NovelToon NovelToon

PEWARIS YANG DICULIK DAN PUTRI TERBUANG

BAB 1. Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

"PEWARIS YANG DICULIK DAN PUTRI TERBUANG”

BAB 1.Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

“Iya sayang, aku juga sangat rundu pada mu, besok pasti bertemu. Kita malam mingguan sayang.” Kata Irvan kepada kekasihnya yang sudah sangat rindu padanya melalui saluran telephon.

“Aku akan selalu mencintai mu.” Balas kekasihnya dengan suara yang sangat manja membuat Irvan klepek-klepek lalu membalas dengan gombalan.

“Seandainya aku bisa mempercepat waktu, pasti sudah ku rubah waktunya menjadi besok sore sayang.”  Walaupun gombal tapi sangat disukai pacarnya.

Kemudian ia meyakinkan pacarnya, katanya “Iya aku percaya. Aku juga akan selalu mencintai mu. Sampai besok ya, dah....” Ucap Irvan mengakhiri pembicaraannya mereka, lalu bergegas tidur.

Keesokan harinya, waktu masih pagi-pagi benar, mentaripun belum bersinar, Irvan telah bangun. Diselimuli rasa bahagia dan kerinduan, ia mandi, mengganti pakaian, lalu bersiap diri untuk pergi.

Ia tidak sarapan, tetapi semangat dan kerinduan membuatnya tetap kenyang, lalu dengan mantap ia melangkahkan kaki ke Star Ligth University.

Star Light University adalah universitas termahal sekaligus terbaik. Hanya anak orang kaya yang sanggup bersekolah disana. Tetapi karena prestasi, membuat Irvan dan beberapa orang miskin lainnya dikecualikan.

Mereka dibebaskan dari biaya kuliah asalkan disetiap hari sabtu wajib membersihkan seluruh ruangan.

Karena merindukan kekasihnya, Irvan bertekat agar hari ini dapat menyelesaikan kerjanya lebih awal, sehingga sorenya bisa digunakan untuk mengunjunginya.

Berjalan cepat menuju gudang, memilih beberapa alat terbaik dan ember, lalu Irvan bergegas ke gedung A untuk membersihkannya.

Muncul rasa penasaran dihatinya, ketika ia melewati ruangan di gedung B, ada seorang wanita yang ternyata telah lebih dahulu membersihkan disana.

“Siapa wanita itu? Aku baru melihatnya?” Pikir Irvan sambil memperhatikan wanita yang asik menyapu ruangan itu.

Irvan mengenali semua mahasiswa miskin di kampus itu, tetapi wanita ini belum diketahuinya. Dia ingin menghampirinya, tetapi demi waktu luang di sore hari, Irvan menepis keinginannya lalu cepat-cepat melangkakan kakinya ke gedung A.

Setibanya di sana, ia menunduk sejenak mengeraskan tali sepatu, mengguling kaki celana lalu melipat lengan bajunya, kemudian bergegas ke ruang paling ujung untuk mulai membersihkan dari situ.

“sak, sik, sak, sik…” dengan cekatan ruangan demi ruangan terus dibersihkan. Tanpa jeda waktu untuk beristirahat, Irvan terus membersihkan hingga tidak disadarinya waktu telah pukul tiga sore.

Irvan telah lelah, lapar dan haus, tetapi semunya itu ditahannya demi menyelesaikan satu ruangan terakhir.

“Baiknya saya selesaikan terlebih dahulu ruangan ini barulah istirahat sekaligus.” Pikir Irvan menghibur dirinya sendiri.

Beberapa waktu kemudian ruangan terakhirpun selesai dibersihkan.

Sambil senyum, pikiran Irvan melayang jauh. Ia dan pacarnya berjalan di taman kota, menyusuri setiap setapak sambil sesekali lengan mereka bersentuhan, lalu saling melirik dengan malu-malu, tanpa sadar tangan saling gengam tak mau dipisahkan. “Aku sayang kamu, aku juga ….” Hayal Irvan

Irvan terus tersenyum sambil menutup pintu dan hendak meninggalkan ruangan. Tiba-tiba saja senyum manisnya hilang seketika, berganti raut wajah yang pucat, cemas, tak kala mendengar suatu suara memanggil namanya.

“Aduh ... Ada apa lagi ni,” gumam Irvan dalam hatinya ketika mendengar suara yang muncul untuk menghentikan langkahnya. “Semoga bukan,” harap Irvan cemas.

“Irvan ... jangan pergi dulu,” teriaknya lagi. Kali ini, suara itu terdengar jelas sekali keluar dari seseorang yang sangat dikenalinya. Harapannya sia-sia.

Dengan pasrah, mematung, Irvan berhenti menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Di Star Light University telah terkenal semacam suatu semboyan, “Dimana Viki berada, pasti ada Reis dan Anjas dan dimana mereka bertiga bertemu Irvan, pasti ada olokan dan siksaan.”

Ketiga orang itu adalah anak orang kaya. Mereka sangat ditakuti oleh para mahasiswa miskin, sebab orang tua mereka diketahui sebagai pemegang saham mayoritas di kampus itu.

Ada aturan konyol yang tidak tertulis, namun berlaku, yaitu bahwa semua mahasiswa yang mendapatkan bantuan beasiswa dari pemegang saham, wajib mengikuti keinginan anak-anak mereka.

“Mau kemana kau, anak miskin yang malas.” Kata Viki membentaknya dengan kalimat hina yang sering diucapkannya ketika bertemu Irvan.

