Bab 1: Hari Pernikahan
Milan, Italia.
Di salah satu sudut ruang bangunan megah The Cathedral Milano, seorang wanita cantik berdiri dengan gaun putih pernikahan. Lekuk tubuhnya sangat menawan dalam balutan gaun bertabur mutiara dan juga berlian yang gemerlap. Wajahnya amat cantik. Manis mengisi seluruh elemen wajah. Matanya yang berwarna hijau gemerlap seperti berlian zamrud.
Meryn Patrizia, wanita dua puluh lima tahun yang merupakan putri tunggal pengusaha wine kaya raya di Roma. Ia dikenal oleh seluruh kalangan atas kota, tak hanya karena keluarganya yang kaya raya, tetapi juga karena parasnya yang cantik. Hari ini ia hendak melangsungkan pernikahan dengan sosok kekasih yang ia cintai, yang juga berasal dari kalangan atas. Namanya Henry Leranzo, putra bungsu seorang pengusaha restoran terbesar di kota.
“Nona Meryn, sepuluh menit lagi pernikahan akan segera dimulai,” ucap seorang pelayan wanita yang bertugas mendandaninya di ruang ganti.
“Baik. Bisa tolong panggilkan Henry? Rasanya saya sangat gugup,” kata Meryn yang tampak gugup di depan cermin. Momen pernikahan ini adalah yang ia nanti-nanti selama hidupnya. Berbulan lamanya ia menyiapkan seluruh pernak-pernik pesta pernikahan supaya semuanya berjalan dengan sempurna. Namun, kegugupan itu tetap tidak membiarkannya sedikit lebih tenang. Tubuhnya terasa sangat dingin.
Tepat setelah itu, pintu ruang ganti terbuka. Sosok pengantin pria berjalan dengan tangguh ke arah Meryn.
“Itu dia calon suami Nona. Kalau begitu saya tunggu di luar ya.” Pelayan wanita itu berkata. Lantas ia pergi meninggalkan kedua calon pengantin itu di ruang tunggu.
“Henry,” panggil Meryn.
Hanya mendengar panggilan calon istrinya, Henry tersenyum hangat. Matanya berbinar menatap betapa cantik Meryn yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Senyum bahagianya menawan sangat lebar.
“Kamu sangat cantik, Sayang. Seperti ... bidadari,” kata Henry yang tak hentinya terpesona pada wanita yang telah ia pacari selama kurang lebih satu tahun sebelum akhirnya hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan.
“Tadi kamu sudah melihatku dan memuji-muji kecantikanku, Henry.” Meryn menanggapi dengan gemas. Dipuji oleh laki-laki yang ia sayangi tak membuat Meryn bosan mendengarnya. Senyum di wajahnya itu memperlihatkan kalau ia sangat senang mendengar pujian dari Henry.
“Aku serius, Sayang. Kamu lebih dari pantas untuk selalu aku puji dan aku puja.” Henry mendekat lalu melayangkan satu kecupan ringan di bibir Meryn. “I love you.”
“I love you too.” Meryn membalas. Saat Henry ingin melanjutkan ciuman itu menjadi lebih ganas, Meryn menahannya. “Sebentar lagi acaranya dimulai, Sayang. Jangan merusak make up-ku.”
“Make up sialan!” gerutu Henry yang sedang sangat menginginkan bibir kekasihnya. Seketika itu membuat Meryn terkekeh geli.
Meryn pun memajukan wajahnya dan berbisik penuh goda di telinga Henry, “Nanti malam aku tidak akan membiarkanmu tidur. Sabarlah sedikit, Suamiku.”
Semakin tergoda, Henry menarik pinggang Meryn. “Aku sudah tidak sabar. Bagaimana?”
“Tidak sabar apa, Sayang? Kita sudah sering melakukannya, kan? Kemarin lusa kita juga sudah ngeseks di hotel ayah,” sergah Meryn keheranan.
“Beda, dong, Sayang. Sebelum-sebelumnya kamu jadi pacarku. Dan mulai hari ini kamu sudah akan menjadi istriku. Rasanya akan berbeda.” Henry menyanggah dengan gaya cool-nya. Ia menatap manik hijau Meryn dengan kelat, benar-benar ingin menerkamnya sekarang juga.
