NovelToon NovelToon

Evanzza

Rasa Penasaran

Cinta selalu begitu saja datang dihati manusia tanpa permisi dan tidak pernah tau untuk siapa rasa itu tumbuh. Bisa saja dengan orang yang baru ditemuinya yang lebih dikenal sebagai cinta pada pandangan pertama. Atau dari yang awalnya sangat benci menjadi sangat cinta, kadang juga yang hanya sebatas sahabat namun bisa muncul benih-benih cinta dan ingin memiliki.

Bahkan ada yang hanya bisa memendam rasa cintanya dalam hati karena takut untuk mengungkapkan. Cinta dalam diam yang terkadang begitu menyiksa karena orang yang kita cintai tak tau apa yang kita rasakan.

Begitu juga dengan siswa satu ini, ia baru merasakan apa yang namanya getaran dalam hatinya saat melihat lawan jenisnya. Awalnya ia hanya penasaran saja dan rasa keingin tahuannya yang memaksanya untuk mendekati lawan jenisnya itu.

Tapi sangat sulit mengingat sikapnya yang terlalu dingin bahkan wajahnya tidak memiliki ekspresi sama sekali. Datar, itulah mimik wajah yang diperlihatkan. Tapi entah kenapa ia mampu menarik perhatian semua orang dengan sifatnya itu. Termasuk seorang siswa yang tengah menatapnya dari kejauhan, Evan.

Ya dia adalah Evan Anggara Mahardika, yang kerap disapa Evan itu adalah seorang anak yang baru beranjak remaja. Ia belum mengerti apa itu suka dan apa itu cinta. Yang ia tahu hanya rasa untuk memiliki seseorang dan tidak mengizinkan orang itu direbut orang lain.

Evan sedang mencari jati dirinya saat ini, dengan segala hal yang ia akan lewati saat masa putih abu-abu. Tidak dipungkiri diusianya yang masih muda ia sudah meraih berbagai prestasi yang sangat membanggakan. Evan sangat lah mirip dengan orang tuanya yaitu Rayhan Mahardika dan juga Rayya Sheza Novaira, mereka berdua adalah seorang dokter disalah satu rumah sakit ternama.

"Heh, tunggui!" teriak sahabat Evan sambil berlari mengejar Evan.

Mereka berdua berlarian dikoridor kelas X, mengingat mereka memang masih kelas sepuluh dengan jurusan MIPA.

Evan terus berlari sambil menoleh kebelakang, ia takut jika sahabatnya itu bisa mengejarnya. Hingga tanpa sengaja Evan menabrak seseorang hingga merrka berdua terjatuh ke lantai.

Koridor itu terlihat sangat ramai terlebih lagi ada insiden Evan yang jatuh ke lantai bersama dengan seorang perempuan.

Posisi mereka saat ini membuat siapa saja yang melihatnya salah paham, bagaimana tidak saat ini Evan mengungkung seorang gadis yang berada dibawahnya dengan mata yang terus menatap Evan dengan tajam.

Namun Evan tidak bergeming sama sekali dengan tatapan itu, ia terlihat menikmati setiap lekuk wajah perempuan itu.

"Bidadari dari mana ini, kenapa cantik sekali?" batin Evan sambil terus menatap manik mata gadis itu.

"Iya gue tau kalau gue cantik!" ucapnya membuat Evan tersadar.

"Anak siapa sih ini, pengen gue karungin," gumam Evan yang masih bisa didengar oleh gadis itu.

"Minggir!" sentak gadis itu dengan tatapan tajam hingga menembus relung hati Evan.

Dengan cepat Evan menyingkir dari hadapan gadis itu, ia berdiri terlebih dahulu lalu mengulurkan tangannya didepan wajah gadis itu.

Gadis itu hanya melihat sekilas tangan Evan lalu berusaha berdiri sendiri tanpa menerima bantuan Evan. Tanpa sepatah kata pun ia langsung pergi begitu saja dari hadapan Evan.

"Menarik, sangat menarik!" gumam Evan.

"Liatin apaan?" tanya sahabat Evan, Vion.

"Bidadari," saut Evan dengan seyum yang terus mengembangkan dari sudut bibirnya.

"Mana bidadarinya? Gue mau kenalan," kata Vion sambil celingukan mencari keberadaan gadis yang dimaksud Evan.