Irvan berbalik ke arah datangnya suara. Benar ternyata. Ada Viki, Reis dan Anjas. Kali ini Irvan pasti mendapat siksaan lagi.

“Aduh bagaimana kalau aku disiksa lagi. Akukan mau pulang segera karena harus bertemu pacar ku.” Pikir Irvan dalam hatinya.

Lalu, dengan sangat sopan sekali dan berusaha senyum sebaik mungkin ia menjawab “saya sudah selesai bekerja dan harus kembalikan alat-alat ini ke gudang.” Lalu Irvan kembali membalikan badanya dan hendak pergi.

Belum sempat melangkah, Anjas yang telah berada dekat dibelakangnya, menarik kerah bajunya dengan keras sehingga membuat Irvan jatuh terpental di lantai.

“Bodoh sekali kamu … dasar bangkai, malas!” Maki Anjas.

“Apakah kamu sudah bosan kuliah disini?” Sambung Reis yang langsung saja dijawab cepat oleh Irvan bahwa ia ingin tetap berkuliah disana.

“Lalu kenapa kamu membiarkan bagian lain di ruangan ini tetap kotor?” kata Reis dengan wajah penuh kemunafikan.  “Cepat berlutut.” Lanjutnya.

Karena tidak ingin ketiga orang itu berlarut-larut mempermainkannya, Irvan menuruti saja keinginan mereka, lalu ia berlutut persis di depan kaki Viki.

Melihat Irvan telah mengambil posisi berlutut, Reis tersenyum penuh kemenangan sambil membuka ikatan tas plastik yang ternyata isinya pasir, lalu ia berkata “Menurut kami ruangan ini masih kotor.”

Setelah berkata demikian, tidak menunggu lama

Buar ….

Sebagian pasir dihamburkan ke lantai ruangan.

Irvan tersentak kaget, spontan hendak berdiri untuk protes, namun sayangnya, begitu dia bangun, Anjas yang berada dibelakangnya segera menendangnya.

Prak ….

Irvan jatuh terpapar, sampai hidungnya mencium lantai.  Ada sedikit darah keluar dari hidungnya.

Belum sempat bangun, Reis menghamburkan sisa pasir ke arahnya lagi, membuat wajah Irvan penuh dengan debu pasir.

Tidak hanya sampai disitu, Viki lalu menyiraminya dengan sisa air pembersih lantai, sehingga membuat tubuh Irvan kotor berlumpur.

Irvan yang sangat sakit hati, menatap mereka dengan marah. Dalam hati, ia ingin sekali menghajar ketiganya sampai benar-benar babak belur. Namun ia mengurung niat itu.

Bukannya takut atau tidak mau membalas, bukan. Bagi Irvan ketiga orang itu kecil baginya. Satu atau dua langkah saja, mereka pasti dijatuhkannya, tetapi mengingat cita-cita dan keinginan berjumpa dengan kekasihnya membuat ia turunkan niatnya lalu pasrah menerima keadaan itu.

Melihat tatapan marah dari Irvan, Viki naik darah. Ia meneriaki Reis dan Anjas agar segera memengang kedua tangan Irvan, lalu dengan marah ia menghajar Irvan sepuas-puasnya.

“Bak, buk, bak, buk …” tubuh Irvan bagai sansak tinju. Ia dihujani pukulan.

“aduh … tolong … uhuk … uhuk … ampun … uhuk … uhuk …” teriak Irvan sambil terbatuk-batuk memohon belas kasihan.

Bukannya merasa kasihan. Viki seperti menikmati sekali perbuatan itu. Ia meminta Reis dan Anjas segera bersiap. Ia ingin menguji kekuatan tendangannya pada Irvan. “Kira-kira, seberapa jauh ia akan jatuh jika ku tendang sekuat tenaga.”

Ketika Anjas dan Reis telah bersiap, Vikipun mengambil posisi dan hendak berlari untuk memberi tendangan super, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.

HENTIKAN ….

Teriak seorang perempuan mengagetkan mereka.

Viki langsung menghentikan rencananya, sedangkan Reis dan Anjaspun melepaskan tangan mereka dari Irvan.

Sementara Irvan yang telah mendapat banyak hajaran langsung terjatuh tak berdaya.

“Rika …, kamu rupanya. Aku kira kamu ingkar janji” Kata Viki dengan suara yang nyaring.

Mendengar nama Rika, Irvan yang tadinya tergeletak di lantai, seakan mendapatkan kekuatan dari sumber yang tidak bisa dijelaskan.

Dia langsung bangun dan hendak berdiri, namun karena sekujur tubuhnya sakit, membuatnya hanya duduk saja di lantai.

Tanpa menjawab pertanyaan Viki, Rika yang telah sampai dihadapan mereka langsung berkata “sebaiknya kalian berhenti menghina dan menyiksa dia. Aku benci sikap kalian.” Kata Rika tegas sekali.

Mendengar ucapan Rika, bukannya merasa bersalah, ketiga mahasiswa itu mengangguk-angguk dengan senyum sinis sambil berkata: “Ya … ya … ya ….”

Sedangkan Irvan merasa ada sesuatu yang aneh dalam kata-kata dan sikap Rika saat ini. “Rika kok lain.” Pikirnya dalam hati.

Biasanya, ketika Irvan mengalami hal seperti ini, Rika sangat kuatir. Ia akan berlari dengan cemas, datang dan langsung memeluk Irvan. Ia tidak pernah membentak ketiga orang itu seperti tadi. Bahkan sambil menangis ia akan memohon agar ketiga orang itu berhenti menyiksa Irvan.