Henry yang sudah terangsang ini membuat Meryn tersenyum gemas. Kekasihnya itu memang menjadi sangat manja dan kekanakan kalau sedang ‘pengen’.
“Rasanya sama. Sama-sama enak, sama-sama ... ahh.”
Melihat peluang itu Meryn justru tambah menggoda. Percayalah, menggoda laki-laki yang sedang bernafsu itu geli-geli berbahaya. Meryn suka menjahili Henry.
“Awas ya kamu. Aku habisi nanti!” celetuk Henry geram. Bagian bawahnya sudah terasa sangat sesak di dalam. Selangkah lagi Meryn menggodanya, ia tak akan bisa dihentikan!
“Upacaranya akan dimulai, Tuan. Silakan Anda keluar dulu menuju altar.”
Pelayan yang baru saja membuka pintu itu lantas menghentikan Henry yang hampir saja beraksi di menit-menit menjelang pernikahannya dengan Meryn. Lelaki itu melirik ke arah Meryn dengan tatapan penuh peringatan. Lalu mengecup pipinya sambil berbisik, “Pokoknya nanti jangan hentikan aku!” kemudian pergi meninggalkan ruang ganti untuk menuju aula katedral dam memulai upacara pernikahannya yang sakral dan suci.
*
Puluhan mobil hitam telah terpencar mengelilingi gedung katedral tempat dilangsungkannya pesta pernikahan dua keluarga konglomerat kota. Di dalam salah satu mobil mewah yang terparkir itu, seorang lelaki tampan berbadan perkasa sedang duduk dengan wajah yang dikerubuti amarah. Di kursi belakang kemudi, lelaki bermata coklat terang itu terus memandangi ke arah pintu masuk gedung katedral. Matanya menatap tajam. Tulang rahangnya mengeras, seperti orang yang telah kehabisan kesabaran. Betapa pun itu tak mengurangi sedikit pun ketampanannya sebagai bos mafia paling berkuasa di Italia.
Orlando Dominic, bos besar salah satu organisasi mafia paling berjaya di seluruh Italia. Ia datang membawa ratusan anak buahnya dalam puluhan mobil yang menyebar mengelilingi gedung katedral. Ia sedang murka. Wanita yang telah ia incar sejak lama, yang seharusnya menikah dengannya, justru menikah dengan lelaki lain yang bersekutu dengan musuh terbesarnya. Keluarga Leranzo telah lama bersekutu dengan kelompok mafia yang dipimpin Javer, yang sejak dulu menjadi musuh besar keluarga Dominic.
“Bos Besar, Anda sudah yakin dengan keputusan Anda ini? Kalau Anda menyerang keluarga Leranzo dan Patrizia bersamaan, itu tandanya Anda mengibarkan bendera perang dengan kelompok Javer. Perang antar kelompok mafia tak akan terhindarkan.” Paulo, seorang consigliere atau penasihat mafia yang duduk di sebelah Orlando itu kembali mengingatkan.
Dengan dingin Orlando menjawab ringan, “Lebih baik aku mati karena dibunuh musuh besarku, daripada mati kehilangan wanitaku.”
Wajah Orlando tampak semakin geram saat ia teringat wajah wanita yang telah ia incar sejak lama. Sekaligus wanita yang telah ia klaim sebagai miliknya atas sebuah perundingan.
“Apa pun risikonya, Meryn harus kembali ke tanganku.” Lalu pandangan Orlando melirik ke arah Paulo, memberikan isyarat yang hanya mereka pahami. “Kamu tahu, apa yang sudah mengikatku dengan Meryn,” imbuhnya.
Mengerti apa yang dimaksud si bos, Paulo menganggukkan kepala. Ia paham apa yang membuat Orlando bersedia mengambil risiko sebesar ini hanya untuk mendapatkan kembali wanita yang begitu ingin ia dapatkan dan telah dipersembahkan untuknya sejak lama.
“Pestanya satu menit lagi, Bos.”