"Gak boleh, dia cuma buat gue doang!" kata Evan dengan penuh percaya diri.

"Narsis banget sih, Van!" kata Vion, bahkan ia menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya itu.

"Biarin aja suka-suka gue lah!" Evan melangkah kan kakinya menuju kelas diikuti Vion yang terus saja mengoceh.

"Serah deh, yang jelas tuh cuma satu!" Vion yang sengaja menggantungkan perkatannya agar Evan penasaran.

"Apaan?" tanya Evan penasaran.

"Dia mau gak sama lo?" tanya Vion sambil tekekeh.

"Sia lan! Jelas mau lah siapa yang gak mau sama gue Evan Anggara Mahardika!" kata Evan sambil memegang kedua sisi kerahnya.

Vion hanya memutar kedua bola matanya malas, ia heran kenapa bisa memiliki sahabat yang tingkat kepercayaan dirinya sangat tinggi.

"Bukan temen gue!" Vion langsung berjalan mendahului Evan sambil menggelengkan kepalanya, bahkan ia pura-pura tidak mendengar saat Evan memanggil namanya.

"Wooo awas ya lo kalau lagi susah datangin gue lagi, gue gak akan mau bantuin!" teriak Evan menggema diseluruh koridor membuat siswa lainnya menatap Evan dengan tatapan yang berbeda-beda.

Vion Andrelian Bagaskara, sahabat kecil dari Evan karena orang tua mereka bersahabat sehingga membuat mereka selalu bersama sejak kecil. Bahkan Vion selalu mengikuti dimanapun Evan bersekolah dengan alasan ingin selalu bersama sahabatnya itu. Vion adalah anak dari pasangan Jonathan Bagaskara dengan Vivi Amanda, mereka berdua adalah sahabat Rayhan sejak dibangku sekolah.

"Palingan lo yang bakalan cariin gue!" teriak Vion karena dia tahu persis sahabatnya itu memang pandai dalam segala hal tapi hanya satu kelemahannya, soal perasaannya.

"Itu pasti!" teriak Evan sambil terkekeh.

"Jangan teriak-teriak ini bukan hutan!" protes seseorang yang berada dibelakang Evan.

"Serah gue lah, mulut punya siapa?" tanya Evan.

"Bocil!" ledek orang itu kemudian pergi dari hadapan Evan, ia malas sekali berdebat dengan Evan.

Sedangkan Evan kembali ke kelasnya, ia tidak menyadari jika kelasnya berdekatan dengan gadis yang ia temuinya itu. Hingga mata elang Evan menemukan sosok yang membuatnya terpaku tadi.

Kelas mereka meliliki dinding yang diberi kaca sehingga dari luar dapat melihat yang ada didalam kelas. Langkah kaki Evan terhenti begitu saja saat ia melihat gadis yang bertabrakan dengannya. Gadis itu tidak tahu jika ia sedang diperhatikan, karena ia sedang asik menatap luar jendela yang berbatasan langsung dengan lapangan basket.

Rambut panjangnya dibiarkan tergerai indah hingga punggungnya, satu tangannya ia gunakan untuk menumpu dagun. Ia tidak merasakan panas ataupun kegerahan saat tempat duduk yang ia tempati terkena sinar matahari pagi.

Entah mengapa hati Evan terasa berbeda saat melihat gadis itu, ada rasa ingin selalu melihatnya. Hingga Evan tidak menyadari sudah ada seseorang yang beridiri disebelah Evan sambil berkacak pinggang.

"Eheemm!" dehemnya.

"Apa sih ganggu aja!" kata Evan yang merasa terganggu.

"Kembali ke kelas!" tegasnya.

"Bentar lagi, gue masih liatin bidadari yang gue maksud tadi, Vi!" kata Evan, bahkan matanya tak teralihkan sedikit pun.

"Awhh! Sakit Vi...on!" kata Evan saat melihat siapa yang menjewet telinganya.

Sedangkan orang itu hanya menaikkan sebelah alisnya sambil menatap tajam Evan, tangannya masih setia menjewer telinga Evan.

"Eh ada Pak Slamet, hehe apa kabar pak?" tanya Evan basa-basi.

