PRANG..
Bunyi yang berasal dari barang pecah belah yang di lempar terdengar memekakan telinga di sebuah rumah sederhana bercat putih tanpa pagar itu.
Sudah menjadi hal biasa bagi para tetangga mendengar suara-suara berisik barang terlempar atau teriakan sang penghuni rumah. Mereka pun tak ada yang berani ikut campur perihal masalah rumah tangga seorang perempuan yang bernama Wafa azzahra, muslimah berusia dua puluh lima tahun yang menikah lima bulan yang lalu dengan seorang pria bernama Fahmi.
Pertengkaran itu kerap muncul setelah dua bulan mereka menikah, entah karena masalah ekonomi, mabuk-mabukan atau perselingkuhan yang dilakukan Fahmi. Wafa sendiri tak menyangka jika pria yang ia kenal pendiam dan alim ternyata memiliki sisi berbeda dengan kenyataan yang baru ia ketahui setelah mereka menikah. Waktu perkenalan dan pertemanan selama dua tahun nyatanya tak cukup lama untuk seorang Wafa mengenal pribadi pria itu. Jangan melihat dan menilai seseorang dari luarnya saja ternyata benar adanya, pria itu terlihat alim, pendiam, sopan dan ramah. Faktanya berbanding terbalik, Fahmi menjadi sosok pria pemarah, egois, pengekang, pemabuk dan doyan berganti pasangan.
Kesalahan sekecil apapun yang dilakukan Wafa akan menjadi malapetaka untuknya, berakhir dengan pertengkaran dan penyiksaan.
"Kenapa kamu seperti ini mas? Apa salah ku pada mu? Bahkan aku tidak pernah menuntut nafkah pada mu."
Wafa memang tulang rusuk, tapi dalam pernikahan ini dia menjadi tulang punggung yang membiayai kehidupannya sehari-hari, tak tanggung-tanggung, hutang Fahmi pun menjadi tanggungannya.
"DIAM SIALAN!!". Teriakan Fahmi membuat Wafa terdiam, tubuhnya bergetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena untuk kesekian kalinya ia merasa terluka atas perlakuan suaminya.
Wafa memutuskan menerima pinangan Fahmi karena pria itu berhasil meyakinkan ke dua orang tuanya dengan segala mulut manisnya.
Di awal pernikahan semuanya normal, Fahmi memperlakukan Wafa dengan sangat baik, namun dua bulan kemudian semuanya berubah, Fahmi menjelma menjadi monster berwujud manusia yang tak segan menyakiti Wafa walau letak kesalahan ada padanya.
Seperti hari ini, pria itu kepergok selingkuh dengan salah satu tetangga di tempat mereka tinggal. Bukannya meminta maaf, pria itu justru menyalahkan Wafa dan menghina Wafa di hadapan perempuan yang tengah ia kencani.
"Kenapa kamu selalu menyakitiku mas? Apa kurang ku padamu? Jika cinta tak ada lagi dalam hati mu, maka lepaskan aku, biarkan aku pergi. Jangan menyiksa ku lahir dan batin mas, aku tidak sanggup". Wafa berkata lirih, air matanya terus mengalir.
Ia menatap Fahmi yang diam tak menjawab, kali ini tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri pernikahannya. Bukan hanya sekali ini saja fahmi kedapatan berselingkuh, tapi ini sudah yang ke empat kalinya, dan jika Wafa bertanya, Fahmi akan marah dan berakhir dengan menghina Wafa.
"Maaf mas, untuk kali ini aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi bersama mu. Aku akan pulang ke rumah orang tua ku". Wafa bangkit dari duduknya, menuju ke kamar untuk mengemas barang-barangnya.
Fahmi masih bergeming, entah apa yang pria itu fikirkan. Sampai Wafa berdiri di hadapannya mengulurkan tangan untuk menyalami pria itu.
"Pergi sana, aku memang sudah muak dengan mu. Tapi ingat satu hal, aku tidak akan pernah menceraikan mu. Selamanya kamu akan menggantung dengan status mu". Fahmi menepis tangan Wafa, hingga wanita itu hampir saja terjatuh karena tubuhnya tak siap.
"Assalamualaikum mas". Lirihnya.
