Raya Syakila harus menerima nasib buruk saat ia pulang ke Indonesia. Rumah mewah orangtuanya telah di sita. Begitupula dengan perusahaan milik Ayahnya, semua habis tidak tersisa.
Sang Ayah harus mendekam di penjara karena kasus korupsi. Sedangkan Mamanya harus dirawat di Rumah Sakit karena terkena serangan jantung mendadak.
Raya ingin mencari pekerjaan untuk membiayai Rumah Sakit Mama dan untuk menyewa Pengacara agar bisa membela sang Ayah di pengadilan.
Tapi, mencari pekerjaan memang tidak mudah. Terlebih Raya tidak memiliki teman dan relasi di Indonesia karena sejak SMA dia sudah sekolah di Luar Negeri.
Semua saudara yang dia miliki juga seperti menjaga jarak darinya sejak dia jatuh miskin.
Ijazah S2-nya memang tamatan Luar Negeri, tapi itu semua seakan sia-sia karena lamaran pekerjaannya selalu ditolak saat pihak perusahaan mengetahui latar belakangnya yang seorang anak koruptor.
Berita tentang Ayahnya sedang santer dibicarakan, sehingga nama Ayahnya sangat terkenal beberapa hari kebelakang, membuatnya sulit untuk menghindari penolakan dari berbagai pihak.
Disaat terpuruk, Raya dipertemukan dengan Feli. Feli adalah teman kecilnya, atau lebih tepatnya dulu Feli adalah anak dari pembantunya. Feli memanfaatkan keadaan Raya dan menawarinya sebuah pekerjaan untuk menjadi seorang pengasuh.
Raya jelas menolak tawaran itu mentah-mentah. Tapi, Feli menawarkan gaji empat kali lipat untuknya, membuat Raya akhirnya menerima tawaran itu meski dengan berat hati.
Saat Raya mengira dia akan mengasuh anak Feli, ternyata semua diluar dugaannya. Raya dipekerjakan untuk mengasuh suami Feli yang lumpuh.
Raya memasuki Rumah Feli yang ternyata lebih besar-- melebihi kediaman milik orangtuanya-dulu.
"Raya, perkenalkan, ini suamiku. Pekerjaanmu disini adalah merawat suamiku." Kata Feli tenang seraya menatap Raya bergantian dengan pria yang dia maksud sebagai suaminya.
Raya mengangkat kepalanya yang tertunduk sejak kedatangannya ke Rumah ini. Dia melihat dan menilai dalam hatinya tentang pria yang adalah suami Feli.
Dilihat dari sudut pandangnya sebagai seorang wanita, dia harus mengakui jika suami Feli itu memang tampan dan menarik, meski hanya dengan penampilan rumahannya.
Pria itu bermata coklat, seperti ada Gen campuran dari garis wajahnya. Dia pasti setengah indo, nyaris kebarat-baratan. Rahangnya tegas dengan hidung yang mancung.
Pria itu mengenakan kaos oblong berwarna abu-abu, dipadukan dengan celana pendek yang memiliki banyak kantong dikiri-kanannya.
Lutut pria itu tertekuk, karena posisinya yang tengah duduk di sebuah kursi roda, ia mengenakan sandal rumahan--yang Raya tahu jelas jika itu adalah salah satu sendal dengan brand ternama yang dibandrol dengan harga terbilang mahal.
Tidak disangka, ternyata Raya menatapi pria itu dari wajah hingga ujung kakinya. Oh God!
"Sayang, dia adalah Raya. Mulai hari ini, dia yang akan merawatmu dan membantu apapun keperluanmu." Kata Feli memperkenalkan Raya pada suaminya.
Pria itu mengadah untuk melihat keberadaan Raya, entah apa yang ada dipikirannya sekarang, tapi Raya lebih memilih untuk kembali tertunduk saat mata coklat tegas itu menatapinya, dia tidak berani membalas tatap pria yang tengah duduk di kursi roda itu. Dia merasa grogi-entah kenapa.
Raya sudah terbiasa melihat Pria tampan, mulai dari yang asli Indonesia, campuran, bahkan kebarat-baratan. Apalagi dia berada di Negara asing selama bertahun-tahun, tapi kenapa melihat suami Feli membuatnya gugup?
Ah, perasaan apa ini? dia bukan wanita yang menyukai milik orang lain!
Pria itu pun hanya diam, tidak bersuara sama sekali untuk menyahuti ucapan istrinya atau untuk memperkenalkan diri sedikitpun pada Raya. Pria itu, tidak bersikap ramah-tamah sama sekali.
