NovelToon NovelToon

Menggenggam Janji

Bab 1. Kenan Hermawan & Eliana Hermawan

Kenan duduk termenung di ruangannya sambil menatap pemandangan menakjubkan dari lantai tertinggi gedung perusahaan. Ia menarik nafas yang terasa begitu berat, lalu kembali menghembuskan nya perlahan sambil menutup matanya.

Kata ikhlas, sudah sering kali ia ucapkan. Namun, entah mengapa hati yang masih saja menyimpan rasa cinta, tidak mampu melakukan hal yang sama seperti yang di ucapkan oleh bibirnya.

Tiga hari lagi ia benar-benar harus mengubur semua impiannya untuk menikahi gadis yang memang tidak seharusnya ia cintai. Tiga hari lagi ia harus melupakan janji yang pernah terucap dari bibir sang Ayah.

Cahaya kekuningan mulai terlihat di ujung sana. Kini ia menyadari jika semua punya batas waktu yang tepat. Untuk rasa yang masih saja bersemayam di relung hati terdalamnya, pasti akan ada waktunya untuk pergi dan berlalu. Cinta yang tidak seharusnya, tapi sama sekali tidak bisa ia kendalikan yang di titipkan Tuhan padanya saat ini, pasti akan terhapus seiring berjalannya waktu.

Setelah berhasil membuat hatinya kembali biasa-biasa saja, Kenan melangkah keluar dari ruangan mewahnya menuju lift. Tidak ada yang mudah, namun tidak ada yang tidak mungkin., begitulah yang ada di dalam pikirannya saat ini.

Ia memantapkan langkah keluar dari dalam perusahaan menuju mobil mewah milik nya. Sapaan hormat dari para karyawannya, ia balas dengan anggukan kepala. Tatapan memuja dari para karyawan wanita, tidak akan mampu membuat hatinya berhenti berdebar untuk seseorang yang tidak akan mungkin bisa ia miliki.

Mobil hitam dengan salah satu merek termahal mulai melaju di jalanan Jakarta. Kenan masih berusaha untuk menetralkan hatinya yang semakin bergemuruh. Kediaman yang hampir tiga puluh tahun ia tempati, semakin terlihat menjulang di ujung sana. Mobil yang ia harap belum terparkir di pelataran, sudah terlihat saat mobil mewahnya mulai melewati gerbang, dan itu berarti si pemilik mobil sesudah berada di rumah. Dadanya terus berdetak, degupan jantungnya semakin menggila.

Saat sudah memasuki rumah, langkah kaki Kenan terhenti. Tatapannya tertuju pada gadis yang sedang berkonsentrasi dengan lembaran demi lembaran buku yang ada di atas meja. Si pecinta buku yang masih saja membuat dadanya berdebar menoleh saat ia mengucapkan salam dan kembali melanjutkan langkahnya memasuki rumah.

"Assalamualaikum." Ucapnya.

"Waalaikumsalam Bang."

Seperti bisanya, gadis yang selalu berusaha ia abaikan akan segera melangkah menuju kearahnya. Bergelayut manja sambil meminta ini dan itu padanya. Berceloteh riang, tanpa tahu jika sifat manja itu semakin membuat hatinya meronta ingin sekali memiliki.

"Abang mau minum apa ? aku buatin." Ucap Eliana masih memeluk lengan kokoh Kenan.

"Ngga usah El, Abang mau istirahat." Tolak Kenan.

"Abang, ga seru ah." Rajuk Eliana.

Kenan berhenti melangkah, namun tatapannya tetap saja datar. Suara merengek dari Eliana, selalu saja mampu menahan segala egonya.

"Abang mau

"Jus alpukat kan ? " Tanya Eliana cepat.

Kenan mengangguk lalu melangkah dan duduk di sofa yang tadi di duduki Eliana.

Sedangkan Eliana sudah melangkah menuju dapur untuk membuat sogokan agar Kenan bisa membantu toko bukunya yang baru di buka di sebuah mall di Jakarta.

Hingga beberapa saat setelah Eliana menghilang di pintu pembatas ruangan, suara yang tidak lagi asing segera membuat Kenan tersadar.

"Ken.."

"Ayah."

Kenan gegas beranjak dari sofa, lalu menyalami punggung tangan ayahnya.

