NovelToon NovelToon

Three Mafia Girls

Misi berujung nyawa

Tepat di malam tahun baru, ketiga gadis mafia terhebat mendapat misi bersama yang diberikan oleh agensi mereka. Ketiganya berkumpul setelah menyelesaikan misinya masing-masing.

"Bagaimana, apa sudah ketemu?" Ucap Wanda menatap rekannya yang baru datang.

Wanda Yolanda, seorang mahasiswi cantik yang terjun di dunia mafia demi melunasi hutang. Dia bergabung saat usianya masih remaja. Dalam dunia mafia, dia dikenal sebagai… gadis berdarah dingin.

"Belum" sahut Jeni dengan nada dingin.

Jeni Mou, seorang putri Presdir ternama. Karena suatu perjodohan membuatnya kabur dari rumah dan bergabung dengan dunia mafia. Disini ia dijuluki sebagai si gadis datar, sebab tidak pernah tersenyum.

Tap…tap…tap… terdengar langkah kaki mendekat kearah mereka. Keduanya sontak bersiaga dan bersembunyi di sudut ruangan.

Brak… dengan berani ia membanting pintu dengan keras sembari berjalan masuk kedalam.

Orang itu menghentikan langkahnya sembari berkata, "Tiger tidak akan bersembunyi." Ucapnya meletakkan selembar kertas diatas meja.

"Aqira!" Ujar keduanya keluar dari persembunyiannya.

Aqira Chu, Nona muda keluarga Chu yang diusir dari keluarganya karena berselisih dengan ibu tiri dan saudara tirinya. Dia dikenal sebagai genius dunia mafia, karena berhasil memecah labirin segitiga merah dalam waktu singkat.

Aqira menjabarkan kertas itu diatas meja, "Aku menemukannya." ucapnya sembari mengetuk selembar kertas itu.

Jeni menoleh kearah keduanya, "Sekarang?" ucapnya dengan memainkan pistol di tangannya.

Aqira menepukkan tangannya ke meja dan berkata, "Tentu." ucapnya sambil tersenyum.

Ketiganya bersiap pergi ke sebuah bar dekat pasar gelap dengan menyamar sebagai pelayan disana.

Wanda melayani orang-orang yang meminta arak, Jeni menjadi petugas pembersih kamar mandi, sedang Aqira menjadi petugas yang mengontrol kamera cctv.

Sambil menunggu target mereka datang, ketiganya mengorek beberapa informasi dari mulut orang-orang disana. Dari transaksi ilegal orang-orang berjas hitam hingga korupnya para pejabat negara, mereka mendapatkan informasi itu dengan cuma-cuma.

Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok orang ternama bersama para pengawalnya.

Aqira yang berada di ruang kontrol menoleh kanan kirinya, "apa ada orang?" Ucapnya sembari memegang erat perutnya.

Seseorang membuka pintu dari luar, "Kau kenapa?" Ucapnya sembari berjalan masuk. "Dut" belum sempat menjawab, gas perut menjelaskan semuanya. Seisi ruangan langsung dipenuhi oleh bau tak sedap. Dan di kesempatan ini Aqira pergi menemui Jeni setelah merusak sistem kontrol.

Aqira melintas di depan Jeni dan berkata, "Tiga puluh menit." ucapnya dengan nada pelan.

Jeni mengangguk dan segera menghubungi Wanda, "tiga puluh menit." ucapnya melalui earphone nya.

"Mengerti." sahut Wanda mengakhiri panggilan.

Saat di tengah perjalanan, Wanda melihat kekasihnya yang sudah lama menghilang tiba-tiba muncul bersama wanita lain di bar itu. Tidak pernah terbayangkan, bahwa gadis berdarah dingin ini bisa memiliki perasaan terhadap lawan jenis.

Karena terlalu lama, Jeni mencoba menghubunginya lagi, "apa kau tidur?" ucapnya dengan acuh tak acuh.

Wanda langsung tersadar setelah mendengar suara dinginnya Jeni, "aku segera kesana." ucapnya sembari menyeka matanya yang basah.

