Di sebuah ruang perawatan di rumah sakit terbesar di negara itu, tampak seorang gadis mengenakan pakaian pengantin duduk bersebelahan dengan seorang pria dengan badan tegap, tinggi, putih serta hidungnya yang mancung .
Dengan disaksikan anggota keluarga sang pria dan seorang wanita paruh baya dari pihaknya, pernikahan itu akhirnya terjadi setelah kata 'sah' terdengar di seisi ruangan.
Bunga Florencia akhirnya menjadi seorang istri dari Maxime Anderson. Pria yang dia kagumi selama ini sekaligus ayah dari bayi yang saat ini tengah dikandungnya. Ya pernikahan mereka terjadi karena sebuah kecelakaan yang membuat dirinya kini hamil.
Bunga Florencia, biasa disapa Bunga bekerja di kediaman putra pertama keluarga Anderson yakni Stevano Anderson. Dia dijadikan sebagai pelayan pribadi istri Tuan Mudanya yang bernama Olivia Jasmine. Pada suatu malam setelah acara keluarga di kediaman Tuan Mudanya, untuk merayakan hari ulang tahun Tuan Besar William Anderson. Setelah kembali melakukan Tugas dari Nyonya Mudanya dengan masih mengenakan kemeja dan celana panjang, Bunga masuk ke dalam kamar Nyonya Mudanya untuk mempersiapkan keperluan Nyonya Mudanya sebelum tidur. Tanpa tahu jika Nyonya Mudanya malam itu akan tidur di kamar suaminya Tuan Muda Stevano.
Setelah selesai Bunga berdiri di depan jendela, menikmati keindahan malam serta hembusan angin yang menerpa wajahnya karena jendela yang sengaja dia sedikit buka. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu kamar itu. Bunga tidak menoleh sama sekali dia hanya berpikir jika itu adalah Olivia Jasmine, Nyonya Mudanya.
Terdengar langkah seseorang itu semakin mendekat dan dengan tiba-tiba memeluknya dari belakang dengan begitu eratnya. Membuat Bunga begitu terkejut dan langsung memberontak dalam pelukan orang itu.
"Anda siapa? Apa yang Anda lakukan? Lepas! Cepat lepaskan aku!" Teriak Bunga yang masih terus memberontak mencoba melepaskan diri dari pelukan orang itu dari arah belakangnya.
"Diamlah Olivia! Kau tahu aku menyesalinya sekarang, aku menyesal melarikan diri dari pernikahan itu," ucap orang itu yang Bunga tahu siapa dia, didengar dari suaranya yang begitu dia kenali. Suara yang bisa berbicara penuh kesopanan lembut dan ramah kepada setiap orang yang ditemuinya baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah seperti dirinya yang bekerja sebagai seorang pelayan. Hal itulah yang membuat dirinya kagum terhadap seseorang yang kini sedang memeluknya.
Bunga mencium aroma alkohol dari tubuh pria itu, "Tuan Max? Anda sedang mabuk! Dan jangan berbicara melantur seperti itu! Sekarang lepaskan aku! Aku bukan o…
Belum selesai dengan perkataannya, pria yang baru diketahui bernama Max itu, langsung membalikkan badan Bunga dan menciumnya. Membuat Bunga membelalakan mata kaget atas apa yang dilakukan Max.
"Mmm" Bunga terus saja memberontak agar Max menghentikan ciuman itu, dengan terus memukul-mukul dada pria itu, tapi Max justru mencekal tangan mungilnya, baru setelah cukup puas Max baru melepaskan ciumannya.
Terlihat Bunga meraup oksigen sebanyak-banyaknya saat ciuman itu sudah terlepas.
"Lepaskan saya! Bunga terus saja meronta dengan seluruh tenaga yang dimilikinya. Tapi sungguh disayangkan karena tenaganya tidak sebanding dengan tenaga pria yang kini ada di hadapannya.
Max mengunci tubuh Bunga, dan kembali menciumnya rakus. Sementara Bunga masih saja berusaha agar terlepas dari Max. Dan begitu terlepas, dengan cepat Bunga mendaratkan tamparan yang cukup keras di pipi Max.
"Jaga sikap Anda, Tuan!" Marah Bunga dan mencoba secepat mungkin pergi dari kamar Nyonya Mudanya itu.
Tapi pergelangan tangannya kembali ditarik Max, "Kau tidak bisa pergi dariku Olivia, malam ini kau harus jadi milikku!" Kata pria itu.