"Silahkan bekerja dengan baik, Raya! Jika ada yang ingin kau tanyakan, tanyakanlah sekarang!" Kata Feli dengan nada angkuhnya. Sesungguhnya, dia mempunyai iri hati yang besar terhadap kehidupan Raya selama ini.
Sekarang roda telah berputar, Feli yang berada diatas dan Raya berada dibawahnya.
Ini adalah waktu dan keadaan yang tepat untuknya-batin Feli tertawa senang.
"Apa pekerjaanku termasuk membereskan rumah ini selayaknya Asisten Rumah Tangga?" Tanya Raya pada Feli sembari melirik sekilas kearah pria dikursi roda.
Feli menggeleng. "Disini sudah ada enam orang yang mengatur soal Rumah. Kau adalah orang yang ketujuh, tapi kau hanya perlu fokus pada keperluan suamiku."
"Baik, Feli..."
Feli menggeleng kecil secara berulang. "Panggil aku Nyonya muda." Titahnya.
Raya memutar bola matanya, kemudian menghembuskan nafas pelan. "Baiklah, Nyonya muda Feli." Katanya mengalah dan malas berdebat.
"Ya, begitu bagus. Bicaralah secara formal padaku dan pada suamiku." Jawab Feli semringah. Lalu, dia pergi begitu saja meninggalkan Raya yang kikuk dihadapan pria yang diakui Feli sebagai suaminya itu.
Raya masih terdiam kaku ditempatnya, sampai suara pria itu berhasil membuatnya terkesiap.
"Mau sampai kapan berdiri disana?" Ucap pria itu dengan suaranya yang serak.
"Aku harus makan siang sekarang, antarkan makananku ke kamar." Titahnya sambil lalu, kemudian mendorong kursi rodanya sendiri menuju ke arah lain.
"I-iya, Tuan." Ucap Raya gugup sembari menatap punggung pria itu yang sudah mulai menjauh.
...🌸🌸🌸🌸🌸🌸...
"Aku tidak suka asparagus. Lain kali jangan berikan ini di makananku." Ucap suami Feli, yang sampai sekarang pun Raya tidak mengetahui siapa nama pria itu.
"Maaf, Tuan. Lain kali saya tidak akan mengulanginya."
"Hemm..." Pria itu berdehem seraya melanjutkan makannya di balkon kamar.
Hanya beberapa menit pria itu diam, kemudian dia kembali mengoceh. "Kau harus tahu semua yang tidak ku sukai!" Ucapnya lagi.
"Ba-baik, Tuan." Jawab Raya sembari mengangguk patuh.
Suasana kembali hening dan Raya hanya menatapi aspal diujung jalan dari atas balkon kamar yang sedang dia pijaki sekarang.
"Apa kau tidak punya mulut?" Tiba-tiba pria itu kembali bersuara, membuat Raya terkesiap karena ucapannya yang mendadak.
"A-apa, Tuan?" Tanya Raya mengernyit heran.
"Aku sudah bilang tadi, kau harus tahu semua yang tidak ku sukai. Apa kau tidak punya mulut untuk bertanya hal apa yang tidak ku sukai itu?" Uhuk...uhukk.." pria itu berbicara cepat, sehingga makanan yang masih ada ditenggorokannya justru membuatnya tersedak secara tiba-tiba.
"Astaga..." Gumam Raya seraya bertindak cepat mengambil segelas air diatas meja. Dia memberikan air putih itu pada sang pria agar pria itu meminumnya.
"Ini Tuan." Ucapnya.
Pria yang belum diketahui namanya oleh Raya itu menyambar gelas berisi air secara cepat dan meneguk airnya hingga tandas dengan tak kalah cepatnya.
Secara refleks dan tanpa disadari, Raya menepuk pelan punggung Pria itu--semata-mata untuk meringankan rasa sakit akibat tersedak tadi.
"Apa-apaan, Kau!" Hardik pria itu seraya tubuhnya menghindari sentuhan tangan Raya. Disaat yang sama, Raya pun seakan tersadar tentang perbuatannya.
"Maaf, Tuan. Saya refleks," ungkapnya jujur.
Pria itu mendengkus sesaat dan meletakkan gelas ke atas meja dengan kasar. Sepersekian detik berikutnya, dia meninggalkan Raya di balkon untuk kembali masuk ke kamarnya.
Pria itu sama sekali tidak mengucapkan kata-kata lagi pada Raya, membuat Raya menjadi tidak enak hati karena perbuatannya yang telah lancang-- menepuk pelan punggung pria itu.