Tak ada jawaban dari Fahmi, pria itu justru meludah ke arah samping saat Wafa berbalik badan untuk meninggalkan rumah itu, rumah yang ia harapkan bisa menjadi rumah impian untuknya dan keluarga kecilnya, rumah yang ia harapkan menjadi tempat ladang pahala untuknya dan suaminya. Meski sederhana, namun rumah itu di bangun dari tabungannya selama ia bekerja di sebuah kantor furniture, Wafa menaruh harapan besar pada bangunan sederhana itu, namun sekarang semuanya hancur.
"Bismillah ya Allah, meski jalan ini salah satu jalan yang Engkau tidak sukai, tapi aku sudah tidak sanggup lagi memijaknya, semuanya terlalu berat dan hanya ada kemadharatan di dalamnya. Iringi langkah yang ku ambil ini dengan Ridha mu ya Allah, agar semuanya ringan untuk ku". Batin Wafa, ia beristighfar mengiringi setiap langkahnya. Berharap rasa sesak di dadanya segera berkurang.
Wafa pun sama seperti wanita lain, yang ingin menikah sekali seumur hidupnya, dan membangun impian-impian indah bersama suami dan anak-anaknya kelak. Namun takdir membawanya pada kesendirian, perpisahan menjadi jalan yang ia pilih.
❤️❤️❤️❤️
Matahari semakin terik menyinari bumi, memperlihatkan betapa perkasanya ia memberikan terang di sepanjang hari.
Wafa, perempuan lemah yang berusaha terlihat kuat itu tengah berjalan di sepanjang trotoar jalan, tas ukuran sedang ia tengteng di tangan kanannya, tas kecil tersampir di bahunya.
Terik matahari tak menyurutkan niatnya untuk melangkah, secercah harapan akan kehidupannya yang lebih bahagia membuat perempuan itu bertekad terus maju meninggalkan lukanya.
Istighfar terus ia rafalkan agar rasa kecewa karena kenyataan tak sesuai dengan harapan itu sedikit hilang di hatinya. Ia tak mau menyalahkan takdir yang Allah gariskan untuknya, ia sadar, jika manusia hanya bisa berencana, berangan dan bercita-cita, namun hasil akhirnya hanya Allah yang berhak mengatur.
Ia terus berjalan bukan karena tak mempunyai uang untuk membayar kendaraan sebagai tumpangan, ia hanya sedang mengulur waktu untuk berfikir bagaimana caranya ia menyampaikan berita pahit ini kepada ke dua orang tuanya. Ke dua orang tuanya menyimpan harapan yang besar pada rumah tangganya, selain itu, beban baginya karena sebagai anak pertama ia harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya.
"Maafkan Wafa Bu, pak, Wafa gagal". Lirihnya.
Di tengah rasa gundahnya, suara adzan Dzuhur seakan menyadarkannya jika sang pemilik kehidupan tengah menunggunya untuk berbagi keluh kesah dan kepedihannya. Bukankah lebih baik jika mengadu apa pun yang tengah kita alami kepada sang pemilik takdir? Ketenangan dan jalan keluar akan Allah berikan dan tunjukan melalui jalan yang tak di sangka-sangka.
Wafa mengikuti arah suara adzan itu berkumandang, sebuah mesjid tampak berdiri megah di persimpangan jalan yang tengah ia pijak. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera mengadu pada sang Khaliq atas apa yang tengah di rasakannya, meski Allah sangat tahu apa yang di rasakan hambanya bahkan sebelum hambanya merasakannya.
Setelah berwudhu, Wafa segera memasuki mesjid. Mengeluarkan mukenanya dari dalam tas kemudian ikut sholat berjamaah bersama penduduk yang lainnya.
Dzikir ia panjatkan, doa dan keluh kesah ia pun panjatkan. Meminta kekuatan, kesabaran juga keikhlasan dalam menjalani segala ujian. Air mata yang sedari tadi di tahannya kini tumpah sudah. Sakit rasanya ketika keputusan yang sangat ia hindari terpaksa harus ia ambil.
Wafa tak menampik jika ia mencintai suaminya, tapi cinta itu justru menyakitinya.
"Ampuni aku ya Allah, jika keputusan ku ini akan menyakiti ke dua orang tua ku. Aku lelah, aku takut bukan pahala yang aku dapatkan dalam menjalani rumah tangga ini, melainkan dosa karena aku terlalu banyak mengeluh dari pada bersyukur". Ia semakin terisak saat lantunan merdu ayat suci Alquran terdengar menggema di seisi mesjid, membuatnya tersadar jika selama ini ia jarang melantunkan ayat Allah itu karena terlalu sibuk bekerja mencari nafkah untuk hidupnya dan Fahmi.
