NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Rianti

1. Aku tidak lagi menarik

"Aku mau menikah lagi!" Kata suamiku yang berhasil membuat aku terkaget bukan main.

"Aku tak ridho!" Jawabku sambil menatap lekat wajahnya.

"Ridho tak ridho, aku tetap akan menikah lagi!" Tanpa menunggu jawabanku, ia berlalu begitu saja. Meninggalkanku dengan segala kesedihan yang mendalam.

[Mass, aku tak ridho maassss!] Aku merintih dalam hati. Tanganku terkepal menahan sakit di hati.

Dadaku sesak, air mata mulai menggenang di pelupuk mata, berjejal bahkan seolah berlomba-lomba untuk segera keluar, seperti dahsyatnya air sungai yang ingin menerobos bendungan yang kokoh.

Aku mengambil posisi duduk menghadap jendela kamarku yang ada dilantai dua. Melihat awan hitam yang mulai menggelayut manja dilangit. Pertanda sebentar lagi akan ada hujan. Angin kencang mulai berhembus mungkin hujan kali ini akan begitu deras.

Ahh, bahkan sepertinya langit pun ikut bersedih melihatku yang kini terpaku membisu tanpa suara.

Tetesan demi tetesan air mulai jatuh dari langit, diikuti dengan bunyi petir yang menggelegar membela keheningan sore itu.

Aku masih terpaku menatap langit yang kini sedang tak cerah, sementara perkataan suamiku terus menggema dalam telingaku, gemaannya mampu menusuk jauh ke dalam relung hatiku.

[Aku ingin menikah lagi!] Perkataan itu terus terngiang-ngiang ditelinga.

Bagaimana bisa suamiku ingin menikah lagi, sementara aku sudah memberikan banyak anak untuknya, bahkan saat ini aku sedang mengandung anak kami yang ke empat.

Yah, aku pikir kebanyakan lelaki beralasan ingin berpoligami karena masalah tak kunjung diberikan keturunan tapi ternyata itu semua tidak berlaku untuk suamiku.

[Sungguh tega kamu mas!]

Segera kututup wajahku yang telah basah dengan air mata. Ingin sekali rasanya aku menjerit, tapi sebisa mungkin aku tahan karena tak ingin anak-anak mendengarnya. Apalagi saat ini si bungsu sedang tertidur pulas di tempat tidurku.

"Allahumma sayyiban naafi'an, Allahumma sayyiban naafi'an, Allahumma sayyiban naafi'an!" Kutengadahkan tangan seraya melafalkan doa ketika hujan. Ini memang selalu jadi kebiasaanku, membaca doa ketika hujan turun.

"Solatulloh solamulloh, ala Toha Rosululloh, solatulloh solamulloh, ala Yasin habibillah dst." Kulanjutkan dengan senandung Sholawat rindu untuk sang Nabi agung.

"Mi ... Mi ... *****!" Suara anak bungsuku menyadarkanku disusul dengan tangis anak keduaku yang entah kenapa.

"Ummi.. ummi, adek jatuh dari tangga!" Teriak anak sulungku yang membuatku refleks berdiri dan hampir berlari meninggalkan si bungsu yang sedang menangis di tempat tidur.

Aku langsung menggendong anak ke tigaku yang kini genap berusia satu tahun. Kemudian berlari kecil menuju anak keduaku yang kata kakaknya terjatuh dari tangga.

Sesampainya di bawah kulihat suamiku nampak sibuk dengan gawainya seolah tak peduli dengan apa yang terjadi pada anaknya.

Sementara Fatih (Sulungku) dengan sigap membopong adiknya Syamil (anak kedua) ke kamar mereka. Aku mengikuti mereka dari belakang sambil menenenkan Syafiq (anak ketigaku).

"Ini kenapa dek? Kok sampe jatuh dari tangga?" Tanyaku pada Syamil yang kini berusia dua tahun. Sambil sibuk memeriksa bagian tubuhnya barangkali ada yang luka.

"Anu ummi, tadi Syamil ,Fatih ajak menyusul ummi ke kamar, habisnya dari tadi Syamil ngajak Abi main tapi selalu ditolak sama abi!" Jawab anak sulungku yang kini berusia sebelas tahun.

"Dalam perjalanan menuju ummi, syamil malah jingkrak jingkrak di tangga, jadinya jatuh ummi!" Sambungnya lagi.

"Ya sudah, yang penting Syamil ga papa kan dek?"

"Ga papa ummi!"

"Ya sudah, ummi bicara sama Abi dulu, abang Fatih jaga adek-adek yah!" Pintaku pada anak sulungku itu.

"Iyah ummi, Fatih jaga adek-adek ummi!" Jawabnya dengan sedikit tersenyum.

Aku berlalu meninggalkan anak-anak yang tengah asyik bersenda gurau bersama. Aku bahagia Allah karuniakan mereka dalam hidupku. Tiga ksatria yang kelak akan menjadi pelindungku.

"Mas aku mau bicara!" Kataku pada suami yang tengah asyik dengan gawainya dan tak mempedulikan aku.

"Mas, kenapa Syamil mau ajak main, tapi ditolak sama mas? Kenapa mas?" Lanjutku dengan nada sedikit emosi.

Suamiku memang telah berubah semenjak kesuksesan yang ia capai. Menjadi dosen di salah satu Universitas swasta ternama di ibukota, usaha ekspedisi yang semakin banyak peminatnya, serta menjadi CEO perusahaan penghasil produk-produk rumah tangga dan pemeliharaan diri untuk keluarga. Tak ayal penghasilan kami perbulan bisa mencapai ratusan juta.