Dalam keadaan apapun, Rika akan selalu menyebut Irvan dengan panggilan “Kak,” tapi saat ini ia mengantinya dengan kata ganti “dia.”

“Bukankah kami telah janjian bertemu di Taman Kota sore ini?” Pikir Irvan. “Mengapa Rika datang kesini? Dan janji apaan yang  Viki maksud dengannya?” Pikir Irvan lagi.

Benar firasat Irvan. Rika berubah.

Bagai peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga itulah yang akan Irvan dialami.

Kedatangan Rika, bukan untuk menolongnya. Tetapi malah mau memutuskan hubungan mereka.

Setelah memastikan Irvan tidak lagi disiksa, dengan tegas Rika berkata: “Irvan ... aku menyesal jadi pacar mu. Hubungan kita adalah mimpi buruk untuk ku.”

Mendengar perkataan itu, darah dalam tubuh Irvan seakan mengalir dengan cepat kepuncak batok kepalanya. Jantungnyapun bergetar cepat, tubuhnya kaku, wajahnya berubah merah. Ia tegang sekali.

“Soalnya kamu miskin dan gembel. Tidak ada yang bisa aku harapkan dari sampah seperi mu.”  Sambung Rika lagi penuh emosional.

Dengan ketegangan yang begitu kuat, Irvan menatap Rika dalam-dalam. Ia mencari kesungguhan dari perkataan Rika. Ia tidak yakin Rika bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Baginya, sangat tidak mungkin.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Irvan terus menatap Rika dan berharap ia menarik kata-katanya.

Rika Berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, sambil menoleh ke arah tembok, lalu melepaskan nafasnya dengan kasar, seakan-akan dia menyesali sesuatu, lalu ia hendak melanjutkan perkatannya.

Awalnya kata-kata terakhirnya tersendat. “Mul … mul …” Rika tidak sanggup berkata. Lalu ia membalikan tubuhnya, sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya dengan kasar sekali sambil mengeluarkan suara seperti membenci sesuatu, kemudian ia berkata:

“Mulai saat ini kita putus.” Tegas Rika dengan emosional disambut tertawa riang penuh ejekan dari ketiga orang itu. Sepertinya kata-kata itu sedang ditunggu mereka.

Buarrrrrrrrrrrrr

Bagai tersambar petir di siang bolong, telinga Irvan panas memerah. Ia kaget bukan main.

Semalam mereka baru bermesra-mesraan disaluran telepon. Berjanji saling mencintai.

“Apa …? Maksud …”

Belum sempat Irvan menyelesaikan perkatannya, Rika telah berbalik badan, lalu pergi dengan air mata yang telah membasahi pipinya.

Irvan yang tidak menerima kenyataan pahit itu hendak mengejar Rika untuk meminta penjelasan, tetapi memang sial tertubi-tubi sedang melandanya.

Belum sempat berdiri tegak, lagi-lagi Anjas menendangnya hingga ia kembali jatuh terlempar jauh. Sepertinya Anjas ini spesialis menendang di kelompoknya Viki. Belum satu jam juga mereka ada disitu, sudah tiga kali ia menendang Irvan.

Saat ini, untuk pertama kalinya Irvan merasa kecewa dan sakit hati yang dalam. Bukan karena siksaan fisik dari tiga orang itu, tetapi karena Rika yang tega.

Tubuh Irvan bagaikan tiada tulang, melemas dari kaki hingga kepala.

Rasa lapar yang awalnya hilang karena kerinduan, kini kembali bagai tsunami menyelimutinya. Ia tak berdaya, hilang harapan, membuatnya tidak bisa bangun dari lantai.

Di sekujur tubuhnya mulai memunculkan rasa sakit membuat Irvan pasrahkan diri. Dari mulutnya terdengar suara memanggil-manggil “Rika … Rika ….” Ia ingin Rika kembali dan menolongnya.

Karena sangat lemah, ia memasrahkan dirinya lalu tertidur di lantai ruangan itu untuk beberapa saat.

Bersambung...

BAB 2. Tidak Puas Dicampakan

Setelah sadar dari tidurnya, Irvan memilih untuk langsung pulang ke rumah. Ia kuatir jika berlama-lama disana bisa mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi.

Marah, sedih, kecewa, menyesal, semuanya bercampur menjadi satu mengiringi perjalanannya pulang

Ingin rasanya menangis, tapi bukanlah sifatnya. Ingin melawan mereka sebenarnya, tapi apa daya, cita-citanya membuatnya seakan-akan terkurung dalam penjara besi.

Irvan hanya bisa pasrah menerima kenyataan pahit dalam hidupnya.

“Aduh … kasihan sekali  aku” Irvan meratapi nasibnya sendiridengan kecewa.

Bagaimana tidak, dia yang sudah mengalami perlakuan buruk dari anak-anak orang kaya itu bukannya mendapat penguatan dari pacarnya, malah sebaliknya, ia dihina dan bahkan dicampakan secara sepihak.

Lebih sakit hati lagi, baru saja semalam Rika bermanja-manja dengannya, kok sore ini ia berubah.

Dua tahun sudah hubungan mereka. Sejak pertama kali menginjakan kaki di Star Light University, keduanya saling jatuh cinta lalu berpacaran.

Orang melihat Irvan dari sisi ekonomi lalu merendahkannya, namun berbeda dengan Rika, ia selalu menguatkan Irvan. Ia tidak pernah memandang status sosial, tapi anehnya hari ini, ia malah memutuskan Irvan karena alasan itu

Rika baik hati, tulus dan sangat cantik. Memiliki tubuh ideal seperti yang diimpikan banyak wanita.