Mendengar peringatan Paulo, Orlando langsung menarik pistol yang ia sembunyikan di balik jas beludru yang membalut tubuh gagahnya. Ia mengisi peluru pistolnya hingga penuh dan mempersiapkan senjatanya untuk merebut kembali wanita miliknya.
“Semuanya siap berjaga!” perintah Paulo lewat sambungan suara kepada seluruh pasukan mafia di bawah perintah Orlando Dominic. Bersiap masuk ke dalam gedung katedral tepat ketika upacara pernikahan dimulai.
*
“Saya bersumpah ....”
Tepat ketika janji pernikahan itu baru diucapkan oleh mempelai wanita di hadapan seorang pastor, suara tembakan pertama meluncur dari pintu samping. Menyebabkan semua orang yang menghadiri upacara pernikahan ini terperanjat. Kegaduhan ruangan seketika itu terjadi seiring masuknya gerombolan laki-laki berbaju hitam dan bersenjata.
Semua orang berteriak ketakutan mendengar suara tembakan pistol dari berbagai arah. Mereka semua spontan menurunkan tubuh dari kursi untuk melindungi diri. Sebelum akhirnya ada kesempatan untuk berlari meninggalkan gedung.
Meryn yang bahkan belum sempat mengucapkan janji pernikahan, setengah mati ketakutan mendengarkan suara pistol yang menghujani ruangan tempat pesta pernikahannya berlangsung. Ia tergemap melihat lebih dari separuh tamu undangannya berhamburan keluar ruangan. Sementara ayah ibunya sibuk menyelamatkan diri dari incaran para laki-laki berpistol itu.
“Shit! Mereka pasukan Dominic,” cetus Henry yang mengenali siapa yang tengah menghancurkan pernikahannya ini.
“Dominic? Maksudmu, mafia?!” balas Meryn ketakutan.
Henry melihat pengantinnya yang ketakutan. Ia langsung meraih tangan Meryn dan berteriak, “Kita harus bersembunyi!” sambil mengajak Meryn berlari meninggalkan hujan peluru yang memenuhi ruangan.
“Ayah, ibu! Tidaakkk!” teriak Meryn histeris saat sedang diajak berlari bersama Henry. Ia melihat ayah dan ibunya yang ambruk ke lantai setelah ditembak oleh seorang laki-laki yang ia duga sebagai pemimpin dari kelompok mafia yang menyerang ini.
“Meryn, kita harus menyelamatkan diri!” balas Henry berteriak karena langkah Meryn yang melambat.
Peralatan air mata Meryn mulai bercucuran. Hatinya meretih melihat ayah ibunya yang sudah meninggal. Tapi ia tak memiliki pilihan selain terus berlari. Ia menggenggam tangan Henry semakin erat untuk mengikuti langkah cepatnya meninggalkan gedung yang diserang mafia ini.
DORR!!
Satu peluru melesat menembus kepala Henry. Meryn melihat bagaimana darah mencucur dari belakang kepala Henry. Tubuhnya seketika mati rasa. Ia kaku seperti patung. Membeku seperti es batu saat melihat Henry perlahan-lahan tumbang ke lantai
“Henrryyy!” teriak Meryn yang tak sanggup lagi menahan tangis. Hatinya amat hancur melihat orang yang ia sayangi mati dengan begitu mudahnya.
Saat hatinya masih kacau, terdengar suara langkah mendekat. Henry sudah mati tepat di depan matanya. Barangkali sekarang adalah gilirannya....
Kedua mata Meryn terpejam saat suara langkah itu semakin dekat. Ketakutan membuatnya makin membeku. Sesaat kemudian ia merasakan suntikan jarum menembus leher belakangnya. Meryn pun terbius dan tak sadarkan diri.
*
Note dari penulis:
Sebelumnya aku ingin ucapkan selamat datang untuk para pembaca yang budiman. Senang akhirnya karena aku bisa berkarya lagi di Noveltoon setelah sekian lama hiatus. Semoga kalian semua menyukai karya persembahanku yang terbaru ini yaa...