...🌸🌸🌸🌸🌸🌸...
Raya kembali ke dapur setelah membereskan sisa makanan suami Feli di Balkon kamar tadi. Di dapur, dia berkenalan dengan para Asisten Rumah tangga yang berjumlah empat orang.
Bi Asih, Nimas, Roro dan Yana. Mereka berempat adalah yang mengatur seluruh isi Rumah. Sedangkan yang mengatur taman dan kawasan luar Rumah ada dua orang lagi yaitu Pak Karno dan Mang Deden. Jadi totalnya, ada enam orang untuk mengurus rumah, pas seperti yang Feli jelaskan padanya diawal tadi.
"Kamu harus betah disini, Ray. Meskipun Tuan Nevan kadang sedikit pemarah." Kelakar Nimas disaat Raya mencuci piring bekas makan Pria itu. Disaat yang sama pulalah, dia mengetahui nama pria itu adalah Nevan
Jadi namanya Nevan.
"Sebenarnya Tuan Nev adalah laki-laki yang baik. Dia begitu semenjak dia mengalami kelumpuhan." Ucap Roro menimpali.
Raya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kamu pasti betah disini, Ray. Asal jangan sampai berurusan sama Nyonya Muda saja." Kata Bi Asih, dia adalah ART yang paling tua diantara semua yang bekerja dirumah ini dan cukup disegani oleh pekerja lainnya.
"Nyonya muda? Maksudnya Feli?" Tanya Raya dengan alis tertaut.
"Husss... Jangan langsung sebut namanya, kalau orangnya denger bisa ngamuk." Ucap Bi Asih lagi yang disahuti dengan suara tawa yang lain.
Raya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Kamu sebelumnya udah kenal sama Nyonya muda, ya, Ray?" Kini giliran Yana yang menanyainya.
Raya mengelap tangannya yang basah dengan serbet yang tergantung disebelah tempat cucian piring. "Ya, dia dulu teman kecilku." Jawab Raya jujur.
Roro maju selangkah lebih dekat padanya. "Serius, kamu?" Tanya wanita itu cepat.
"Iya, Mbak." Raya melirik kekiri dan kanan sejenak. "Dia itu, anaknya orang yang dulu kerja dirumahku." Sambungnya sambil berbisik yang membuat perhatian keempat orang itu tertuju fokus padanya.
Nimas terkesiap mendengar itu, "Ah, yang bener kamu?" Tanyanya dengan nada syok.
"Huum.." Raya mengangguk cepat.
"Jadi ceritanya sekarang kebalik, nih?" Timpal Roro sambil terkekeh kecil.
"Begitulah, Mbak."
Mereka semua terdiam saat suara orang yang mereka bicarakan tengah menjerit meneriaki nama Raya.
"Raya ...." Suara panggilan yang ketiga kalinya untuk Raya, membuat Raya buru- buru meninggalkan area dapur dan berlari kecil menuju tempat dimana Feli berada yaitu ruang tamu.
"Aku mau pergi, kemungkinan pulangnya malam. Kamu urus Nev, ya. Kalau dia tanya aku dimana, bilang aja aku shopping." Ujar Feli dengan nada tak acuh.
"Iya," jawab Raya singkat. Walau dalam hatinya dongkol melihat tingkah Feli, tapi mau tidak mau dia harus menerima semua ini.
Padahal Raya tidak pernah memperlakukan Feli seperti anak pembantu saat mereka sama-sama masih kecil dulu, justru Raya menganggap Feli seperti saudaranya sendiri. Sayangnya, sekarang Feli membalasnya dengan sikap angkuh seperti ini. Apa harta yang sekarang Feli miliki membuatnya buta dan lupa diri?
Feli segera berlalu meninggalkan Raya yang masih terdiam dengan lamunannya mengenai sikap Arrogant Feli.
Tiba-tiba suara yang kini menjadi familiar terdengar sangat dekat dengannya.
"Apa dia pergi lagi?" Tanya suara itu, yang tak lain adalah Nevan, suami Feli.
Raya terkejut sampai memegangi dadanya sendiri. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan yang Nevan berikan padanya.
...Bersambung......
Malam menjelang, Raya yang baru saja selesai menelepon pihak Rumah Sakit untuk menanyakan keadaan sang Mama, harus buru-buru keluar kamar karena suara Nimas memanggilnya.
Dia segera menyeka airmatanya sendiri akibat sempat bersedih mengenang semua kejadian bertubi-tubi yang menimpa keluarganya.
