Pengenalan tokoh
Laura Anastasia, gadis manis berusia 21 tahun. Seorang anak yatim piatu, ayahnya meninggal saat dia berusia 10 tahun karena kecelakaan, dan ibunya meninggal saat dia berusia 18 tahun karena sakit. Dia mewarisi sebuah panti asuhan milik orang tuanya, namun saat dia berusia 20 tahun Laura memutuskan tinggal diluar panti asuhan, ditempat yang lebih dekat dengan kampus dan tempat ia bekerja. Namun begitu, setiap akhir pekan Laura selalu menyempatkan diri untuk pulang ke panti menjenguk ibu asuh dan adik-adiknya.
.
Edward Alexander Hugo, Pria mapan berusia 35 tahun. Seorang pewaris tunggal, cucu laki-laki semata wayang keluarga Hugo, salah satu keluarga crazy rich di ibu kota.
Tampan, mapan, rupawan, siapa yang tidak tergila-gila padanya, namun sayang, hingga di usianya yang ke 35 tahun, belum pernah sekali pun ada berita jika dia memiliki seorang kekasih. Tidak ada yang tau tentang status hubungannya. Mungkin dia seorang pria lajang. Atau mungkin telah beristri.
*****
Laura's POV
Di suatu hari Sabtu yang cerah, seperti biasa di akhir pekan adalah saatnya untuk ku pulang ke Panti.
Dengan mengendarai mobil sedan tua peninggalan ayahku, membelah jalanan ibukota, sambil bersenandung ria. Setelah berkendara selama kurang lebih 2 jam menuju pinggiran kota, tibalah aku ditempat dimana aku di besarkan oleh kedua orang tua ku.
Ya, orang tua kandungku mendirikan sebuah panti asuhan, meski mereka bukan orang kaya raya, tetapi mereka memiliki rasa kemanusiaan yang sangat besar, kasih sayang terhadap anak-anak yang sangat besar, karena mereka hanya bisa memiliki 1 orang anak saja.
Dan Ketika usiaku 5 tahun, ayahku tanpa sengaja menemukan seorang bayi laki-laki di depan rumah kami, ayah sudah melaporkan kepada ketua RT, tetapi sampai 1 bulan tak satu pun orang tua yang datang menjemput bayi itu, maka pak RT mengembalikan bayi itu kepada ayah dan ibu ku.
Sejak saat itulah, ayah dan ibu berniat mendirikan sebuah panti asuhan untuk anak-anak terlantar. Bermodalkan uang tabungan, donasi dan swadaya masyarakat, berdiri lah panti asuhan sederhana di atas tanah seluas 1 hektar peninggalan kakekku.
Dan setelah ayah dan ibuku meninggal, panti asuhan ini diurus oleh teman ibuku yang selama ini bekerja sama dengan orang tuaku merawat anak-anak di panti ini.
Ibu Maria, adalah orang yang menggantikan orang tuaku sebagai kepala panti asuhan. Bersama dengan temannya bibi Lili, dan beberapa pekerja lainnya untuk membantu mengurus anak-anak di panti yang jumlahnya hampir 30 orang.
"Selamat siang pak?" Sapa ku kepada tukang kebun yang biasa membersihkan halaman panti.
"Siang Non", sahutnya
"Pak, apa sedang ada tamu ? Mobil siapa itu ?" Tanyaku penasaran melihat ada mobil Pajero sport hitam, terparkir di halaman panti.
"Iya non, ada tamu. Tapi bapak kurang tau siapa, sudah hampir 1 jam belum keluar".
"Ya sudah pak, kalo begitu aku masuk dulu, jangan lupa makan siang ya pak".
"Iya non, nona juga jangan lupa makan siang".
Aku pun melangkahkan kakiku menuju pintu utama panti, ku sapa satu persatu adik-adik ku yang bermain di halaman.
Bughh... "aduh" seorang meringis setelah menabrak ku.
"Ian, ada apa dek ?" Kenapa kamu lari ketakutan begitu ?". Tanyaku pada adikku yang bernama Ian.
"Kak Lala, itu ibu didalam menangis, kakak tolong lihat ibu, Ian takut kak".
"Emang kenapa dek ?" Di dalam ibu sama siapa ?"
"Ibu didalam sama bibi Lili, dan ada orang asing kak, Ian ga tau itu siapa".
"Ya sudah, sekarang Ian kedepan, main sama yang lain, biar kakak yang lihat ibu".
"Baik kak". Ian pun pergi dan aku beranjak ke dalam ruangan tamu.
"Bu ada apa ini..?" Aku berjalan mendekat ke arah ibu Maria dan bibi Lily yang sedang menangis.
