

"Oh, hei!" Azura menghentikan langkah secara mendadak. Tangannya menarik tas Leon yang sudah berjalan di depannya. Otomatis, Leon juga ikut berhenti.

"...!?"

"Eh, Bing! Kau kenal dia, kan?" Azura menunjuk sesuatu. Leon pun melirik ke arah objek yang ditunjuk Azura tersebut.

Ternyata mereka melihat ada 4 orang lelaki tinggi yang merupakan senior mereka sedang berjalan bersama menuju ke belakang gedung sekolah. Tapi ada yang aneh.

Mereka berdua juga melihat seorang lelaki lainnya yang lebih pendek dari mereka-mereka itu. Lelaki pendek itu didorong paksa oleh keempat senior tersebut.

"Itu pasti si Derrel lagi." Azura bergumam, lalu ia berjalan melewati Leon untuk mengikuti keempat seniornya itu. Ternyata Leon juga mengikuti Azura dari belakang.

"Hei?! Kok cuma segini aja, sih?!" bentak salah satu dari senior tersebut kepada lelaki malang yang mereka bawa.

"A–aku sedang tidak punya lebih. Maaf." Lelaki malang itu terlihat ketakutan. Matanya mulai berkaca-kaca hendak ingin menangis. Tapi ia berusaha menahannya, kalau tidak keempat seniornya itu akan menghukumnya.

"Ah! Ini mah apaan!" Senior kedua merebut uang dari senior pertama, lalu melemparnya ke arah lelaki malang tersebut.

Lalu salah satu dari mereka, si senior ketiga memukul tembok di samping wajah lelaki malang itu dengan keras. Sampai lelaki tersebut terkejut dan semakin gemetar ketakutan.

"Hei! Kau kan orang kaya. Jangan pelit-pelit sama kami, dong!" ucap senior ketiga itu dengan nada tinggi dan menyeramkan. "Kemarin... kita kan udah bilang, hari ini kau harus bawa uang lebih dari ini, dong! Minta ke mamahmu gitu!"

"Tau ish! Orang kaya pelit amat."

"Tapi sepertinya kau anak yang paling dikucilkan dari keluarga, ya?"

"Haha... kasihan. Padahal punya dua kakak, tapi tidak ada dari mereka yang ingin bermain denganmu."

"Apa jangan-jangan kekayaan orang tuanya hasil minjem uang orang lain?"

"Ahahaha... Ngakak. Kalau hasil minjem, jangan sok deh sekolah di sini!"

"Haha... kasihan banget bocah ini, parah!"

Lelaki itu tidak suka jika orang lain membicarakan hal buruk tentang keluarganya. Karena yang mereka bicarakan itu tidak benar.

"Ti–tidak! Kalian salah!" Karena sudah tak kuat mendengarnya, lelaki itu pun membentak mereka yang terus menerus mengolok-oloknya. "Orang tuaku bekerja keras untuk kami! Kakak-kakakku sangat baik hati padaku!

"Kalian jangan suka mengejek keluargaku. Itu tidak baik, tau!!"

BUAK!

Kesabaran lelaki itu telah habis. Ia memukul senior ketiga yang ada di hadapannya itu. Hanya dengan sekali pukulannya, seketika senior tersebut langsung terjatuh ke belakang.

Setelah itu, lelaki itu tersentak kaget. Wajahnya kembali menjadi seperti seorang penakut. Sebenarnya ia tidak ada niat untuk memukul seniornya. Tangannya bergerak sendiri tadi.

"Sialan kau!" Senior keempat menarik kerah baju lelaki itu. "Berani main pukul saat kami sedang diam, ya?! Dasar pengecut!!"

"Kau juga sudah berani memukul, ya? Jagoan mana kau?"

Senior keempat itu mengangkat lelaki tersebut sedikit lebih tinggi dan tangan yang satunya ingin memukul perutnya. Dengan cepat lelaki malang itu langsung menutup mata untuk menahan rasa sakit yang akan ia terima.

Namun sebelum itu ....

TUK!

"Aduh, maaf! Ahahaha... aku tidak sengaja. Tiba-tiba saja permen karet itu terlepas dari tanganku!"

Semua orang mendongak ke atas dan terkejut. Senior keempat melepaskan lelaki malang itu sampai jatuh terduduk di tanah. Lelaki itu juga kembali mendongak dan tersenyum senang. Karena bantuan telah datang!

"Hei! Berani-beraninya kau! Awas, ya!" Senior keempat itu menarik permen karet dari atas kepalanya, lalu membantingnya ke tanah. Ia terus mengomel pada seorang anak lainnya yang merupakan kakak dari si lelaki malang tadi.