Selama pacaran, ada banyak sekali kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati tubuh Rika. Apalagi sejak lama ia telah diizinkan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Rika telah pasrah dan merelakan dirinya demi cintanya untuk Irvan.

Sebagai manusia normal Irvanpun memiliki keinginan itu, namun karena cinta yang begitu kuat, membuatnya menepis semua hasrat negatif dalam dirinya. Baginya, jika mencintai, maka jangan mendahului waktu.

Paling-paling hanya pada adegan-adegan hangat diawal. Ia tidak pernah melampauhi batas. Ia tidak  mau mengapa-apakan Rika sebelum menikah.

Sikap itu membuat Rika semakin mencintainya. Rika tidak pernah kuatir lagi ketika bersama Irvan. Rika selalu janji setia padanya.

Tapi semuannya terbalik. Kini, Irvan dicampakan. Menyesal, yah memang, tapi tidak ada gunanya lagi.

Irvan yang masih tidak puas dengan keputusan sepihak dari Rika terus meratapi nasibnya dengan sedih.

Setelah membersihkan diri, Irvan ke dapur, mencari makanan.

Rumahnya sangat kecil, terbuat dari belahan bambu dan berdinding teripleks yang dipungut dari tempat sampah.

Ada tiga ruangan, yang depan, dijadikan ruang tamu sekaligus di sekat menjadi kamar tidur Irvan, kemudian satu ruangan tidur ukuran satu setengah kali dua untuk ibunya dan ruangan belakang, dijadikan dapur sekaligus ruang makan.

Setibanya di dapur, Irvan menemukan dua potong pisang goreng.

“Wah, syukur” ucapnya.

Setelah ia pastikan pisang goreng itu semua untuknya, Irvan berdoa lalu dengan cepat menyantapnya.

“Nak … pisang goreng itu, Ibu dapat setelah ikut sosialisasi, kata ibu Kor yang adalah orang tua asuh Irvan.

“Wah … hebat sekali ya, Ibu jadi peserta sosialisasi” puji Irvan tulus.

“Ngak ada hebat-hebatnya, Nak …” balas bu Kor kesal dengan wajahnya yang mulai murung

“Lho … ada apa Bu … kok Ibu kelihatan kesal dan sedih,” tanya Irvan penasaran

“Bagaimana tidak sedih. Sosialisasi itu dari pemilik lahan tempat pembuangan sampah ini. Mereka memberikan waktu satu bulan kepada warga untuk pindah dari sini, karena tempat ini mau di gusur untuk membangun perusahaan” jawab ibu Kor.

Ibu Kor juga bercerita bahwa sebenarnya waktu yang diberikan hanyalah satu minggu, namun karena dia rela memohon sambil menangis dan berlutut di depan pemilik lahan lalu diikuti oleh semua warga, makanya ada sedikit belas kasihan dari mereka.

Setelah menceritakan semua itu, Ibu Kor menangis dengan sedihnya.

Ia tidak tahu harus tinggal dimana nantinya. Tempat pembuangan sampah adalah satu-satunya lahan baginya dan banyak warga lainnya bekerja.

“Kalau digusur bagaimana nasib kita, Nak” ucap Ibu Kor dalam isak tangisannya, membuat Irvan tidak berdaya.

Mendengar semua yang dijelaskan, Irvan ingin memunt**kan kembali pisang goreng yang telah dimakannya.

Ia kecewa, perutnya mual, tidak hanya karena berita itu, tapi juga ternyata pisang gorengnya berasal dari perusahaan yang akan menggusur tempat tinggal mereka.

Dalam hatinya Irvan menyesalkan sikap perusahaan yang tiba-tiba datang dan mau melakukan penggusuran.

Harusnya satu tahun sebelumnya warga sudah diingatkan agar bisa mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari.

“Mengapa tiba-tiba datang dan memberi waktu hanya satu minggu?” Pikir Irvan bingung, tetapi, walau sedih dia juga bersyukur karena berkat perjuangan Ibu Kor dan warga mereka dikasih tambahan waktu.

Kini beban pikiran Irvan semakin banyak. Urusan pribadi dan keluarga saat ini membuatnya semakin kecewa.

Tetapi karena takut, satu-satunya keluarga yang ia miliki jatuh sakit, Irvan meminta Ibu Kor agar tidak terlalu memikirkan masalah itu, biarlah dia yang akan mencari jalan keluarnya. Lalu Irvan pamit ke kamarnya.

Dikamarnya, Irvan membaringkan tubuhnya yang letih, ia ingin tidur dengan puas, tetapi kejadian siang ditambah lagi berita buruk yang baru didengarnya, membuatnyatidak bisa tertidur.

Ia berusaha tenang, namun kata-kata Rika terus terniang ditelinganya. Berita penggusuran meningkatkan kekacauan di alam pikirannya. Semakin berusaha tenang, semakin jelas pula ingatannya akan kejadian-kejadian tadi.

Irvan terus membolak-balikan tubuhnya, hingga seluruh sarung kasurnya ikut terlepas. Ia tidak bisa tidur.

Siksaan dan hinaan walapun sakit, tapi sudah biasa ia alami sejak kecil hingga kuliah, namun dicampakan

secara sepihak lalu dipermalukan oleh orang yang sangat disayanginya, baru kali ini ia rasakan.