"Nak kapan kamu datang..?" Tanya ibu Maria sambil mengusap pipinya yang basah.
"Baru saja Bu, ada apa ini kenapa ibu menangis ?" Aku masih saja bertanya, mengabaikan dua orang asing yang menatapku sinis.
"Nak..."
Belum selesai ibu Maria berbicara sudah terdengar seruan dari salah satu orang asing itu.
"Siapa gadis ini Maria ? Apa dia putrimu ?" Tanya seorang wanita paruh baya dengan gaya angkuhnya.
"Kebetulan kalau kamu anaknya Maria, ibu kamu memiliki hutang yang sangat banyak dengan ku, dan sekarang telah jatuh Tempo. Jika dalam 2 hari ibu mu tidak bisa membayarnya, maka bersiaplah untuk meninggalkan panti ini". Wanita itu berbicara tanpa perduli dengan ibu Maria yang tetap menangis.
"Apa..?? Hutang yang banyak ?? Berapa banyak uang yang ibuku pinjam pada anda ??" Tanyaku tanpa tau siapa yang sedang ku ajak bicara.
"Nak..." Ibu Maria ingin bicara padaku tetapi dipotong lagi oleh wanita paruh baya itu.
"300 juta, ibumu meminjam uang 300 juta kepadaku". Serunya
"Tidak... aku hanya meminjam 200 juta, kenapa kamu bilang 300 juta ?" Sahut ibu Maria terisak.
"Hey Maria, kamu meminjam uang 200 juta itu sudah 4 tahun berlalu, tentu saja menjadi 300 juta ditambah dengan bunganya". Jawab Wanita paruh baya itu semakin angkuh.
Aku yang bingung menghadapi situasi ini, kenapa ibu Maria meminjam uang sebanyak itu? Kenapa panti ini yang menjadi jaminan hutang itu..? Apa mendiang ibuku tahu tentang ini..? Aku hanya bisa membatin.
"Bagaimana Maria, kembalikan uang ku segera, atau kosongkan panti ini segera?" Pilihan ada ditangan mu".
Ibu Maria semakin Terisak. aku tak sanggup melihat tangis ibu Maria, tangis yang sama saat ibu ku meninggal.
"Aku akan membayar hutang ibuku, tapi tolong beri aku waktu, aku akan melunasinya". Jawab ku pasti.
"Tentu saja anak manis, aku memberi mu waktu 2 hari, jika dalam 2 hari kamu tak melunasinya, maka kosongkan panti ini".
“Anwar, ayo kita pulang, kita kembali lagi dalam 2 hari, jangan lupa siapkan alat berat untuk menggusur panti ini". Wanita tua itu pun pergi tanpa permisi kepada kami.
"Tunggu kenapa hanya 2 hari ? Beri aku waktu 1 minggu". Aku memohon kepadanya. Dia pun berhenti dan hanya menolehkan kepala ke arahku.
"Hey anak manis, tanya ibumu berapa banyak kelonggaran waktu yang sudah aku berikan kepadanya, sekarang sudah tidak ada kelonggaran waktu lagi, 2 hari maka hanya ada 2 hari". Dia pun pergi, bersama laki-laki yang dia panggil Anwar itu.
Aku mendekat kembali kepada ibu Maria dan bibi Lily, aku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi.
"Bu... ada apa sebenarnya ini ? Apa yang tidak aku ketahui Bu..?!" Aku bertanya seraya menggenggam tangan ibu Maria.
Isak tangis Ibu Maria semakin keras, bibi Lily pun mendekap ibu Maria sembari mengusap punggungnya.
"Nak... ibu.. ibu mempunyai hutang kepada ibu tadi sebanyak 200 juta. Ibu tidak mengerti kenapa dia bilang hutangnya menjadi 300 juta".
"Katakan padaku Bu.. kenapa ibu meminjam uang sebanyak itu?? Untuk apa ?? Apa adik-adik disini kekurang biaya..?! Aku mencecar ibu Maria dengan banyak pertanyaan.
"Nak... mungkin sekarang sudah waktunya kamu tau, sebenarnya uang yang ibu pinjam itu, untuk biaya pengobatan ibumu selama ini, lebih tepatnya, ibumu lah yang meminjam uang itu kepada nyonya Melissa dengan menggadaikan sertifikat tanah panti ini".
Degh…
‘Apa..ibuku…?’
"Maksud ibu?" Jadi..."
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku, tak mampu melanjutkan kata-kata ku. Ya Tuhan... ibu ku selama ini berobat dengan meminjam uang kepada rentenir ? Air mata ku pun ikut mengalir tanpa ku minta.