Mungkin di antara kalian banyak yang belum kenal sama aku. Karena itu aku mau memperkenalkan diri dulu ya. Salam kenal, semuanya. Aku Elya, penulis cerita 'Wanita Incaran Mafia' dan beberapa cerita lain di Noveltoon ini. Kalian bisa panggil aku Elya, Kak Elya, atau apa pun terserah kalian, senyamannya kalian aja, hehe.
Author juga pengen kasih tau nih, kalau selain di Noveltoon, aku juga nulis di platform lain, lo. Kalau kalian ingin kenal aku lebih dekat dan ingin selalu update sama karyaku, kalian bisa follow aku di instagram @elyarafanani yaa... karena kedepannya aku akan berkarya lebih banyak lagi. Di di lapak instagram nanti aku bakal banyak promosiin karya dan bagi spoiler cerita, atau spill visual tokoh-tokoh novel. Semoga kita bisa berteman baik di mana pun kita berada. Dan bagi kalian yang juga suka menulis, boleh banget loh tanya-tanya, sharing ilmu kepenulisan , atau belajar bersama aku. Karena aku juga lagi belajar dan terus belajar soal ilmu kepenulisan.
Semoga kalian enjoy ceritanya! Dan tunggu update selanjutnya paling lambat besok.^
Bab 2: Kastel Dominic
Dengan gaun pengantin yang sama, Meryn masih terbaring di atas ranjang tidur besar. Bius yang disuntikkan ke dalam tubuhnya bereaksi lebih lama dari dugaan. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu. Meryn belum sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian tubuhnya mulai menggeliat kecil. Matanya mengerjap-ngerjap di dalam pelupuk. Kening Meryn seketika mengernyit saat ia sudah tersadar dari bius. Pusing pun melanda kepalanya. Ia merasakan kepalanya berdentum-dentum. Terdengar suara tembakan dari seluruh penjuru ruang, seperti adegan tepat sebelum ia dibius dan pingsan.
Menyadari itu, Meryn langsung terperanjat bangun. Matanya terbuka lebar, melihat tempat yang sama sekali asing untuknya. Ia tengah duduk di atas ranjang besar dengan seprei berbahan sutera warna indigo. Mendapati sebuah ruangan dengan interior megah yang acap kali ia lihat dalam film-film abad pertengahan. Seperti ruangan dalam istana, atau semacam kastel. Ukiran-ukiran mewah mengisi seluruh sudut ruang. Dinding berwarna emas dan lampu ruang superbesar yang menggantung begitu elegan.
“Aaagghh.”
Tiba-tiba kepalanya berdenyut. Seketika itu ia menunduk dan memegangi kepalanya yang berdenyut. Lalu ia lihat tubuhnya dalam balutan gaun pengantin.
“Ha?!”
Memorinya berputar ke belakang. Momen saat ia menikah dengan Henry di dalam gedung The Katedral Milano. Saat ia mendengar Henry mengucapkan sumpah pernikahan. Lalu lanjut dengan dirinya yang melontarkan sumpah itu. Dan serangan tiba-tiba komplotan mafia yang membunuh ayah, ibu, dan suaminya!
“Henry?!” pekik Meryn. Namun ia tidak yakin. Rasa-rasanya ia seperti baru saja bermimpi, dan bukan mengalami kejadian itu sungguhan. Tanda tanya besar mengapa dirinya bisa ada di tempat ini juga masih belum terpecahkan.
Dipenuhi tanda tanya, Meryn seketika bangun dari kasur. Ia beranjak turun untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Jangan bangun dulu. Tubuhmu belum sepenuhnya bebas dari bius.”
Tiba-tiba sebuah suara menyahut seiring suara pintu ruang yang terbuka. Tampak seorang lelaki usia 35 tahun yang masuk dengan langkah jenjangnya. Wajah itu ... wajah yang sempat Meryn lihat di pesta pernikahannya. Wajah yang menembak mati kedua orang tuanya, dan yang melubangi kepala Henry dengan peluru.
“Ha!”
Meryn langsung bergidik takut saat melihat wajah Orlando. Ia membungkam kedua mulutnya yang ingin berteriak kencang. Rupanya ia tidak mimpi. Rupanya ia benar menyaksikan orang-orang terbunuh dalam pesta pernikahannya. Rupanya Henry dan kedua orang tuanya sudah meninggal.