"Astaghfirullah ya Allah, ampuni aku, aku terus menerus berdoa meminta banyak hal padaMu, tapi ayat suciMu jarang aku lantunkan".
Wafa mengambil Al-Qur'an yang tersedia cukup banyak di sana. Ia membaca beberapa ayat Allah dan menyudahinya saat ponsel yang ada di dalam tasnya berdering.
"Ibu?". Gumamnya, Wafa menyimpan Al-Qur'an ke tempatnya semula, kemudian berjalan ke pojok mesjid agar suara ponselnya tak mengganggu kegiatan ibadah di sana.
"Assalamualaikum Bu".
"Kamu di mana nduk? Suami mu barusan telpon, katanya kamu kabur dari rumah. Ada apa ini? Kemana kamu sebenarnya nduk? Bapak mu lagi sakit, jangan buat kita cemas".
Wafa mengatupkan bibirnya menahan tangis, mendengar kabar jika bapaknya sakit membuatnya ragu untuk memberikan kabar jika ia akan berpisah dengan suaminya. Tapi ia tak sanggup lagi jika harus terus terkurung dalam rasa kecewa yang sama akibat perbuatan suaminya.
"Aku tidak kabur Bu, aku dalam perjalanan pulang ke sana. Ibu dan bapak tidak usah cemas, aku baik-baik saja Bu".
"Baiklah, ibu sama bapak tunggu kamu. Hati-hati nduk, banyak orang jahat, apalagi kamu cuma sendirian".
"Iya Bu, aku tutup telponnya yah, Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam nduk".
Jika sudah begini ia bingung harus menjelaskan apa pada orang tuanya. Ia tak mengira jika Fahmi mengatakan kabar buruk pada ke dua orang tuanya. Wafa menghapus air matanya, ingatannya kini terbagi pada bapak yang sedang sakit, ia harus berhati-hati dalam menyampaikan kabar buruk ini.
**ASSALAMUALAIKUM GUYS, INI CERITA BARU MAK. SEBENERNYA BUKAN CERITA BARU SIH, AWALNYA MAK PUBLISH DI APK SEBELAH, TAPI MAK GAK TERUSIN KARENA BEBERAPA HAL SALAH SATUNYA TARGET KATA PERBABNYA..HIHIHI
SELAMAT MEMBACA**....
Menempuh perjalanan hampir seharian membuat Wafa merasa sangat lelah.
Wafa tersenyum getir saat menapaki tanah kelahirannya, Malang. Udara di kota itu sangat sejuk, berbeda jauh dengan udara di ibu kota yang terkadang panas ekstrim.
Menikah dengan Fahmi membuatnya harus rela meninggalkan kota kelahirannya sendiri, kota sejuta kenangan dari mulai ia lahir hingga berusia dua puluh lima tahun. Fahmi saat itu tengah bekerja di salah satu pabrik di ibu kota, namun karena ada PHK besar-besaran, namanya termasuk ke dalam list karyawan yang harus berhenti paksa. Dari situlah perubahan sikap Fahmi mulai terlihat.
Wafa melangkah pelan mencari angkutan umum yang akan membawanya dari terminal bus itu ke desanya. Wafa memang sengaja memilih bus agar bisa memperingan pengeluarannya.
Ia hirup udara kota kelahirannya itu dalam-dalam, masih sama dari sejak lima bulan lalu ia tinggalkan, suasananya juga tak jauh berbeda dari dulu.
Setelah mendapati angkutan umum yang ia cari, ia segera menaikinya. Hari mulai gelap, cahaya senja mulai terlihat. Sesekali Wafa tersenyum ramah saat ada seseorang yang menyapa atau sekedar memberikan senyuman.
Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya Wafa memasuki daerah perkampungannya. Adzan Maghrib terdengar berkumandang, merdu mengalun memanggil ummatnya untuk meninggalkan aktifitasnya dan bersiap menghadap sang Kholiq.
"Terima kasih pak". Kata Wafa, ia menerima kembalian uang yang di berikan oleh supir angkot yang ternyata mengenal sang bapak, saat Wafa menyebutkan alamatnya, tak di sangka supir angkot itu menceritakan jika ia mengenal bapak Wafa karena dulu satu sekolah dasar di sekolah yang sama.