Namun walaupun begitu suamiku teramat perhitungan dengan segala pengeluaran rumah tangga kami. Ia sama sekali tak meringankan pekerjaan rumah tangga dengan sekedar memperkerjakan pembatu.

"untuk apa ada kamu kalau harus membayar jasa orang lain untuk mengurus segala urusan rumah tangga." Katanya kala itu.

"Aku lagi tidak ingin bermain dengan anak-anak. Aku capek seharian bekerja. Aku ingin santai-santai!" Jawabnya yang masih dengan pandangan pada gawainya dan mengabaikan aku.

"Mas aku sedang bicara, tolong letakkan gawainya dulu. Dan yah aku pun ingin membahas perihal niatmu yang ingin menikah lagi!"

Suamiku membenarkan posisi duduknya dan meletakkan gawainya itu disamping.

"Aku kan sudah bilang, ridho tak ridho, aku tetap akan menikah lagi, jelas?" Dengan nada yang ditekan ia memberikan pernyataan padaku.

"Apa alasanmu untuk menikah lagi mas? Sementara aku sudah memberikan banyak anak padamu. Bahkan saat ini aku sedang mengandung anak ke empat kita."

"Karena aku bosan denganmu. Lihat dirimu Rianti, kamu sudah tidak menarik lagi buatku. Gendut, kusam dan ahh sudahlah!"

Jawabannya membuat aku menahan nafas. Seperti tak percaya ia mengata-ngataiku sedemikian kejamnya.

"Setiap pulang rumah aku harus mendapatimu dengan pakaian lusuhmu, rumah yang berantakan, dan bau parfum khas dapurmu itu alias bau bawang dan asap." Lanjutnya dengan telunjuk menjalari tubuhku.

"Kau lihat tanaman yang layu itu, itu ibarat kamu, yang sudah layu termakan zaman, ngerti kamu?"

Bagaikan busur panah yang menancap tepat di jantung, kata-kata suamiku begitu membuat aku sakit hati.

Aku akui, aku mulai tak pandai menjaga penampilan. Bukan karena aku tidak peduli lagi dengan pandangan suamiku, tapi karena pekerjaan rumah tangga yang menurutku tak pernah ada habisnya ini yang membuatku tak punya waktu hanya untuk sekedar bersolek.

Belum lagi mengurus anak-anak yang sedang aktif-aktifnya, ditambah efek karena kehamilan yang membuat wajahku berjerawat dan badanku melar.

"Aku seperti ini karena baktiku padamu mas!"

"Tiga kali aku melahirkan anak kita, dan sekarang aku sedang mengandung anak ke empat kita!" Air mata mulai bercucuran membasahi pipiku

"Ahhh palingan anak itu laki-laki lagi, memang kau tak bisa berikan aku anak perempuan!" Jawabnya dengan kasar.

"Masalah jenis kelamin bukan masalahku mas, kau yang membawa genetik itu sementara sel telurku hanya menunggu untuk dibuahi!"

Suamiku terdiam tanpa kata. Sepertinya ia sedang mencerna kata-kataku.

" Satu lagi jika kau ingin aku bersolek, jika kau ingin aku wangi dan cantik bak bidadari maka berikan aku penunjangnya. Ahh bahkan untuk sekedar membayar ART pun kau hitung-hitungan!" Sahutku padanya.

"Cari alasan saja! Memang dasar istri tak ada guna kau yah, tak tau bersyukur, udah beruntung masih aku tampung kau dirumah ini!" Jawabnya yang membuat aku semakin sakit.

"Bukankah tanaman yang kau bilang layu itu akan bermekaran indah jika kau rawat?"

"Ahhhh, mau bagaimana pun kata-katamu aku akan tetap menikah lagi!"

"Aku butuh yang fresh dilihat, bukannya kusam seperti kau!" Ia berlenggang pergi meninggalkan aku yang terpaku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kuhiraukan lagi kehamilanku yang kini telah berusia lima bulan. Aku meluapkan segala emosiku di ruangan itu. Sampai tangan kecil mungil anak-anakku menyadarkanku.

"Mi, nis? (Ummi nangis?)" Tanya si bungsu dengan wajah lucunya.

"Ummi napa nanis? Ummi cedih yah?" Lanjut anak keduaku bertanya padaku yang kini terduduk lemas di lantai.

"Tian dede di pelut ummi nanti takit!" Lirih anak keduaku dengan raut wajah sedih.

Sementara anak sulungku menunduk saja tanpa berkata apa-apa. Aku tau dia mengerti dengan keadaanku. Sejak dari tadi ia mengintip di balik pintu, menyaksikan perdebatan antara aku dan suamiku.

Sementara aku terus menangisi keadaanku. Ingin rasanya aku memberontak tapi tak mungkin aku berontak di depan anak-anakku.

"Ummi, jangan sedih, ada Fatih disini ummi, Fatih janji akan jadi pelindung untuk ummi!" Akhirnya anak sulungku membuka suaranya dibarengi dengan tetesan air matanya.

"Jangan bersedih ummi, La Tahzan InnaAllaha Ma'ana ummi!" Lirihnya sambil memeluk erat tubuhku.