Irvan kembali bangun dari tidurnya, berjalan kearah pintu belakang, lalu keluar menikmati malam, berharap

redupnya sinar bulan dan hembusan angin malam dapat menghilangkan sakit hatinya.

Ia pergi ke bagian belakang rumah, ada sebuah batu karang disana. Biasanya ia duduk disitu jika ingin merenung.

Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. “Ah, sebaiknya ke asramanya saja.”

Irvan kembali ke rumah, mengambil jaket andalannya dan langsung pergi.

Satu-satunya hal yang ada dalam pikiran Irvan adalah mendengar langsung penjelasan Rika, supaya satu persoalan dapat terselesaikan malam ini juga.

Dengan sangat cepat Irvan berjalan menyusuri pinggiran toko tanpa menoleh ke kiri dan kanan.

“Terima kasih, selamat menikmati ….” Ujar seorang wanita dijauh sana, sambil menyerahkan pesanan kepada pembeli.

Ketika ia berbalik untuk kembali ke tempatnya.

Buk!

Aduh .... Suara wanita menjerit kesakitan.

Irvan yang terburu-buru dan fokus pikiranya hanya pada masalahnya membuat ia tidak konsentrasi di jalan. Ia menabrak wanita muda yang sedang membantu seorang ibu berjualan bubur kacang.

“Aduh … maaf-maaf ....” Kata Irvan sambil menatap wajah wanita itu.

“Tidak, akulah yang salah, karena tidak hati-hati saat berbalik,” jawab wanita itu.

Irvan terhentak sejenak, matanya lama menatap wajah wanita itu. Seperti ada sesuatu yang ia pikirkan.

“hei, Kak…ada apa?” kata wanita itu menyadarkan lamunan Irvan

“aduh maaf ya… sudah kalau begitu, ini kesalah bersama. Sekali lagi mohon maaf.” kata Irvan yang disambut baik oleh wanita itu.

“Iya tidak apa-apa … maafkan aku juga. Hati-hati di jalan.” Balas wanita itu lembut.

Tanpa basa-basi lagi, Irvan mengucapkan terima kasih lalu melanjutkan perjalanannya.

Sambil berjalan, Irvan terus berpikir tentang wanita itu. “siapa dia, cantik sekali, sepertinya aku pernah bertemu dengannya? Tapi dimana?” Pikiran melayang.

“Ah sudahlah, mungkin hanya imajinasi ku saja.” Pikirnya lagi menghilangkan rasa penasarannya.

Tidak lama berjalan, ia tiba di asrama Rika.

Menuju ke pos security, Irvan memohon izin. Namun, karena telah melewati jam kunjung, ia tidak diperbolehkan masuk.

“Baiklah … Kalau begitu, tolong panggil saja Rika” Pinta Irvan kepada security.

“Oh, ingin bertemu Rika ya?” Tanya security

“Iya, betul.” Jawabnya, penuh harap.

“Rika tidak ada di dalam. Sejak sore tadi, ia dijemput temannya. Kembalilah besok saja, lagian sekarang sudah larut malam.” Ujar security dengan santun.

“Oh begitu ya … baiklah. Saya pulang sekarang.” Pamit Irvan dengan kesal.

Setelah Irvan menyebrang dan hendak pulang melalui jalan lain, ia melihat sebuah mobil sport berwarna hitam milik Viki melaju kencang dan langsung berhenti di depan gerbang asrama wanita.

“Untuk apa Viki datang ke mari?” Pikir Irvan.

Rasa penasaran membuatnya kembali, lalu mendekati mobil itu.

Viki yang telah memarkirkan mobilnya, segera turun dan bergegas membukakan pintu kiri bagian depan mobilnya.

Sepasang kaki mulus diturunkan terlebih dahulu.

Puar!!!

Sungguh, betapa terkejutnya ketika sorot matanya melihat semuanya secara utuh.

“Rika ...!” Ucapnya dalam hati

“Mengapa dia bisa bersama dengan Viki! Ada apa dengan mereka?" Pikirnya.

Sejumlah pertanyaan muncul dalam benak Irvan, membuatnya langsung mendekat dan dengan tegas memanggil nama Rika.

Mendengar ada yang memanggilnya, Rika berbalik, iapun kaget melihat sosok Irvan yang sudah berada di dekatnya.

Tidak mungkin ia lari, namun tetap berada ditempatnyapun membuatnya bingung. Pikiran bercampur aduk. Rasa serba salah memenuhi hatinya.

Rika gugup dan salah tingkah. Wajahnya berubah merah, pucat dan nampak ketakutan seperti senyembunyikan sesuatu.

Irvan mendekatinya Rika dan mengatakan padanya bahwa ia sangat mencintainya dan akan selalu memaafkan semua kesalahannya.

Rika yang masih sangat mencintai Irvan diliputi rasa bersalah bercampur takut membuat tubuhnya  gementaran. Ia tidak bisa menjawab.

Mulutnya kaku, hanya air mata membasahi pipinya. Entah apa yang harus diperbuat Irvan kepadanya, ia pasrah.

Irvan mendekatinya lagi, namun dihalang oleh Viki dengan badannya sambil mempertanyakan keinginan Irvan.

Viki marah. Menurutnya, Rika sudah tidak punya urusan apa-apa lagi dengannya, lalu dengan kasar ia bertanya pada Irvan, katanya “untuk apa lagi kamu datang kesini?”

Irvan yang kecewa menjawab dengan kasar pula, katanya “Aku tidak ada urusannya dengan mu” namun Viki yang dasarnya membenci Irvan mendapat ide untuk memanfaatkan kejadian itu.