Selama ibuku berobat, dia selalu bilang ada donatur yang memberi bantuan, tapi nyatanya apa ? Setiap aku bertanya, ibu selalu meminta ku untuk fokus belajar, jangan khawatir masalah biaya berobat ibu, selalu itu yang beliau katakan.
"Bu.. lalu kenapa nyonya tadi hanya memberi waktu 2 hari, kenapa dia tidak mau memberi kelonggaran waktu pada kita Bu ?" Tanyaku lagi saat aku sudah bisa mengontrol diriku.
"Sebenarnya dia sudah meminta sejak 6 bulan yang lalu nak.. tetapi ibu meminta kelonggaran waktu, dia memberi waktu 3 bulan lagi, tetapi ibu belum mendapatkan uang sebanyak itu, dan dia sering datang sejak sebulan lalu". Jelas ibu Maria.
"Kenapa ibu tidak memberitahu kepada ku Bu ? Apa aku bukan anak ibu ?" Kenapa tidak ada yang memberitahu ku masalah sebesar ini?". Aku hampir saja marah, tanganku terkepal, jujur aku emosi.
"Nak bukannya kami tidak mau memberitahu mu, tetapi kami tidak ingin kuliahmu terganggu, kamu juga harus bekerja untuk kami, setelah pulang kuliah". Kali ini bibi Lily yang bersuara.
"Lalu setelah semua ini terjadi, kita bisa apa bibi ? Apa kita akan membiarkan anak-anak terlantar ? Tidak bibi, ayahku akan sangat sedih jika melihat anak-anak terlantar, dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi".
Panti ini adalah rumah impian ayahku untuk merawat anak-anak yatim piatu yang terlantar, aku tidak akan membiarkan orang lain mengambil apalagi menghancurkan panti ini.
Aku pun berdiri, ya aku harus melakukan sesuatu,. Nasib adik-adikku ada ditanganku.
"Bu.. bibi.. aku harus pergi, doakan aku, semoga aku mendapatkan uang itu". Aku pun meraih tangan ibu Maria dan bibi Lily bergantian.
"Kamu mau kemana Nak?" Ibu Maria bertanya kepadaku
"Aku akan mencari uang itu Bu"
.
.
To be continue
***
Mohon kritik, saran, like dan komentarnya ya teman redears. Aku baru belajar menulis 🤗
TerimaGaji ❤️
Dengan terburu-buru aku meninggalkan panti, mengendarai mobil tuaku kembali ke arah kota. Tujuan ku sekarang hanya satu, bank swasta, ya aku harus segera sampai di bank, aku akan meminjam uang dengan menggadaikan bpkb mobil tuaku.
Sesampainya di parkiran sebuah bank swasta ternama di negara ini, aku pun keluar dari mobilku, berjalan tanpa memperhatikan sekitarku, karena tujuanku hanya satu, yaitu cepat mendapatkan UANG.
Bugh...
"aduh... maaf aku tidak sengaja". Saking terburu-burunya, aku sampai menabrak orang yang datang dari arah berlawanan denganku.
"Anda tidak apa-apa nona ?" Tanya seorang pria dengan sopan.
"Iya, aku baik-baik saja, maaf aku sedang terburu-buru". Aku mengatupkan tangan di dadaku. Kulihat ada dua orang pria di depanku. ‘Tampan sekali’. Batinku, saat melihat salah satu dari mereka, seorang pria dewasa dengan setelan kerja berwarna coklat muda.
‘Ah tidak-tidak’ aku menggelengkan kepalaku.
"Anda kenapa nona ?” Tanya pria yang ku tabrak, ku perhatikan sepertinya dia lebih muda dari pria yang satunya.
"Tidak... maaf aku sedang terburu-buru, aku harus cepat masuk sebelum banknya tutup". Gumam ku
Aku meninggalkan dua orang pria itu begitu saja, dan aku merasa salah satu dari mereka terus memperhatikan ku. Ah tetapi bukan itu yang penting sekarang. Aku pun melangkah dengan pasti.
*****
"Maaf nona, kami tidak bisa memberikan pinjaman sebanyak itu, jaminan yang anda bawa hanya cukup untuk pinjaman sebesar 50 juta saja". Jelas pegawai bank yang aku temui.
"Hah..." aku menghela nafas kasar.
Aku pun permisi, keluar dari bank itu. Tidak ada gunanya aku memohon, toh juga aku tidak akan mendapatkan uang yang aku butuhkan.
"Aku harus kemana...?" Aku berjalan gontai sambil berpikir. Dan... ya dealer mobil. Ya aku akan kesana.
"Ayah, maafkan aku menjual mobil peninggalan mu". Desahku sedih.
*****
Sama seperti pegawai bank tadi, pegawai dealer ini pun meminta maaf padaku, karena hanya bisa membayar mobilku seharga 50 juta saja.