Setelah Wanda datang, mereka langsung mengganti pakaiannya serta mengambil senjata masing-masing. Setelah mengganti pakaian, Aqira menyadari bahwa Wanda habis menangis. "matamu bengkak, habis menangis?" ucapnya mendekatkan wajahnya kearah Wanda. Jeni sontak menoleh dan berkata, "katakan, kau kenapa?" ucapnya mengubah ekspresinya.

Ini pertama kalinya Jeni menunjukkan ekspresi yang tak pernah ia tunjukkan sedari pertama kali mereka bertemu. Terlihat ekspresi Jeni yang khawatir dengan teman seperjuangannya itu. "keluarkan saja." ucap Jeni menepuk pundak Wanda.

Tiba-tiba sudut gelap matanya di banjiri oleh air mata, "dia kembali bersama wanita lain." ucapnya dengan memejamkan matanya. Aqira menepuk pundaknya sembari berkata, "coba ceritakan yang terjadi." ucapnya dengan lembut.

Wanda menceritakan semua kenangan manis yang ia alami bersama kekasihnya itu. Sampai suatu ketika keluarganya bangkrut hingga terlilit hutang, dan ia ditinggal olehnya di pelaminan. Setelah mendengar itu, keduanya mulai prihatin dengan nasib mereka masing-masing.

Aqira mencoba menenangkannya dengan memeluknya, "sudahlah, semuanya sudah berlalu. Sekarang kan kau sudah punya tujuan hidup baru." ucapnya sembari membelai rambut Wanda. Jeni menepuk pundak Wanda dan berkata, "hei, apa kau masih Wanda Yolanda yang kejam itu?" ucapnya dengan tersenyum.

Wanda menyeka air matanya sembari menjawab, "dan apakah kau juga masih Jeni Mou yang datar?" ucapnya mendongak kearahnya. Ketiganya saling menatap satu sama lain dan saling memberi senyuman.

Aqira berdiri seraya berkata, "baiklah, sudahi dulu nostalgia nya, sekarang…" sembari menatap yang lain.

"waktunya bekerja." Ucap keduanya berjalan menuju target mereka.

Saat mereka keluar dari toilet, terlihat target sedang menuju balkon dengan membawa koper kecil di tangannya. Disana ada seorang pria memakai jas hitam sembari menatap langit.

Target mendekati orang itu sembari berkata, "Aku sudah membawa barangnya, sekarang setujui kesepakatannya." Ucapnya menyodorkan koper di tangannya itu.

Orang itu membalikkan badannya dan menjawab, "tentu" sahutnya menodongkan pistol kearahnya.

Dorr… terdengar suara tembakan yang nyaring dan mengenai target mereka hingga tewas. Kemudian orang itu mengambil koper tersebut dan hendak membukanya.

Ketiga gadis itu memperhatikan diam-diam dari balik pintu. Namun keberadaan mereka telah diketahui oleh orang itu.

"keluarlah!" ucapnya yang menembakkan pelurunya kearah mereka bertiga. Sontak mereka keluar dari persembunyiannya, dan terjadilah perkelahian antar kedua belah pihak yang saling memperebutkan koper tersebut.

"Jeni, tanganmu!" ucap keduanya menoleh kearah Jeni.

Tangan Jeni tergores oleh benda tajam saat berkelahi. Dia mengambil sapu tangan dari sakunya sembari memperban lukanya, "apapun yang terjadi, kita harus mendapatkan koper itu!" Ucapnya dengan menatap yang lain.

Demi merebut koper itu, ketiga gadis ini harus melumpuhkan lawan yang berdatangan satu persatu kearahnya. Mereka hampir kewalahan karena orang itu memanggil bala bantuan sehingga pertarungan semakin lama. Hingga peluru terakhir yang dilesatkan oleh Wanda mengenai dada pria itu dan mengakhiri pertarungan.

Aqira mengambil koper dari tangan pria itu sembari membuka isinya, "sialan, kita dijebak!" Ucapnya yang menutup kembali koper tersebut.