Lampu-lampu rumah penduduk mulai menyala saat Wafa melewatinya, berjarak sekitar 500 meter dari jalan ke rumah sederhana Wafa.
Rumah bercat cream sederhana menjadi tujuannya, rumah sederhana saksi pertumbuhan Wafa hingga menikah dan meninggalkan kampung halamannya.
"Assalamualaikum Bu, pak".
"Waalaikumsalam, sebentar". Suara seseorang menyahut dari dalam sana, suara adik perempuan satu-satunya yang kini berusia sembilan belas tahun, Arini. Gadis cantik dengan hijab instan berwarna hitam itu terlihat manis dengan lesung pipi di kedua pipinya saat ia tersenyum.
Pintu terbuka, Arini tak terkejut dengan kedatangannya, gadis itu sudah tahu kepulangan sang kakak dari ibunya.
"Assalamualaikum dek". Wafa tersenyum senang.
"Waalaikumsalam mbak, masuk mbak, ibu sama bapak lagi sholat Maghrib".
"Kamu gak sholat dek?".
"Aku lagi libur mbak, biasa tamu bulanan".
Wafa duduk di kursi sederhana yang terdapat di ruangan itu, ruangan tamu sekaligus ruang televisi. Pandangannya beredar ke sekitar, rumah ini masih sama, masih tetap seperti dulu.
"Aku buatin minum ya mbak, mbak mau apa?".
"Teh tawar aja dek".
"Siiip, tunggu ya mbak".
Wafa mengangguk, "mbak ke kamar dulu ya dek, mau sholat maghtib. Tehnya simpan aja di sini".
"Iya mbak".
Wafa menghela nafas panjang untuk menata hati untuk menceritakan masalah rumah tangganya pada ke dua orang tuanya.
Beberapa menit kemudian, di tengah perbincangan ringan antara dirinya dan sang adik, Wafa menoleh saat ke dua orang tuanya keluar dari kamar dan datang menghampirinya.
Wafa berdiri menghambur ke dalam pelukan sang ibu. Selain merasa rindu pada perempuan yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu, ia juga butuh dekapan hangatnya untuk menguatkan hatinya. Bau harum khas seorang ibu mampu membuat Wafa nyaman dan lebih tenang. Ia menyeka air mata yang mengalir di pipinya, kemudian mencium tangan sang ibu juga bapak secara bergantian.
Setelah di rasa cukup tenang, ibu membawa Wafa duduk di kursi. Wajah teduh perempuan tua itu membuat Wafa tak tega jika harus menceritakan masalah rumah tangganya, di tambah lagi, bapak terlihat tak baik-baik saja.
"Ada apa sebenarnya nduk? Kenapa tiba-tiba bapak sama ibu mendengar kabar buruk tentang rumah tangga mu?". Tanya bapak.
"Maafkan aku Bu, pak, sebenarnya ini bukan hal baru. Rumah tangga ku sudah dari tiga bulan yang lalu bermasalah, tapi aku tidak pernah menceritakan masalah ini pada siapa pun. Aku malu pak, Bu".
Ibu, bapak dan Arini saling menatap dalam diam, bersiap untuk mendengarkan keluh kesah Wafa.
"Aku mencoba bertahan selama tiga bulan ini, tapi mas Fahmi tidak pernah berniat memperbaiki dirinya. Aku tidak masalah jika dia tidak memberikan ku nafkah, tapi dia bermain wanita Bu, bahkan di hadapan ku sendiri. Dia mabuk-mabukan, judi dan jarang pulang. Dari kalah judi aku harus membayar hutang-hutangnya, rasanya aku tidak kuat lagi pak, bu". Wafa terisak, ia menunduk dalam. Kecewa pada dirinya sendiri yang malah memberikan luka pada hati kedua orang tuanya.
"Apa masalah dasarnya nduk? Semua pasti ada sebabnya, tidak mungkin dia berbuat seperti itu tanpa sebab. Apa kamu sudah membicarakan ini baik-baik pada suami mu? Bertanya dengan kepala yang dingin?".
Wafa mengangguk. "Sudah, aku sudah mencoba berkali-kali mengajaknya berbicara, tapi ujung-ujungnya pertengkaran pak. Mas Fahmi bahkan tidak segan-segan memukul ku".