Lelaki itu berada di lantai dua. Ia melempar permen karet tersebut lewat jendela.

Seorang lelaki yang sama imutnya dengan lelaki malang di bawah sana. Berambut sedikit agak coklat dan berantakan. Dia bernama Dennis. Kalau adiknya yang ada di bawah sana adalah Derrel.

"Awas mau ngapain? Perasaan aku aman-aman saja tuh di sini!" Dennis berteriak dari atas sana. Nada bicaranya sedikit meledek.

"Akan ku buat kau menangis!"

"Oh? Kakak-kakak kok suka banget bikin orang nangis, ya? Memangnya kenapa, sih?" Dengan santainya, Dennis menopang pipi dengan kedua tangannya di pinggiran jendela. Dengan matanya yang menatap sinis kepada keempat seniornya di bawah sana sambil senyum-senyum.

"Nih orang nyolot banget!"

"Nih setan kok jahat banget!" Dennis tetap membalasnya. "Kalian beraninya sama yang lemah doang, sih!"

"Turun kau sekarang juga kalau berani!"

"Heeeh? Mau ngapain turun?"

"Akan kuhajar kau di sini!"

"Oh? Ajar? Ajari aku PR matematika yang hari ini, dong kakak-kakak! Hehe... aku lupa ngerjain." Dennis tertawa kecil lalu menunjukkan buku tulisnya.

Keempat senior itu semakin geram dengan Dennis yang ada di atas sana. Lalu sekali lagi, senior kedua pun kembali membentak Dennis.

"Sekarang turun, kau! Gak ada yang lucu. Gak usah ketawa!"

"Hei! Kau kalau gak salah kakaknya si bocah ini kan? Sekarang turun dan jadi pahlawan buat adikmu ini!"

"Ayo sini! Jangan jadi pengecut hanya bisa diam di atas sana!"

Dennis terdiam, tapi ekspresi wajahnya tidak berubah. Ia masih tersenyum manis lalu mulai membalas perkataan mereka lagi.

"Aku? Aku memang kakaknya dia. Tapi aku tidak bisa turun."

"Kenapa tidak?!"

"Karena ... kakaknya yang pertama itu sudah turun duluan, loh~" Dennis menunjuk ke samping kanannya. Seketika semua orang di bawah sana menoleh ke arah yang ditunjuk Dennis.

Ada seseorang yang datang menghampiri mereka dengan langkah biasa. Tapi setelah melihat orang itu, tiba-tiba saja ekspresi mereka berubah menjadi ketakutan.

"Di–di–dia kan ... dia kan...."

"Ayo! Maju kalian semua. Jangan jadi pengecut seperti yang kalian katakan." Ucap orang itu sambil menunduk. "Justru kalian lah yang pengecut. Berani-beraninya main keroyokan, ya? Sekarang coba satu lawan satu denganku!"

Orang itu sedikit mendongak. Wajahnya dapat terlihat, masih sedikit menunduk. Bayangan poninya menutupi setengah wajahnya. Tapi mata kuningnya yang tajam terlihat menyala dalam bayangan poninya.

"SEKARANG AYO MAJU SATU ORANG SEBAGAI PERWAKILAN UNTUK MELAWANKU!!"

"Ugh!"

Tentu saja keempat senior itu tidak bisa maju. Bahkan mereka tidak berani maju. Karena yang ada di hadapan mereka itu bukan manusia biasa. Tapi menjulukinya sebagai manusia yang menyeramkan.

Orang itu bernama Rhino. Atau biasa dipanggil Rei saja. Lelaki itu memiliki tampang yang biasa. Tapi kalau sudah emosi, bakal terlihat menyeramkan. Bahkan tidak ada yang berani mendekatinya dan macam-macam padanya.

Karena Rei adalah murid terpopuler di sekolah. Bukan hanya karena ketampanannya saja. Tapi dalam ilmu bela diri, dia paling jago dan tidak ada yang berhasil mengalahkannya.

"Sial!" Umpat salah satu senior.

Senior kedua lari duluan ke arah sebaliknya untuk menjauh dari Rei. Setelah itu disusul dengan yang lainnya juga. Tapi saat mereka ingin berbalik badan, mereka kembali dikejutkan dengan sosok Azura yang dekat sekali dengan mereka.

Azura ternyata sudah memegang ponselnya dan siap memotret wajah ketakutan semua senior tersebut.

"Cilup~~~ Ba! Senyum, ya?"

Setelah berhasil mendapatkan fotonya, Azura langsung berlari mendekati Derrel. Begitu juga Leon yang sedari tadi hanya melirik tajam ke arah keempat senior tersebut. Keempatnya berhasil melarikan diri.