"Sudah lama ?" Tanya Alard pada putranya.

"Belum, baru sampai."

"Gimana perusahaan ?" Tanya Alard.

"Semua baik dan berjalan lancar." Jawab Kenan.

"Ken, maaf Ayah tidak bisa menepati janji." Ucap Alard pelan.

"Jangan terlalu di pikirkan Yah, Ken baik-baik saja kok. Yang paling penting El bahagia." Jawab Kenan.

"Tapi Ayah lebih suka..

"Eh ada Ayah juga."

Suara Eliana menahan kalimat sang Ayah. Gadis itu terkejut saat mendapati Ayahnya sudah duduk di sofa yang sama dengan sang Abang.

"Mau El buatkan minum juga ?" Tanya Eliana pada ayahnya.

"Tidak usah, Ayah mau balik ke kamar." Jawab Alard, lalu lelaki paruh baya itu beranjak dari sofa menuju kamar di mana istrinya berada, meninggalkan kedua anaknya di ruang tamu rumahnya.

Eliana masih menatap punggung sang Ayah yang menghilang di ujung ruangan. Ia melihat dengan jelas mata tua itu menyimpan kesediahan, dan Eliana tahu apa yang membuat lelaki paruh baya itu sedih.

"Bang." Panggil Eliana. Gadis itu tertunduk dalam.

"Apa Ardi begitu buruk ya, sampai-sampai Ayah terlihat sedih padahal tiga hari lagi aku akan menikah." Ucap Eliana.

Kenan kembali meletakkan gelas yang berisi jus alpukat ke atas meja. Ia menatap adiknya yang kini tertunduk dalam

"Mungkin Ayah sedih karena sebentar lagi kamu akan memulai hidup yang baru. Jangan terlalu di pikirkan. Yang paling penting kamu bahagia, itu sudah cukup." Ujar Kenan.

Tanyanya yang ingin menyentuh punggung Eliana, terhenti di udara. Ia menarik kembali tangan itu dengan jemari yang terkepal.

Rasa yang tidak seharusnya ia miliki, semakin membuatnya tersiksa karena tidak bisa memperlakukan Eliana seperti Kean memperlakukan adik mereka ini.

"Jadi apa yang ingin kamu ajukan ?" Tanya Kenan berusaha mengalihkan suasana.

"Aku mau buka toko buku di mall Bang, dan Abang tahulah seperti biasa." Jawab Eliana.

"Nanti Abang suruh orang untuk memeriksa, jangan terlalu khawatir itu hal yang kecil." Ujar Kenan. Ia lalu beranjak dari sofa tempat mereka duduk, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar yang ada di lantai atas.

Kenan menapaki satu per satu anak tangga menuju kamar tidurnya. Sebelum mencapai kamar tidur milik ya, ia melihat dua pintu kamar yang tidak lain adalah milik Kean dan Eliana.

Masa kecil yang bahagia, sebelum perasaan aneh ini hinggap di hatinya. Mereka akan menghabiskan banyak waktu bersama di dalam kamar Eliana. Gadis kecil kesayangannya dan juga Kean. Tapi itu dulu, sebelum rasa yang tidak seharusnya bersemayam di dalam hatinya untuk Eliana.

Kenan menarik nafasnya, bukan menyesal namun, ia kesal karena perasaan aneh ini ia menjadi tidak leluasa menunjukkan kasih sayang terhadap Eliana seperti yang di lakukan Kean sampai saat ini.

Di dalam ruang tamu mewah yang baru saja di tinggalkan Kenan, Eliana kembali melanjutkan acara membacanya. Lembaran demi lembaran yang berisi banyak ilmu mulai ia buka perlahan. Kaca mata baca sudah bertengger indah di hidung mancungnya.

Sesekali ia melirik ponselnya, menanti seseorang untuk memberinya kabar tali tak kunjung datang. Sungguh sebulan ini, ia mulai kesal dengan sikap calon suaminya yang terkesan acuh. Tidak sama seperti dulu sebelum mereka merencanakan pernikahan ini.

"Terserahlah Ardi." Gumamnya kesal.

Bahakan sudah waktunya pulang kerja pun, lelaki itu tidak bisa menyempatkan diri untuk memberinya kabar.