"Ada apa, Mbak?" Raya menemui Nimas di depan pintu dengan wajahnya yang sembab.
"Kamu gak apa-apa, Ray?" tanya Nimas yang melihat semburat kemerahan dimata Raya.
Raya menggeleng keras. "Apa Tuan Nev perlu sesuatu?"
Nimas buru-buru teringat hal apa yang membuatnya memanggil Raya tadi.
"Iya, itu ... Tuan Nev sepertinya manggil kamu."
"Hah?" Raya terkesiap lalu buru-buru berlari menuju arah kamar Nev sampai ia lupa mengucapkan terima kasih pada Nimas yang sudah memberitahunya.
Sesampainya di depan pintu Kamar majikan barunya itu, dia sedikit gugup karena dia belum terbiasa dengan kondisi ini.
Tok tok tok ...
Raya memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Nev.
"Tuan, ini saya Raya." ucapnya pelan.
Raya sungguh merasa aneh dengan pekerjaan barunya. Karena jujur saja, dia yang dulu adalah seorang gadis yang semaunya sendiri dan sulit untuk mengontrol emosi.
Sedangkan sekarang, dia harus membiasakan diri bersikap lembut lalu menahan kesabaran untuk menghadapi berbagai sifat dan watak orang-orang yang mengatasnamakan sebagai Atasannya.
Raya pikir Nev akan sedikit menjerit untuk menyuruhnya masuk kedalam kamar, nyatanya pintu kamar itu terbuka dari dalam lalu menampilkan wajah datar Nev.
"Mana obatku?" tanya Nev dingin.
"O-obat?" Raya sedikit mengernyit heran.
"Ya, aku mau tidur. Aku akan meminum obatku sebelum tidur." sahut Nev tetap datar tanpa ekspresi.
Raya semakin bingung, dia tidak tahu jika Nev harus minum obat atau semacamnya, dia hanya tahu mengurus kebutuhan Nev seperti makan, minum dan kalaupun Nev membutuhkan bantuannya soal obat, dia mungkin hanya bisa menyediakan air minum tanpa tahu dimana letak obat Nev berada.
Bukannya bertanya, Raya malah menyengir didepan Nev yang terduduk kaku dikursi rodanya. "Saya-saya tidak tahu dimana obatnya." akunya jujur.
Nev masih tetap datar sembari mengendikkan dagu ke arah dalam kamarnya, sebagai isyarat bahwa Raya harus masuk ke dalam kamar untuk mencari obat itu.
Raya menautkan kedua alisnya, kemudian paham dan melangkah masuk ke kamar Nev.
Kamar yang sangat dingin seperti yang menempatinya.
Nev terdengar mengembuskan nafas kasar, "Ternyata kau benar-benar tidak mau menggunakan mulutmu untuk bertanya," gerutu Nev seraya memacu kursi rodanya menuju nakas.
Raya terkesiap sadar akan sindiran Nev itu, dia tahu seharusnya dialah yang bertanya pada Nev dimana letak obatnya dan berinisiatif mengambilkan obat itu.
"Sudahlah..." kata Nev dengan mendengkus sebal. "Ambilkan saja aku air minum." gumamnya pelan yang masih dapat didengar Raya.
"Baik, Tuan Nev..." jawab Raya mencoba sopan, tapi Nev langsung memutar kepalanya demi melihat wajah Raya.
"Kau tahu namaku?" tanyanya heran.
"Iya, Tuan. Ada yang salah?"
Nev tersenyum kecil, senyum yang membuat mata Raya membola karena terheran-heran.
Ternyata Tuan Nev bisa tersenyum juga.
"Aku pikir mulutmu itu tidak pernah menanyakan siapa namaku, tapi ternyata kau bisa tahu siapa namaku." kata Nev pelan.
"Semua orang menyebut namamu, jadi..."
"Berarti semua orang senang membicarakanku?" potong Nev.
Raya menggeleng kuat-kuat sembari mengibaskan tangannya kencang. "Tidak, Bu-bukan begitu, Tuan." Raya tertunduk.
"Cepat ambilkan saja air minumnya." ucap Nev kembali datar.
Raya pun keluar kamar dan menuju dapur, sampai didapur dia bertemu dengan Bi Asih dan Roro.
"Kenapa? Tuan Nev marahin kamu ya?" tanya Roro.
"Enggak, Mbak. Aku aja yang belum paham tugasku disini. Feli, eh maksudnya Nyonya muda juga gak memberitahu aku secara detail. Aku juga salah sih, mulutku gak banyak bertanya ..." kata Raya menggerutu.
