NovelToon NovelToon

HAPPIER

PROLOG

Beryl Varindra Tadahiro, orang-orang bersepakat memanggilku Bery, huruf L-nya sengaja dihilangkan dan sampai sekarang itu masih menjadi misteri buatku. Bukan hanya masalah hilangnya huruf L di nama panggilanku, nama panjangku pun rasa-rasanya sangat tidak cocok disandang oleh diriku yang lahir dan besar di daerah yang jaraknya beratus-ratus kilometer dari ibukota provinsi, hingga usiaku 18 tahun saat ini dan sebulan lagi resmi melepas masa putih abu-abu, namaku masih menjadi misteri buat teman-teman dan guru-guruku di sekolah.

Beruntung wajahku lumayan good looking meski belum berkenalan dengan skincare, jadi setidaknya nama itu terasa pas melekat padaku. Saat aku iseng mencari arti namaku di mesin pencari Google, barulah aku sedikit mengerti dan bisa manarik benang merahnya, mungkin karena ayahku adalah mantan seorang Kapten Kapal makanya beliau memberiku nama demikian. Kenapa tidak bertanya langsung kepada beliau? Bukan karena tidak pernah bertanya, hanya saja ayahku type laki-laki yang sangat irit berbicara, kebanyakan memakai bahasa kalbu dan lirikan mata dan juga beliau sangat jarang berada di rumah. Beliau lebih sibuk menjadi juragan empang dan mengembangkan bisnisnya menjadi eksportir ke luar negeri.

Bagi ayah, rumah hanyalah tempat singgah, bukan tempat untuk pulang begitupun dengan ibuku yang juga punya kesibukan tersendiri dengan berbagai kegiatan amalnya.

Aku sulung dari dua bersaudara, adikku, Anzi masih berusia 5 tahun. Kata orang-orang, ibuku kebobolan hingga hamil Anzi di usianya yang menginjak 40 tahun kala itu. Dibandingkan diriku, Anzi lebih beruntung karena masih bisa dibawa ke sana kemari oleh ibu, ayah juga kadang-kadang membawanya serta. Sementara diriku hidup seperti anak tak ber-ibu tak ber-ayah.

Berbagai masalah kuciptakan demi menarik perhatian kedua orang tuaku, namun selalu hanya berujung diselesaikan oleh asisten mereka.

Aku kecewa, aku kesepian.

Hingga akhirnya aku mengenal seorang laki-laki yang begitu perhatian kepadaku, namanya Rio. Kami satu sekolah, hanya beda kelas saja. Dia anak bungsu Bupati di daerahku. Kami adalah pasangan yang sempurna di mata orang-orang. Anak orang nomor satu di Kabupaten X dan anak orang terkaya nomor satu se-Kabupaten. Bersamanya, aku merasa hidup lebih hidup. Dia selalu mendukung apapun yang kulakukan. Rokok, miras dan narkoba menjadi teman sejati kami.

Kami adalah anak-anak yang merasa terabaikan oleh sibuknya dunia para orang tua. Dan kenakalan kami adalah bentuk protes dan pembangkangan kami kepada mereka.

Suatu hari, sebuah kesalahan fatal kami lakukan, dan akibat dari kesalahan inilah yang menjungkirbalikkan kehidupanku.

Aku dan Rio digrebek warga di kos-kosan teman kami saat merayakan malam perpisahan kelulusan sekolah. Bukan hanya masalah penampilan kami berdua yang sudah sama-sama tak berpakaian, namun merebaknya peredaran narkoba di kalangan remaja ikut menjerat kami. Ayah dan ibu yang kebetulan melintas di sana dan penasaran dengan keramaian akhirnya ikut menyaksikan aku, putri mereka menjadi tersangka perbuatan asusila. Memalukan bukan?

Wajah ayah menjadi pucat pasi dikuasai oleh kemarahan, rasa kecewa dan entah apalagi. Setelah menyelesaikan berbagai urusan di kantor polisi dengan menggunakan uangnya tentu saja, Ayah menyeretku masuk ke dalam gendongan di pundaknya kemudian membawaku pulang ke rumah lalu mengurungku di kamar.