"Baik, sekarang kamu hormat ditiang bendera sampai jam pelajaran saya habis! Awas saja kalau sampai saya lihat kamu kabur, saya gak akan segan-segan lagi sama kamu!" gertak pak Slamet.

"Ta-tapi pak, saya kan gak salah kenapa dihukum?" protes Evan.

"Bel aja belum berbunyi!" lanjut Evan lagi.

Pak Slamet semakin menarik telinga Evan hingga terlihat memerah, Evan hanya bisa merintih kesakitan dengan perlakuan Pak Slamet.

"Sakit pak!" protes Evan.

"Biarin! Biar kamu bisa denger suara bel, suara bel sangat keras kamu gak denger. Bapak rasa kamu harus periksa ke THT" ketus Pak Slamet.

"Saya gak budek, pak!" protes Evan.

"Kalau gak budek kenapa gak denger suara bel!" kesal Pak Slamet.

"Sudah sekarang kamu kelapangan dan hormat didepan tiang bendera sampai jam pelajaran saya habis!" perintah Pak Slamet.

Dengan terpaksa Evan menuruti hukuman yang diberikan pak Slamet kepadanya. Ia heran kenapa hanya kesalahan kecil saja harus dihukum, terlebih lagi matahari terlihat begitu menyengat dikulit.

"Hufftt!" keluh Evan yang sudah berada didepan tiang berdera sambil hormat.

...----------------...

Bidadari kelas sebelah

Banyak pasang mata yang menatap ke arah lapangan lebih tepatnya melihat dimana Evan berada saat ini. Panas matahari begitu terik hingga menyengat kulit putih Evan.

Entah sudah berapa kali ia mengeluh dan menelan salvinanya karena ke hausan. Bahkan bulir-bulir keringat sudah terlihat diwajah dan jidatnya. Seragam putih abu-abunya terlihat basah dibagian punggung karena keringat yang bercucuran.

"Masih lama gak, sih?" keluh Evan.

Tangannya terasa pegal bahkan sampai kram, sudah satu jam lamanya Evan beridiri didepan tiang bendera dengan tangan yang terus hormat kepada sang merah putih.

Andai saja Evan tidak diawasi pasti dia sudah kabur dari hukuman itu, sayangnya pak Slamet menyuruh salah satu guru piket untuk mengawasi Evan.

Bagi Evan ini adalah hukuman pertamanya selama ia sekolah, padahal biasanya semua guru selalu segan dengannya sejak ia masih dibangku sekolah dasar. Tapi kali ini berbeda kehidupan SMA sangatlah berbeda dengan sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama.

Walaupun mereka memiliki prestasi yang bagus tetap saja dihukum jika melakukan pelanggaran tak terkecuali siapapun itu.

Manik mata Evan menangkap sosok yang ia kagumi tadi sedang berjalan di koridor sekolah. Seolah memiliki efek slow motion, Evan melihat gadis itu berjalan dengan anggun terlebih rambutnya yang tergerai indah berkibar terkena angin. Membuat siapa saja terpesona dengan gadis itu, bahkan ada yang sampai menabrak tong sampah yang tidak salah apapun.

"Ini tempat sampah siapa yang naruh disini, sih!" gerutu siswa itu sambil menendang tong sampah yang sudah membuatnya terjatuh dan malu.

Evan yang masih berdiri didepan tiang bendera pun sampai terbengong melihat gadis itu, lagi-lagi ia tidak menyadari jika Pak Slamet sudah ada dibelakangnya. Pak Slamet terlihat berkacak pinggang wajahnya sudah merah padam, ia tidak menyangka jika Evan akan mengabaikan panggilannya.

"EVAN ANGGARA!" teriak Pak Slamet tepat ditelinga Evan.

Hal itu mebuat telinga Evan berdengung, dengan wajah terkejut ia berbalik badan.

"Astaga! Ini siapa yang naruh speaker dibelakang gue sih?" batin Evan sambil memegang telinganya.

Perlahan Evan menoleh kebelakang, dilihatnya wajah garang dari Pak Slamet.

"Eh, ada bapak. Kenapa pak?" tanya Evan dengan wajah yang dibuat seramah mungkin.

"Apa yang kamu pikirkan sampai beberapa kali saya panggil tidak menyahut! Apa perluh kamu saya bawa ke tht?" kesal Pak Slamet.