Muhammad Al-Fatih Ramadhan Wijaya, anak pertamaku bersama mas Galih. Lahir dibulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Muhammad, aku ambil dari nama nabi Agung Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, Al-Fatih terinspirasi dari pemuda sang penakluk konstantinopel yang menjadikan sholat tahajjud sebagai sholat wajibnya, sedangkan Ramadhan tak perlu kujelaskan lagi.

[Allahu Akbar Allahu Akbar]

Gema adzan mulai bersenandung di pelosok negeri, pertanda waktu sholat Maghrib sudah tiba. Aku beranjak berdiri dibantu oleh anak-anak untuk mengambil wudhu dan menunaikan sholat berjamaah bersama mereka.

Sedang mas Galih tidak kulihat lagi batang hidungnya. Semenjak hidup bergelimang harta, mas Galih mulai berani meninggalkan sholat. Sepertinya gemerlap dunia mulai membutakan mata hatinya.

Hufftttt...

Bersambung

2. Madu Itu Bernama Amira

Setelah sholat magrib aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sementara anak sulungku melanjutkan aktivitas dengan membaca Alqur'an dan adek-adeknya lebih memilih main perang-perangan.

Rasa sakit belum sembuh namun sedikit terobati dengan curhat kepada sang pemilik hati. Masih terngiang-ngiang di telingaku kata-kata kasar yang mas Galih lontarkan kepadaku.

[Kusam, gendut, dekil, bagaikan tanaman layu yang termakan zaman]

ahhh rasanya sakit sekali.

Padahal di saat hamil begini, perempuan butuh banyak perhatian dan kasih sayang namun yang kudapat hanyalah kata-kata yang buatku ingin mati saja.

Mas Galihku hilang termakan zaman. Dulu ia adalah orang yang sangat penyayang, lembut, dan yang membuat aku semakin cinta, ia adalah suami yang sangat romantis.

Pujian demi pujian setiap hari ia lontarkan kepadaku. Kecupan manis di kening tak pernah lupa ia tunaikan. Kata-kata cinta apalagi bak kebutuhan hidupku yang tak pernah lupa ia utarakan.

Aku ingat betul saat aku tengah mengandung anak pertama kami Fatih ia selalu melarang aku melakukan aktivitas fisik yang terlalu berlebihan.

[jangan sayang, biar mas saja yang nyuci, masak, bersihin rumah, kamu bobo saja jangan capek-capek, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa sayang]

Kecupan demi kecupan akan mengikuti setelah kata-kata itu terlontar.

[Aku rindu kamu yang dulu mas] gerutuku dalam hati.

Kini tak ada lagi kehangatan dalam rumah ini. Layaknya seperti orang asing yang tak saling kenal. Sejak setahun ini mas Galih mulai berubah, pelan tapi pasti. Benar kata orang

"ujian istri ketika suami tak punya apa-apa, namun ujian suami ketika ia memiliki segala-galanya."

Hufffttt...

💔💔💔

Malam semakin larut, kutidurkan anak-anak di kamar mereka. Aku sudah membiasakan anak-anak untuk tidur terpisah sedini mungkin agar mereka cepat mandiri, terkecuali si bungsu yang masih membutuhkan ASI-ku.

Kulihat mas Galih tengah asyik menonton TV sambil bermain gawainya yang tak bisa ku sentuh itu. Yah belakang ini ia sangat marah jika aku berani menyentuh gawainya. Aku tak tau apa alasannya dan aku tak banyak bertanya apalagi sampai curiga.

"Mas belum tidur?" Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Belum!" Jawabnya singkat tanpa sedikitpun melirik kearahku.

"Mas maafin aku jika aku salah mas." Aku beranjak dari tempatku dan bersimpuh di depan suamiku. Air mataku luruh.

"Aku janji mas, aku akan mulai merawat tanaman yang layu itu dan akan kubuat bermekaran indah di hadapanmu mas, aku akan berusaha menunggumu dengan bau wangi parfum kesukaanmu, aku akan berusaha menjadi langsing sexy seperti keinginanmu setelah anak ini lahir mas!" Aku semakin membenamkan wajahku di kaki suamiku yang kini hatinya telah beku.

"Aku mohon jangan dingin begini, aku butuh kamu saat ini mas. Butuh perhatian dan kasih sayangmu. Kamu tau kan wanita hamil rentan stres!" Aku terisak di bawah kaki suamiku berharap ada sedikit rasa iba dari mas Galih.

Perlahan tapi pasti kurasakan genggaman tangannya di pundakku. Genggaman ini terasa hangat sekali, aku mulai mengangkat wajahku memberanikan diri untuk menatap wajah berkharismanya itu. Kulihat ia nanar, mungkin ia mulai merasa kasihan padaku.

Diangkatnya tubuhku yang semakin melar ini dikecupnya keningku, ahh ini kecupan yang selalu kurindukan.

"Maafin aku sayang, sudah buat kamu sedih." Dipeluknya erat-erat tubuh lelahku ini karena kesedihan yang ia ciptakan. Aku semakin larut dalam kasih sayang suamiku hingga....

Brruuuuk,

Suara remote TV jatuh menyadarkan aku dari khayalanku. Ternyata aku hanya berkhayal saja. Posisiku masih memeluk erat kaki suamiku.

Huffftt......

"Namanya Amira. Tiga hari lagi dia akan jadi madumu!" Kata suamiku dengan nada dingin.

Deggg,

Jantungku serasa berhenti sejenak, mataku terbelalak, lidahku keluh, nafasku tertahan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Perlahan aku berdiri dan berjalan gontai tanpa kata meninggalkan mas Galih yang hatinya telah beku itu.