Bi Asih dan Roro terlihat mengulumm senyuman.
"Gimana mau ngasih tahu secara detail, emangnya kamu udah ada liat Nyonya muda dirumah?" kata Roro terkekeh kecil.
Raya baru tersadar jika Feli memang tidak ada dirumah bahkan dikamar Nevan. Feli belum pulang?
"Sudah, sudah... nanti saja ngobrolnya. Anter dulu air minumnya itu." ucap Bi Asih menengahi.
Raya pun kembali ke kamar dengan nampan yang membawa segelas air putih. Nevan meminum obatnya dengan cepat kemudian dia menatap Raya yang menungguinya.
"Aku akan tidur, bantu aku berbaring di ranjang." ucap Nevan masih tanpa ekspresi alias datar plus kaku.
"Iya, Tuan." jawab Raya.
Raya menyibakkan bedcover yang menutupi sisi ranjang, kemudian dia mendekat kearah Nevan.
Raya mendorong kursi roda Nevan sampai bibir ranjang, sedikit membungkuk untuk mengunci rem kursi roda agar tidak bergerak.
Raya pernah melakukan ini saat membantu Ibunya di Rumah sakit dan ini bukan hal baru baginya.
"Maaf, Tuan... saya harus merangkul tubuh Anda. Ini tidak akan lama, hanya sebentar." kata Raya dengan percaya diri tinggi.
Raya meminta izin dulu untuk menyentuh tubuh Nev, karena dia takut Nev akan marah seperti saat--refleksnya siang tadi saat menepuk-nepuk punggung Nev yang tersedak.
Nev diam dan membiarkan Raya melakukan tugasnya.
Raya mulai mendekat ke tubuh Nev, melingkarkan tangan Nev di bahunya, sedangkan tangannya sendiri berada dipinggang Nev-- untuk membantunya bergerak cepat agar bisa langsung terduduk di ranjang.
Sayangnya, ekspektasi Raya tidak sesuai dengan kenyataannya. Tubuh Nev yang tegap dan ternyata tak ringan itu-- membuatnya sedikit kewalahan sampai mencoba berkali-kali namun tetap tidak berhasil.
-----
Nevan
Saat Feli kembali siang tadi, ia hanya bisa tersenyum sinis karena apapun usaha Feli saat ini untuk merebut hatinya, tidak akan bisa membuatnya jatuh pada lubang yang sama. Ia tahu jika Feli adalah rubah betina.
Feli bisa saja bermuka dua dihadapannya, tapi ia sangat tahu jika Feli bertahan dengannya hanya karena harta yang ia miliki.
Ia pun dengan senang hati bersikap sama seperti yang Feli lakukan padanya. Mereka sama-sama bermuka dua sekarang. Feli baik didepannya dan ia pun begitu dihadapan istrinya.
Tapi, dibelakang itu ... ia sudah tahu apa yang harus ia perbuat terhadap wanita yang sudah membersamainya selama dua tahun belakangan ini.
Harusnya, sejak awal ia sudah sadar bahwa Feli memang hanya mengincar hartanya, bukan mencintainya, seperti ia mencintai Feli.
Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi. Sejak ia tahu jika Feli terlibat dalam usaha melenyapkan nyawanya, saat itu pula cintanya pada Feli ikut lenyap ditelan bumi.
Percobaan pembunuhan itu pulalah yang menyebabkannya lumpuh, namun ia tidak mau Feli lepas begitu saja dari genggamannya, karena tidak adanya bukti yang mengarah pada istrinya itu.
Entahlah, bukti-bukti itu seakan lenyap dan tidak bisa terdeteksi.
Siang tadi, Feli kembali kerumah dan...
Suprise!!!!
Feli pulang membawa seorang wanita yang ia perkirakan usianya hampir sama seperti Feli, sekitar awal 25 tahun-an.
Ini tidak seperti biasanya, biasanya Feli akan meminta bantuan perawat lelaki dari yayasan pilihan untuk merawatnya.
Kenapa sekarang seorang wanita? Cukup menarik--saat Feli justru terlihat tak menyukai wanita yang sempat berdiri dihadapannya. Terbukti, kosa-katanya pada wanita itu sangat tidak bersahabat dan terkesan angkuh.
Ia tidak tertarik untuk berkenalan dengan wanita yang bersama Feli, walau ia mengakui bahwa wanita itu cantik bahkan lebih cantik dari Feli yang pernah ia cintai.