"Maaf pak," ucap Evan tulus.

"Hah, sudahlah kembali ke kelas sana dan ikuti jam pelajaran selanjutnya!" kata Pak Slamet.

"Serius, pak?" tanya Evan.

"Apa tampang saya ini kurang serius?" tanya balik Pak Slamet.

"Hehe serius banget pak, sampai saya kaget!" kata Evan langsung lari menuju kelasnya.

"Dasar, beda banget sama bapaknya dulu yang penurut. Tapi otaknya sama cerdasnya!" Pak Slamet menggelengkan kepalanya melihat tingkah siswanya itu lalu ia kembali ke ruangannya.

Sedangkan Evan sudah kembali ke kelas, ia sibuk mengibas-ngibaskan tangannya untuk agar sedikit sejuk. Bahkan saat masuk kedalam kelas semuanya terlihat hitam, mungkin itu efek dari dua jam lamanya Evan berjemur dilapangan.

"Udah berjemurnya?" tanya Vion sambil terkekeh.

"Si al an!" kesal Evan sambil melemparkan sebuah buku entah punya siapa itu ke wajah Vion yang terus saja meledeknya.

"Buku gue," protes Andini.

"Hehe pinjam bentar, Din." Evan tersenyum sambil menunjukkan deretan gigi putihnya membuat membuat Andini tidak jadi marah.

"Iya deh, tapi nanti balikin loh!" perintah Andini.

Evan hanya mengangguk saja, ia terlalu lelah untuk menjawab perkataan Andini.

"Nih!" Evan sedikit terkejut saat ada benda dingin yang menyentuh kulit pipinya.

Ternyata ada seorang gadis memberikan Evan sebotol minuman dingin yang memang saat ini sangat dibutuhkan oleh Evan. Tanpa ragu lagi Evan menerima pemberian gadis itu lalu membuka dan meminum hingga tandas.

"Haus banget, ngab? Sampai tetes terkahir," ucap Vion sambil terkekeh.

"Diem aja, lo kan gak tau gimana panasnya matahari yang menyengat kulit. Tuh lihat sampai belang gue." Evan membuka sedikit lengan bajunya dan menunjukkannya pada Vion yang memang terlihat belang.

"Dikit doang belangnya, cowok apa bukan kok ngeluh?" ledek Vion lagi membuat mereka terkekeh termasuk gadis yang memberikan Evan sebotol minuman dingin itu.

"Eh, btw makasih ya, Len. Minuman lo berguna banget," kata Evan sambil mengangkat botol minuman itu.

"Sama-sama, kalau bisa buat lo seneng mah apapun gue lakuin," ucap gadis itu yang bernama Elena.

"Uhuukk ciee cieee, eheem!" goda Vion membuat pipi Elena bersemu merah. Sedangkan Evan hanya tersenyum saja menanggapi ledekan Vion.

"Keselek lo, Vi?" tanya Evan.

"Iya gue keselek kalau lihat yang uwu gitu, bawaannya pengen gue bawa kalian ke penghulu biar dinikahin sekalian." Vion menaik turunkan alisnya sambil tertawa.

"Gue sih mau aja apalagi kalau sama dia," kata Elena sambil melirik Evan dengan ekor matanya.

"Kode tuh kode, ngab! Jangan dilepasin udah dikasih lampu hijau!" entah kenapa Vion sangat antusias dengan percintaan sahabatnya itu.

"Berisik banget sih ini mulut, lemes banget kalau ngomong!" geram Evan sambil membungkam mulut Vion dengan beberapa kertas.

"Huek! Lo tega banget sama gue, Van. Kasih makanan kek ini kertas main dimasukin dalam mulut, lo kira main debus apa!" kesal Vion sambil memuntahkan kertas yang sudah basah dengan air liurnya.

"Kantin ayok, gue yang traktir!" ajak Elena.

"Belum istirahat." tolak Evan sambil menatap keluar kelas, Evan berharap bisa melihat bidadari itu lagi dan yang pertama kali Evan lakukan adalah menanyakan siapa namanya.

"Ya nanti kalau udah istirahat," kata Elena.

"Gue ikut ya, Len." pinta Andini.

"Ini anak kalau denger yang gartisan gercep banget!" ejek Vion.