"Ini bukan madu mas tapi racun! Racun yang perlahan membunuhku!" Kulontarkan sedikit kata-kata padanya sebelum berlalu meninggalkannya.

💔💔💔

Kuarahkan kakiku menuju kamarku untuk sekedar mengambil si bungsu yang terlelap di sana dan menuju kamar anak-anakku. Kulihat pintu sedikit terbuka padahal tadi sudah kututup setelah keluar. Mungkin aku lupa.

Aku masuk dengan sangat pelan, takut membangunkan anak-anak yang sedang tertidur pulas. Kurebahkan tubuh mungil si bungsu di samping abang-abangnya. Sementara aku memilih duduk di sudut ruangan kamar untuk sekedar menenangkan diri yang semakin kalut.

Aku terisak, menangis tanpa suara mengingat kata-kata mas Galih.

[namanya Amira, tiga hari lagi dia akan jadi madumu]

Sakit sekali mas, sakit sekali.

Air mata mengucur deras bak air bah yang lepas dari bendungan. Kupukul-pukul badanku sambil terus menyalahkan diriku.

[Salah sendiri kamu kusam, dekil, gendut dll], aku menghardik diriku sendiri.

[Ya Allah apa ini, salahku apa padaMu Tuhan sehingga kau hukum aku seberat ini] gerutuku dalam hati. Aku mulai menyalahkan takdir yang kurasa tak adil ini.

"Astagfirullahhaazim, astagfirullahhaazim, astagfirullahhaazim!" Kubenamkan kepalaku di kedua lututku yang sengaja kulipat, sambil beristighfar dan menangis.

"Lahallah walakuwwata illabillah, Lahallah walakuwwata illabillah, Lahallah walakuwwata illabillah!" Kulanjutkan dengan dzikir.

Kuangkat wajahku, serta mengubah posisi duduk karena rasanya sesak, perutku seperti terjepit. Aku luruskan kedua kakiku, dan menyandarkan kepalaku di tembok kamar sambil menatap langit-langit kamar, sejenak kulirik anak-anak yang sedang tertidur pulas.

[Aku tak boleh lemah, demi tiga ksatria dan juga calon anak yang Allah titipkan padaku. Mereka butuh semangatku, mereka butuh bahagiaku, mereka butuh perhatianku]

Kulanjutkan menatap langit-langit kamar, pikiranku melayang jauh, perlahan mataku mulai tertutup.

"Ummi, ummi bangun, kita sholat Tahajjud ummi," sentuhan lembut di pipi dan kata-kata Fatih anakku mengagetkanku. Ternyata aku tertidur tadi.

"Ummi sayang kita sholat Tahajjud yuk!" Dia mengulang kata-katanya.

Aku selalu bahagia dengan perlakuan anak sulungku ini, perhatian dan begitu sayang padaku. Usianya baru sebelas tahun namun sikapnya seperti orang yang sudah dewasa.

Ia tak pernah berkata kasar padaku. Lembut tutur bicaranya, entah itu padaku ataupun orang lain. Ia selalu membantuku dalam segala hal yang menyangkut kepentingan rumah tangga, seperti mencuci, menyapu sampai mengepel lantai, menyapu halaman rumah, memandikan adek-adeknya bahkan sampai memberikan mereka makan.

Soal prestasi, Fatih anakku selalu juara satu dikelasnya. Dari tingkat TK hingga kelas lima SD sekarang, ia masih tetap jadi yang terunggul.

Anakku seorang Hafizh Qur'an, juz tiga puluh sudah ia hafal semuanya. Di sekolah Ia selalu terpilih mengikuti olimpiade Matematika, Sains dan terakhir kali dia mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris dan selalu peringkat satu. Aku menyekolahkan Fatih di sekolah modern berbasis Islam, aku ingin ia baik akhlaknya dan baik prestasinya.

"Ummi, ayo ummi sholat." kali ini ia genggam tanganku.

"Iyah sayang," kujawab sambil beranjak dari tempat duduk dibantu oleh Fatih.

Fatih terus menggenggam tanganku, ia menuntunku menuju tempat wudhu didekat dapur.

[Ahh Fatih anakku, semoga kamu Allah beri umur panjang untuk terus menjagaku didunia] bisikku dalam hati.

Setelah berwudhu kami langkahkan kaki menuju musholah untuk menunaikan sholat Sunnah Tahajjud yang dilanjutkan dengan sholat Sunnah witir di imami oleh Fatih anakku.

[AllahuAkbar]

Fatih mulai berucap takbir tanda di mulainya sholat. Aku mengikuti sebagai makmum di belakang Fatih. Kuikhlaskan hati di sepertiga malamku. Mencoba bersabar dengan ujian-ujian yang diberikan oleh sang pemilik cinta yang abadi, menguatkan diri dari terpaan masalah. Kubenamkan wajahku dalam sujud yang panjang, kutumpahkan segala keluh kesahku tentang dunia yang fana ini padaNya.

[Ya Allah, cinta suami hanyalah titipan, sementara cintaMu abadi, maka dari itu tetapkan hatiku hanya jatuh cinta padaMu saja Ya Rabbi] doaku di sujud terakhir yang sengaja Fatih panjangkan.