Percuma juga uang segitu, aku membutuhkan 300 juta. Untuk membayar bunganya saja tidak cukup. Dan jika aku hanya membayar segitu, suatu hari nanti bunganya akan bertambah lagi. Dan rentenir itu akan semakin kaya. Aku keluar dari dalam dealer tersebut.
"Astaga... Ayah... Ibu... aku harus apa ? Aku harus kemana lagi...?" Tolong aku Yah... Bu.."
Langkah ku semakin gontai, kepalaku terasa berputar.
Dan..
Bugh...
"Kita bertemu lagi nona". Suara seorang pria yang menangkap tubuhku.
Aku buru-buru berdiri tegak, kulihat pria yang menolong ku, astaga.. dia salah satu pria yang tadi aku tabrak di depan bank. Tepatnya pria yang lebih muda.
"Terimakasih telah menolongku pak". Ucap ku tulus.
"Sama-sama nona, sepertinya kamu sedang dalam situasi sulit ? Apa ada yang bisa aku bantu ?" Tanya nya sembari tersenyum manis.
‘Apa aku harus bercerita kepada orang asing ini..? Apa aku harus meminta bantuan padanya..? Tidak..tidak.. aku bahkan tidak mengenalnya’. Batinku
"Kenalkan nona, namaku Johan", nona bisa memanggil ku Jo". Dia mengulurkan tangan, seolah tau apa yang aku pikirkan.
Dengan ragu aku menyambut uluran tangannya. "Aku Laura, anda bisa memanggil ku Lala".
"Kita sudah saling kenal bukan, maka ceritakan masalah mu padaku nona, siapa tau aku bisa membantumu". Dia lagi-lagi tersenyum manis kepadaku.
"Ekhmm.."
Seseorang seolah memberi interupsi, dan kami pun menoleh ke arah yang sama,.
Wah.. pria tampan itu lagi, aku menatapnya kagum.
"Ah, nona.. bagaimana kalau kamu ikut dengan kami, kita mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol, mungkin sambil minum kopi". Tawarnya padaku.
Astaga.. mendengar kata minum, aku baru sadar kalau aku belum makan siang.
"Ya.. kebetulan pak, aku belum makan siang". Jawabku malu-malu, lebih tepatnya tak tau malu.
Pria itu melihat ke arah pergelangan tangannya yang dilingkari jam tangan mewah.
"Astaga nona, ini sudah lewat dari jam makan siang, kenapa kamu melawati jam makan siangmu? Sepertinya masalah yang kamu hadapi begitu besar sehingga kamu lupa makan siangmu". Dan tebakannya memang benar.
"Ikut kami nona, kami akan mentraktir mu makan siang". Pria tampan yang tadi hanya diam tiba-tiba bersuara.
"Baiklah..." aku rasa memang aku perlu makan untuk saat ini, aku tidak mau terjadi sesuatu padaku, siapa nanti yang akan membantu ibu Maria jika aku sampai sakit. Aku pun berjalan ke arah mobilku.
Ku lihat dua pria itu masuk kedalam sebuah mobil mewah, pak Johan membuka pintu penumpang bagian belakang mobil itu, dan pria tampan itu pun masuk lalu pak Johan menutupnya, ku lihat pak Johan memutari mobil itu dan masuk ke tempat supir. Dapat ku pastikan, kalau pak Johan adalah asisten pria tampan yang tidak aku ketahui namanya itu.
Perlahan mobil mewah itu berjalan keluar areal dealer, diikuti oleh mobil tua milikku.
Laura's POV end
.
.
.
Edward's POV
Hari Sabtu merupakan hari pendek bagi ku untuk bekerja. Ya, aku hanya ke kantor sampai jam makan siang, setelah itu pulang. Tetapi hari Sabtu ini, aku mendapatkan undangan jamuan makan siang dari seorang teman ku disalah satu bank swasta di kota ini. Mau tidak mau aku pun datang menghadiri undangan tersebut, hitung-hitung makan gratis pikirku.
"Bos.. setelah ini kita mau kemana lagi ?" Tanya asisten ku yang bernama Johan.
Kami berjalan beriringan menuju pintu keluar bank. "Pulang saja lah Jo, aku lelah". Jawabku sambil memakai kaca mata hitamku.
Pintu bank terbuka, seorang satpam memberi hormat padaku, dan ku balas dengan anggukan kepala. Saat di halaman parkir bank, belum juga sampai di mobil, tiba-tiba seseorang menabrak asisten ku dari arah depan.
Bugh....
"Aduh...maaf aku tidak sengaja". Suaranya sangat lembut, aku pun memperhatikannya.
"Anda tidak apa-apa nona ?" Jo bertanya kepadanya.