Meski Feli mengenalkan Wanita bernama Raya itu padanya, tapi ia tidak berminat memperkenalkan diri. Basa-basi yang sangat biasa dan klise.
Mau tak mau ia harus menerima Raya, ia penasaran kenapa Feli terkesan tak menyukai Raya. Mungkin ia bisa memanfaatkan keadaan ini nantinya, entahlah... kondisinya memaksanya agar bergantung pada orang lain dan itu sangat menyebalkan. Ia benci harus dibantu oleh orang lain sekarang.
Tanpa ia sadari, ia memperhatikan Raya yang banyak diam, ia tertarik untuk memulai kata-kata, walau kata-katanya pada Raya terkesan dingin dan memarahi wanita itu, tapi sejatinya ia mengharapkan Raya memperhatikannya. Why?
Mungkin karena sebuah perhatian sudah lama tak ia dapatkan. Atau, mungkin Raya memang menarik dimatanya?
Saat ia memarahi wanita itu tentang makanan yang tidak ia suka, Raya hanya meminta maaf. Membuatnya sebal, dia butuh kata-kata lain yang keluar dari mulut wanita itu.
Heh, apa kau tidak punya mulut untuk bertanya apa yang ku suka dan tak ku sukai?
Dia mendadak marah karena Raya tidak menanyakan hal itu.
Tapi, mendengarnya terbatuk-batuk, Raya spontan menepuk pelan punggungnya, apa ini bentuk perhatian?
Kenapa sekarang ia seperti pria yang haus perhatian seorang wanita? Dari Raya? Bahkan ia belum mengenalnya 24 jam?
Ia hanya bisa mendengkus kesal dan sedikit menghindar dari sentuhan tangan refleks Raya.
Karena, sentuhan itu sedikit melenakannya. Sia lan!
Sekali lagi dia mencoba mengingatkan diri--karena dia bahkan baru mengenal Raya beberapa jam.
Sampai malam menjelang, dia belum melihat keberadaan Feli. Namun dia tak mempermasalahkan hal yang sudah lumrah terjadi. Feli bahkan sering tak pulang.
Dia sudah menyelesaikan makan malamnya-- yang disiapkan oleh Raya tadi, tapi kenapa perasaan ingin diperhatikan terus menghantuinya. Ia pun meminta Nimas memanggilakn Raya.
Ah, apa Raya semenarik itu? Ya, dia memang menarik seperti memiliki magnet.
Ia buru-buru melenyapkan pikiran itu karena suara Raya yang mengetuk pintu kamarnya sudah terdengar.
Ia mencari-cari alasan agar Raya terus memperhatikannya, padahal memang itulah tugas Raya.
Yah, dia tidak perlu khawatir karena tugas Raya memang harus memperhatikannya.
Ia sudah lama tak mengonsumsi obat, karena sebenarnya kondisinya mulai pulih, tapi hanya ia sendiri yang mengetahui itu, tidak dengan yang lainnya.
Saat ia dengan sengaja meminta bantuan Raya untuk membantunya membaringkan diri di ranjang, ia pikir Raya akan menolak. Tapi nyatanya...
"Maaf, Tuan... saya harus merangkul tubuh Anda. Ini tidak akan lama, hanya sebentar." ucap Raya dan terlihat sekali bahwa wanita itu penuh percaya diri saat mengucapkannya.
Ia sedikit terkesima karena ini adalah kalimat terpanjang Raya saat bicara padanya--sejak awal kedatangan wanita itu kerumahnya.
Entah kenapa ia dengan ke-iseng-an-nya, justru sengaja menahan tubuhnya sendiri di kursi roda, membuat Raya kepayahan dan tidak berhasil mengangkut tubuhnya ke tepiah ranjang.
Padahal, ia harus menahan nafas--karena sentuhan Raya ditubuhnya benar-benar membuatnya bagai tersengat listrik.
"Sepertinya sulit, Tuan. Emm... bagaimana ya.." Raya terlihat berpikir keras, membuatnya menyunggingkan senyum sekilas, demi melihat wajah Raya yang lucu dengan mata membulat sempurna.
...Bersambung ......
Raya
"Sepertinya sulit, Tuan. Emm... bagaimana ya.." ucapnya saat tak bisa memapah tubuh tegap Nev. Jangankan memapah, bahkan tubuh itu tidak bergeming sedikitpun dengan usahanya.
"Kau bilang tidak akan lama. Kenapa jadi lama?" keluh Nev padanya, membuatnya menggaruk pelipisnya sendiri.