[Assalamualaikum warahmatullahi, Assalamualaikum warahmatullahi, sambil menengok kekanan dan kekiri] salam telah terucap pertanda berakhirnya sholat. Fatih melanjutkan dengan berdoa kepada Rabbnya dan aku mengamini setiap doanya.

"Aku mencintaimu karena Allah ummi." Ia menyatakan cinta padaku disusul kecupan di punggung tanganku dan keningku. Aku menangis diperlakukan bak ibu ratu oleh anakku.

"Jangan menangis ummi, sungguh tangisanmu buat Fatih merasa gagal berbakti padamu." Kali ini ia terisak dengan kata-kata layaknya orang dewasa.

"Ummi cinta Fatih karena Allah juga," balasku dengan memeluknya dan menciumnya.

Kulirik jam, waktu masih menunjukkan pukul 02.30 tengah malam, waktu subuh masih jauh, kuputuskan untuk tidur dulu. Kuajak Fatih menuju kamar untuk tidur. Kurebahkan diri di samping anak bungsuku Syafiq sedang Fatih di samping adiknya Syamil.

Bersambung...

3. Berdamai dengan keadaan

[AllahuAkbar AllahuAkbar]

Adzan subuh telah berkumandang indah diseluruh penjuru bumi. Panggilan cinta untuk jiwa-jiwa yang merindukan rahmatNya. Semilir angin di kala subuh berhembus nan syahdu, membuat jiwa yang gelisah kembali tenang dan damai.

Kulirik Fatih masih terlelap dalam tidurnya. Sembari mengelus lembut rambutnya, aku bacakan surah Al-qadar agar hatinya semakin lembut. Kutatap wajah tenangnya, sungguh tampan engkau anakku. Hidung mancung, kulit putih bersih, mata bulat bagaikan mata aktris-aktris tampan india.

"Abang bangun, sudah masuk waktu subuh sayang," aku bangunkan dia sembari mengelus-elus wajahnya yang lebih dominan mirip diriku.

"Iyah ummi," jawabnya dengan mata masih terpejam namun pelan-pelan bangkit dari tidurnya.

Sementara Syamil dan Syafiq kulihat masih terlelap. Aku biarkan mereka dengan mimpi indahnya. Mereka belum akhil baligh, jadi tak mengapa kalau belum sholat.

Aku menuntun Fatih kearah dapur untuk mengambil wudhu. Langkahku terhenti tat kala mengingat mas Galih yang barangkali belum terbangun dari tidurnya.

"Abang, duluan saja ambil wudhunya yah, ummi mau bangunkan abi dulu untuk sholat berjamaah," kataku pada Fatih yang masih setengah sadar.

"Iyah ummi," jawabnya sambil berlalu pergi menuju dapur dan sesekali mengucek-ucek matanya.

Aku berbalik arah menuju kamar utama kami. Kamar yang menjadi saksi biksu peraduan cintaku bersama mas Galih. Pelan-pelan aku membuka pintu kamar yang tak dikunci. Kulangkahkan kaki menuju mas Galih yang masih bersemayam dibalik selimut tebal bermotif bunga-bunga nan indah itu.

Aku posisikan duduk disampingnya, kuelus wajah berkharismanya. Kutatap lama wajah yang dulu selalu tersenyum indah kepadaku, kupegangi bibir yang selalu mengecup puncak wajahku. Mas Galih memang tampan, hidungnya mancung, matanya indah, belahan dagunya yang mempesona, dan wajah berkharisma yang membuat banyak mata wanita enggan untuk berpaling. Hanya saja dulu mas Galihku tak setampan sekarang, badan kurus kini agak berisi, kulit agak kecoklatan lebih tepatnya kulit sawo matang kini berubah menjadi kuning langsat, wajah yang berjerawat dan bruntusan kini menjadi halus seperti kapas.

"Abi, bangun, sudah waktunya sholat subuh," aku berbisik lembut di telinganya sambil kuelus puncak kepalanya.

"Hmmm, ngantuk," jawabnya padaku dengan berbalik arah membelakangiku.

"Semua orang ngantuk bi, tapi sebisa mungkin dilawan ngantuknya, bangun bi," kujawab dengan tetap tersenyum walau diperlakukan begitu oleh mas Galih.

"Aaarrrggghhh, pergi ndak kamu, aku bilang aku ngantuk, budek yah kamu, hahhh?" Jawabannya kali ini dengan nada membentak dan refleks membuatku berdiri sedikit menjauh, takut bila-bila tangannya ikut terayun kearahku.

Aku berlari kecil meninggalkan mas Galih yang lebih memilih tidur lagi ketimbang menunaikan kewajibannya sebagai hamba. [Astagfirullah halazim] lirihku dalam hati.

Mas Galihku benar-benar telah pergi entah kemana, dulu ia paling suka jika kubangunkan seperti tadi bahkan ia akan membalas diriku dengan menarikku kedalam pelukannya dan mencumbu mesra diriku, tapi kini apa yang kudapat, hanya bentakan yang membuat luka di hati semakin menganga.

Dengan perasaan sedih aku menuju tempat wudhu, kali ini tak ada air mata, hanya rasa sabar dan ikhlas didalam hati yang coba kugerakkan sepenuhnya.

Aku melangkah menuju musholah untuk menunaikan sholat subuh berjamaah bersama anakku Fatih. Kulihat Fatih sudah bersiap-siap di shaf depan untuk segera memulai sholat.