"Iya, aku baik-baik saja, maaf aku sedang terburu-buru". Dia mengatupkan tangannya di dada. Dia melihat ke arah ku dan Johan bergantian. Lalu ku lihat dia menggelengkan kepalanya.
"Anda kenapa nona ?” Tanya Jo lagi padanya.
"Tidak... maaf aku sedang terburu-buru, aku harus cepat masuk sebelum banknya tutup". Dia pun pergi meninggalkan kami.
Aku terus memperhatikannya sampai dia memasuki bank. Ah dia manis sekali.
Jo melihat aneh kepadaku, aku tau dia memperhatikan kemana arah pandang ku. "Apa kita jadi pulang bos ?" Tanyanya lagi. Ah dia memang asisten andalanku, dia selalu bisa membaca pikiran orang.
"Kamu memang cenayang Jo, kita masuk dulu ke mobil, kita tunggu sampai dia keluar". Aku pun masuk ke mobil ku dan mendudukkan badan ku yang lelah.
Setelah beberapa menit menunggu, "Bos, nona itu sudah keluar bos". Jo memberitahu ku.
"Ikuti dia Jo, kita harus mendapatkannya".
"Kita atau kamu bos ?" Ah dasar Jo, ingin sekali aku menggeplak kepalanya dari belakang.
Gadis manis itu, dia mengendarai mobil sedan tua, entah ada urusan apa dia ke bank dengan terburu-buru, dia juga pergi meninggalkan bank dengan terburu-buru.
Ah.. baru kali ini aku seperti orang gila, mengejar seorang gadis yang bahkan aku tidak tau siapa namanya.
"Bos.. nona itu pergi ke dealer mobil bos". Jo memberitahu lagi.
"Masuk ke halaman dealer Jo, kita tunggu dia disana".
"Apa bos sedang jatuh cinta pada pandangan pertama bos ?" Jo bertanya sambil menaik turunkan alisnya.
"Tutup mulutmu Jo, aku hanya penasaran kenapa gadis itu begitu terburu-buru, seperti nya dia ada masalah keuangan".
"Sebelumnya kita juga bertemu dengan orang yang terburu-buru, dan punya masalah keuangan tapi bos tidak perduli".
"Bicara sekali lagi, ku potong lidahmu Jo". Dari belakang Aku menendang jok yang Jo duduki. Dan Johan pun terbahak. Memang dasar asisten tidak punya akhlak, sedikitpun tidak memiliki rasa hormat pada atasan. Namun begitu aku sangat menyayangi nya, dia sudah ku anggap seperti adikku sendiri.
Setelah beberapa menit, aku melihat dia keluar dari dalam dealer. Ku lihat dia berjalan dengan lemas, dan sepertinya dia sedikit limbung.
"Jo, cepat keluar sepertinya dia akan jatuh"
"Baik bos.."
Johan pun menangkap tubuh semampai itu,. Ah sial, kenapa bukan aku saja yang turun. Awas saja kamu Jo, kalau sampai mengambil kesempatan dalam kesempitan, ku habisi dirimu.
Entah apa yang Jo dan gadis itu bicarakan, sampai ku lihat mereka berjabat tangan. Johan benar-benar ya. Aku harus menghampiri mereka.
"Ekhmmm..." aku berdehem, menginterupsi dan mereka pun berbalik melihatku.
"Ah, nona.. bagaimana kalau kamu ikut dengan kami, kita mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol, mungkin sambil minum kopi". Entah Jo serius, atau sekedar basa-basi.
Ku lihat dia sedikit berpikir.
"Ya.. kebetulan pak, aku belum makan siang". Jawabnya sambil menunduk. Astaga gadis ini, sudah jam berapa ini ? Kenapa dia sampai melewatkan makan siangnya.
"Astaga nona, ini sudah lewat dari jam makan siang, kenapa kamu melawatkan jam makan siangmu? Sepertinya masalah yang kamu hadapi begitu besar sehingga kamu lupa makan siangmu". Johan apa dia seorang peramal, dia seperti mewakilkan aku berbicara.
"Ikut kami nona, kami akan mentraktir mu makan siang". Aku pun berbicara tanpa menunggu jawaban darinya.
"Baiklah..." dia menjawab singkat.
Aku pun berlalu menuju mobilku, diikuti Jo, yang kemudian membukakan ku pintu penumpang di bagian belakang dan dia ke bagian depan, duduk di belakang kemudi.
Aku menoleh ke belakang, melihat gadis itu masuk ke mobilnya, setelah mobilku berjalan, dia pun mengikuti kami.
"Kita makan dimana bos". Tanya Johan, membuatku kembali menghadap ke depan.