Langkah Meryn seketika terhuyung ke belakang melihat lelaki itu berjalan makin dekat. Meryn tahu pasti sekejam apa kelompok mafia Dominic. Tak hanya dirinya, tapi semua penghuni Italia tahu tentang kekejaman mereka.
“Tidak usah takut. Aku tidak akan melukaimu,” ucap Orlando sambil terus berjalan mendekati Meryn. Sementara Meryn terus berjalan mundur hingga punggungnya terbentur dinding. Lantas Orlando mendekati wajahnya.
“You kill my father! You kill all of my family. You kill ... my husban.” Meryn mendesus ketakutan saat lelaki itu menggapai pinggangnya. Air mata Meryn mulai bercucuran. Namun wanita itu menahan diri karena tak ingin terlihat semakin rapuh di depan mafia berdarah dingin yang telah membunuh semua orang tersayangnya.
“Suami? Dia belum menjadi suamimu. Pernikahan kalian sudah batal.” Orlando berucap.
Geram, Meryn melayangkan telapak tangannya di wajah Orlando.
Plaakkk!
Ia menampar pipi lelaki itu lalu melepaskan tubuhnya dari cengkeraman. Berjalan menjauh dari Orlando yang tercengang oleh tamparan itu.
“Menjauh kau brengsek! Aku tidak akan memaafkanmu seumur hidup. Aku tidak akan memaafkan seseorang yang telah merenggut segalanya dariku. Jangan mendekatiku. Aku tidak sudi engkau sentuh!” teriak Meryn geram pada Orlando yang sayup-sayup mulai dikerubuti amarah.
Tak menunggu lama lagi, Meryn berlari keluar meninggalkan ruang terkutuk itu dengan kaki telanjang. Ia berlari sekencang yang ia bisa dengan menenteng rok pengantin yang berat. Meryn berlari menyusuri lorong bangunan kastel yang amat megah ini. Turun melewati tangga yang meliuk seperti lekukan bulan sabit. Lalu ia melihat sebuah pintu keluar besar berbahan kayu jati. Tanpa pikir panjang ia membuka pintu itu dan keluar dari bangunan megah kastel yang berdiri di tengah-tengah pulai pribadi.
Ya, pulau pribadi!
Seketika melihat pemandangan luar, tubuh Meryn tercengang. Ladang hijau, beteng beton, dan hamparan luas laut mediterania. Ia tercenung. Melihat ke langit. Dan barulah ia menyadari dirinya terkunci di pulau pribadi milik seorang mafia.
“Kamu tidak akan bisa keluar dari pulau San Dominic. Kamu sudah terkunci di sini.”
Dari belakang, Orlando datang dengan langkahnya yang ringan. Ia tampak sangat tenang dengan memutar-mutar jam tangan yang ada di pergelangannya. Tak menunjukkan kekhawatiran sama sekali kalau Meryn akan kabur darinya. Karena memang tidak ada cara kabur dari tempat ini kecuali dengan helikopter pribadi milik Orlando yang ada di atap bangunan kastel.
“Siapa kamu? Apa maumu mengurungku di tempat ini?!” Dengan dikerubuti emosi, Meryn bertanya lantang kepada Orlando. Ia sungguh tak habis pikir pada mafia yang telah melibatkannya dalam situasi konyol seperti ini. Hari pernikahannya sudah hancur. Kekasihnya meninggal dunia, keluarganya meninggal dunia. Dan ia dikurung di tempat yang sama sekali tidak pernah ia tahu. Meryn memperlihatkan seluruh kesedihan dan juga amarah lewat manik mata hijaunya yang menatap tajam Orlando Dominic.
Pelan, Orlando melangkah mendekat. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Meryn yang masih menatapnya penuh geram.
“Akulah yang harusnya menikah denganmu, Sayang, bukan lelaki sialan bernama Henry itu,” ucap lirih Orlando.
“Jangan sebut nama kekasihku dengan mulut kotormu itu!” timpal Meryn.
“Kamu mau apa lagi? Dia sudah mati.”
Plakkk!