"Kumohon lepaskan saya Tuan!" Bunga akhirnya memohon karena rasanya tenaganya sudah terkuras habis karena dirinya yang terus memberontak tadi.
"Kenapa? Apa karena Kak Vano? Aku tidak akan membiarkan itu!" Ucap Max yang kemudian mendorong tubuh Bunga ke atas ranjang yang ada di sana. Max ikut naik dan kemudian mengungkung tubuh Bunga.
Bunga terus saja memberontak hingga tanpa terasa air matanya sudah mulai berjatuhan entah sejak kapan.
Max menatap Bunga dengan intens, menyingkirkan anak rambut yang turun di pipi Bunga, dan menyelipkannya ke belakang telinganya. "Kenapa menangis? Aku tidak akan menyakitimu Olivia, aku tidak akan melakukannya dengan kasar, jadi jangan menangis," ucap Max yang masih mengira jika gadis itu adalah Olivia, gadis yang dicintainya.
Max kemudian mencium kening, kedua mata, hidung dan terakhir tatapannya turun ke bibir yang dari tadi seakan menggodanya. Hingga kemudian dia memiringkan wajahnya dan mencium bibir itu dengan intens.
"Kamu sangat cantik Olivia," puji Max kemudian kembali mengecup bibir bunga berkali-kali, mencium kemudian me****t bibir itu, tangannya tidak tinggal diam, Max melepaskan kancing kemeja Bunga satu persatu. Hingga terjadilah malam itu yang pertama bagi mereka. Malam yang paling menyakitkan yang Bunga rasakan karena dia harus menyerahkan kehormatannya pada seorang pria yang tidak mencintainya bahkan yang lebih menyakitkan lagi, pria itu menganggapnya Olivia, seorang gadis yang pria itu cintai yang tak lain dan tak bukan adalah Nyonya Mudanya, yang lebih tepatnya adalah Kakak Ipar dari pria yang saat ini telah mengambil kesuciannya yang sudah dia jaga selama ini.
Mengingat hal itu membuat Bunga tanpa terasa kembali meneteskan air matanya. Dan setelah menyadari dirinya kembali menangis, Bunga langsung menghapus air matanya kasar dan hal itu disadari dan diperhatikan oleh seorang pria yang juga ada di sana. Pria itu menatap Bunga dengan tatapan sendu.
Setelah semuanya selesai, Max mengajak Bunga segera pergi dari ruang perawatan tempat Maminya dirawat yang dijadikan tempat untuk mereka menikah. Karena Max tidak ingin acara mewah, dia hanya ingin pernikahannya disaksikan oleh anggota keluarganya saja.
"Mi, Pi, dan yang lain, aku pamit dulu, Bunga harus segera istirahat, takutnya dia kelelahan dan kasihan kandungannya," pamit Max yang membuat orang di sana saling melempar pandang.
"Kenapa tidak tinggal di mansion utama saja? Kakakmu juga sudah memutuskan untuk tinggal bersama, biar rumah tidak sepi lagi," lirih Tiffa ibu dari Maxime Anderson.
"Mi, Max hanya ingin mandiri setelah berumah tangga, makanya Max memutuskan untuk tinggal di Apartemen yang baru Max beli, dan Mami tidak perlu khawatir, karena Max dan Bunga akan sering mengunjungi Mami," ucap Max meyakinkan Maminya akan keputusannya untuk tinggal di Apartemen.
William, Ayah Maxime menggenggam tangan istrinya dan mengangguk mengisyaratkan untuk mendukung apapun keputusan putra kedua mereka.
Dan Tiffa pun dengan terpaksa menyetujui hal itu. Sebenarnya Tiffa hanya khawatir dengan rumah tangga mereka. Karena mereka semua tahu jika Max menikahi Bunga, bukan karena Max mencintai gadis itu melainkan hanya karena janjinya kepada William Suaminya bahwa dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tiffa memandang punggung putra keduanya yang kini keluar dari ruang rawatnya, "Semoga kamu bisa membuka hatimu, Nak dan kelak kamu akan mencintainya," harap Tiffa dalam hati.
Di sebuah gedung Apartemen yang menjulang tinggi, Jack yang mengemudi mobil Max , menghentikan mobilnya karena mereka telah sampai.
Jack berlari ke pintu belakang dan membukakan pintu untuk Bunga, membuat Max heran dengan asistennya tersebut. Tak ingin menunggu, Max kemudian membuka sendiri pintu mobil. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan keduanya.