Bloomm… tiba-tiba bom meledak dan meratakan seisi gedung. Semua yang berada di gedung itu tak sempat menyelamatkan diri dari sana. Naasnya jasad orang-orang yang berada di balkon hancur akibat ledakan tersebut. Bahkan jasad ketiga gadis itu tak ada yang tersisa.

Setelah kejadian itu, tim polisi dan para relawan mengevakuasi korban serta awak media mulai memadati tempat tersebut. Walaupun mereka mati saat menjalankan misi, tapi tujuan mereka tercapai.

Wanda berhasil melunasi hutang keluarganya, Jeni memenangkan taruhannya dengan ayahnya, dan Aqira yang membongkar watak asli ibu tiri dan saudara tirinya di hadapan ayahnya.

Serta satu hal lagi, mereka berhasil mewujudkan impian mereka yaitu… merasakan kembali kehangatan sebuah keluarga.

Melintas Waktu

Dinasti Kuno

Restoran terkenal di zaman kaisar ketiga, terlihat sangat ramai di padati oleh kerumunan orang-orang. "nona, bangun nona. Huhuhu, jika kau tidak bangun, apa yang akan kukatakan pada nyonya besar?" terdengar isak tangis yang amat bising dari dalam kerumunan itu.

Seorang gadis dengan pakaian sederhananya pingsan di tengah kerumunan orang-orang.

"Sudah kubilang, dia gadis yang lemah. Kenapa memaksa ingin bekerja disini!?" Ucapnya memarahi gadis itu.

"kumohon tolong nona ku dulu." ucap gadis itu menatap sekelilingnya. Tapi diantara mereka tidak ada yang menolongnya, entah karena enggan atau takut.

Mendengar keributan itu, membuat gadis yang pingsan itu langsung terbangun, "berisik!" Ucapnya yang terduduk dan membuka matanya.

Gadis itu sontak memeluknya, "Nona, akhirnya kau bangun." Ucap sambil terisak-isak.

Wanda kebingungan melihat pakaian dan bahasa yang mereka gunakan, "ini… ini ada dimana?" Batin Wanda memegang kepalanya yang pusing sembari berdiri menatap sekelilingnya.

Gadis itu mendongak kearahnya seraya berkata, "upah kami bagaimana?" ucapnya sembari mendekatinya

Pria itu langsung mendorongnya, "upah? kalian saja belum sehari bekerja sudah minta upah." ucapnya yang memaki gadis itu.

Wanda mendengarkan mereka sejenak, "bukankah ini bahasa yang sering digunakan oleh Aqira?" batinnya sembari memegang dagunya.

Gadis itu terus memohon untuk mendapatkan upah mereka untuk Wanda, "kumohon berikan upah itu, kalau tidak Nonaku tidak bisa makan." ucapnya sambil berlutut dihadapannya.

Pria itu melangkah maju mendekatinya, "pergilah!" ucapnya yang menendang gadis itu.

Melihat gadis itu ditindas membuat Wanda kesal dan langsung menghampiri mereka, "kaki mana yang kau gunakan?" ucapnya dengan wajah datar. Pria itu menjawab dengan angkuhnya, "kenapa!? kau tidak terima?" ucapnya dengan menatap wajah Wanda.

Wanda membalikkan badannya seraya memapah gadis itu berdiri, "kau tidak apa-apa?" ucapnya membungkukkan badannya.

Pria itu mulai memaki Wanda, "lemah tetaplah…"

brakk… dengan badannya yang membungkuk, Wanda menendang wajah pria yang berada di belakangnya itu sampai terpental ke pintu.

"berani sekali kau menendang wajah suamiku!" ucap seorang wanita mendekatinya. Wanda berdiri sambil menoleh kebelakang, "tidak terima?" ucapnya dengan nada dingin. Sontak wanita itu mundur ketakutan melihat sorot matanya.

"Nona, kita kembali saja." ucap gadis dengan nada pelan. "baiklah" sahut Wanda mengelus rambutnya.

Sesampainya di rumah, Wanda terus bertanya-tanya dengan apa yang terjadi. "Bukankah, aku mati dalam ledakan itu. Lalu… sekarang ada dimana ini?" Batinnya yang terus berpikir.