💔💔💔

Pagi ini langit terlihat cerah, sinar mentari seolah memberi kabar bahwa hari ini badai takkan datang. Burung-burung berkicau, ayam-ayam berkokok, tumbuhan tampak segar dengan embun yang belum kering, rasanya hari ini alam sedang berbahagia.

Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Berusaha berkompromi dengan hatiku agar tak bersedih lagi, kasihan anak-anakku jika harus melihatku dengan kondisi yang tak mengenakkan ini. Mereka butuh tawa bahagiaku, mereka butuh semangatku untuk bisa bermain bersama mereka seperti biasanya. Hari ini tak boleh ada kesedihan lagi. Huuufftt....

Sebisa mungkin aku akan berusaha mengambil hati mas Galih lagi, aku tak boleh putus asa, masih ada waktu dua hari lagi untuk merubah hati yang beku itu menjadi mencair kembali. Doa, ikhtiar, dan terakhir tawakkal padaNya. [Semangat Rianti] gumamku dalam kalbu.

💔💔💔

Waktu masih menunjukkan pukul 05.50 WIB, suamiku masih terlelap dalam balutan selimut tebal, begitu juga dengan anakku Syamil dan Syafiq masih berkelana dalam mimpi panjang mereka. Sementara Fatih lebih memilih membantuku untuk sekedar menyapu, mengepel lantai sampai mencuci pakaian dengan mesin cuci tentunya, dan aku menyediakan segala perlengkapan sarapan di atas meja makan, mulai dari piring, gelas, pisau kecil, sendok, garpu, roti tawar, berbagai macam selai, ada yang rasa cokelat, kacang, nanas, dan stroberi, susu UHT untuk ketiga anakku serta beberapa buah-buahan seperti pisang, jeruk, apel dan anggur.

Setelah dirasa semua telah siap, aku bergegas untuk menyegarkan diri. Karena hari ini aku ingin terlihat cantik dihadapan mas Galih suamiku.

💔💔💔

Masih berbalut handuk, aku duduk menghadap kaca rias di kamar utama kami. Kupandangi wajah yang kini tak lagi cerah, padahal dulu ia sangat menawan hingga mengundang banyak lelaki ke rumah untuk mempersunting diri ini. Kupandangi lagi bibir yang mulai sedikit menghitam, padahal dulu ia merah merona bagaikan sekuntum bunga mawar yang menggoda untuk dikecup oleh mas Galih. Kecantikanku benar-benar telah pudar setelah melahirkan ketiga pangeran hatiku.

Aku mulai mengarahkan tanganku ke laci meja riasku, kuambil satu set peralatan makeup yang dulu biasa kupakai untuk menyenangkan pandangan mata mas Galih.

Foundation bermerk Ward** kupakai tipis-tipis di wajahku, kulanjutkan dengan memakai bedak padat dengan merk yang sama, tak sampai situ aku lanjutkan merias di bagian bibir dengan sedikit melapisi bibirku dengan lipstik berwarna merah muda, sementara untuk alis dan bulu mata tak perlu lagi aku tambahkan apa-apa karena sudah tebal dan lentik. Hanya saja satu hal yang tidak disukai mas Galih dan tak bisa aku manipulasi yaitu berat badan, dengan BB 70 kg sementara TB 158 memang sudah masuk kategori gemuk bahkan sangat gemuk ditambah bobot perut yang kian hari kian membesar.

[Eh aku baru sadar perutku seperti sudah berusia tujuh bulan atau delapan bulan saja]. [Hmm mungkin bayinya besar] dengan sedikit mengangkat kening curiga.

Aku lanjutkan kegiatanku dengan memilih dan memilah pakaian gamis terbaik yang kupunya. Dulu mas Galih selalu berkata bahwa ia sangat senang melihatku memakai gamis dan kerudung saat hendak menungguku pulang ke rumah, sehingga saat itu aku banyak membeli gamis dengan motif cantik untuk sekedar kupakai di rumah, kalau keluar rumah aku lebih nyaman dengan yang polos-polos saja.

Lama tangan dan mataku berkelana di dalam lemari kayu berukuran sedang itu, hingga pandanganku tertuju pada gamis berwarna merah muda bermotif bunga mawar berwarna maroon dan ku senadakan dengan jilbab warna maroon,

[sempurna sudah] desir hatiku dengan bahagia.

"Oh ya ampun, aku ketiduran!" Suara terkejut mas Galih mengalihkan pandanganku, kulihat ia beranjak cepat dari tempat tidur namun tak lupa mengecek gawainya terlebih dahulu.

"Kenapa mas? Kok kayak tergesa-gesa begitu, ada yang penting yah?" Tanyaku pada mas Galih yang sedang sibuk mengetik pesan untuk seseorang dan tak berapa lama berlari ke kamar mandi tanpa menjawab sedikitpun pertanyaan yang kulontarkan padanya.

Hufftt,

Aku hanya menghela nafas, menahan rasa yang semakin tak karuan karena sikap dingin mas Galih. Aku mencoba bertahan dalam badai ini, terombang-ambing dalam lautan luka yang semakin pedih. Kucoba tuk tetap menyeimbangkan bahtera kecil yang mulai goyang karena badai yang tak berkesudahan. Sementara sang kapten bagai tertidur pulas tanpa takut khawatir bahtera ini tenggelam. [Ya Allah Ya Rabbi genggam erat hatiku agar tak goyah dengan hasutan iblis agar tak lagi mempertahankan rumah tangga ini] aku bergumam dalam hati yang tercabik-cabik.