Dengan sinisnya dia tertawa, lalu mulai menghina Irvan.

“Hahaha… orang miskin dan gembel ini sudah bisa bernada kasar rupanya….” Ucap Viki Sinis

Tetapi pada saat itu ia sengaja untuk tidak mengambil sikap atas nada kasarnya Irvan. Ia kemudian menyampaikan bahwa hatinya sedang bahagia sehingga tidak mau rasa itu hilang karena berurusan dengan Irvan.

Irvan yang sangat penasaran, ingin segera mengetahui penyebab Rika mencampakannya, tidak peduli dengan setiap kata-kata Viki.

Ia menerobos tubuh Viki dan langsung kearah Rika. Memegang tangannya lalu hendak menariknya.

Viki yang melihat adegan itu, langsung saja marah, perjuangannya untuk memisahkan kedua orang ini bisa saja berantakan.

Ia tahu bahwa Rika yang sangat mencintai Irvan bisa saja luluh akibat perjuangan Irvan.

Ia juga tidak ingin supaya komunikasi yang baru saja terbuka antara dia dengan Rika menjadi tertutup kembali gara-gara kehadiran mantan kekasih Rika.

Viki naik pitam, lalu mengangkat kakinya dan menendang.

Irvan yang konsentrasinya hanya ke arah Rika, tidak menyadari datangnya tendangan dari belakang

“Buk ….”

Kaki Viki menghantam kuat bagian belakang tubuh Irvan, membuatnya terdorong keras langsung menabrak Rika yang berada persis di depannya.

Kejadian itu langsung membuat Irvan memeluk Rika dan dibalas dengan pelukan, lalu mereka jatuh berdua, dengan posisi Irvan di atas Rika.

Melihat adegan itu, kemarahan Viki semakin menjadi.

Irvan yang belum sempat bangun, langsung disambar lagi dengan sebuah pukulan keras menghantam bagian pipi membuatnya jatuh kearah samping.

Kali ini, rasa sakit dihati Irvan benar-benar mencapai puncak. Irvan yang terus menjadi korban, kehilangan pikiran warasnya.

Ia berdiri dengan marah, mempersiapkan diri untuk membalas semua sakit hatinya.

Baru selangkah maju ke depan untuk menyerang Viki, dari kejauhan security berteriak menghentikannya.

Di saat yang sama, seluruh penghuni asrama berhamburan keluar.

Reis dan Anjas yang juga ada di mobil Viki, awalnya hanya ingin menyaksikan dari dalam, ikut turun.

Melihat ada security dan seluruh teman-teman Rika, beserta Reis dan Anjas disebelahnya, Viki cepat-cepat mengambil kesempatan.

“Kurang ajar sekali dia. Tiba-tiba muncul dan melecehkan Rika. Untung saja aku masih disini, jika tidak, mungkin saja Rika di perkosannya.” Fitnah Viki.

“Ya betul, Aku juga melihatnya menarik dan memeluk Rika.” Teriak Reis ikut memfitnah.

“Wu …, dasar sampah, kerjanya menguras uang Rika … dasar miskin, gembel ….” Dan berbagai hinaan demi hinaan muncul dari teman-teman Rika.

Irvan yang sangat malu dan sudah tidak tahan lagi, langsung berteriak “DIAM …”

Bukannya diam, malah membuat teman-teman Rika semakin menggila.

Ada yang langsung melemparinya dengan sandal jepit mereka dan ada pula yang menghinanya.

Security tidak ingin keributan itu membesar. Ia juga tidak tega melihat Irvan yang terus di hina, meminta agarsemua pihak menahan diri dan kembali.

Viki mendekati Rika, entah membisikan apa, lalu menuju ke arah mobilnya, bersama dengan kedua temannya, naik ke mobil, menutup pintu, kemudian pergi.

Rika diiringi teman-temannya dan dikawal security meninggalkan Irvan seorang diri.

Seketika Rika menoleh kebelakang, ingin rasanya kembali ke Irvan, tapi sikap dan keputusannya membuat dia mendustai hati nuraninya.

Sedangkan Irvan yang seorang diri, hanya menahan sedih menerima nasibnya lalu berbalik pergi meninggalkan asrama. Ia kembali dengan hati yang hancur.

Rika telah berubah. Ia tidak lagi seperti yang dulu.

Entah, terpaksa atau tidak ketika membuat keputusan meninggalkan Irvan, tapi jelas, sikapnya sangat menyakiti Irvan.

“Yah … biarlah, mungkin inilah nasib cinta ku. Rika telah pergi meninggalkan aku” pikir Irvan, sambil berjalan meninggalkan gerbang asrama.

Bersambung…

BAB 3. Menjebak Irvan

Setelah melewati libur akhir pekan, mahasiwa Star Light University kembali melaksanakan aktivitas seperti biasanya.

Begitu juga dengan Irvan. Hari ini, ia ke kampus, walau hatinya masih galau, namun tetap semangat. Ia tidak ingin kenangannya bersama Rika menghancurkan cita-citanya.

Yang berlalu biarlah berlalu. Masalah cinta, kini menjadi urusan belakangan. Menyelesaikan kuliah lalu bekerja adalah motivasi utamanya.

Dengan mantap Irvan berjalan memasuki halaman kampus. Ia siap, walaupun disiksa dan dihina ia akan pasrah dan merima, asalkan bisa menyelesaikan kuliahnya.

Setibanya di ruang kuliahnya, ia merasa ada yang aneh. Beberapa teman wanita menjauhinya.