***

*Note Author

Ini kisah yang ada di novel aku yang nerjudul Promise, plotnya masih sama, hanya ada tambahan kisah si kembar Rianti dan Riana juga Kean.

Selamat membaca semuanya, semoga suka. Jangan lupa berikan dukungannya, biar lebih semangat otak dan jariku bekerja.

Bab 2. Kean Hermawan Dan Si Kembar

Seorang gadis cantik sedang menikmati malam di rooftop kafe. Secangkir kopi hasil racikannya sendiri, sudah tersaji di atas meja kecil tepat di sampingnya.

Wanita cantik itu terlihat begitu menikmati pemandangan indah kota Bandung di malam hari. Tidak, bukan pemandangan indah yang sedang ia nikmati, melainkan rasa yang tidak seharusnya ada, namun, masih saja bersemayam di dalam hati yang sedang ia nikmati saat ini.

Hembusan angin malam dengan hawa yang begitu dingin, menerpa wajah cantiknya yang terbalut hijab. Tidak ada yang spesial, setelah menutup kafe, ia hanya akan duduk termenung di sini, sambil meratapi perasaan yang tidak terbalas.

Rianti kembali menyesap minuman berkafein itu dengan perlahan. Aroma yang begitu menenangkan, walaupun sangat tidak baik untuk kesehatan berhasil masuk ke dalam tubuhnya.

Cangkir yang sudah kosong itu, kembali ia letakkan di atas meja. Bersamaan dengan itu satu notifikasi pesan terdengar, Rianti menoleh pada benda pipih yang ia letakkan di samping cangkir kopi.

"Good night calon makmum."

Senyum terlihat di bibir tipis Rianti saat membaca pesan dari lelaki yang tidak pernah lelah walau sudah berulangkali mendapat penolakan darinya.

"Nice dream."

Satu pesan kembali masuk ke dalam aplikasi tersibuk di dunia yang terpasang di dalam ponsel pintar miliknya.

"Mimpi indah juga Kak. Tapi jangan mimpiin aku, entar aku ikutan nanggung dosa."

Balas Rianti sambil menghitung mundur dan

drrrrttt... drrrrttt...

Ponselnya bergetar, kontak bertuliskan Kak Dean terpampang di layar ponselnya.

"Assalamualaikum calon imam." Ucapnya dengan nada meledek, setelah mengusap ikon hijau di layar ponsel itu.

Kekehan terdengar jelas di ujung ponsel, Rianti tersenyum.

"Lagi ngapain ?"

Suara yang sudah ia hafal terdengar.

"Aku lagi duduk di atap." Jawab Rianti.

"Ngapain duduk di atap malam-malam seperti ini ?"

Suara yang terdengar khawatir membuat senyum di bibir tipis Rianti kembali terlihat.

"Lagi kangen Kak Riana." Jawab Rianti jujur.

"Temui dia Ri, jangan seperti ini. Aku yakin dia juga merindukan kamu."

Suara memelas Dean terdengar, dan itu semakin membuat hatinya sedih.

"Persiapan pernikahan Kak Dean gimana ?" Tanya Rianti mengalihkan topik pembicaraan.

"Kiara yang akan menyiapkan semuanya, kan dia yang mau menikah bukan aku." Jawab Dean malas.

"Kak..

"Oke, iya.. Ngeselin banget Ri. Kenapa sih harus terjebak dengan situasi seperti ini. Kenapa bukan aku saja yang kamu cintai." Keluh Dean.

Hati Rianti mencelos. Ini bukan kali pertama ia mendengar kalimat memelas seperti ini dari bibir Dean, tapi ia juga hanya manusia yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan hati pada siapa harus ia beri.

"Kak, aku ngantuk. Sampaikan salam aku buat Dina dan si kecil ya." Pamitnya ingin menghentikan pembahasan yang tidak akan pernah mendapati titik terangnya.

Perasaannya memang begitu rumit, namun, begitulah kenyataannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berpasrah, dan menikmati setiap alur cerita yang sudah Tuhan siapkan untuknya.

Setelah balasan salam yang terdengar tidak bersemangat di ujung ponselnya, Rianti mengakhiri panggilan itu lalu menuju ruangan yang ia jadikan sebagai kamar tidur jika tidak sempat pulang ke apartemen.

***

Di sebuah rumah yang lumayan mewah, sepasang suami istri yang sedang menantikan kehadiran anak pertama mereka, sedang duduk di atas ranjang.