"Astaghfirullah ya Allah, kenapa seburuk ini nasib mu nduk?". Ibu menangis, mengusap puncak kepala Wafa dengan lembut, sorot matanya menampakan luka.
"Maafkan aku yang membuat bapak dan ibu kecewa, aku sudah memutuskan untuk berpisah dari mas Fahmi".
Bapak dan ibu kembali di buat terkejut, pernikahan Wafa baru seumur jagung, tapi putrinya itu sudah mutuskan untuk berpisah.
"Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik? Bapak ingin mendengar dulu penjelasan dari Fahmi. Jangan tersinggung nduk, bapak janua tidak mau mendengar penjelasan dari sebelah pihak saja. Kalau masih bisa di bicarakan, sebaiknya kita bicarakan dulu. Perceraian ituemang di bolehkan nduk, tapi Allah tidak menyukainya".
"Aku tahu pak, tapi aku sudah gak sanggup. Apa air mata aku tidak cukup meyakinkan bapak betapa aku tersakitinya pak??". Wafa semakin terisak, sesekali ia menghapus air matanya sendiri dengan punggung tangannya. Tubuhnya semakin bergetar akibat tangisan yang tak juga mereda.
Bapak terdiam, ia tahu Wafa tidak akan mungkin berbohong, apalagi ini menyangkut pernikahan, perjanjian yang bukan hanya terjalin dengan para manusia saja, tapi juga terjalin langsung denga Allah.
"Baiklah nduk, kamu yang menjalaninya, bapak akan mendukung apapun keputusan kamu. Besok bapak akan menghubungi Fahmi, supaya dia datang ke sini dan membereskan semuanya".
"Terima kasih pak, Bu".
Malam itu, suasananya begitu mengharukan, menyedihkan juga penuh dengan kegelisahan. Wafa telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya, memulai kehidupan yang baru tanpa ia tahu kehidupannya akan seperti apa nantinya. Ia mengesampingkan fikirannya tentang gunjingan orang yang sudah pasti akan ia terima nantinya. Wafa ingin mengakhiri semuanya, ia sudah tidak sanggup menerima perlakuan buruk dari seorang pria yang berstatus sebagai suaminya, pria yang menikahinya lima bulan yang lalu.
Ke esokan harinya, bapak dari Wafa benar-benar menghubungi Fahmi dan menyuruh pria itu datang ke malang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga putrinya, dan Fahmi meng iya kan.
Menjelang sore Fahmi sampai di stasiun kereta api kota Malang, ia bergegas mencari angkutan umum agar tak sampai kemalaman sampai di rumah Wafa.
Lampu-lampu jalanan mulai menyala, menghiasi malam di kota itu. Para pedagang yang menjajakan berbagai macam makanan ada yang baru memulai menggelar dagangannya ada juga yang bersiap untuk pulang.
Fahmi menghela nafas panjang, sejenak ia mengumpulkan keberanian untuk menghadap pada mertuanya, sesungguhnya, tak ada sedikit pun niat menyakiti Wafa, ia melakukan itu hanya semata-mata ingin berpisah dari Wafa dan menikahi wanita yang benar-benar di cintainya.
"Assalamualaikum". Fahmi mengucap salam bersamaan dengan tangannya mengetuk daun pintu berwarna coklat di depannya.
Lama tak ada jawaban, sepertinya para penghuni rumah tengah ke mesjid yang berjarak beberapa meter saja dari rumah, kebiasaan di kampung itu adalah kegiatan berjamaahnya yang masih kuat, pemandangan indah bagi setiap muslim yang di tempatnya masih memiliki mesjid yang isinya penuh dengan para jamaah. Termasuk di kampung Wafa ini.
Fahmi kembali mengucap salam seraya mengetuk pintu.
"Assalamualaikum pak Bu".
Terdengar derap langkah kaki mendekat, "Waalaikumsalam". Jawab seseorang dari dalam.
"Mas Fahmi?". Arini, adik dari Wafa itu begitu terkejut dengan kedatangan kakak iparnya. Ia menundukkan pandangannya saat Fahmi menatapnya dengan lekat. "Masuk mas".
Fahmi mengangguk, kemudian duduk di kursi ruang tamu setelah sebelumnya Arini mempersilahkannya untuk duduk.
"Yang lainnya kemana?". Tanya Fahmi.
"Lagi sholat jamaah Maghrib di mesjid mas".