Ia menghela nafas sejenak, kemudian mengulangi hal yang sama--melingkarkan tangan Nev di bahunya, lalu ia merangkul pinggang Nev untuk sedikit didorong ke tepian ranjang.
Sebenarnya dia sudah menyerah, tapi aroma maskulin dari tubuh Nev membuatnya ingin mengulangi lagi karena entah kenapa dia menyukai aroma itu.
Apa-apaan kau ini Raya!
Setelah usaha untuk yang keempat kalinya, akhirnya ia berhasil memindahkan tubuh Nev dan majikannya itu sudah terduduk kaku di pinggiran ranjang. Ia dengan sigap membantu mengangkat kaki Nev agar bisa diluruskan.
Setelah berhasil dan cukup lega karena akhirnya usahanya tak sia-sia, ia menaikkan selimut Nev sampai sebatas perut pria itu.
Demi apapun, ini adalah kali pertamanya berada sedekat dan seintimm ini dengan seorang pria.
Ia langsung memutar tubuh tanpa berani beradu pandangan dengan mata coklat tegas milik Nev yang membuatnya gugup.
Astaga Raya, dia memang tampan tapi dia suami orang. Suami Feli ! Batinnya menjerit-jerit ingin segera keluar dari ruangan itu.
Namun suara Nev berhasil menghentikan langkahnya.
"Terima kasih." ucapan Nev dingin seperti sebelumnya, tapi kenapa hati Raya justru menghangat?
Oh God! Perasaan macam apa ini? Tidak-tidak, ini terjadi karena memang inilah pertama kalinya ia berada dekat dengan seorang pria.
Ia hanya mengangguk samar tanpa menoleh kearah Nev yang sudah terbaring di ranjang.
Ia keluar kamar dan mendapati Feli yang baru saja pulang.
"Apa Nev sudah tidur?" tanya Feli singkat.
"Sudah," jawabnya tak kalah singkat.
Ia ingin segera pergi dari hadapan Feli yang berdiri angkuh dengan menaikkan dagu, namun Feli langsung menjegat tangannya.
"Raya, kau harus ingat apa posisimu dirumah ini." ujar Feli dengan nada ketus.
"Aku tahu." jawabnya datar.
Feli menggeleng dan menatap lamat-lamat ke matanya.
"You, loser!" Ucap Feli sembari mengacungkan jempolnya ke arah bawah, lalu tersenyum mengejeknya.
Ia sudah tak sudi menghadapi semua ini. Masalahnya yang bertubi-tubi, menghadapi sikap dingin sang Tuan rumah, bahkan kini, ditengah malam pun ia harus meladeni mulut Feli yang angkuh.
Stok kesabarannya untuk hari ini sepertinya sudah diambang batas.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah bertaruh apapun padamu, Feli! Kenapa kau mengataiku kalah? Ya, memang aku sekarang bekerja dirumah ini. Tapi ini rumah suamimu bukan rumahmu!" ketusnya yang sudah hilang kesabaran.
Feli terbengong menatapnya, namun ia tidak peduli, ia melangkah menuju arah yang berlawanan untuk turun ke bawah dan kembali ke kamarnya.
"Kau tahu, selama ini kau selalu mendapatkan apa yang kau mau! Kau dengan sengaja memberikan sisamu padaku. Sekarang kau lihat? Tidak ada yang tersisa untukmu! Bahkan sisa kepunyaanku pun, tidak akan ku berikan padamu!" ketus Feli tak mau kalah.
Raya membalikkan badan. "Oh ya? Kita lihat saja!" ucapnya menantang dan itu membuat Feli meradang.
"Beraninya kau! Coba saja kalau kau berani! Kau mau mencuri apa dariku?" cibir Feli.
Membuatnya mengepalkan tangan karena kesal dengan ujaran kebencian itu, ia kembali berjalan menuruni anak tangga namun Feli terus saja menggerutu dan mengumpatnya sepanjang ia berada ditangga.
"Shittt!! Kau sudah miskin masih belagu! Jika kau berani mencuri, kau akan ku laporkan ke polisi dan akan mendekam dipenjara. Sekalian saja temani Papamu disana!" cecar Feli sambil tertawa mengejeknya.
Ia menghentakkan kaki sembari menutup telinga dengan kedua tangannya, lalu masuk ke kamarnya dilantai dasar.
...🌸🌸🌸🌸🌸🌸...
Pagi-pagi sekali, Raya sudah duduk di ruang tamu dengan sikap masa bodohnya itu. Ia mengetuk-ngetukkan jari di pegangan sofa demi menunggu kedatangan Feli.