"Biarin, wleee!" Andini menjulurkan lidahnya pada Vion, jari telunjuknya menarik kulit pipi yang berada di bawah matanya kebawah.

"Wah ini anak, berani ya!" Vion langsung berdiri dari duduknya, ia menghampiri bangku Andini yang berada tidak jauh darinya. Terjadilah perdebatan diantara mereka berdua.

Sedangkan Evan terus saja menatap ke arah pintu kelas yang terbuka lebar, tangan kirinya ia gunakan sebagai tumpuan dagu.

Elena berdecak kesal karena ucapannya diabaikan oleh Evan, apalagi Evan lebih terfokus pada hal lain.

"Van, Evan!" panggil Elena.

"Hmm?" saut Evan tanpa menoleh.

"Lo liatin apaan sih? Gue kan lagi ngomong sama lo, harusnya lo liat gue kan?" kesal Elena.

"Bidadari!" saut Evan singkat jelas padat.

"Hah apa bidadari? Mana ada bidadari zaman sekarang ini?" tanya Elena.

"Ada tadi gue lihat kok," kata Evan, membuat Elena memelototkan kedua bola matanya.

"Apa iya ada bidadari?" batin Elena.

"Dimana?" tanya Elena penasaran.

"Kelas sebelah!" saut Evan.

"WHAT! BIDADARI KELAS SEBELAH?" teriak Elena membuat mereka semua menatapnya bingung, begitu juga dengan Vion dan Andini.

Evan menoleh melihat Elena dengan tatapan tidak suka karena Elena sudah berteriak disebelahnya membuat telinganya tambah sakit.

"Gak usah teriak-teriak bisa gak? Bikin telinga gue makin sakit aja," ketus Evan.

"Maaf, Van ... refleks tadi," kata Elena sambil menunduk, gadis itu takut dengan tatapan Evan yang berubah menjadi dingin.

"Bidadarinya mana?" tanya Vion yang sudah bergabung lagi.

"Yang tadi," kata Evan.

"Yang mana kan gue tadi gak lihat, emang ada bidadari?" tanya Vion lagi, ia begitu penasaran dengan apa yang dilihat Evan.

"Mata itu buat apa, ya kali ada bidadari lewat gak tau lo," ketus Evan.

"Eh ini anak kenapa jadi aneh sih, bentar-bentar diem, nglamun, marah-marah gak jelas." Vion menatap sahabatnya itu dengan tatapan aneh.

"Siapa yang lewat?" tanya Andini.

"Setan yang lewat disebelah lo tadi," kata Vion sambil terkekeh.

PLAK!

Andini langsung memukul lengan Vion, pasalnya Andini sangatlah penakut terlebih dengan hal-hal mistis seperti itu.

"Gak lucu, ya!" kesal Andini.

Sedangkan Elena masih mencerna kata-kata Evan yang bilang ada bidadari dari kelas sebelah itu.

...----------------...

Dingin tapi Nyegerin!

Bel istirahat pun sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, beberapa siswa langsung berhamburan keluar dari kelas. Namun tidak dengan satu orang ini, Evan. Ya dia masih saja setia duduk dibangkunya, sambil terus menatap kearah pintu masuk. Seolah Evan sedang menunggu seseorang datang menghampirinya.

Hal itu membuat Vion dan Elena bingung, pasalnya tingkah Evan hari ini lain dari biasanya.

"Doi gue kesambet dimana sih, Vi?" tanya Elena sambil menyikut lengan Vion.

Vion mengendihkan bahunya, karena ia juga tidak tahu apa yang terjadi dengan sahabat kecilnya itu.

Vion langsung menepuk bahu Evan membuatnya sedikit terhenyak kaget.

"Apa sih?" tanya Evan sambil menatap Vion tajam, karena ia merasa terganggu.

"Kantin woy, laper!" kata Vion.

"Emang udah istirahat?" tanya Evan dengan wajah tanpa dosa.

"Astaga, bel sekeras itu tadi masa lo gak denger sih, Van?" geram Vion.

Sedangkan Evan dengan wajah polosnya hanya menggeleng menanggapi ucapan Vion, hal itu membuat Vion sedikit kesal.

"Lo mikirin apa sih, Van?" tanya Elena.

"Bid—" jawaban Evan terpotong oleh Elena.