Tapi sebelum langkahnya menjauh Max berkata tanpa menoleh sedikitpun, "Jangan lupa Jack jika aku bosmu bukan wanita itu," setelah mengatakan itu Max akhirnya benar-benar meninggalkan mereka.
Bunga hanya bisa melihat punggung seseorang yang baru saja resmi menjadi suaminya dengan tatapan sendu.
"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Jack memastikan.
"Iya aku baik-baik saja," jawab Bunga lalu berjalan melewati Jack dan menuju ke bagasi mobil hendak membukanya tapi langsung dihentikan oleh Jack.
"Biar aku saja yang membawa kopermu, lagian ini cukup berat, kasihan nanti bayimu," kata Jack menawarkan diri. Membuat Bunga tersenyum canggung, "Andai saja yang melakukan ini Suamiku, pasti rasanya sangat menyenangkan," ucap Bunga dalam hati.
Jack sesekali melirik ke arah Bunga yang sepertinya melamun, Jack tahu bahwa sebenarnya Bunga tidak baik-baik saja dilihat dari raut wajahnya saja semua itu sudah terlihat jelas. Tapi Jack lebih memilih berpura-pura tidak tahu, takut wanita itu merasa rendah diri.
"Bunga, Ayo!" Ajak Jack.
"Bunga!!" Ucap Jack lagi karena menyadari Bunga tidak merespon ajakannya tadi.
"Ah iya, kenapa Jack?" Tanya Bunga setelah sadar dari lamunannya.
"Apa kamu tidak ingin masuk dan akan terus berada disini? Jika seperti itu lebih baik kau melamar pekerjaan jadi satpam saja," gurau Jack yang akhirnya membuat Bunga tersenyum.
"Kamu ini ada-ada saja, mana ada satpam secantik diriku," ucap Bunga percaya diri.
"Nah begitu kan tambah cantik, sayang kan jika senyuman secantik itu tidak ditunjukkan," kata Jack menggoda Bunga.
"Jack hentikan, jangan menggodaku," kata Bunga memukul lengan Jack.
"Aw, sakit tahu," ringis Jack dengan wajah cemberut.
Dan hal itu membuat tawa Bunga pecah. Dan tanpa mereka sadari, seorang pria memperhatikan mereka dari atas sana.
Tak lama keduanya pun masuk kedalam. Begitu sampai di depan lift, Jack mempersilahkan Bunga, kemudian Jack pun memencet tombol nomor lantai yang mereka tuju. Keduanya berjalan di iringi dengan obrolan antara Jack dan Bunga, layaknya teman lama.
Sesampainya di kamar yang dituju, Jack memencet bel, hingga tak lama pintu pun dibuka menampilkan Max yang masih mengenakan pakaian yang sama. Padahal tadi waktu di jalan, Max bilang jika dia ingin cepat-cepat sampai dan langsung mandi. Tapi yang kini Jack lihat Max masih mengenakan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam.
"Cepat masuk! Dan kau Jack sebaiknya kau kembali ke kantor sekarang! Perintah Max tidak ingin dibantah.
"Baik Tuan, kalau begitu saya permisi," pamit Jack kemudian menutup pintu Apartemen. Dan pergi dari tempat itu, kepalanya terus menoleh dan melihat pintu yang tadi dia tutup dengan pandangan tidak rela.
"Apa kau lupa statusmu sekarang?" Tanya Max dingin begitu melihat Asisten Jack sudah pergi.
"Maksud Anda, Tuan?" Tanya Bunga bingung.
"Perlu aku ingatkan, jika statusmu di luar adalah seorang istri dari Maxime Anderson. Dan kau tahu apa? Kau akan menjadi sorotan orang-orang, dan dengan kelakuanmu yang sering menggoda pria itu, bisa saja menghancurkan nama baikku, apa sekarang kau mengerti sampai disini?" Kata Max dengan wajah datarnya.
"Tuan apa maksud Anda aku menggoda pria? Pria mana yang aku goda? Apa aku tidak salah dengar Anda mengatakan hal itu?" Tanya Bunga balik menatap Max tajam.
"Aku tahu jika statusku sekarang adalah istrinya. Tapi apa maksudnya dia bilang aku akan menjadi sorotan orang-orang. Bagaimana bisa aku menjadi sorotan, bahkan kita menikah saja tidak ada orang yang tahu," batin Bunga menggerutu. Tunggu tadi dia mengatakan apa ? Aku menggoda pria. Apa maksudnya berkata seperti itu." Tambahnya dalam hati.