"Yes! Gw dapat muka mereka." Azura memeriksa foto hasil jepretannya tadi. "Gak sabar gw mau cuci foto ini dan memajangnya di mading sekolah. Biar semua orang bisa bahagia juga melihat wajah mereka ini!"

"Derrel? Kau baik-baik saja?" teriak Dennis dari lantai dua.

Derrel mendongak dan menatap Dennis lalu mengangguk sambil tersenyum. Ia sangat senang semua teman-temannya datang untuk menyelamatkannya.

"Makasih semuanya!" ucap Derrel sambil membungkuk.

Rei menyentuh kepala adiknya lalu mengelusnya pelan. "Kalau kau diganggu mereka lagi, segera bilang padaku! Jangan takut. Kalau kau diancam tetap bilang padaku. Aku akan melindungimu, adik kecil!"

"Hm!" Derrel mengangguk sambil tersenyum.

Lalu Azura berbisik pada Leon yang ada di sampingnya. "Hehe... sekarang muka di Badak sudah gak serem lagi, tuh!"

"Kubunuh kau, Ra!" Rei mendengarnya dan kembali emosi. Tapi mereka semua hanya mentertawakannya bersama.

"Yare~ yare~ gw ketinggalan kejadian apa hari ini?"

Tak lama, seseorang datang dari jalan di belakang Rei. Orang itu bernama Dian. Dia laki-laki yang suka ngumpul sama banyak cewek. Tapi sekarang, sepertinya dia baru datang ke sekolah.

Seperti biasa, dia selalu terlambat. Tapi untuk hari ini, sepertinya Dian tepat waktu datangnya. Karena setelah ia menyapa teman-temannya, seketika bel masuk pun berbunyi.

"Dian datang, belnya malah bunyi." Gerutu Azura. "Ah! Malah pelajaran di kelas gw ada matematika, pelajaran pertama. Males banget rasanya!"

"Eh iya, mending gw ga usah datang, biar gak ada bel." Dian menggaruk pipinya pelan dengan telunjuk.

Mendengar perkataanya, Rei langsung menepuk punggung Dian dengan keras dan membalas perkataanya. "Lalu? Apa gunanya kita datang ke sekolah ini kalau tidak ada bel dan belajar? Lebih baik tidur di rumah!"

Dian hanya tertawa kecil. Lalu semuanya juga ikut tertawa dan mereka bersama-sama pergi ke kelasnya masing-masing.

*

*

*

To be continued–

Episode 2

Bel telah berlalu lima menit. Azura dan Dian berjalan lambat ke kelasnya. Niat mereka untuk mengikuti pelajaran matematika yang terbuang. Apalagi kalau bukan karena gurunya yang sangat galak.

Guru matematika terkenal dengan sifatnya yang keras. Dia seperti bisa menerkam siapa saja yang tidak memperhatikannya dan yang malas.

"Eh, Ra. Kita ke kantin aja, yuk!"

"Ok. Nanti lu yang tanggung jawab kalo kita dikasih tugas banyak sama guru singa itu." Dian merangkul pundak Azura lalu tersenyum sinis.

"Yare~ Yare~ Gitu doang, kecil!" Dian menjentikan jari.

"Apa yang kecil?" Suara tak asing berkumandang dari belakang mereka. Dua lelaki itu terkejut dan menoleh dengan wajah ketakutan.

"Ah itu, Bu. Nilai sikap Dian kecil." Azura menjawab dengan terbata-bata. Sebab yang mereka hadapi adalah guru matematika itu. Dian rada kesal. Tapi ia terpaksa mengeluarkan senyum manisnya pada guru tersebut lalu berkata, "Iya, Bu. Aku akan memperbaiki nilai ku dengan selalu mengikuti pelajaran ibu, hehe ...."

"Cepat ke kelas, sebelum saya hukum kalian!" bentak guru itu. Azura dan Dian berbalik badan dan mempercepat langkah masuk ke dalam kelas.

"Gara-gara lu, sih!" Azura melemparkan masalah yang mereka alami ke Dian. Lelaki itu tidak terima lalu ia mengerutkan dahi. "Kok gw, njir?"

"Gara-gara lu ngomong tadi!" tegas Azura. Ternyata guru itu mengikuti mereka, karena arah tujuan mereka yang sama.

"Ekhem!" Mereka tersentak dan langsung berlari ke tempat duduknya masing-masing.

****

Di lain pihak–

Derrel menghela napas panjang karena sudah merasa lelah karena kejadian pagi ini. Dia menuju kelas sambil menggenggam tali tas. "Semoga aja aku gak diganggu sama senior itu lagi."