Irvan sadar, bahwa ini mungkin efek lenjutan dari kejadian malam itu. Ia cuek saja, lalu berjalan terus menuju bangku kosong di pojok belakang, karena memang disanalah tempat duduknya.

Belum sampai di kursinya, Lena, teman kelasnya yang juga se asrama dengan Rika berkata untuk menyindirnya “Kawan-kawan, hati-hati, jika tidak diberi uang, bisa diperkosa lho ....” Sindir Lena disambut jijik beberapa teman gengnya saja.

Irvan hanya senyum kecut mendengar itu. Tidak mau mengambil pusing. Baginya itu sudah biasa. Ia terus berjalan sampai di kursinya, meletakan tas jinjinganya, lalu duduk disana.

Shael, Nana, beberapa teman pria dan wanita lainnya tidak pusing dengan perkataan Lena. Mereka datang menghampiri Irvan.

Mereka tahu benar bagaimana sikapnya. Sudah dua tahun kuliah bersama, Irvan tidak seperti itu. Walaupun tidak punya uang, mereka yakin, dia tidak mungkin melakukan tidakan seperti yang dituduhkan kepadanya.

Mereka memberi penguatan kepadanya dan meminta agar jangan ambil pusing dengan sikap orang-orang di luar sana. Pikirkan saja masa depanmu di kampus, kata teman-temannya.

Melihat sikap teman-temannya, Irvan terharu. Ia ingin memberi klarifikasi, namun belum sempat berbicara, Nus, ketua kelas mereka yang baru saja datang, menyampaikan pesan kepadanya untuk segera ke ruang rektor karena ia sedang ditunggu.

Mendengar hal itu, Irvan sangat kaget dan bertanya

“Memangnya ada apa?” ucapnya dengan nada kuatir.

“Persoalan mu semalam di Asrama Putri” jawab Nus singkat.

“Itu fitnah” jawab Irvan dan langsung pergi meninggalkan ruangan, diiringi teriakan “Wuuu ...” dari Lena dan beberapa teman wanita lainnya.

Di ruang Rektor, Irvan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya dengan sungguh-sungguh.

Ada banyak pertanyaan yang menjebak, tetapi berhasil ia menepis semuanya.

“Baiklah Irvan, karena kamu adalah mahasiswa tercerdas di kampus ini, maka saya tidak keluarkan kamu.” Kata Rektor.

Sebenarnya Irvan merasa tiadak puas. Ia tidak di keluarkanbukan karena rektor mempercayai penjelasannya, tapi karena ia mahasiswa cerdas.

“Ah … biarpun Rektor tidak percaya, asalkan aku tidak dikeluarkan dari kampus ini.” Pikir Irvan cuek.

Walaupun tidak dikeluarkan, Rektor menyuruh Irvan membersihkan kolam ikan yang berada belakang kampus sebagai hukuman atas kejadian tadi malam.

Irvanpun menyanggupinya, lalu pamit untuk menjalankan.

* * *

Di halaman kampus, Viki, Anjas dan Reis kelihatannya bahagia.  Rektor telah mengikuti keinginan mereka untuk menghukum Irvan.

Ketiganya senang, namun rasa puas belum nampak diwajah mereka. Walaupun Irvan dihukum, tapi dia masih tetap berkuliah di sana. Target mereka adalah Irvan harus dikelurkan.

Kali ini mereka berpikir keras mencari jalan untuk menjebak Irvan agar nantinya ia mendapatkan sanksi sesuai dengan keinginan mereka.

Beberapa menit berselang, Anjas berkata bahwa dia mempunyai ide, lalu meminta kedua temannya merapatkan kepala mereka agar dia membisikan strateginya.

Sambil angguk-angguk, Viki berkata “Ide cemerlang! Jangan tunggu lama untuk melaksanakannya.” Ia kelihatan tidak sabar untuk melihat Irvan dipermainkan.

Ia langsung mengambil telpon genggamnya lalu menghubungi seseorang.

Diujung telpon, seorang wanita yang belum mengenal nomor Viki bertanya dengan suara malas “ini siapa ….“ Ucapnya membuat Viki naik pitam.

Ia merasa jengkel karenanya nomornya belum tersimpan oleh wanita itu, lalu dengan kasar Viki memperkenalkan diri.

Setelah mengetahui siapa yang menelponnya, wanita yang ternyata adalah Via merasa ketakutan dan segera memohon maaf berulang kali.

Tanpa mempedulikan permohonan maaf Via, Viki langsung memerintahnya agar ia mencari mahasiswi miskin trasferan itu untuk datang menemuinya. Ia juga meminta Via ikut bersama datang ke gedung tidak terpakai yang terletak dibelakang kampus.

“Jika wanita itu masih bersih keras, ancam saja dia.” Kata Viki tegas sebelum akhirnya menurutup panggilannya.

Karena itu adalah perintah Viki, maka Via tidak berpikir panjang lagi untuk melaksanakannya.

Sambil hendphonenya disimpan di dalam saku, Viki mengajak kedua temannya menuju ke lokasi yang dijanjikan dengan Via. Namun setiba mereka disana, batang hidung Via belum terlihat juga.

Baru saja dua menit mereka menunggu, Viki sudah tidak sabaran. Ia kesal, karena Via sangat lambat.

Kembali ia memasukan tangannya ke dalam saku celananya, mengambil handphone dan ingin menghubungi Via, namun belum sempat ia menekan oke, terdengar suara Via yang marah-marah dibelakang gedung itu.