Saat malam menjelang, aku yang terkurung seharian di kamar setelah semalaman di tahanan polisi, tak berapa lama terdengar suara ribut-ribut dari lantai bawah, rupanya orang tua Rio yang datang. Ayah meminta pertanggungjawaban Rio dan orang tuanya, jika tidak maka mereka akan dipolisikan oleh Ayah, namun dengan entengnya Rio menolak menikahiku, ia ingin melanjutkan studynya keluar negeri, ia tidak ingin aku menjadi penghambat dirinya meraih impiannya. Kecewa? Sungguh, aku sangat kecewa kepada Rio. Dia yang melambungkanku, dia juga yang menjatuhkanku.

Tak kuat menanggung malu, akhirnya aku diusir dari rumah. Kedua orang tuaku yang mengagungkan reputasinya itu tidak lagi sudi memilikiku sebagai anak mereka. Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki, kucoba meraih tangan ayah, namun beliau membuang muka dan berlalu masuk ke kamarnya. Kualihkan tatapan mengibaku pada perempuan yang telah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini, namun hanya kilatan kekecewaan dan gelengan kepala yang kutemui, beliaupun ikut melangkah pergi meninggalkanku.

Kutarik nafas kuat-kuat, kuhapus jejak-jejak air mata di pipiku, tidak ada jalan lain. Aku kini telah terbuang.

×××××

Skylar Bayu Agnanta

Aku telah menjadi pembunuh saat usiaku masih belum genap 15 tahun. Aku memang pembunuh, aku sengaja membunuh laki-laki bajin*an itu. Berani-beraninya ingin memperkosa perempuan yang paling kucintai di dunia ini, ummiku.

Saat pulang sekolah, rumah tampak sangat sepi, abiku tentu saja masih di kantornya saat ini, beliau seorang Kontraktor bangunan dan mempunyai perusahaan sendiri. Tidak terlalu besar tapi proyek yang dikerjakannya sudah ada di berbagai wilayah di Indonesia. Sementara kakak perempuanku, kak Nindi lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ujian akhir kelulusan SMAnya yang akan diadakan beberapa bulan lagi ke depan. Sama denganku, aku pun sebentar lagi tamat SMP.

Aku ke dapur mencari umi, tapi tidak ada, padahal sayur sop masih mengepulkan asapnya di atas kompor. Kumatikan kompor dan meneruskan langkahku ke lantai atas tempat kamarku berada.

Saat memegang daun pintu kamarku, sayup-sayup terdengar suara seperti pecahan kaca dari dalam kamar orang tuaku. Karena penasaran, aku mendekati pintu kamar, aku mengetuk pintu.

"Tok..tok..tok.."

"Ummi.." panggilku sambil memasang telinga di pintu. Hening.

Kuulang lagi memanggil umi, namun tidak ada suara sahutan. Kucoba menarik daun pintu, tapi terkunci. Saat hendak berbalik ingin melangkah kembali ke kamarku, lagi-lagi terdengar sesuatu, kali ini seperti suara umi yang meminta tolong.

"Umi..umi.. umi di dalam? Buka pintunya umi!" Rasa khawatir mulai menghampiri.

"To..long..!" Seketika suara umi begitu sangat jelas.

Kutarik-tarik daun pintunya sambil menggedor-gedornya, tapi tidak terbuka. Kucoba menendangnya namun tubuhku malah terpental. Meskipun perawakan tubuhku saat ini sudah layaknya anak SMA, namun tetap saja pintunya tak bisa kubuka dengan tangan kosong.

Aku panik, aku berlari ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa kugunakan membuka pintunya. Beruntung mataku menangkap sebuah linggis di bawah tangga. Kembali aku berlari seperti kesetanan lalu menghantam daun pintu itu dengan linggis di tanganku.

"Umi..bertahan umi..!"

Setelah beberapa menit aku berhasil membuka pintu dan alangkah kagetnya aku ketika melihat tubuh umi berada di bawah kungkungan seorang laki-laki yang cukup aku kenal.