Fahmi mengangguk, "Kamu apa kabar? Udah lulus yah?".
"Baik mas, Alhamdulillah udah".
Hening, sesaat mereka saling diam, tak ada pembicaraan lagi selain bunyi jangkrik yang terdengar bersahutan dengan suara jarum jam yang berdenting.
"Oiya aku sampai lupa, mas mau minum apa? Biar aku bikinkan".
"Gak usah repot-repot dek, kamu duduk aja, ada yang mau aku omongin".
Arini mengangguk, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang. "Ada apa mas?".
"Jangan pura-pura tidak tahu Arini, kamu tahu tujuan ku ke sini. Aku ingin berpisah dari Wafa dan menikahi mu".
Arini menatap Fahmi yang juga menatapnya, ada air bening menetes di pipinya tanpa permisi, entah tangisan apa yang gadis itu keluarkan, tangisan bahagia ataukah luka. "Aku tidak mau membahas ini mas".
"Kenapa Arini? Aku sudah cukup lama menunggu mu".
"Kamu suami mbak ku mas, ingat itu. Mbak Wafa sangat mencintai kamu, dan kamu malah memperlakukannya dengan buruk mas".
"Semua ini tidak akan terjadi jika saja kamu menerima aku dan tidak menyuruh ku menikahi mbak mu. Aku melakukan itu agar aku bisa berpisah dengannya dan menikahi kamu. Hanya kamu satu-satunya gadis yang aku cintai dari dulu sampai sekarang, gak ada yang berubah Arini".
"Cukup mas, mbak Wafa sangat mencintai kamu dari dulu. Jangan menyakitinya lagi".
"Tapi aku hanya mencintai kamu, kalau saja kamu tidak memaksa ku untuk menikahinya maka kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi".
"Tapi aku gak bisa lihat mbak Wafa terluka mas".
"Dan kamu sendiri terluka karena mengorbankan cinta kamu Arini".
Arini terdiam ia mengusap air matanya, benar apa kata Fahmi, ia memang mencintai pria itu, tapi sayangnya mbaknya pun menginginkan pria yang sama dengannya. Dan dia memilih mengalah dengan mengubur cintanya dan meminta Fahmi menikahi Wafa. Ia tak menyangka jika karena keputusannya itu banyak hati yang terluka pada akhirnya.
"Jangan tolak aku lagi Arini, aku sangat mencintai kamu. Inilah kesempatan kita untuk bersatu". Fahmi mencoba meyakinkan Arini, namun gadis itu tetap menggelengkan kepalanya.
"Maaf mas, aku tetap tidak bisa. Akan ada banyak hati yang terluka di sini".
Keduanya kembali terdiam, mereka tak menyadari, jika ada seorang perempuan yang tengah membekap mulutnya menahan agar tangisannya tak menimbulkan suara ketika ia baru saja mengetahui kenyataan baru tentang rumah tangganya yang ternyata mengorbankan dua hati, hati Arini dan Fahmi.
Wafa yang tidak enak badan memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, di antar ibu ia pulang ke rumah. Niatnya mengantar saja lalu ibu akan kembali ke mesjid, namun mendengar percakapan dua orang di dalam sana membuat ibu terkejut, ibu memeluk Wafa yang saat itu terduduk lemas di lantai saat kenyataan pahit kembali ia dapatkan. Ibu tak menyangka jika putri-putrinya menjalani masalah yang rumit seperti ini. Hatinya ikut sakit ketika mendapati hati putri-putrinya tersakiti dengan lingkaran cinta pada satu pria yang sama.
❤️❤️❤️
"Sabar nduk".
Hanya kata itu yang mampu ibu lontarkan, ia berada di posisi yang membingungkan, dua putrinya mencintai pria yang sama.
Suara samar-samar dari arah luar membuat percakapan Arini dan Fahmi terhenti, mereka sama-sama saling menatap kemudian beranjak melihat keadaan di luar.
Betapa terkejutnya ketika Arini mendapati Wafa dan ibu tengah menangis duduk di atas lantai. Gadis itu yakin jika Wafa dan ibu mendengar semua percakapannya dan Fahmi.
"Mbak Wafa, aku...."
Wafa mengangkat sebelah tangannya. "Jangan bicara apapun dek, mbak merasa menjadi orang bodoh". Ia semakin terisak.