Gadis itu tiba-tiba berlutut di hadapannya, "nona, maafkan aku. Karena ku, kau jadi harus dipecat." Ucapnya dengan menundukkan kepalanya.

Wanda menatap gadis itu sembari berkata, "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" Ucapnya dengan dingin.

Gadis itu menjawab, "hamba ceroboh, mohon nona menghukum hamba." ucapnya sembari bersujud di hadapannya.

Wanda yang bingung melambaikan tangannya, "Kau pergilah, aku ingin sendiri." Ucapnya sembari berbaring di tempat tidurnya. "Baik" sahut gadis itu meninggalkannya sendiri.

"oh iya, ambil ini untuk merawat mukamu yang memar." melemparkan salep kearah gadis itu. "terimakasih, Nona." sahut gadis itu menangkapnya sembari meninggalkan kamar Wanda.

Saat Wanda memejamkan matanya, tiba-tiba muncul ingatan-ingatan buram dibenaknya. "Agh, ingatan siapa ini?" Batinnya menahan rasa sakit di kepalanya. Wanda mengguling kesana kemari diatas tempat tidurnya seperti orang kerasukan.

Ditempat lain, terlihat sekelompok orang mengintimidasi seorang pria di tepi tebing.

"Seorang pecundang tetaplah pecundang!" Ujar salah seorang dari mereka sembari menjambak rambut pria itu dan mendongak wajahnya keatas. Seorang wanita datang menghampiri mereka seraya berkata, "kalian rusak saja wajahnya agar dia tidak menggoda pangeran lagi." ucapnya dengan tersenyum picik.

"kau benar, reputasi pangeran kita jadi jelek karenanya!" ucapnya sembari mengeluarkan belatihnya.

Saat hendak menggores wajahnya, tiba-tiba pria itu terbangun dan berkata, "singkirkan tangan kotor mu!" ucapnya dengan menatapnya tajam orang itu.

Sontak ia terkejut dan langsung melepaskannya sembari mundur selangkah. Aqira berdiri dengan memegang punuk lehernya yang kram, "Ini dimana?" ucapnya sembari menatap sekelilingnya.

Orang itu langsung menjawab, "neraka" ucapnya yang hendak mendorong Aqira ke ujung tebing.

Dengan keterampilannya yang lincah, ia menghindar dengan cepat. "Ck, kau bukanlah lawan ku." Ujar Aqira berbalik mendorongnya hingga terjatuh dari tebing.

Aqira mendekat ke ujung tebing seraya berkata, "begitu saja sudah jatuh? lemah!" ucapnya yang melihat pria tadi terperosok ke tebing.

Saat menoleh kebelakang, sekelompok orang itu sudah kabur dengan cepat. Aqira memukul pohon di sebelahnya dan berkata, "Sialan, aku bahkan belum bertanya dimana ini?" Ucapnya dengan kesal.

Akhirnya, mau tidak mau Aqira harus mencari tahu sendiri dimana ia berada sekarang. Di sepanjang perjalanan ia terus menggerutu sebab tak menemukan siapapun.

"tapi… kenapa bahasa yang mereka gunakan, seperti bahasa kuno di desaku dulu?" ucapnya yang berpikir dengan menyangga dagunya sambil menyusuri jalan.

Aqira menghentikan langkahnya sejenak, "dan juga, kenapa aku berpakaian seperti laki-laki!?" ucapnya sembari memeriksa kondisi dirinya sendiri.

Ditempat lainnya, di sebuah kamar yang mewah terlihat seorang gadis yang sudah diberi obat perangsang terbaring lemas diatas tempat tidur.

"Bagaimana tuan? Apakah bagus?" ucap seorang wanita menunjukkan wajah gadis itu.

Pria itu menyeringai dan berkata, "kau memang tidak pernah mengecewakanku." ucapnya sembari melempar sekantong koin emas kearah wanita itu.

Wanita itu menangkapnya dengan cekatan, "Kalau begitu, saya permisi dulu." ucapnya berjalan keluar sembari menutup pintu dari luar.