“Ayo cepat jalannya, Kak Viki telah lama menunggu kita. Jika aku dimarahinya, awas kamu.” Marah Via kepada seorang wanita yang diperintahkannya berjalan mendahuluinya.

Viki dan kedua temannya yang mendengar suara Via berbalik badan dan bersamaan dengan itu, wanita yang bersama dengan Via berlari ke arah mereka dan langsung berlutut persis di bawah kaki Viki.

Ia sangat ketakutan dan menagis sambil memohon agar tidak dikeluarkan dari kampus. Ia ingin tetap berkuliah disana.

Mendengar permohonan wanita itu, Viki tersenyum licik, sambil berkata “Gadis miskin nan bodoh…, pak Rektor akan mengikuti keinginan kami. Kamu tau itukan?”

Lalu Viki melanjutkan perkatannya setelah ia melihat anggukan kepala dari wanita itu tanda ia tahu apa yang dibicarakan Viki.

“Rektor tidak akan mengeluarkamu! asal saja kamu jalankan perintah kami.” Ucap Viki sambil

berjanji.

Wanita itupun mengangguk-angguk lagi tanda mengerti. Namun sebelum menyetujui permintaan Viki, ia berkata bahwa ia akan lebih memilih dikeluarkan dari kampus, jika perintah yang akan diberikan kepadanya adalah untuk menyakiti orang lain.

Wanita itu dibesarkan dengan suatu didikan moral yang sangat kuat. Sejak kecil, ia telah diajarkan untuk lebih baik disakiti dari pada menyakiti.

Secara jujur Reis terharu mendengar ucapan wanita tadi, namun dasarnya yang egois membuatnya mendustai hati nuraninya lalu mengejek wanita itu katanya “wao … wao … wao, aku terharu. Masih ada juga orang bodoh sepertimu.” Olok Reis.

“Kami tidak menyuruhmu untuk menyakiti siapa-siapa” sambung Anjas. “Hanya ingin agar kamu membersihkan kolam Ikan. Itu saja kok.” Katanya lagi dengan senyum licik.

Kemudian Vikipun ikut memberi penjelasan bahwa apa yang mereka perintahkan ini hanyalah sekedar untuk mengetahui sejauhmana wanita itu patuh terhadap keinginan mereka.

Dia juga menambakan lagi dengan sebuah ancaman bahwa setiap mahasiswa miskin yang tidak mau mengikuti keinginan mereka harus angkat kaki mu dari kampus itu.

Sebagai orang yang tidak punya pilihan lagi, wanita itu menyanggupi keinginan anak-anak egois tadi. Ia siap membersihkan kolam ikan.

* * *

Irvan yang tadinya mendapat sanksi dari Pak Rektor, kini tengah asik membersihkan kolam ikan yang

pertama sambil bersiul-siul menghibur diri sendiri

“Siul … siul ... siul ....”

Irvan terus bersiul membunyikan instrumen lagu kesukaannya, sambil sesekali ia begoyang lalu terus menjaring daun-daun dengan jaring ditangannya.

Ia tidak sadar kalau ada seorang wanita sedang mendekat. Ia terus bergoyang membuat wanita yang sedang berjalan itu senyum-senyum malu sendiri.

Ketika, sampai di belakangnya, wanita itu menyapanya dengan lembut sekali “Hay Kak ….” Kata wanita itu.

Seakan terbang melayang mendengar suara itu, secepat kilat Irvan langsung berbalik badan, tapi sayang, karena gerakannya yang cepat, kakinya tergelincir membuatnya hampir saja terjatuh ke dalam kolam.

Melihat Irvan yang tidak punya keseimbangan, wanita itu secara refleks melompat ke arahnya, meraih tangan Irvan, kemudian menariknya keluar.

Ketika Irvan tertarik keluar, wanita itu segera menyadari bahwa Irvan pasti akan menabraknya dari depan, segera menggeserkan tubuhnya ke samping, sehingga membuat Irvan menabrak angin, lalu terjatuh ke depan.

“Hik … hik … hik….” Wanita itu tertawa melihat Irvan yang jatuh di tanah.

Sambil berdiri, Irvan membersihkan sisa lumpur yang masih menempel di lengannya, kemudian mengangkat kepalanya untuk melihat wajah wanita itu.

Betapa terkejutnya ketika kedua pasang mata mereka saling memandang. Lalu secara serentak berkata: “Kamu…?”

Wanita itu senyum malu, lalu berkata “Maaf, aku mengagetkanmu.”

Melihat ada senyuman manis keluar dari wajah wanita itu, Irvan berkata “Tidak, bukan salah mu.” Kata Irvan

Bukannya langsung membalas kata-kata Irvan, wanita itu justru tertawa tulus sambil berkata

“Kak ... kok sama seperti ….” Ia malu menyelesaikan kata-katanya,

Irvan yang mengeri dengan keadaan, langsung menghilangkan kecanggungan itu, kemudian ia berkata....

“Ya … seperti malam itu, biarlah kita saling memaafkan.” Ucap Irvan sambil mengarahkan tangannya tanda ingin berkenalan.

“Irvan!” katanya memperkenalkan diri

Sambil menyambut tangan Irvan, wanita itupun memperkenalkan dirinya

“Aku Fania,” ucapnya lembut. “Senang berkenalan dengan Kak Irvan,” lanjutnya lagi.

“Iya senang berkenalan dengan mu juga.” Sahut Irvan dengan tatapsn penuh kekaguman akan kecantikan Fania.

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!