"Bidadari? Iya, itu aja yang lo pikirin!" kesal Elena yang langsung pergi begitu saja dari hadapan Evan dan Vion.

"Loh kok nggas, sih!" kata Evan bingung.

"Kenapa tuh, doi lo?" tanya Vion sambil melihat kepergian Elena.

"Bukan doi gue ya, gue ini masih asli jomblo," ucap Evan sambil mengangkat kedua ujung kerahnya dengan sombong.

"Heleh, jomblo kok bangga!" cibir Vion.

"Biarin, jomblo gini banyak yang naksir... dari pada lo!" Evan menatap Vion dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Gue kenapa?" tanya Vion yang risih ditatap seperti itu oleh Evan.

"Udah jomblo gak ada yang suka lagi, kasian banget sih hidup lo." Evan terkekeh sambil berlalu menuju kantin.

"Wah dasar! Mentang-mentang lo ganteng jadi sombong, padahal muka gue juga gak kalah ganteng sama lo!" teriak Vion menggema dikoridor kelas.

Evan hanya tersenyum menanggapi perkataan Vion itu, tanpa berbalik badan. Sedangkan tangannya sibuk membalas sapaan dari para siswi yang mengidolakannya.

Karena tak hanya kelas sepuluh, bahkan kakak kelasnya juga ada yang tertarik dengan Evan. Memang pesonanya menurun dari sang papa yang dulu juga menjadi most wanted sekolah.

Evan sudah sampai di pintu masuk kantin, ia menelisik mengamati setiap bangku yang kosong. Hingga matanya menangkap sosok bidadari yang sejak tadi membuatnya gelisah saat tak melihatnya.

"Oh, disini rupanya," gumam Evan.

Saat Evan akan berjalan menuju bangku sang bidadari lengannya sudah ditarik lebih dulu dan ia diseret menuju sebuah bangku yang sudah ada Elena dan Andini.

"Apaan sih, main tarik-tarik aja. Lo kira gue layangan apa yang harus ditarik biar gak jatuh!" gerutu Evan namun tetap saja duduk dibangkunya.

"Lah lo mau kemana, meja kita kan disini bukan disana," kata Vion tidak mau kalah.

"Berisik amat mau makan aja!" protes Andini.

"Udah-udah, debatnya dipending dulu mendingan kita makan dulu." saran Elena.

Akhirnya mereka menyetujui saran Elena. Setelah pesanan mereka datang, mereka langsung menyantap makanan itu tanpa tersisa.

Tiba-tiba saja Evan tersedak saat gadis yang ia bilang bidadari itu lewat disebelah mejanya.

"Uhukk uhuuk!"

"Bocah, makan gitu aja kesek!" ledek Vion.

"Nih minum!" Elena menyodorkan segelas es tehnya, dengan cepat Evan langsung meminumnya.

Setelah dirasa sudah membaik, Evan langsung bangkit begitu saja dari tempat duduknya tanpa memperdulikan pertanyaan dari teman-temannya itu.

"Vaann!" panggil Vion.

"EVAN!" teriak Elena, ia sangat kesal dengan Evan yang selalu mengacuhkannya.

"Tuh anak nyusulin siapa sih, cepet amat!" Vion kembali duduk seperti semula.

Mata coklat milik Elena menangkap sosok gadis berambut panjang yang sedang berjalan bersama temannya sedangkan Evan berlarian kecil menyusul gadis itu.

Tangan Elena langsung terkepal kuat, ia tidak sadar jika salah satu tangannya menceram lengan Andini.

"Awwhh, sakit Len!" keluh Andini sambil berusaha melepaskan tangan Elena.

"Elena!" panggil Vion yang membuatnya siempunya nama tersadar.

"Apa?" tanya Elena.

Vion hanya mengode Elena dengan dagunya, sedangkan Elena yang paham langsung menoleh dimana Andini kesakitan.

"Ma-maaf, Din ... gue gak sadar," kata Elena sambil mengusap-usap lengan Andini yang terlihat memerah.

"Iya gak sadar, orang bukan tangan lo!" ketus Andini.

Elena hanya memamerkan gigi putihnya kepada Andini yang terlihat sangat kesal dengannya. Tatapan Andini seperti ingin membunuh Elena tapi ia urungkan setelah menerima tawaran Elena.