Setelah kurasa telah sempurna penampilanku, aku beranjak dari tempatku menuju ruang makan yang ada dilantai satu, menunggu semua awak bahteranya berkumpul untuk mengisi perut di pagi hari.

Langkah demi langkah kuturuni anak tangga yang lumayan menguras tenaga ibu hamil. Kulihat anak-anak telah berkumpul rapi ditempat duduk mereka masing-masing dengan sedikit candaan khas anak-anak. Aku tersenyum bahagia melihat adegan di depan mata ini, sungguh Allah itu maha adil, tidak Ia biarkan aku bersedih terus, ia kirimkan mereka sebagai pelipur lara hati yang tak menentu arah ini.

"Mi... Mi, ni ni (ummi kesini)," panggil anak pertamaku dengan melambaikan tangan kearahku dan sedikit jingkrak-jingkrak ditempat duduk.

"Wooohhh, ummi tantik hali ini," sambung anak keduaku dengan mata melotot dan bibir mancung ke depan. Hahaha sungguh lucu mereka berdua.

"Duduk sini ibu ratu," lanjut si sulung dengan gaya bak pangeran yang menanti sang putri. Yuhuuu, romantisnya anak sulungku.

Kami putuskan bercanda ria bersama sambil menunggu mas Galih yang tak kunjung turun. Entah ia sedang apa aku tak tau.

Satu jam kami menunggu, akhirnya mas Galih turun juga, namun kulihat kali ini ia tergesa-gesa menuruni beberapa anak tangga. Sambil berlari ia melewati kami begitu saja, tanpa bertanya, dan tanpa salim terlebih dahulu.

Kulirik anak-anak tampak sedih dan kecewa, sedang aku bertanya-tanya dalam hati

[urusan apa yang membuat ia sedemikian panik hingga melupakan kami yang menunggunya dengan perut keroncongan karena menahan lapar]

Haaaah, aku mendesis pelan. Kulihat lagi anak-anak menunduk tanpa canda tawa lagi. Tak bisa aku biarkan kesedihan menjalar dalam sanubari mereka.

"Hayooo, siapa yang mau ummi suapin pertama?" Sambil memegang roti dan membalurnya dengan selai cokelat aku memecah keheningan yang sempat tercipta. Kuperlihatkan senyum lebar kepada mereka agar tak larut dalam kesedihan yang mendalam.

"Aku, aku, aku," suara anak bersahut-sahutan, berlomba-lomba agar bisa disuap pertama olehku.

Aku tersenyum melihat tingkah laku anak-anak, meski dalam hati banyak pertanyaan yang menggantung di sana.

"Ahh, Abang dulu, Abang kan yang lebih dulu lahir," sahut si sulung dengan sedikit candaan.

"Ihh, fiq lu, fiq nan de, (ihh, Syafiq dulu, Syafiq kan yang paling adek)," lirih anak bungsuku yang belum pandai berbicara dengan ekspresi bibir monyong ke depan.

"Ihhh, aku duyu," lanjut anak keduaku dengan ekspresi marah.

"Ya udah deh, Abang ngalah," jawab anak sulungku dengan tersenyum kepada kedua adiknya.

"Udah, udah, ummi mulai dari yang paling kecil yah, angkat tangan siapa yang paling kecil?" Aku bersuara dengan semangat agar anak-anak juga bersemangat.

"Atu, atu," jawab Syafiq dengan mengangkat tangan dan tentunya adegan jingkrak-jingkraknya tak ketinggalan.

Kami hiasi sarapan pagi itu dengan tertawa riang dan bahagia. Anak-anak lahap makan sarapannya sementara aku memilih untuk belum makan dulu, menunggu mas Galih dan nanti sarapan bersamanya.

Selesai sarapan, anak-anak mengajakku ke ruang bermain mereka. Di sana kami habiskan waktu untuk bercanda ria dan tertawa lepas.

Mataku tak pernah berhenti melirik ke arah pintu utama rumah kami menunggu mas Galih yang sudah dua jam belum pulang.

Lama kami bermain hingga bunyi suara klakson mobil mas Galih terdengar, aku berlari kecil ke depan dengan senyum merekah dengan maksud menyambut mas Galih.

Aku buka pintu utama yang yang memiliki dua gagang, kulihat mas Galih memarkirkan mobil. Namun ternyata dia pulang tak sendiri, ada seseorang di sampingnya. Kulihat lebih seksama ternyata seorang perempuan tanpa hijab sedang duduk manja di bangku depan dekat mas Galih.

[Siapa dia, setauku mas Galih tak punya saudara perempuan, semua saudaranya laki-laki. Sepupu? Aku hanya kenal beberapa sepupu perempuannya] gumamku dengan hati yang penuh tanda tanya.

Pintu mobil terbuka, kulihat mas Galih turun dan menatapku tanpa senyum. Ia berpindah posisi ke pintu sebelah dan membuka pintu untuk perempuan tersebut.

[apa ini, bahkan ia membukakan pintu untuk perempuan tersebut] hatiku semakin keras bertanya.

Pintu terbuka, perempuan tersebut perlahan turun dari mobil. Kuperhatikan dia dari atas sampai ke bawah. Dengan menggunakan celana jeans hitam dipadukan dengan blouse tanpa lengan berwarna kuning ia terlihat begitu sexy, tubuh langsing tanpa lemak, kulit putih bersih, wajah halus bagai sutra, rambut panjang lurus dengan sedikit warna merah maroon, mata sipit khas wanita korea, sungguh cantik perempuan yang dibawa mas Galih, jika kutebak mungkin usianya dua puluh delapan tahun.

tapi [siapa dia] sekali lagi hatiku bertanya.