Seperti malam-malam biasanya, si lelaki akan membacakan surah yang berharap bisa membantu proses persalinan sang istri, sembari mengusap lembut perut yang membuncit itu.

"Dia bergerak." Ucapnya antusias.

Riana tersenyum, ini bukan pertama kalinya ia melihat Kean yang begitu antusias saat janin yang masih di dalam kandungannya bergerak. Lelaki baik ini selalu saja bereaksi heboh, padahal sudah berulang kali merasakan pergerakan bayi mereka dari dalam kandungannya.

Kecupan bertubi-tubi mendarat di atas perut buncitnya yang berbalut piyama. Hari perkiraan lahir kurang dari dua Minggu lagi, dan Kean begitu tidak sabar menantikan kehadiran buah cinta mereka lahir.

"Kak kapan kita ke rumah Ibu dan Ayah ?" Tanya Riana.

"Besok, tapi nanti setelah aku pulang dari rumah sakit." Jawab Kean.

Lelaki itu begitu telaten membantu istrinya merebahkan diri dia atas ranjang. Dua buah bantal kepala sudah tersusun rapi, juga satu bantal guling berada di belakang Riana. Semenjak kehamilan mulai memasuki bulan ke delapan, Riana terus mengeluh sesak jika menggunakan bantal yang rendah.

"Jangan nyusahin Ibu kamu yaa.." Kean kembali mengusap perut istrinya, seakan sedang mengajak calon anaknya berbicara.

"Iya Ayah." Jawab Riana meniru suara balita, lalu wanita cantik yang sebentar lagi bergelar ibu itu tertawa geli dengan suaranya sendiri.

Kean mencium kening Riana berulang kali, lalu ikut kembali duduk tepat di belakang istrinya sambil mengusap lembut pinggang yang semakin melebar itu.

"Riana menutup matanya perlahan, dan mulai terlelap. Setelah kahamilannya mulai berada di bulan-bulan penghujung, ia terlalu cepat merasa kelelahan. Pinggangnya terasa tidak nyaman, juga nafasnya terasa sesak. Belum lagi, betisnya yang pegal karena harus mondar mandir kamar mandi untuk buang air kecil.

Meskipun ini normal, dan semua ibu hamil merasakan hal ini, tetap saja untuk ukuran dirinya yang belum pernah mengalami nikmatnya hamil, pasti akan merasa tidak nyaman.

Kean menghentikan usapannya di pinggang Riana, kala dengkuran halus dari mulut istrinya sudah terdengar. Lelaki tampan yang berprofesi sebagai dokter bedah itu, turun dari atas ranjang, lalu melangkah dan duduk di ranjang kosong tepat di hadapan istrinya.

Wajah yang begitu mirip dengan seseorang, ia telusuri dengan jemarinya. Salah meminang ? Mungkin begitulah yang ia pikirkan. Bukan Riana, tapi Rianti.

Namun, takdir sepertinya tidak berpihak dengan perasaanya. Untuk itu ia lebih memilih untuk menerima, toh Riana juga adalah gadis yang cantik dan baik.

Bukankah waktu akan mampu untuk membuat hati berubah, meskipun sampai saat ini ia masih terus berusaha untuk merubah hatinya. Bukan merubah, tapi menghapus keseluruhan rasa yang tidak semestinya bersemayam di dalam hatinya.

Setelah puas menatap wajah cantik Riana, Kean beranjak dari ranjang, lalu keluar dari dalam kamar dan melangkah menuju ruang kerja miliknya.

Ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di rumah. Semenjak kehamilan Riana mulai memasuki bulan ke sembilan, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dari pada di rumah sakit. Pekerjaan yang bisa ia selesaikan di rumah, akan ia bawa pulang.

Benda lipat yang ada di atas meja kerja miliknya sudah menyala. Kean segera memeriksa beberapa email yang masuk mengenai laporan keuangan ruang sakit.

Sudah berjalan beberapa bulan ini, ia menggantikan sang Ibu memimpin rumah sakit, meskipun belum mengambil alih semua pekerjaan karena masih harus fokus dengan kehamilan Riana. Beruntung sang Ibu, selalu menyempatkan diri untuk membantunya mengurus rumah sakit.