"Ke tempat kita biasa makan saja Jo".
"Siap bos".
Edward's POV end.
.
.
.
To be continue
Author's POV
Mereka sampai di salah satu restoran mewah di ibukota. Johan terlihat turun terlebih dulu, lalu ia membukakan pintu untuk atasannya. Edward terlihat keluar dari mobilnya, sebelum melangkah ia merapikan dulu jas dan kacamata hitamnya.
Dengan langkah ragu, Laura pun mengikuti kedua pria tampan itu.
Memasuki areal restoran, nampak seorang petugas memberi salam hormat dan membukakan pintu untuk mereka.
Seorang pramusaji datang menghampiri mereka, karena seringnya Edward dan Johan datang ke restoran ini, pramusaji itu pun mengarahkan mereka ke ruangan VIP yang sering Edward gunakan.
"Silahkan.. tuan-tuan dan nona". Pramusaji itu membukakan pintu sambil tersenyum ramah.
"Silahkan duduk nona.." Jo menarik sebuah kursi untuk Laura. Sontak membuat Edward memicingkan matanya ke arah Johan. Dan Jo hanya terkekeh geli.
"Silahkan menunya tuan". Pramusaji menyodorkan buku menu, namun Edward menaikkan salah satu tangannya, tanda ia menolak.
"Berikan kami menu special today yang kalian punya". Perintah Edward sambil menatap Laura.
"Baik tuan, kalau begitu saya permisi". Pramusaji itu pun meninggalkan ruangan VIP tersebut.
Hening seketika menyapa ruangan VIP itu, ingin rasanya Laura keluar dari tempat itu, ia merutuki kebodohannya yang mau mengikuti kedua pria tampan ini.
Edward terus saja memperhatikan Laura, yang semakin membuat Laura canggung.
"Kita belum berkenalan". Suara Edward memecah keheningan.
"Huft..." terdengar helaan nafas dari bibir manis Laura.
"Perkenalkan nona, namaku Edward.....". Dia seolah sengaja menjeda ucapannya, sembari menjulurkan tangan ke arah Laura.
Dengan sedikit gemetar, Laura membalas uluran tangan pria tampan itu, "namaku Laura, tuan bisa Memanggilku Lala".
"Hanya Laura..?" Tanya Edward penasaran.
"Laura Anastasia, panggil saja aku Lala".
"Oh… Aku Edward Alexander Hugo, kamu boleh memanggilku Ed". Jelas Edward.
"A-apa.. Hugo ?" Laura langsung menarik tangannya.
‘Astaga.. dia seorang Hugo, mati aku kenapa harus berurusan dengannya’. Batin Laura
"Memangnya kenapa dengan Hugo nona?" Kali ini Jo yang bersuara, ia tak mau hanya sekedar menjadi penonton disana.
"Ti-tidak apa-apa, aku hanya terkejut saja. Siapa yang tidak tau keluarga Hugo". Laura tersenyum kaku.
"Kamu yang tak tau". Ed berkata datar. "Buktinya kamu tidak mengenali wajahku, dan baru terkejut saat aku menyebutkan nama panjang ku".
"Itu... aku hanya sekedar tau nama keluarga mu saja tuan, dimana-mana dieluh-eluhkan, memiliki bisnis di semua bidang".
"Kamu tidak melihat fotoku di internet?" Edward semakin penasaran.
Laura menggeleng "aku tidak sempat, maksudku aku hanya menggunakan internet untuk keperluan penting seperti belajar, selebihnya aku tidak sempat". Ada kegetiran di balik ucapannya.
"Permisi.. tuan-tuan dan nona, makanan anda siap". Pramusaji yang tadi datang menginterupsi.
"Ya..silahkan sajikan". Johan memberi perintah.
Pramusaji itu dan seorang temannya menyajikan makanan yang di minta oleh Edward tadi.
Mereka bertiga pun menyantap hidangan itu, meski Edward dan Johan sebelumnya sudah makan siang.
Setelah selesai bersantap, hening kembali menyapa ruang makan VIP tersebut. Melihat kecanggungan yang tercipta, Johan berinisiatif untuk memulai obrolan.
"Nona.. bisakah kamu mulai bercerita, masalah apa yang sedang kamu hadapi?". Johan bergantian menatap Laura dan Edward.
"Jangan disini Jo, kita pulang saja". Edward memberi perintah.
"Hah.." Laura menganga tak percaya. Pulang?? Batinnya.
"Berikan kunci mobil nya Jo, biar aku yang menyetir, dan kamu Ara, berikan Jo kunci mobilmu". Edward mengambil kunci yang Jo sodorkan.
"Tapi... Tuan..."