"Berani kau menatapku seperti itu?" Tanya Max tidak terima ditatap tajam Bunga.
"Tentu saja, kenapa tidak," jawab Bunga acuh kemudian menyeret kopernya. Kemudian Bunga kembali menoleh saat melihat dua kamar di depannya. "Mana kamarku?" Tanya Bunga pada Max.
"Kau.." kata Max sambil menunjuk Bunga dengan jari telunjuknya. "Kamarmu sebelah kiri!" Tambahnya pasrah, tidak ingin berdebat lagi hari ini, karena jujur saja dirinya merasa lelah, apalagi seminggu kemarin dia mengurus masalah yang terjadi di perusahaan dirinya maupun milik Papinya. Untung saja semuanya bisa diatasi dibantu dengan rekan bisnisnya dari luar negeri.
"Terima kasih," kata Bunga kemudian berlalu meninggalkan Max dan menyeret kopernya sendiri.
"Kenapa wanita itu yang meninggalkanku lebih dulu, bukannya harusnya aku?" Gumam Max, tidak ingin ambil pusing Max pun akhirnya ikut masuk ke dalam kamarnya.
"Huft lelahnya," gumam Bunga kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang sudah terlihat bersih, "Tampaknya kamar ini baru saja dibersihkan," katanya sambil pandangannya mengitari seluruh ruangan itu, sebuah kamar yang tidak terlalu besar tapi sangat cukup untuknya.
Bunga kemudian mengusap perutnya yang sudah sedikit kelihatan membesar. "Sayang, anak Mom kamu harus bertahan dan baik-baik disini ya, Mom akan menunjukkan padamu, bahwa Mom bukanlah wanita yang lemah," ucapnya hingga tak lama Bunga pun tertidur, mungkin karena rasa lelahnya juga efek dari kehamilannya yang membuatnya gampang mengantuk.
**
Sementara Max yang baru selesai mandi dengan masih menggunakan handuk yang melilit tubuhnya merasakan perutnya yang lapar. Dia melihat jam pada jam tangannya yang tadi dia lepas dan dia geletakkan di atas meja nakas.
"Pukul 1, pantas saja aku sudah lapar, apalagi tadi pagi aku tidak makan apa-apa karena perutku merasa mual," gumamnya kemudian.
Max pun kemudian mengambil bajunya yang masih ada di dalam koper yang tadi di bawanya. Pilihannya jatuh pada pakaian casual, kaos polos warna hitam dan celana pendek berwarna abu tua. Setelah memakai pakaiannya dan menggantung handuk di tempat yang sudah disediakan, Max pun keluar dari kamarnya, menuju dapur untuk mengambil air putih dingin, ingin menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering. Dia mengambil gelas dan tangan kanannya memencet tombol air dingin pada dispenser dan tangan kirinya mengambil ponsel yang ada di saku celananya.
Dia kemudian memesan makanan yang sejak tadi dia sangat inginkan. Di tengah kegiatannya memesan dia menghentikan jari-jari tangannya yang sedang mengetik sesuatu.
"Apa aku perlu memesan makanan untuknya juga, sepertinya dari tadi dia tidak makan apapun," gumamnya lalu kembali memencet keyboard pada ponselnya.
Tapi kemudian dia menghapus lagi, kenapa harus aku yang memesankannya makanan? Bukankah dia bisa memesannya sendiri?" Ucapnya pada diri sendiri.
Tak lama dia kembali mengetikkan sesuatu. "Lebih baik aku pesankan saja, dan kamu harus tahu aku memesan ini bukan untukmu tapi untuk anakku yang ada di dalam perutmu, jadi jangan terlalu percaya diri," kata Max pada ponselnya seakan berbicara dengan Bunga.
"Tuan apa yang Anda lakukan?" Teriak Bunga yang baru saja muncul mengagetkan Max dan membuat Max dengan refleks melemparkan ponselnya.
Mendengar seseorang yang berteriak, Max begitu kaget dan spontan melempar ponselnya.
"Lihatlah sekarang! Apa yang kau lakukan hingga berteriak seperti itu? Apa kau pikir tempat ini hutan?" Tanya Max dengan tatapan tajamnya tanpa sempat melihat ponselnya yang terjatuh di bawa sana.