Di tengah lamunannya. Seorang insan cantik melintas, rambutnya sebatas pundak, berwarna hitan dan lurus. Ia memeluk beberapa buku dan berjalan santai ingin ke kelas.

Dennis yang melihatnya langsung berhenti melangkah lalu menyapanya. "Pagi Kak Arel!"

Arel menoleh dan menyapa balik. "Oh? Pagi juga!"

"Udah bel, loh. Kakak mau kemana?"

"Eh ini aku mau ke kelas."

"Oh, ya sudah. Aku ke kelas duluan, ya~" Derrel melambai. Tapi sebelum pergi, ia sempat terfokus pada gelang berwarna emas di tangan Arel. "Wah, gelang kakak bagus!"

"Terima kasih, ini pemberian orang tuaku. Ya sudah, kamu ke kelas, nanti dimarahin guru."

"Hehehe ... iya, Kak."

Derrel dan Arel pun kembali melangkah. Tapi tak lama, Derrel pun berhenti sejenak untuk berpikir. Lalu ia memperhatikan sosok Arel dari belakang. "Tunggu, bukannya Kak Arel gak punya orang tua?" Derrel menggeleng dan menyingkirkan pikiran buruk. "Mungkin, orang yang menjadi keluarganya."

Saat sampai, Derrel menggeser pintu kelas. Sontak para murid menoleh ke arah pintu. Untung saja guru belum datang.

"Haduh ngagetin aja, kirain guru!" hardik siswa yang duduk dekat pintu.

"Eh, Rel. Jangan mentang-mentang kamu sering ngerjain PR, kamu ingetin guru ya!"

"Ba–baiklah ...." Derrel pasrah. Dia biasanya juga tidak memberitau guru jika ada tugas yang beliau lupakan. Mau jujur juga, tapi ancaman anak di kelasnya lebih menyakitkan.

Derrel duduk di paling depan, barisan kedua dari pintu. Begitu dia duduk, guru masuk ke dalam kelas. Semuanya pun kembali ke tempat duduk masing-masing.

Lalu para murid memberi salam serempak. Kemudian guru itu menaruh buku serta laptop yang dia bawa ke atas mejanya. "Ada tugas, kah, hari ini?"

Derrel membungkam mulut, sedangkan anak-anak lain berseru bahwa tidak ada tugas.

Guru wanita tersebut merasa agak curiga. Lalu ia pun mendekati Derrel. Dia tau kalau Derrel anak yang jujur. "Rel, ada tugas hari ini?"

Derrel spontan mengangguk, karena dia telah mengerjakan tugasnya. Jadi mau tidak mau, ia tidak bisa berbohong.

Lalu setelah menjawab, tiba-tiba Derrel merasakan aura menyeramkan di punggungnya. Seperti amarah semua orang dia resapi. Ditambah dengan hinaan serta caci maki yang dibisikan.

"Ya, mau bagaimana lagi. Aku sudah mengerjakan, otomatis aku mengangguk." Ucap batinnya pasrah. Derrel menghela napas, lalu mengeluarkan buku tugasnya dan memberikannya kepada guru dihadapannya.

Guru itu menerima buku Derrel. Lalu beliau memperhatikan muridnya. "Yang lain cepat kumpulkan ke meja ibu, ya!"

Dengan nada tak ikhlas mereka semua menjawab, "Iya ... Bu."

Satu persatu siswa maju. Sontak salah satu siswi meletakan bola kertas di meja Derrel. Lelaki itu diam-diam mengambilnya dan membacanya di bawah meja.

Semua hinaan, caci-maki serta sumpah serampah tercantum di permukaan kertas tersebut.

Derrel tidak menganggapnya serius karena ia sering mendapatkan banyak perkataan kasar seperti itu. Mentalnya sudah kuat untuk menerima itu semua.

Dia anak yang penyabar~

****

"Sekian pelajaran dari ibu, ya?" Guru di kelas Derrel menyelesaikan materi dan penjelasannya. Beliau membereskan barang-barangnya di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Namun sebelum pergi keluar kelas, ibu guru tersebut berpesan pada semuanya untuk segera mengerjakan PR yang dia berikan. Jika tidak dikerjakan, maka yang tidak mengerjakan itu tidak dapat mengikuti pelajarannya di kemudian hari dan tetap di ruang BK sampai bel istirahat.

Semuanya mengangguk. Guru itu pun pergi meninggalkan kelas. Tapi setelah guru itu pergi, tiba-tiba saja Derrel ditegor oleh salah satu teman kelas yang datang ke depan mejanya.