Kean menghentikan tangannya. Tatapannya tertuju pada satu alamat email yang berulang kali ia kirimi pesan, tapi tidak ada satupun yang di balas.

Matanya tertutup, dadanya masih saja bergemuruh.

"Aku jahat banget." Gumamnya pada diri sendiri.

Bab 3. Mulai Berubah

Sepasang calon pengantin sedang menikmati makan siang di sebuah restoran. Dua buah paper bag berisi kebaya pengantin dan satu setel jas, sudah berada di atas kursi kosong di samping Eliana. Tersisa sepasang cincin pengantin yang akan mereka jemput sore nanti.

Dua hari lagi, momen yang mereka rencanakan selama bertahun-tahun akan terealisasi. Eliana bisa bernafas lega, karena perjuangannya membujuk sang Ayah akhirnya membuahkan hasil yang ia inginkan.

Eliana mengalihkan fokusnya sebentar dari makanan yang ada di depannya, lalu menatap calon suaminya yang terlihat gelisah sambil menatap layar ponsel.

"Ada apa Ar ?" Tanya Eliana. Ia masih menatap lekat wajah calon suaminya yang begitu sibuk dengan benda pipih yang ada di tangan laki-laki itu.

"Ngga apa-apa El, urusan pekerjaan. Kamu makan aja." Ucap Ardi masih terus sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya dan mengabaikan makanan yang begitu menggugah selera di hadapannya.

"Kan kamu udah cuti Ar, Abang gimana sih." Kesal Eliana, menyalahkan sang Abang yang masih saja merecoki Ardi dengan berbagai pekerjaan, padahal pernikahannya dan Ardi akan di selenggarakan dua hari lagi.

Ardi menarik nafasnya dalam-dalam, namun semburat gelisah bercampur khawatir di wajahnya masih begitu jelas terlihat. Ia menatap wajah teduh calon istrinya dengan perasaan bersalah bercampur takut.

"El ga apa-apa kan, kalau aku antar kamu pulang ? Ada sesuatu yang harus segera aku bereskan." Ucap Ardi.

Eliana menatap tidak suka pada laki-laki di hadapannya ini.

"Untuk cincin pernikahan kita biar aku yang akan menjemputnya." Pinta Ardi memohon. Ia tahu akan sangat sulit membujuk Eliana yang sangat keras kepala.

"Ar bisa ngga sih kamu fokus dulu sama pernikahan kita, tersisa dua hari lagi loh Ar, masa iya kamu sibuk terus sih sama pekerjaan." Ujar Eliana kesal.

"Gini deh, aku janji saat honeymoon kita, aku akan matiin ponselku, dan fokus sama kamu." Bujuk Ardi.

Eliana bersemu, meskipun ia masih kesal. Dengan patuh ia mengangguk lalu keluar dari restoran menuju parkiran.

Mobil yang di kendarai Ardi mulai melaju di jalanan Jakarta, beberapa kali laki-laki itu berdecak kesal karena macet yang tidak pernah terurai dari jalanan kota metropolitan ini.

"Ngga masuk dulu, ketemu Ibu sama Ayah ?" Tanya El saat tubuhnya sudah keluar dari dalam mobil milik calon suaminya.

"Aku buru-buru El, sampaikan salam maaf ku pada Ayah dan Ibu. Malam aku akan datang lagi." Ucapnya.

Eliana menarik nafasnya dalam-dalam, menahan kekesalan yang mengganggunya.

"Baiklah." Jawabnya singkat.

"El jangan marah, maafin aku ya soal hari ini, hm.. " Bujuk Ardi.

"Janji ya, honeymoon nanti gak boleh kayak gini lagi." Ujar Eliana tegas.

"Aku janji." Ucap Ardi.

"Ya sudah, hatu-hati kamu. Jangan lupa cincinnya di ambil." Ucap Eliana memperingati.

Ardi bernafas lega, lalu segera melajukan mobilnya keluar dari pelataran rumah mewah milik calon keluarga barunya.

*****

Ardi mulai memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perjalanan hari ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Belum lagi ia harus bisa kembali ke Jakarta untuk mengambil cincin pernikahannya dengan Eliana.