Tanpa aba-aba kulayangkan pukulan ke tubuh laki-laki itu menggunakan linggis yang masih ada di tanganku. Aku yang terbawa emosi menghantamnya dengan membabi buta, lalu kurasakan tubuhku ditarik menjauh dari tubuh yang sudah bersimbah darah itu.

"Sky..!"

"Umi..!"

Aku dan umi berpelukan, kurasakan tubuh umi meluruh di dalam pelukanku hingga kami sama-sama jatuh ke lantai karena aku tidak kuat menahan bobot tubuh umi. Dan akupun kehilangan kesadaran saat itu juga.

Kejadian itu membuat keluarga kami terpaksa berhadapan dengan hukum. Aku menjalani sidang yang melelahkan selama berbulan-bulan. Beruntung aku divonis bebas karena masih dibawah umur dan itu aku lakukan untuk melindungi diri dan umiku.

Namun kejadian tersebut sangat mempengaruhi hidupku. Tetap saja cap sebagai pembunuh tak bisa kuelakkan di sekolah hingga akhirnya aku tidak lagi ingin masuk sekolah. Akhirnya setelah kak Nindi tamat SMA, kami sekeluarga memutuskan pindah ke tempat dimana aku akan merasa aman dan nyaman. Tanpa seorang pun tau dengan masa laluku.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

Assalamu'alaikum readers.

Kaka Kiki hadir lagi dengan novel ke-3.

selamat membaca yah.. semoga suka😍

Seperti yang novel-novel sebelumnya, InsyaaAllah novel ini juga akan minim konflik, ceritanya juga ringan dan tidak muter-muter. hehehe..

Mohon dukungannya yah dengan beri like, comment dan vote-nya. okkay! thanks😍😘🤗

BAB 1

10 Tahun kemudian...

Seorang perempuan cantik melangkah dengan anggun memasuki salah satu gedung Kementrian di Republik ini. Cuaca begitu cerah, tangannya terulur menyeka keringat yang mengembun di wajahnya dengan tissue. Ia cukup tidak nyaman berjalan menggunakan sepatu pantofel dari parkiran menuju gedung yang ditujunya. Ia menghentikan langkahnya di depan meja resepsionis, sejenak menoleh ke kaca besar di sisi pintu demi melihat penampilannya agar tetap sempurna.

Hari ini ia ada meeting dengan pak Menteri untuk membahas mengenai proyek pembangunan Menara pengganti Menara Monas.(Terserah author yah mau bikin apa saja😁)

Saat ini proyek tersebut masih dalam proses desain yang di-arsiteki langsung oleh seorang Arsitek muda yang dalam 3 tahun terakhir ini desain-desainnya telah banyak digunakan di Benua Eropa dan Amerika. Dialah Beryl Varindra Tadahiro.

Untuk pertama kalinya ia menerima proyek pemerintah, selama ini ia memilih mengerjakan desain proyek-proyek pembangunan rumah bersifat individu dan juga proyek dari pihak swasta. Kebanyakan yang menggunakan jasanya adalah pengusaha-pengusaha besar dan Artis. Ia sungguh malas bersinggungan dengan pihak birokrasi di negara ini. Terlalu banyak permainan di dalam sana membuatnya sangat muak menghadapi oknum-oknum tak tahu malu di pucuk-pucuk pemerintahan sana.

Namun untuk proyek kali ini, ia mengabaikan perasaan ketidaknyamanannya, membuat icon sebuah Negara tentu saja akan menjadi salah satu impian terbesar setiap Arsitek yang ada di dunia ini.

Inspirasi bentuk menara Newmoon (New Monas) Tower adalah seorang wanita cantik dan anggun yang dengan sosok ramping yang memutar pinggangnya sambil melihat ke belakang.

Newmoon Tower sendiri akan dipergunakan untuk restoran, observatorium, aula pernikahan, bioskop 4D, pertokoan, dan pemancar sinyal telekomunikasi. Pada malam hari, lampu warna-warni akan dinyalakan sehingga menara menjadi terlihat lebih indah.