Arini diam menunduk, ia pun menangis mendapati kekecewaan Wafa. Perasaan seseorang memang tidak bisa di atur kemana akan berlabuh, ia juga tak bisa menahan seseorang untuk mencintainya. Ia mencoba mengalah dan menyembunyikan perasaannya demi sang kakak yang ternyata juga mencintai pria yang sama. Tapi ternyata ia malah menyakiti hati kakaknya.
"Kalian membuatku terlihat konyol, aku tak menyangka jika aku sebodoh ini, aku tidak bisa menyadari perasaan kalian."
"Maafkan Arin mbak, Arin hanya ingin membuat mbak bahagia".
"Tapi kamu justru melukai mbak dek, mbak merasa menjadi orang bodoh dan jahat secara bersamaan". Wafa memeluk sang ibu, meluapkan rasa kecewanya, bukan kecewa pada adik dan suaminya, tapi kecewa pada dirinya sendiri yang hadir menjadi orang ketiga di antara adiknya dan suaminya.
"Maafkan aku Wafa, ini semua salah ku. Arini tidak bersalah dalam hal ini".
"Cukup mas, jangan bicara apapun lagi padaku. Kenapa kamu tidak bicara baik-baik padaku, kenapa kamu malah memperlakukan aku dengan kejam hanya untuk agar aku pergi dari mu".
Fahmi terdiam, ia akui caranya memang salah. Ia fikir dengan membuat Wafa membencinya semua akan mudah ketika kelak ia meminang Arini, tapi ia justru banyak menyakiti hati orang.
Di tengah perdebatan menyakitkan itu, bapak datang dengan tergesa. Dari kejauhan ia dapat melihat jika Wafa dan istrinya tengah menangis. Dan kehadiran Fahmi membuat bapak mempercepat langkahnya.
"Assalamualaikum". Ucap bapak.
"Waalaikumsalam pak".
"Kenapa berbicara di luar? Tidak enak di lihat tetangga. Ayok masuk, Bu ajak Wafa masuk".
Ibu mengangguk, ia menuntun Wafa untuk masuk. Mereka duduk bersama di ruang tamu.
"Ada apa ini nak Fahmi? Pernikahan kalian baru seumur jagung, tidakkah kalian bisa mempertahankannya?". Tanya bapak.
"Tidak pak, aku ingin tetap berpisah. Dan aku ingin mas Fahmi menjatuhkan talak pada ku malam ini juga." Tegas Wafa, ia menghapus air matanya, cukup sudah ia harus terlihat bodoh. Ia memang kecewa, tapi kekecewaan terbesarnya adalah pada dirinya sendiri. Ia tak menyangka jika ia akan menjadi orang ke tiga di antara adiknya juga suaminya.Menhadi penghalang bagi cinta mereka, dan ia hanya batu koncatan bagi Fahmi dalam menunggu Arini.
"Fikirkan dengan matang nduk, jangan terburu-buru mengambil keputusan".
"Aku sudah memikirkannya pak".
"Jika karena alasan sikap Fahmi padamu, bukankah itu masih bisa di rubah nduk? Bapak tidak ingin kamu menjadi gunjingan warga karena status mu. Kamu tahu sendiri di lingkungan kita ini janda itu di pandang sebelah mata".
"Bukan karena itu pak, mas Fahmi mencintai Arini, bukan aku. Aku hanya batu loncatan untuknya dalam menunggu Arini, itu justru akan lebih menyakitkan bagi ku pak, aku lebih terlihat menyedihkan." Wafa kembali terisak, ia meluapkan segala ganjalan di hatinya.
"Astaghfirullah, apa yang bapak dengar ini benar nduk?". Bapak menatap Arini dan Fahmi bergantian, keduanya hanya menunduk dan terdiam. "Apa diamnya kalian ini berarti IYA??". Tanya bapak lagi.
Arini dan Fahmi masih diam. Bapak menatap ibu yang juga tengah menangis. "Bu, apakah itu benar??".
Ibu mengangguk sebagai jawaban.
"Ya Allah...." Bapak meremas jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya, hingga menimbulkan rasa tak karuan juga nyeri di dadanya.
"Bapak..."
"Ya Allah pak.."
Semua orang panik, bertambah panik saat bapak mulai tak sadarkan diri.
Malam itu semuanya terungkap, menimbulkan kegaduhan juga rasa sakit bagi Wafa dan keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!