Pria itu bergegas menaiki ranjangnya seraya berkata, "gadis cantik, buatlah aku puas." ucapnya dengan penuh nafsu tepat di telinga gadis itu.

Mendengar sesuatu yang aneh itu, membuat gadis itu terbangun, "kau sedang apa?!" ucap Jeni spontan mencekik leher pria itu dengan kuat.

Pria itu berusaha melepaskannya, "ga…dis sialan, akan ku…beri kau pe…lajaran!" ucapnya yang hampir kehabisan nafas.

Kemudian Jeni melepaskannya, "jika kau macam-macam…" sembari berjalan menuju pisau buah dan memutarkannya di jarinya.

Pria itu terdiam di pojokan dinding tak berani bergerak. Jeni membalikkan badannya seraya berkata, "akan ku bunuh kau!" ucapnya melemparkan pisau itu kearah dinding hingga memotong rambut bagian atasnya.

Sontak pria itu terduduk lemas sampai terkencing di celananya, "ba…baik." ucapnya yang gemetaran dan pingsan di tempat.

Jeni mengambil sekantung koin emas yang ada pada pria tadi kemudian membuka jendela kamar itu sembari menoleh kebawah. Terlihat jalanan yang sepi, ia langsung melompat keluar dari tempat itu melalui jendela, "sialan, tempat apa itu tadi?" ucapnya sembari memegang punuk lehernya yang merinding.

kruyuk… terdengar gemuruh dari perutnya yang lapar, "aih, kenapa harus disaat seperti ini?" ucapnya sembari memegang perutnya. Ia langsung pergi ke sebuah restoran di dekat sana untuk istirahat sejenak.

Saat melangkah masuk kedalam, tiba-tiba hawa aneh terasa. Terlihat sorot mata para pria di sekitar mengarah padanya. Dengan acuh tak acuh, ia langsung memesan meja di lantai dua untuk menghindari tatapan aneh itu.

Identitas Baru

Tok…tok…tok… "nona, apa aku boleh masuk?" Ucap seorang gadis mengetuk pintu dari luar kamar Wanda.

"Masuklah" Sahut Wanda yang sudah selesai mengganti pakaiannya.

Gadis itu berjalan masuk dengan membawa makanan di tangannya, "nona, kau belum makan. Jadi, aku bawakan ini untukmu." Sembari meletakkannya di atas meja.

"dimana chui chui?" ucap Wanda menatap gadis itu. Ia menjawab, "dia… sedang ada urusan, jadi menyuruhku menggantikannya." sahutnya dengan menundukkan kepalanya.

Wanda duduk dan berkata, "kau sudah bekerja keras, bagaimana kalau makan bersamaku." ucapnya menarik tangan gadis itu untuk duduk disebelahnya.

"Hamba tak layak makan bersama, Nona." Ucapnya dengan berlutut dihadapannya.

Wanda mencoba membujuknya, "jika kau tidak makan, aku juga tidak akan makan." Sembari mendorong makanan tersebut.

Gadis itu langsung menjawab, "kalau begitu, saya akan makan bersama, Nona." Ucapnya dengan ekspresi terpaksa.

"Nona, makanlah terlebih dahulu." ucap gadis itu terus mendesak Wanda untuk segera menyantap makanan tersebut.

Dengan cerdik Wanda mengecohnya seolah memakan makanan itu dengan mengunyahnya tapi tidak ia telan. Gadis itu pun mulai menurunkan kewaspadaannya dan mulai memakannya. Saat dia menelan makanan itu, ia langsung pingsan dengan mulutnya yang berbusa.

Wanda meludahkan makanan di mulutnya seraya berkata, "ck, kau bukanlah lawan ku." ucapnya sembari menyeka mulutnya.

Wanda memejamkan matanya, mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.

"Aku…aku melintas waktu?" Ucap Wanda yang terbangun. "Jadi… sekarang aku adalah putri pertama menteri Wang yang terkenal lemah dari abad kaisar ketiga?" Batinnya meringkas seluruh ingatan yang terlintas.