Kata para ART, Feli biasanya akan turun jam 8 pagi dan ini sudah lewat tujuh menit dari waktu yang seharusnya.
"Mau apa?" tanya Feli ketus pada Raya sembari memasang arloji ditangan kirinya.
"Aku mau berhenti." jawab Raya pelan. Pagi hari, stok kesabarannya masih penuh untuk menghadapi sikap angkuh Feli.
"What???" pekik Feli lalu menatapnya tajam.
"Aku tidak mau bekerja dirumah ini lagi. Aku tidak sanggup." kata Raya.
Feli terdiam sejenak, dia mondar-mandir dihadapan Raya sembari menggigit kecil ujung kukunya sendiri.
"Tidak bisa, kau tidak bisa keluar dari pekerjaan ini begitu saja." ucap Feli tampak kebingungan.
Sesungguhnya, Feli belum puas menyiksa batin Raya, dia ingin Raya selalu berada dibawahnya. Dengan Raya bekerja dirumah ini sebagai pengasuh Nev, itu berarti kelas Raya jauh dibawah level kelasnya. Dan jika Raya berhenti, itu sama saja menghancurkan apa yang ingin dia capai yaitu kepuasan batin karena telah mengalahkan Raya secara finansial.
"Kenapa tidak bisa?" tanya Raya mengernyit.
"Ya, karena kau sudah menyetujui dengan gaji yang ku katakan. Itu artinya kau sudah terikat."
"Oh no! Aku bahkan tidak menandatangani surat apapun. Bagaimana bisa kau mengatakan aku terikat disini?" cibir Raya.
"Kau!!!" Feli terlihat marah. "Sekali ku bilang tidak ya tidak! Aku tidak akan menggajimu karena kau hanya bekerja satu hari." ucapnya marah.
"Tidak masalah." Raya mengambil tasnya dan berdiri, lalu dia menuju pintu keluar rumah besar itu.
"Raya!!!" pekik Feli.
Raya berjalan cepat dan tidak menghentikan langkahnya, namun sampai di pekarangan Rumah, langkahnya seketika berhenti --tatkala dihadapannya sudah ada Nev yang duduk dikursi roda, sepertinya pria itu baru saja berkeliling di pagi hari bersama Mang Deden.
Nev menatapnya.
"Aku mau sarapan," kata Nev datar seperti biasanya, namun Raya justru menangkap tatapan Nev yang penuh harap padanya, membuatnya sedikit luluh karena teduhnya netra kecoklatan itu.
Raya menggeleng pelan. "Aku sudah berhenti." ucap Raya pelan.
Nev tertegun untuk beberapa saat--dia mencerna ucapan Raya dan sedikit tersenyum kecut setelahnya.
"Lalu bagaimana aku sarapan?" tanya Nev.
"Sarapan lah bersama Feli, atau minta salah satu ART menyediakannya." jawab Raya tak acuh.
Disaat bersamaan Feli tiba diantara mereka dan menyela.
"Kau tidak bisa berhenti, Raya! Katakan kau ingin digaji berapa? Aku akan menggajimu. Bukankah kau butuh banyak biaya untuk Tante Sahara?" ucap Feli dengan menatapnya tajam.
Raya tertunduk, mendadak dia mengingat sang Mama yang memang membutuhkan biaya besar, uang tabungannya sudah terkuras untuk mengisi deposit awal di Rumah Sakit. Namun, dia juga butuh uang untuk biaya tak terduga.
Belum lagi masalah sang Ayah yang membutuhkan pengacara, karena pengacara keluarga mereka sedang berada di Luar Negeri dan Raya tak bisa menghubunginya.
Raya harus mendapatkan uang secepatnya untuk menyewa pengacara lain, karena Ayahnya mengatakan- jika beliau hanya di fitnah, bukan korupsi seperti yang dituduhkan.
"Raya, kau butuh banyak uang. Jangan egois." ucap Feli yang pasti dengan niat mencibir Raya.
Raya kembali menatap Feli kemudian beralih menatap Nev yang juga menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, tentu pria itu mendengar semua ucapan Feli mengenai Mamanya, dan Nev juga terlihat menunggu keputusannya.
"Kau akan tetap bekerja disini, kan?" tanya Feli lagi, mulai menurunkan intonasi suaranya.
Dengan berat hati, akhirnya Raya mengangguk setuju dan entah benar atau tidak, dia mendengar suara helaan nafas lega dari Feli dan juga...Nev?
...Bersambung ......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!