Kesuksesan yang diraihnya tidak serta merta ia dapatkan dengan mudah. Awalnya ia menjual jasanya di beberapa marketplace dan tanpa diduga ternyata banyak yang tertarik menggunakan jasanya. Lebih daripada itu, kesuksesan yang digenggamnya saat ini tidak lepas dari bantuan orangtua sahabatnya, Nindi.

"Assalamu'alaikum... selamat siang pak Menteri." Sapa Bery memasuki ruangan yang sangat luas milik pak Menteri.

"Wa'alaikum salam, siang ibu Bery. Senang bertemu dengan ibu. Ternyata bukan hanya terkenal cerdas, rupanya masih sangat muda dan cantik." Ucap pak Menteri sambil mempersilahkan Bery duduk di Sofa.

"Terima kasih pak, saya merasa sangat tersanjung." Bery tersenyum tipis menanggapi ucapan pak Menteri yang menurutnya biasa saja karena memang sudah terbiasa mendengar tanggapan seperti itu. Ia merapi-rapikan sedikit moncong kain jilbabnya di bagian jidad lalu merenggangkan roknya yang sedikit terinjak kakinya di lantai.

Terlihat pak Menteri melirik jam di tangannya sekilas kemudian mengembalikan fokusnya kepada Bery.

"Saya minta maaf sebelumnya, waktu saya tidak banyak karena 1 jam lagi akan ada meeting dengan Gubernur Papua, mungkin kita bisa langsung mulai saja membahas poin-poin yang mungkin sudah ibu pelajari dari draft yang sudah dikirim oleh staf kantor." Ucap pak Menteri sedikit menyesal.

"Tidak masalah, pak. Saya sudah siapkan materinya di sini." Ia kemudian mengeluarkan satu map dari dalam tas kerjanya dan memberinya ke pak Menteri.

30 menit kemudian mereka menyelesaikan meeting-nya dan pak Menteri sendiri merasa puas dengan persentasi yang dipaparkan oleh Bery. Tidak sia-sia kerja keras Bery dan beberapa orang karyawannya yang bekerja hampir siang dan malam demi mematangkan konsep desain  setelah menganalisis dan mengolah berbagai data yang terkait dengan kebutuhan dan persyaratannya selama proses pembangunan nanti.

Bery melepas nafas panjang, merasa lega dan sangat bersemangat untuk segera menyelesaikan desain proyek tersebut. Ada target lain yang tidak kalah pentingnya untuk dirinya eksekusi segera. Ini tentang mencari kelegaan yang derajatnya lebih tinggi dibanding apapun di dunia ini; pulang dan meminta maaf kepada kedua orang tuanya.

*****

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Bery tetap dengan kesibukannya menjadi seorang Arsitek. Jika kebanyakan gadis seusianya sudah menikah bahkan sudah memiliki beberapa anak, berbeda dengan Bery, ia masih setia dengan kesendiriannya. Sendiri dan sepi adalah sahabat terbaiknya, tak akan berkhianat dan tak akan pernah meninggalkannya.

Hampir lebih dari 8 jam waktunya dalam sehari semalam ia habiskan dengan menggambar. Bahkan kadang dari pagi sampai paginya lagi ia hanya akan berkutat dengan meja gambarnya atau dengan komputer canggihnya. Tangannya lebih lihai memegang mesin gambar dibanding peralatan dapur. Ia sangat ahli memainkan pensil dibanding pisau dapur.

Ia sangat anti dengan pekerjaan rumah tangga. Baginya tidak akan ada yang namanya suami dan anak di dalam kehidupannya. Jadi untuk apa dirinya bersusah payah berkenalan dengan peralatan dapur dan berbagai peralatan rumah tangga yang menurutnya tidak penting itu.

Yang terpenting saat ini adalah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke kampung halamannya, mendapatkan maaf kedua orang tuanya dan setelah itu tidak ada lagi yang perlu ia fikirkan.