"Jangan marah lagi, gue beliin es cream dua!" Elena sambil mengangkat dua jarinya.

"Lo pikir gue anak kecil gitu yang bisa disogok sama ice cream!" ketus Andini.

"Yaudah kalau gak mau," kata Elena.

"Siapa yang bilang gak mau, mau kok! Tambah coklat juga yak!" pinya Andini sambil merangkul lengan Elena.

"Beres!" kata Elena, yang terpenting Andini sudah tidak marah lagi dengannya.

"Cih, dasar cewek moodnya cepet banget berubah ... apalagi disogok sama makanan favorit," cibir Vion.

"Sirik aja lo!" ketus Andini.

Sedangkan dilain sisih Evan sedang kebingungan mencari sosok gadis yang ia lihat tadi. Evan kehilangan gadis itu karena menanggapi beberapa siswi yang menyapanya.

"Ilang kemana sih?" gumam Evan.

Bahkan saat ini wajahnya terlihat kusut, ia mengabaikan beberapa orang yang menyapanya karena takut kehingalan jejak lagi. Evan melupakan satu fakta bahwa kelas mereka bersebelahan.

Jauh didepan Evan melihat sosok gadis yang ia cari. Dengan langkah lebar Evan bergegas menghampirinya, lalu mencekal lengan gadis itu hingga tubuhnya berbalik menghadap Evan.

"Ah, maaf salah orang!" kata Evan setelah melihat wajah orang ada didepan nya bukan gadis yang sedang ia cari.

"Emangnya lagi nyari siapa, Van?" tanya gadis itu yang memang satu angkatan dengannya.

"Bukan siapa-siapa," kata Evan lalu pergi begitu saja.

"Aneh banget sih, untung ganteng," ucap siswi itu.

Sedangkan Evan masih mencari gadis bidadari itu yang tak kunjung ia temui, membuat dirinya merasa kesal sendiri.

"Ilang kemana sih, bidadari gue?" monolog Evan.

Evan memutuskan untuk kembali ke kelasnya, saat akan masuk kedalam kelas langkah Evan terhenti karena gadis yang ia cari sejak tadi tiba-tiba saja muncul dihadapannya.

"Bidadari," gumam Evan.

"Tunggu!" ucapnya secepat kilat sambil menahan tangan gadis itu.

Gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya dan menatap tangannya yang sedang dicekal Evan.

Evan yang paham pun langsung melepaskan tangannya, Evan sedikit salah tingkah saat ditatap gadis itu.

"Maaf, sengaja!" kata Evan sambil memamerkan gigi putihnya.

"Hmm!" saut gadis itu dingin.

"Gue Evan!" Evan langsung memperkenalkan dirinya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan gadis itu.

"Lalu?" tanyanya cuek bahkan terkesan tidak perduli.

"Lalu kita kenalan lah, atau langsung pacaran aja gimama?" canda Evan sambil terkekeh.

"Gak jelas!" gadis itu langsung pergi begitu saja tanpa menanggapi uluran tangan Evan yang masih mengambang di udara.

"Makanya gue butuh lo, biar status gue jelas," ucap Evan setengah berteriak.

Gadis itu hanya memutar kedua bola matanya dengan malas tanpa membalikkan badannya.

"Dingin sih tapi nyegerin!" gumam Evan sambil terkekeh sendiri.

Vion yang sudah berada disebelahnya pun bergidik ngeri melihat sahabatnya itu.

"Lo waras gak sih, Van?" tanya Vion yang langsung menempelkan punggung tangannya pada jidat Evan.

"Lo pikir gue gila?" ketus Evan.

Sedangkan Vion langsung saja mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Evan. Melihat hal itu membuat Evan sangat kesal untung saja ia masih bisa menahan emosinya.

"Mungkin emang gue udah gila, Vi," jawab Evan sambil melihat kelas sebelah.

"Hah, apa gue gak salah dengerkan? Lo ngaku kalau lo gila kan?" ulang Vion.

PLAK!

Satu tamparan mendarat mulus dipipi Vion hingga meninggalkan sedikit bekas kemerahan.

"Lo, lo kok nampar gue sih?" kaget Vion sambil memegangi pipi nya yang terasa nyeri.

"Refleks!" sungut Evan langsung masuk kedalam kelasnya meninggal Vion yang sedang kebingungan.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!