Wanda membuka matanya perlahan, "jelas-jelas pemilik tubuh asli tahu sifat asli pelayanannya ini, tapi kenapa dia terus mengabaikan sikapnya?" ucapnya yang berpikir sejenak.

Ia mengambil nafas panjang seraya berkata, "Sayangnya yang berdiri di hadapanmu sekarang bukanlah Wang Yolan, Nona pertama keluarga Wang yang selalu diam jika permainkan. Aku… Wanda Yolanda. Tidak akan menerima hal seperti itu lagi dalam hidupku ini!" ucapnya sembari menyeret gadis itu ke halaman nyonya besar.

"Anggap saja ini hadiah pembukaan sebelum pertemuan kita." Ucap Wanda melemparnya tepat di depan pintu kamar nyonya besar.

Restoran Tanyang

"hachu. Sialan, pakaian apa yang ku kenakan ini? sangat minim sekali." ucapnya yang menggosok hidupnya.

"dan ya, kenapa pakaian mereka juga minim sekali?" ucap Jeni melihat paviliun tempatnya tadi dari jendela restoran lantai dua. Seorang pelayan menghampirinya dengan makanan yang ia pesan, "apa nona Jian bercanda? Anda kan kupu malam paling top di paviliun Zehua." Ucapnya sembari meletakkan makanan di mejanya.

"Kupu malam? Jadi, tempat itu rumah bordil!?" Batin Jeni yang tak percaya.

"Tunggu! Dia memanggilku Jian? Jangan-jangan, ini tubuh pelacur kelas atas di zaman kaisar ketiga, Mou Jian?" Seketika Jeni mematung mendengar ucapannya sendiri.

"Melintas, ya melintas saja. Tapi kenapa jatohnya harus di rumah bordil!?" Batin Jeni yang geram dengan mengepalkan tangannya.

tap…tap…tap… terdengar langkah kaki mendekat kearahnya, "Jian!" ucap seorang wanita menghampirinya. Sontak Jeni mendongak kearahnya seraya berkata, "siapa kau?" ucapnya dengan wajah datarnya itu.

"bagus! bagus sekali! baru mabuk sebentar sudah tidak mengenaliku." ucapnya dengan tersenyum paksa. "bibi, jika kau punya masalah denganku katakan saja." ucap Jeni yang hendak menyantap makanannya.

"kalian tunggu apa lagi?! cepat tangkap wanita itu!" ucapnya menatap para pria yang bersamanya. Keempat pria itu mengepung Jeni dari segala sisi, dan di antara mereka ada yang langsung memegang tangannya.

"singkirkan tanganmu." ucap Jeni menatap tangan yang menyentuhnya itu. Pria itu menjawab, "aku akan melepaskan mu setelah kau menyelesaikan tugasmu." ucapnya menarik Jeni untuk berdiri.

Jeni berdiri dengan terpaksa, "ck, menyusahkan!" ucapnya memegang tangan pria itu dan melemparkannya keluar lewat jendela.

"ada yang butuh bantuan?" ucap Jeni sembari memiringkan kepalanya.

"hajar dia kak!" ucap seorang anak kecil menatap Jeni dengan wajah gembira. Karena kesal wanita itu hendak memukul bocah yang berada di sampingnya itu. Dengan cepat Jeni berhasil mencegah tindakan itu dengan menangkap tangannya, "kau mau apa?" ucapnya sembari membalikkan badan wanita itu.

Jeni meremas tangannya sambil berkata, "jangan libatkan anak kecil dalam hal ini!" ucapnya memberi tatapan dingin kearahnya.

Orang-orang yang berada disana ikut membantu Jeni, "cepat bantu nona Jian!" ucap mereka sembari memukul wanita itu dan orang-orangnya.

Wanita itu berusaha menyelamatkan dirinya dari amukan massa, "Jian, kau tunggu saja pembalasanku!" ucapnya meninggalkan tempat itu dengan geram.

Jeni membungkukkan badannya kearah bocah itu seraya berkata, "kau tidak apa-apa kan?" ucapnya sembari mendekatkan wajahnya. Bocah itu mendongak dan menjawab, "aku tidak apa-apa kok." ucapnya dengan memberikan senyuman manis.