Menjadi Arsitek tidak pernah masuk ke dalam impiannya, bahkan terlintas di fikiran pun tidak pernah. Namun takdir membawanya ke sini dan dengan luar biasanya ia punya sesuatu yang bisa menjadi hal yang menarik dan mendapatkan hatinya secara penuh. Ia begitu mencintai profesinya, beruntung ia tidak punya keinginan untuk menikah, jika tidak, mungkin ia akan menikahi pekerjaannya.

×××××

"Itu muka kenapa?" Tanya Nindi sembari menghempaskan dirinya di atas sofa panjang tempat Bery selonjoran.

"Kenapa?" Tanya Bery pura-pura bodoh membuat Nindi mendelik memutar kedua bola matanya jengah.

"Gak usah sok polos gitu, kita ini udah kenal berapa tahun sih? Aku udah hapal mati sama model muka kamu itu. Dan jangan lupa, aku ini dokter ahli jiwa. So, katakan... ada masalah apa lagi?"

"Susah yah punya teman Psikiater gini, rasanya kok diriku gak bisa banget gitu punya rahasia minimal satu aja yang gak kamu tau." Kali ini Bery benar-benar kesal kepada sahabatnya itu.

"Terima saja, gak usah menggerutu. Mumpung si babang tampan lagi dinas keluar kota, jadi aku bisa kamu miliki sepuasnya. Hahaha." Tawa Nindi menggema di ruang apartemen Bery yang cukup lapang tersebut.

"Awwwww..." Nindi mengeluh karena pinggangnya dicubit Bery.

"Makanya jaga tuh ucapan, emang aku selingkuhan kamu?" Kesal Bery.

Nindi adalah sahabat Bery satu-satunya bahkan bagi Bery, Nindi sudah lebih dari sahabat baginya karena darinya Bery bisa merasa memiliki keluarga yang utuh. Pada saat terpuruknya ia di titik terendah hidupnya, hanya Nindi dan keluarganya yang mau mengulurkan tangan kepadanya. Di saat semua tatapan memandang jijik kepadanya, bahkan kedua orang tua kandungnya sekalipun telah membuangnya, ada Nindi dan keluarganya yang membuka tangan lebar-lebar untuk merengkuhnya.

BAB 2

#FlashbackOn

Tentang Rio..

"RIO DEWANGGA..." sebuah tangan kokoh terulur kepadaku yang sedang menunduk memperbaiki ikatan tali sepatuku yang entah sejak kapan terlepas. Sekilas mataku memicing menatapnya, kuabaikan tangannya lalu melanjutkan langkahku menuju ke ruang kelas XII IPA1.

"Aku siswa baru di sini," ucapnya mengekoriku. "Panggil aku Rio, nama kamu siapa?" Kejarnya tak menghiraukan sikap cuekku kepadanya.

"Beriiii..." suara cempreng dari arah belakang yang memanggil namaku berhasil menghentikan langkahku seketika, spontan anak laki-laki yang bernama Rio yang sejak tadi mengekoriku juga ikut berhenti. "Tunggu, kita bareng masuk kelasnya." Ucap Nindi dengan nafas sedikit memburu karena ia tadi setengah berlari mendekatiku.

Seringai penuh kemenangan nampak nyata di wajah tampan Rio. "Beri, hmmm... sound good. Oke Beri, sampai ketemu lagi." Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dariku, Rio pun segera menjauh dari kami.

"Siapa, Ber? Kok aku baru lihat mukanya di sekolah?" Tanya Nindi penasaran.

Aku hanya mengedikkan kedua bahuku lalu berbalik dan melanjutkan langkahku menuju ruang kelas. "Katanya anak baru." Jawabku kemudian, aku tahu Nindi masih sangat penasaran.

Setelah pertemuan tersebut, Rio tak henti-hentinya datang mendekatiku. Rio sangat populer di sekolah meskipun dia anak baru karena ternyata dia adalah anak bungsu Bupati kami. Aku sendiri baru tau setelah mendengar selentingan percakapan dari para fans-nya di sekolah.

Berbagai cara Rio lakukan untuk sekedar mendapatkan perhatianku. Aku yang awalnya tidak begitu peduli dan memilih mengabaikannya akhirnya luluh juga. Perhatian-perhatian kecil yang tidak bisa kudapatkan di rumah bisa kudapatkan dari seorang Rio. Aku takluk, entah karena pesonanya atau karena perhatiannya. Aku yang dahaga akan kasih sayang keluarga seolah menemukan telaga yang mampu menghentikan rasa dahagaku.