Sebuah rumah minimalis dengan taman yang di penuhi aneka ragam bunga sudah terlihat. Ardi segera memasukkan mobilnya ke dalam halaman rumah, saat seorang laki-laki paruh baya yang ia pekerjakan, sudah membuka pintu pagar rumah tersebut.

"Ardi kenapa baru datang ?" Tanya Laras sambil mengganti kompres di atas dahi gadis kecilnya.

Ardi memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa berdenyut nyeri.

"Aku sibuk Ras, kamu tahu dua hari lagi pernikahanku dengan Eliana." Ucap Ardi memelas.

"Tapi anak kamu sakit Ardi. Aku ngga tahu harus ngelakuin apa, Dinda panas tinggi bahkan tadi kejang-kejang." Ujar Laras dengan nada kesal.

"Kamu kan bisa membawanya ke Rumah Sakit, kenapa harus aku yang datang ke sini. Kalau El curiga, semua yang aku lakukan selama ini akan sia-sia Ras. Aku, kamu, dan anak-anak kita akan kembali ke kehidupan yang menyedihkan." Ujar Ardi bohong.

Tidak, bukan itu tujuannya. Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada sosok Eliana. Jika hanya ingin hidup yang lebih baik, ia sudah mampu melakukannya tanpa harus menikahi Eliana.

Ia sudah cukup mapan dengan apa yang sudah ia raih di perusahaan IT miilik Kenan, jadi tanpa menikahi Eliana pun ia sudah bisa hidup dengan baik bersama Laras dan anaknya.

"Aku ga apa-apa Dy nggak hidup mewah. Yang penting ga seperti saat ini. Aku dan Dinda seperti pencuri yang sedang bersembunyi. Padahal kami berhak atas mu, aku seorang istri dan Dinda adalah putri mu." Lirih Laras.

Air mata yang menggenang di pelupuk matanya, mulai berjatuhan membasahi pipinya. Sudah hampir enam tahun mereka menikah, bahkan kini ia sedang mengandung anak kedua mereka, namun sampai hari ini belum juga ada kejelasan tentang pernikahannya.

"Dinda sudah waktunya sekolah Di, kita butuh surat-surat pernikahan kita. Mau sampai kapan seperti ini." Ucap Laras lagi.

"Bersabarlah sedikit lagi Ras, dua hari lagi aku akan menikahi Eliana dan aku akan bilang padanya tentang kamu dan juga anak kita. Dia gadis yang baik, aku yakin dia akan menerimamu." Bujuk Ardi pada wanita yang ia nikahi secara sirih enam tahun yang lalu.

"Kita bawa Dinda ke rumah sakit." Ajaknya lalu segera meraih tubuh putrinya dan keluar dari dalam kamar.

Mobil Ardi meninggalkan rumah yang di tempati istri dan anaknya beberapa tahun ini. Ia mulai memacu mobilnya membelah jalanan kota Bogor. Beruntung kota hujan ini tidak sepadat Jakarta, hingga tidak membutuhkan waktu lama mobilnya sudah terparkir di salah satu rumah sakit di sana.

Ardi menggendong tubuh kecil putrinya masuk ke dalam rumah sakit. Sesekali ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Saat dokter sedang memeriksa putrinya, Ardi berpamitan pada Laras untuk pulang ke Jakarta. karena masih harus mengurus pernikahannya dengan Eliana.

Wanita tegar itu mengangguk patuh. Enam tahun ia mampu bersabar, jadi tidak ingin kesabarannya yang panjang, akan sia-sia hanya dengan menunggu dua hari lagi.

Sebelum berlalu dari ruang perawatan putrinya, Ardi mencium kening istrinya lebih dulu.

"Di." Panggil Laras.

Ardi kembali mengurungkan niatnya yang hendak keluar dari ruangan tersebut lalu menatap wajah istrinya dengan perasaan yang tidak menentu.

"Jika Eliana tidak mau menerima ku dan putri kita, apa yang akan kamu lakukan ?" Tanya Laras.

Sejujurnya ia ragu, karena tidak ada wanita yang mau membagi suaminya dengan orang lain, termasuk dirinya. Hanya saja ia begitu takut kehilangan Ardi, karena tidak ada lagi orang yang bisa ia harapkan selain suaminya ini.

Ardi terdiam, ia tidak mampu menjawab. Dan akhirnya hanya kalimat yang berusaha menenangkan sang istri yang bisa utarakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!