"baguslah kalau begitu." ucap Jeni sembari membalas senyumannya.

Jeni berdiri seraya membalikkan badannya, "terimakasih sudah membantuku." ucapnya kearah orang-orang itu. "jangan sungkan, Nona." ucap seorang wanita menghampirinya.

"oh iya, maafkan aku. Karenaku tempat ini jadi berantakan." ucapnya dengan wajah bersalah. Bocah itu menghampirinya seraya menarik lengan bajunya, "kakak jangan khawatir, pamanku pemilik tempat ini, aku yang akan bicara padanya." ucapnya menatap wajah Jeni.

"benarkah? kalau begitu terimakasih bantuannya." ucap Jeni mengelus rambut bocah itu dengan lembut.

"kalau begitu, saya permisi dulu." ucapnya hendak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba bocah itu menarik tangannya, "kakak, bawalah ini. Kulihat kau belum makan apapun tadi." seraya memberikan bungkusan dari tangannya.

"terimakasih." menerimanya dengan hati-hati. "kalau begitu, saya permisi dulu." berjalan meninggalkan tempat itu.

Ditempat lain, Aqira diantar oleh seorang wanita pulang ke kediamannya. Disana terlihat sedang diadakan sebuah pesta. Tepat saat Aqira selangkah masuk dari pintu depan, tiba-tiba sebuah pedang menancap di hadapannya.

"Hei, bawa pedang itu kemari!" Ucap seorang pria dari kejauhan. Seketika pandangan mata semua orang menyorot kearah Aqira.

Seorang gadis menghampirinya, "Nona, akhirnya kamu pulang." ucapnya dengan nada pelan. "Kau tau kalau aku wanita?" ucap Aqira menatap gadis itu. "Iya" sahutnya menggangukkan kepalanya.

"Kalau begitu, Nona sebaiknya langsung kembali ke kamar." ucapnya dengan penuh kekhawatiran. "Baiklah" sahut Aqira.

Pria yang melempar pedang tadi berteriak, "hei, pecundang! Apa kau tidak dengar?" ucapnya dengan nada tinggi.

Seorang pria di sampingnya berkata, "Apa tuan bercanda? Dia saja tidak kuat mencabutnya, bagaimana bisa membawanya kemari?" sekelompok orang-orang itu mulai menertawakan Aqira.

"Memang pecundang." ucap pria itu meremehkan Aqira.

Aqira sontak mencabut pedang itu dan berkata, "seorang pria tidak bergosip!" ucapnya sembari melemparkan pedangnya hingga menggores wajah pria itu.

Suasana menjadi hening seketika. "Chu… Qi…an! Berani sekali kau!" Ucap pria itu menyentuh pipinya yang berdarah.

Aqira mengerutkan keningnya, "Chu Qian? Putra jenderal Chu di abad kaisar ketiga?" Batinnya berpikir sejenak.

"Berani sekali kau melukaiku!" ucapnya berjalan mendekatinya. Aqira mendongak kearahnya seraya berkata, "kenapa? tidak terima?" ucapnya dengan nada dingin.

"dasar pecundang!" ucap pria itu mengangkat tangannya. Aqira spontan menangkap tangannya sembari mematahkannya.

"agghhhhh" terdengar suara jeritan yang sangat keras keluar dari mulut pria itu.

Sontak membuat ayah dari kedua belah pihak menghampiri keduanya, "ada apa ini?" ucap mereka sembari berjalan mendekat. Pria itu langsung mengadu pada ayahnya, "ayah, dia mematahkan tanganku." ucapnya menahan air matanya.

Seorang wanita berjalan menghampirinya, "Qian-qian apa yang sudah kau lakukan pada tuan muda Lan!" ucapnya dengan nada tegas.

Dengan acuh tak acuh, Aqira tak menghiraukannya dan kembali ke kamarnya bersama gadis itu.

"Bagus sekali, aku akan mengingat penghinaan ini!" Ucap ayah dari pria itu meninggalkan kediaman jenderal Chu dengan kesal bersama putranya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!