Aku terseret ke dalam kehidupan Rio. Kehidupan yang bebas dan hampir tanpa batas. Darinya aku mengenal lentingan tembakau, darinya juga aku telah menyicipi rasa minuman haram dari berbagai merk import hingga buatan petani lokal. Aku tahu Rio seorang pemakai narko*a namun untuk satu hal tersebut, aku masih berusaha menahan diri. Ini akan menjadi masalah besar jika kedua orang tuaku tahu. Namun apa peduli mereka? Terkadang dalam sebulan aku tidak pernah melihat wajah mereka padahal kami masih tinggal di dalam bangunan yang sama.

Lama kelamaan Rio telah menjelma menjadi pusat duniaku. Bergantung kepada Rio dalam segala hal mulai terasa lebih masuk akal, meskipun jauh di bawah alam kesadaranku, sering timbul perasaan tidak nyaman, seperti rasa takut yang membuat hatiku tidak tenang. Namun perhatian dan perlakuan manisnya selalu memenangkan kegundahanku. Aku membutuhkannya.

Hubungan kedekatan kami mengalir begitu saja, aku tahu ia menyukaiku sebagai lawan jenisnya namun sering kukatakan kepadanya bahwa aku lebih suka dekat dengannya tanpa embel-embel status pacaran. Toh duniaku sudah berpusat kepadanya, apa lagi yang perlu dia khawatirkan? Itu bagiku, tapi bagi Rio, aku adalah pacarnya dan semua orang tahunya seperti itu.

Ah iya, entah sudah berapa kali Rio mengajakku berhubungan badan, namun sungguh aku tidak bisa mengabulkan permintaannya itu. Aku masih terlalu muda untuk melakukan hal-hal dewasa. Dan setiap aku menolaknya, ia selalu nampak frustasi, beruntung ia tidak pernah memaksaku. Aku sebenarnya tidak mengerti, mengapa Rio masih bisa menahan diri, padahal dalam berbagai kesempatan saat kami mabuk, bisa saja ia memaksaku melakukannya.

Sedari awal, beberapa teman sekelasku sudah sering mengingatkanku untuk berhati-hati dengan Rio apalagi setelah terdengar kabar bahwa alasan kepindahan Rio dari sekolah sebelumnya di Ibukota karena kasus narko*a, terutama Nindi. Nindi selalu bersikukuh menjauhkan aku dengan Rio, namun tentu saja tidak akan berhasil. Nindi sang kutu buku dan anak rumahan, tentu saja waktu kebersamaan kami hanya di dalam kelas. Aku yang berjiwa petualang lebih banyak menghabiskan waktuku di bidang olahraga, bahkan terkadang aku meninggalkan pelajaran di jam pelajaran dengan bermain basket bersama teman-teman lainnya. Dan kesempatan itu digunakan Rio dengan sangat baik untuk mendekatiku.

Hingga akhirnya kebiasaan membolos kelas mengumpulkan kami dengan tiga orang lainnya. Bagas, Aldi dan Ucup, mereka semua sekelas dengan Rio. Sesekali kami berlima diekori oleh Vivian, teman kelas Rio. Sepertinya Vivian menaruh perasaan lebih kepada Rio, namun diabaikan Rio, aku pun memilih tidak mengambil pusing dengan kehadirannya. Justru aku merasa lebih aman karena setidaknya aku memiliki teman perempuan saat berkumpul bersama dengan mereka.

Tidak terasa, hari kelulusan telah tiba. Aku sendiri tidak peduli dengan hasil akhir ujian sekolah. Kalaupun tidak lulus, orang tuaku pasti bisa menyelesaikannya dengan uangnya. Tidak ada kekhawatiran dengan itu semua.

Teman-teman seangkatanku telah merancang rencana pesta perpisahan, sementara geng bolosku juga ikut membuat rencana sendiri. Kami sudah tidak sabar menanti hari itu datang.