"Aku tidak mau mendengar penolakan Ara, atau kamu mau aku gendong ke parkiran ?"
Laura sontak menggelengkan kepalanya.
"Ikut saja nona, percaya lah kamu aman bersama bos, dan mobilmu aman bersamaku". Johan bicara sambil menaik turunkan alisnya.
"Hah..." Laura menghela nafas kasar "baiklah, pak Jo tolong hati-hati membawa mobilku, itu satu-satunya yang aku miliki". Lalu menyerahkan kunci mobil tuanya pada Johan.
Edward berdiri diikuti Jo, mau tak mau Laura juga ikut berdiri.
"Jo.. urusi pembayaran nya, setelah itu susul kami pulang". Perintah Edward
"Siap bos" Jo berlalu menuju kasir.
*****
Keheningan kembali terjadi di dalam mobil yang di kendarai oleh Edward. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, supaya bisa lebih lama bisa berduaan dengan gadis manis disampingnya.
Setelah hampir 30 menit berkendara, mereka tiba di sebuah gedung tinggi menjulang, mobil memasuki halaman gedung, menuju parkir bawah tanah ( basement ).
Memarkirkan mobilnya dengan rapi, Edward pun mengajak Laura turun. Dengan ragu Laura mengikuti langkah Edward.
Menuju sebuah lift khusus, Edward menempelkan sebuah kartu di sebelah pintu lift, dan lift pun terbuka lebar.
"Ayo Ara". Suara Edward menginterupsi lamunan Laura.
"Tuan kenapa memanggilku Ara, bukankah sudah aku katakan, panggil saja aku Lala". Laura merasa aneh di panggil Ara, karena sejak kecil ia sudah terbiasa dipanggil Lala.
"Aku lebih suka memanggilmu Ara".
Ting... Pintu lift terbuka dan menampakkan satu pintu besar di depannya.
Laura melihat ke kanan dan ke kiri. ‘Tunggu hanya ada satu pintu di depan lift ini?’ Ia bertanya dalam hati.
"Kenapa malah bengong, ayo masuk". Ternyata Edward sudah membuka pintu itu.
*‘Wow.. menakjubkan..* satu kata yang terlintas di benak Laura ketika memasuki ruangan besar itu. ‘Apa ini yang di namakan apartemen ? Kenapa luas sekali ? Ada kolam renang di teras dan ada tangga menuju lantai atas’.
"Sudah selesai melihat-lihat nya ?" Eh.. Laura tersadar dari kekaguman nya.
"Duduklah di sini". Edward mengajak Laura duduk di sebuah sofa diruang tamu.
Terdengar pintu terbuka kembali, Johan datang mendekat dan ikut bergabung.
"Apa kamu ingin minum sesuatu nona?" Johan menawari dengan ramah.
"Tidak pak Jo, terimakasih". Laura menolak secara halus.
"Kalau begitu, mulai lah bercerita, kami akan mendengarkan ceritamu nona".
"Sebenarnya a-ku..” Laura menghela nafasnya sebentar.
"Sebenarnya aku membutuhkan uang sebanyak 300 juta dalam waktu 2 hari ini".
"Untuk apa uang sebanyak itu nona?" Johan seperti seorang detektif.
"Hah..." Laura nampak berpikir sejenak, ia menimbang, haruskah menceritakan kisah hidupnya kepada orang-orang yang baru beberapa jam ia temui?? Ya, untuk apa juga di tutupi, lagi pula dia bukan orang penting di negara ini, jadi kisah hidupnya tak akan penting bagi orang-orang kan?.
"Baiklah, aku akan menceritakan masalahku, agar lebih mudah untuk ku menjelaskan untuk apa uang sebanyak itu".
"Ceritakan lah Ara.." suara Edward terdengar dingin.
"Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diriku terlebih dulu, namaku Laura Anastasia, aku berusia 21 tahun, dan tahun ini aku berstatus mahasiswi tingkat 3 di salah satu universitas swasta di kota ini. Aku seorang anak yatim piatu, ayahku meninggal saat aku usia 10 tahun, dan ibuku meninggal 3 tahun lalu".
Bayangan-bayangan kenangan bersama orang tuanya pun bermunculan, sehingga membuat mata Laura menjadi berkaca-kaca.
Johan menyodorkan sapu tangan, namun Laura menolaknya.
"Lanjutkan Ara.."
"Aku sebelumnya tinggal di panti asuhan, bukan karena aku yatim piatu, tetapi karena panti itu milik orang tua ku, mereka sangat menyayangi anak-anak, jadi mereka berinisiatif mendirikan panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu".
Johan nampak berdiri, ia berjalan menuju ke arah dapur, mengambil 3 botol air mineral dan meletakkan di atas meja di depan Laura dan Edward.