Mas Galih melangkah maju bersama perempuan yang aku tak tau siapa dia, dengan koper besar digiring mas Galih.

"Rianti, perkenalkan ini Amira, calon madumu, setelah menikah ia akan kuboyong ke rumah ini," sahut mas Galih yang berhasil membuatku geram.

"Apa? Kau mau ajak perempuan ini tinggal di rumah kita mas? Kau tak punya hati yah, bagaimana dengan anak-anak mas? Mereka tak siap menerima kenyataan ini!" Jawabku dengan nada mulai emosi tapi tetap suara kecil dan tak membentak.

"Ini rumah saya, dengan uang saya rumah ini bisa sebagus sekarang, kau tak ingat dulu ini hanya rumah kecil berdinding bambu yang abah kau berikan untuk hadiah pernikahan kita, hah? Karena kerja keras saya rumah ini jadi seperti istana, jadi yang berhak atas rumah ini adalah saya! Paham kau?" Gertak mas Galih sambil menunjukku.

Aku terdiam seribu bahasa, tak mampu menjawab setiap kata yang mas Galih lemparkan. Kulihat sejenak perempuan yang bernama Amira nampak senyum bahagia melihat aku dan mas Galih saling berdebat.

"Yuk dek, mas antar kau ke kamarmu, nanti habis itu kita belanja keperluan pernikahan kita," kata mas Galih masih dengan tatapan murka kepadaku.

Mas Galih mulai melangkah menuju rumah di ikuti Amira dari belakang melewati diriku tanpa belas kasihan. Mulutku beku, pikiranku kalut, jantungku berdetak semakin kencang, nafasku memburu, serasa ada yang mengganjal di hati. Aku menunduk tak percaya. Hari ini adalah hari paling menyedihkan dalam hidupku.

Aku berbalik arah, berjalan gontai memasuki rumah, pandanganku kosong, pikiranku melayang jauh. Kulangkahkan kaki menuju kamar anak-anak, kulirik sejenak Syamil dan Syafiq sedang bermain perang-perangan sambil mengayun-ayunkan pedang yang terbuat dari plastik, sementara Fatih tak kulihat keberadaannya.

Kulanjutkan melangkah menuju kamar anak-anak. Setetes demi setetes air mata mulai jatuh membasahi pipi, hatiku hancur berkeping-keping. Mas Galih begitu lembut pada wanita yang baru dikenalnya, sementara aku yang telah berjuang membantunya hingga sukses seperti sekarang malah tak dianggap ada olehnya.

Langkahku tertatih bagai tak bertenaga. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Kututup pintunya.

Aku sandarkan kepala pada dinding kamar yang bercat biru muda itu. Tak sepatah kata yang keluar dari bibirku, hanyalah air mata yang mengucur deras membasahi pipi. Pertahananku runtuh lantah, harapanku sirna terbawa mimpi. Tersedu-sedu aku menangisi keadaan, sambil kuelus-elus perut besar yang mulai tak karuan gerakkannya.

Aku benar-benar hancur, coba kuhapus semua yang kupakai tadi di wajah, kubongkar jilbab yang terpasang rapi di kepala hingga rambutku acak-acakan. Keadaanku benar-benar memprihatinkan.

Aku duduk perlahan, dengan memanjangkan kaki dan sedikit menunduk, aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara.

[aaaarrgghhh, sakit sekali tuhan]

[tega sekali kau mas, setelah kukorbankan jiwa dan raga hanya untuk menemanimu bangkit dari kemiskinan materi, tapi sekarang apa yang kau balas padaku, kau beri aku sebuah racun yang mematikanku secara perlahan]

Hikz Hikz Hikz.

"Abi jahat, Abi kejam, Abi ayah yang buruk, suami yang buruk, Fatih benci Abi!" samar-samar terdengar suara Fatih yang memarahi ayahnya diikuti suara tangisan kedua adiknya.

"Fatih, sini nak peluk ummi," dengan suara lemah dan terisak aku memanggilnya, namun kuyakin ia tak mendengarnya.

"Ya Allah, kenapa harus seberat ini ujianku," sahutku masih dalam tangis yang menjadi-jadi.

Terdengar suara pintu dibuka. Aku melirik kearah pintu, di sana ada Fatih dan kedua adiknya yang menangis tersedu-sedu sambil memegang piring yang berisikan roti berselai dan segelas air. Kami saling pandang dengan tatapan yang memilukan.

"Sini nak, peluk ummi," suara serakku memanggil mereka dengan tangan terangkat berharap dipeluk.

Mereka berhambur masuk ke kamar, berlari kearahku dengan air mata yang bercucuran deras. Memelukku dengan sangat erat.

"Ummi makan dulu, tadi pagi ummi tidak sarapan gara-gara menunggu Abi yang kejam itu!" Gerutu anak sulungku.

Suapan demi suapan mereka arahkan ke mulut yang telah kaku ini. Sambil berlinang air mata aku memakan roti yang di suapkan oleh anak-anakku. Aku kembali terisak di ikuti anak-anak yang berhambur memelukku lagi. Kami habiskan kesedihan dengan saling berpelukan.

Hingga kurasakan ada sakit yang menjalar pada perutku....

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!