Sekali lagi, Meryn menampar wajah Orlando karena tak bisa menahan gejolak emosi yang bergumul di dalam dadanya. Setengah mati ia ingin membunuh lelaki sialan yang ada di depan wajahnya ini. Namun ia tahu dirinya tak akan mampu membunuh lelaki itu tanpa senjata apa-apa.
Mendapatkan tamparan sekali lagi, Orlando tersenyum getir. Tamparan seorang wanita tidak pernah sesakit itu. Tapi rasa sakitnya ada di tempat lain, di dalam hatinya.
Orlando yang sejak tadi mencoba menahan diri melihat sikap Meryn yang seperti ini, rupanya sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi.
“Aku mencoba bersikap jantan pada seorang wanita. Tapi kamu yang berbuat kasar terlebih dahulu,” gumam pelan Orlando menatapi Meryn yang melihatnya penuh benci.
“Tciuhh!”
Tak hanya menampar, sekarang wanita itu meludahi wajah Orlando. Membuat lelaki itu makin geram dan tak ingin menahan diri lagi pada wanita kasar seperti Meryn.
Penuh amarah, Orlando langsung mencengkeram leher Meryn dan menghimpit tubuh wanita itu di tembok kastel. Ia mencekik leher Meryn sementara kedua tangan Meryn berusaha melepaskan cengkeraman yang nyatanya tidak berhasil. Tenaga lelaki itu tidak bisa dikalahkan oleh Meryn.
“Kamu tidak akan bisa lepas dariku, karena dari awal engkau adalah milikku! Di sinilah tempatmu, di kastel paling megah milik keluarga Dominic. Di pulau pribadi San Dominic. Menjadi wanitaku! Jangan terus-terusan memainkan kesabaranku di saat aku telah berusaha bersikap baik kepadamu, Meryn De ... Luca!”
Wajah Meryn memerah karena dirinya tak bisa bernapas. Selesai meluapkan amarahnya, Orlando langsung melepaskan cengkeraman tangannya dan membiarkan tubuh Meryn jatuh ke lantai. Seketika jatuh, wanita itu langsung menarik oksigen sedalam-dalamnya karena sesaat lehernya tercekik dan tak bisa bernapas. Seiring dengan itu, air matanya kembali menetes. Ia menangis terisak sementara Orlando masih mengendalikan emosinya yang baru saja meluap.
Lelaki itu meninggalkan Meryn di teras kastel sementara dirinya masuk untuk mencuci wajahnya yang baru saja diludahi. Di depan wastafel ia membasuh wajahnya. Lalu menatap dirinya di depan cermin. Seiring emosinya yang reda, rasa bersalah itu muncul. Ia menyesal hampir saja membunuh Meryn yang sejatinya ia sayangi.
“Shit!”
Orlando mengumpat sambil memukul meja wastafel dengan tinjunya. Diperlakukan seperti sampah oleh wanita yang ia sayangi tentu saja membuatnya marah sekaligus terluka. Namun jika meluapkan kemarahannya ia akan menyesal seperti ini. Ia telah melukai Meryn.
Lelaki itu menata perasaannya selama beberapa menit di depan cermin wastafel. Lalu ia mengeringkan wajahnya dengan handuk dan kembali ke teras untuk menemui Meryn di sana yang masih menangis terisak. Lelaki mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang dicintainya menangis? Tak peduli kalau ia adalah seorang mafia berdarah dingin, Orlando tetaplah manusia biasa yang memiliki perasaan dan juga emosi.
“Kamu akan aman di tempat ini. Tidak usah khawatir,” ucap Orlando saat mencoba membangunkan tubuh Meryn.
“Kamu ingin membunuhku!” desus Meryn di sela isak tangisnya.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud.”
Dengan matanya yang berlinang air, Meryn melirik tajam ke arah mata Dominic. Tubuhnya dipenuhi amarah, rasa takut, dan juga kesedihan. Namun ia sudah terlanjur lemas dan tidak berdaya. Ia terlalu hancur untuk berpikir rasional. Akhirnya Meryn pun diam dan tidak memprotes saat tubuhnya didekap lalu digendong oleh lelaki perkasa yang hampir saja membunuhnya.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!