"Terimakasih pak Jo" ucap Laura tulus.
"Maaf nona, kalau boleh tau, apa penyebab orang tua nona meninggal?" Johan ragu untuk bertanya.
"Tidak apa-apa pak Jo, aku juga akan menceritakannya. Ayahku meninggal karena kecelakaan, saat itu kami akan pergi piknik untuk merayakan kenaikan kelasku dan aku mendapatkan peringkat pertama".
Laura menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Saat kami akan bersiap-siap, ayah melihat seorang anak di depan panti, ayah menghampiri anak itu, ketika akan menyeberangi jalan, tiba ada motor yang melaju kencang dan menyerempet ayahku, kepala ayah terbentur trotoar jalanan, dan ayah meninggal setelah koma selama satu hari". Laura menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Bayangan ayahnya yang mengalami kecelakaan kembali terlintas.
Edward membukakan tutup botol air mineral dan menyodorkan kepada Laura. "Minumlah sedikit, jangan di ceritakan jika itu membuatmu sakit".
Laura menerima air itu, dan meneguknya sedikit.
"Ibu meninggal karena sakit, kanker nasofaring stadium 4, aku juga tidak tau sejak kapan sakitnya, tapi aku baru tau sejak aku berusia 16 tahun, ibuku sering pergi keluar panti, dan ternyata untuk berobat". Hah.. Laura kembali menegakkan tubuhnya dengan mendekap bantal sofa di pangkuannya.
"Dan itu sebabnya sekarang aku membutuhkan uang 300 juta itu". Laura metanap lurus, pikirannya menerawang jauh, kemasa dimana ia ikut mengantar ibunya berobat.
"Untuk apa nona ?" Tanya Johan
"Membayar hutang ibuku, dulu aku sudah sering bertanya padanya dimana beliau dapat uang untuk berobat, beliau selalu bilang ada donatur yang memberikan bantuan. Aku hanya disuruh fokus belajar saja waktu itu. Mungkin karena aku masih remaja, jadi aku percaya saja apa yang ibuku ucapkan". Laura kembali menyeka air matanya.
"Sampai tadi siang, saat aku pulang ke panti aku baru tau ternyata dulu ibuku meminjam uang sebanyak 200 juta kepada seorang rentenir".
"Tadi bukannya nona mengatakan 300 juta?"
"Iya pak Jo, kata rentenir itu, hutang ibuku yang 200 juta sekarang sudah menjadi 300 juta, termasuk bunganya".
"Dari mana kamu tau soal ini Ara?" Edward pun ikut bertanya.
"Tadi di panti, aku melihat ada tamu, dan ternyata itu adalah rentenir. Dia hanya memberikan waktu sampai lusa, jika tidak kami harus keluar dari panti, karena ibu menggunakan sertifikat tanah panti sebagai jaminan hutangnya".
"Siapa yang mengurus panti asuhanmu setelah orang tua mu meninggal Ara ? Apa kamu mengurusnya sendiri ?" Edward berbicara sambil menatap Laura dengan lembut.
Laura menggelengkan kepalanya "tidak.. ada teman ibuku yang mengurus panti, beliau juga yang bekerja sama dengan orang tua ku mendirikan panti itu, namanya ibu Maria. Ada juga bibi Lily, dan beberapa pekerja untuk membantu mengurus adik-adik dan merawat panti".
Laura meneguk kembali air mineralnya. "Aku sejak setahun lalu, pindah tinggal di kontrakan di dekat kampus dan tempatku bekerja, karena kalau dari panti ke sini, memakan waktu hampir 2 jam".
"Kamu bekerja Ara?"
"Iya.. aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe untuk membiayai hidupku, karena aku tidak mendapatkan tanggungan dari donatur panti". Laura terkekeh kecil.
"Aku akan membantu mu Ara.. aku akan memberimu uang untuk melunasi hutang ibumu". Edward berkata tegas.
"Tidak tuan, aku tidak punya apapun untuk ku jadikan jaminan". Laura menggeleng. "Aku hanya punya mobil tua, itu pun harganya tak seberapa, bank dan dealer saja hanya mau memberi 50 juta dan katanya itu sudah harga tinggi".
"Kenapa tidak Ara, kamu masih punya yang lain, yang bisa kamu gadaikan padaku dan aku rasa itu cukup untukmu membayar hutang padaku". Edward meneliti Laura dari kepala sampai kaki.
Merasa diperhatikan, Laura menutupi bagian tubuhnya dengan bantal sofa. "Mak-maksud tuan a-apa?"
.
.
.
To be continue
Mohon kritik, saran, like dan komentarnya teman Readers 🤗
Aku baru belajar menulis.
TerimaGaji ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!