Sontak ia pun menoleh ke samping dengan wajah yang tenang, tapi sebenarnya ia mengumpat rasa takut yang berlebih dalam hati.

"Hei! Kau kan yang tadi bilang kalau ada PR. Sekarang ... kau kerjakan sendiri ya PR kami ini. Pokoknya besok harus udah selesai dan balikin bukunya ke kami lagi!" ucap teman sekelas Derrel yang merupakan ketua kelasnya.

Lalu ketua kelas itu memberikan tumpukan buku yang merupakan milik para teman-temannya. Setelah itu, ketua kelas memberi buku terakhir yang ia pegang. Ia memukul wajah Derrel dengan bukunya, lalu melemparnya di atas meja Derrel.

Derrel hanya terdiam sambil menyentuh pipinya yang sedikit memerah akibat pukulan keras dari buku itu. Ia juga menutupi setengah wajahnya dengan tangan.

Matanya sudah memunculkan air bening dari sela-sela mata. Tapi jangan sampai air mata itu mengalir melewati pipinya. Ia sangat takut sekali berada di tempatnya saat ini.

GRAB!

"Hei! Kau dengar, gak?!" Ketua kelas menjambak rambut Derrel lalu membentaknya dengan nada tinggi.

Derrel hanya mengangguk paham. Ia tidak kuat mengeluarkan suaranya. Karena jika dia bicara, maka yang keluar malah suara isakannya. Tapi tetap saja ekspresinya yang memalukan pun dapat terlihat.

"Hei lihat itu! Sudah besar masih menangis! Hahaha..." Seorang siswi menunjuk Derrel dan berteriak setelah ia melihat ekspresinya Derrel yang sekarang. Kemudian orang itu melempari sampah dari kolong mejanya ke arah Derrel.

"Huhu... anak emak, anak emak!"

"Sial ngakak, hahaha...."

"Sudah, ya anak emak! Sekarang kau kerjakan ini semua, oke!" ujar ketua kelas itu lagi. Kemudian ia melepaskan tangannya dari rambut Derrel dengan paksa, lalu memukul kepala belakang Derrel dengan santainya, setelah itu ia pergi kembali ke tempatnya.

Setelah ketua kelas itu pergi dan semua anak kembali ke urusannya masing-masing. Derrel pun didiamkan kembali dan sendirian duduk di depan.

Ia merapihkan rambutnya yang acak-acakan, lalu melirik ke arah tumpukan buku yang ada di depan mejanya.

"Aku tidak masalah mengerjakan PR orang sebanyak 29 orang ini. Yang aku takuti adalah... bagaimana jika kak Dennis dan Kak Rei tahu kalau aku harus mengerjakan ini semua?" Ia pun menunduk lalu mengepal tangan. "Mereka pasti akan marah lagi. Aku tidak mau teman-temanku kena omel oleh mereka."

"Ah, kalau begitu, apa boleh buat." Derrel kembali menatap tumpukan buku di atas mejanya. Ia akan terus menyembunyikan buku teman-temannya walau tasnya jadi mengembang dan semakin berat karena banyaknya buku yang ia bawa.

Namun bagi Derrel, itu tidak masalah selama teman-temannya dari kelas lain tidak tahu isi tasnya itu.

"Hei, nanti siang aku mau coba tembak seseorang ah. Aku naksir sama dia. Aduh malu rasanya."

Derrel mendengar seorang anak perempuan yang duduk di belakangnya sedang mengobrol dengan temannya yang lain. Perbincangan mereka telah menarik perhatian Derrel untuk tetap mendengarkannya secara diam-diam.

"Kau mau tembak siapa?"

"Itu, loh! Senior kita yang dari kelas sebelah."

"Ooh? Apa Kak Rei? Atau kak Leon?"

"Aduh... mereka berdua saingan banget sih gantengnya. Aku suka dua-duanya. Tapi aku mau coba sama Rei dulu, deh!"

"Beruntung banget cewek yang jadi pacar Rei. Pasti selalu dilindungi terus. Dia kan udah ganteng, baik, jago berkelahi juga lagi!"

"Makanya itu aku suka sama dia."

"Iya... gak kayak adik yang paling kecilnya tuh. Beda banget sama kakaknya. Padahal dari keluarga yang maju."

"Aduh kasihan banget sih. Aku mah ga mau jadi dia. Iwh!"

Derrel hanya bisa diam saja mendengarnya. Tapi ia sedikit terkejut saat mendengar kalau teman sekelasnya sendiri ternyata menyukai kakak tertuanya.

"Biarkan saja, lah! Lagian juga ... Kak Rei mana mungkin mau punya pacar." Batin Derrel.

*

*

*

To be continued–

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!