"Kenapa Anda marah-marah? Lihatlah tangan kanan Anda dan segera lepaskan! Apa Anda akan membuat tempat ini menjadi lautan? Atau apa mungkin kaki Anda mati rasa hingga tak merasakan dinginnya air yang mengalir?" Tanya Bunga kesal, karena Max justru menyalahkannya.
Dengan cepat Max melihat di mana tangan kanannya. Tangan kanannya masih memencet tombol air dingin pada dispenser hingga gelas yang diletakkan di bawahnya penuh, bahkan sampai tumpah di lantai. "Pantas saja wanita itu kesal, melihat jika tempat ini sudah seperti kebanjiran," ucap Max dalam hati.
Max kemudian melihat arah bawahnya di mana ponsel itu tergeletak di lantai yang penuh genangan air. Dia mengambilnya dan mengibas-ngibaskan ponselnya yang mungkin kemasukkan air.
Tidak ingin disalahkan Max berkata, "Ini akibat atas apa yang kamu lakukan tadi, membuat ponselku jatuh dan basah seperti ini!" Ucap Max ketus.
"Kenapa Anda menyalahkanku? Anda juga sama-sama bersalah karena membuat tempat ini kebanjiran, lagian aneh sekali, masa Anda tidak merasa kakinya basah," kata Bunga tidak kalah ketus.
"Minggir! Biar saya bersihkan," tambah Bunga dan akan mendekat ke arah Max.
"Berhenti disitu dan jangan cari masalah! Apa kau sengaja ingin mencelakai anakku?" Marah Max mendengar Bunga akan membersihkan lantai yang penuh dengan air. "Apa dia tidak berpikir bagaimana kalau dia justru terpeleset dan jatuh, dan itu bisa membahayakan anakku? Ucap Max dalam hati menatap Bunga tajam.
Bunga yang dilarang Max dan bahkan dituduh sengaja mencelakai anak mereka tidak terima. "Ya sudah Anda bersihkan semua itu! Dan harus bersih seperti semula, hingga tidak ada lagi genangan air yang tersisa!" Perintah Bunga kemudian berlalu pergi meninggalkan Max sendiri yang terdiam di tempatnya.
"Kenapa dia jadi memerintahku? Memangnya dia siapa?" Kesal Max. Kemudian dia menegakkan badannya dan berkacak pinggang. "Ya sudah Anda bersihkan semua itu! Dan harus bersih seperti semula, hingga tidak ada lagi genangan air yang tersisa," ucap Max menirukan ucapan Bunga dengan suara yang dibuat-buat.
Max kemudian mengambil alat kebersihan untuk membersihkan kekacauan yang dibuatnya. "Belum ada sehari tinggal bersama, tapi aku sudah menderita," gumamnya.
Kemudian Max tampak berpikir, "Tunggu kenapa jadi aku yang seperti korban kekerasan dalam rumah tangga?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Aku harus secepatnya menyelesaikan ini, sebentar lagi makanannya pasti sampai, aku sudah sangat lapar" Max kemudian segera membersihkan lantai itu.
**
Sementara Bunga yang mendengar bel berbunyi segera membukakan pintu. "Ya, tunggu sebentar!" Teriak Bunga.
Begitu membuka pintu ternyata jasa pengantar makanan. "Terima kasih," ucap Bunga menerima makanan itu, lalu kembali menutup pintu, dan melangkahkan kakinya membawa makanan tersebut kemeja makan.
Sambil berjalan Bunga menghirup aroma makanan yang dibawanya. "Hmm, sepertinya nasi goreng, baunya harum, pasti enak!" Katanya kemudian melangkah cepat agar sampai di dapur.
Melihat nasi gorengnya ada 2, Bunga tersenyum, "Apa dia juga memesankan makanan ini untukku?"
Begitu sampai di meja makan, Bunga melihat suaminya masih mengepel lantai. Kasihan sebenarnya, tapi Bunga berusaha mengacuhkannya, "Salah sendiri tidak mau dibantu," gumam Bunga sambil mengeluarkan makanan dari kantong plastik.
"Belum selesai?" Tanya Bunga pada akhirnya melihat suaminya yang masih berkutat dengan alat kebersihan.
"Hmm, belum sebentar lagi," jawab Max masih fokus dengan kegiatannya. Apa tadi ada orang?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari kain pel.
"Iya, pengantar makanan," ucap Bunga. "Hmm, I..ini makanannya ada dua apa yang satu untukku?" Tanya Bunga sedikit ragu.