"Nginap di rumah aku yuk, Ber!" Nindi menarik lengankuku yang bebas dari rengkuhan Rio setelah acara malam perpisahan yang diadakan di Aula sekolah.

"Sorry, Nin..!" Ucapku penuh penyesalan. "Aku dan Rio masih ada acara setelah ini. Kamu mau ikut kami gak?" Basa basi sedikit demi menjaga perasaan Nindi tidak mengapa, toh aku yakin dia tidak akan ikut.

"Ikut aja, Nin." Ternyata Rio tidak keberatan aku mengajak Nindi.

Nindi hanya menggeleng lemah dan menampakkan raut wajah kecewa dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan menatapku dalam.

"Thanks Yo, Ber. Aku kena jam malam dari rumah, aku gak bisa ikut kalian." Nindi kembali menatapku penuh arti. "Aku duluan yah Ber, hati-hati yah, jangan terlalu malam pulangnya, kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan menghubungi aku. Assalamu'alaikum." Nindi kemudian memelukku dan akupun membalasnya.

"Jangan khawatir Nin, teman kamu aman sama aku." Ucap Rio dengan mengerlingkan sebelah matanya kepada Nindi.

Kos-kosan Aldi ternyata sudah disulap layaknya diskotik yang memancarkan kerlap kerlip lampu berwarna warni. Dentuman musik juga memenuhi seisi ruang.

"Pemilik kos sedang pulang kampung, anggap seperti rumah sendiri." Aldi mendekati kami langsung memberikan botol minuman kepada kami.

Bagas, Ucup dan Vivian sudah lebih duluan datang, 3 orang laki-laki lainnya yang kukenal sebagai teman kos Aldi ikut berpesta bersama kami.

Segala macam cemilan sudah terhampar di atas meja, puluhan botol minuman dari berbagai merk dan jenis sudah memenuhi meja lainnya. Ruangan sudah berasap karena tarikan-tarikan dan hisapan kami dari benda yang terjepit di dua ujung jari. Rio dan yang lainnya mulai meracik barang haram lainnya. Ketiga teman satu kos Aldi sepertinya sudah melayang.

Sebenarnya aku tidak menyukai suara bising dan dentuman musik yang menggetarkan dada, namun kali ini rasanya ingin kuletakkan sejenak beberapa prinsip hidup yang diajarkan oleh kedua orang tuaku selama ini. Apalagi setelah ini kami akan berpisah dan mengejar mimpi-mimpi kami masing-masing.

Rio sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari sebelumnya bahwa hari ini dan malam ini ia tidak ingin kami berpisah karena lusa akan menjadi hari terakhirnya di Indonesia. Ia akan menyusul kakaknya di Aussie untuk melanjutkan kuliahnya. Entah berapa lama lagi baru kami akan bertemu kembali. Rio tidak ingin kehilangan momen-momen terakhir kebersamaan ini.

Kepalaku mulai terasa berat, pandanganku juga sudah hanya menyisakan bayangan yang seolah berputar-putar, kondisi Rio pun tidak jauh berbeda denganku. Aku sudah tidak peduli dengan apapun. Kurasakan tangan Rio menarikku menuju kamar Aldi, dengan langkah gontai dan kaki terseret aku mengikuti Rio. Tubuhku terhempas kasar ke atas kasur dan setelahnya aku tidak mengingat apa-apa lagi.

Kesadaranku tersentak demi menangkap suara ribut-ribut dan pukulan-pukulan menghentakkan pintu dan jendela begitu kasar terus bergema. Seketika pintu terbuka paksa setelah didobrak menyisakan kepanikan yang tak terelakkan.

Aku shock mendapati tubuhku yang polos tanpa sehelai benangpun, terlebih lagi saat menyadari kondisi Rio yang sama denganku. Malu dan rasa takut seketika menghantam kesadaranku. Belum sempurna mencerna semua kejadian ini, telingaku menangkap suara-suara yang begitu kukenal. Siapa lagi, itu adalah suara ibu dan ayah. Sial!!!

×××××

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!