"Iya satu untukmu," jawab Max yang seketika membuat senyum lebar terukir di wajahnya. Kemudian Max berhenti sebentar melihat ke arah Bunga yang tersenyum, kemudian berkata, "Salah maksudku itu bukan untukmu, tapi untuk anakku, kamu jangan senang dulu."
Bunga langsung menghentikan kegiatannya yang sedang memindahkan nasi goreng itu ke atas piring, tapi tak lama, dia mengedikkan kedua bahunya. "Untukku maupun untuk anakku, bukannya sama saja, bukankah ujung-ujungnya aku juga yang makan," gumamnya kemudian menyendokkan nasi goreng itu dan memasukkan ke dalam mulutnya yang sedari tadi tidak sabar ingin menyantap makanan yang ada di depannya. Bunga mengunyah makanan itu suap demi suap sampai tandas.
Max mendekat dan membawa dua gelas air putih, "Sudah habis?" Tanyanya.
"Iya, ini punyamu," kata Bunga menyodorkan piring yang berisi nasi goreng satunya yang tadi juga dituangkannya.
"Hmm, makasih," ucap Max dan kemudian Max menyuap makanan yang kini sudah di hadapannya. Baru satu suap Max sudah mengibas-ngibaskan mulutnya yang terasa panas merasakan sensasi yang begitu pedas dari nasi goreng yang baru masuk ke mulutnya. Bahkan wajahnya kini langsung memerah, menandakan begitu pedasnya makanan itu, bahkan di sudut matanya tampak mengeluarkan air mata.
Bunga heran melihat suaminya, dia belum membaca situasi yang terjadi pada suaminya. Dia yang sudah selesai menyantap makanannya, meraih air putih yang tadi di ambil Max dan hendak meminumnya.
"Hah! hah! Pedas sekali," katanya kemudian langsung meneguk air putih di atas meja yang tadi dibawanya. Masih terasa pedas, Max merebut air yang ada di tangan Bunga dan kemudian meneguknya hingga tandas, membuat Bunga tidak jadi meminumnya.
"Hah pedas" Max bangun dan mengambil air dari dispenser, karena begitu tidak sabar menunggu air mengalir dari dispenser. Max pun ke arah wastafel, menyalakan keran air dan meminum air itu tapi rasa pedas yang menjalar di lidahnya belum juga berkurang.
Bunga hanya geleng-geleng kepala dan menahan tawa melihat apa yang suaminya lakukan.
Kemudian Bunga pun bangun dari duduknya dan menyerahkan segelas air putih yang baru saja diambilnya.
Max pun menerimanya tanpa banyak kata, beberapa detik kemudian Max menyemburkan minumannya, "Hah Panas sekali, apa kau sengaja mengerjaiku? Pertama yang kumakan ini seharusnya milikmu. Kenapa bisa tertukar seperti ini? Dan terus apa ini? Kau sengaja membuat lidahku terbakar dengan memberikan air panas ini? " Tanya Max kesal.
"Hei aku memang sengaja memakan makanan yang tidak pedas ini, tapi bukan berarti aku sengaja untuk mengerjaimu, karena aku tidak tahu jika ternyata yang aku makan milikmu," ucap Bunga tanpa merasa bersalah sudah membuat suaminya seperti itu hingga meminum air mentah dari keran dan sudah dipastikan jika saat ini mungkin perut suaminya sudah kembung karena kebanyakan minum. "Dan yang benar itu aku memberimu air putih hangat bukan air panas, itu pun agar rasa pedas yang kau rasakan berkurang," tambah Bunga menjelaskan.
"Tunggu, kenapa rasa pedasnya jadi hilang?" Tanya Max yang baru menyadari bahwa dirinya tidak merasa kepedasan lagi.
"Itu karena kau meminum air hangat yang tadi kuberi," jawab Bunga merasa bangga karena sudah berhasil menghilangkan rasa pedas yang suaminya tadi rasakan.
"Hei Anda mau kemana? Kenapa makanannya tidak dihabiskan?" Tanya Bunga yang melihat Max justru pergi meninggalkannya.
"Untukmu saja, nafsu makanku sudah hilang karena mu," kata Max sambil berlalu dari tempat itu.
"Ya sudah, kenapa tidak dari tadi saja mengatakan makanan ini untukku semua, kebetulan sekali aku memang masih lapar," kata Bunga kemudian menghabiskan makanan yang tadi Max makan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!