Sambil bersenandung kecil ia mengaitkan satu persatu kancing baju putihnya kemudian memasukan ujung baju itu ke dalam rok supaya rapi, tak lupa untuk gesper dan dasi juga ia kenakan dengan baik. Meskipun sering datang tak tepat waktu tapi soal penampilan dia selalu nomor satu, pasalnya lelaki yang menjadi calon suaminya itu merupakan ketua osis most wanted SMK Persada, idaman semua umat lah.
“Kara, cepetan turun! Nanti kamu terlambat di hari pertama masuk sekolah.” Ketukan pintu diiringi suara sang mami yang super stereo membuatnya buru-buru memasukan beberapa buku baru dan ponselnya ke dalam tas.
“Siap, mamiku tersayang.” Jawab seorang gadis dengan name tag Lengkara Ayudia yang terpasang di seragam putih abu yang saat ini ia kenakan.
“Suara mami udah ngalahin alarm ponsel gue dah!” gerutunya yang masih sibuk menatap penampilannya dari dalam cermin.
“Lip tint udah oke, rambut oke, udah sip lah cus kita otw.” Selorohnya seraya mengambil tas dan berjalan dengan riang menyusuri tangga.
“Kara, mau kemana kamu? Sarapan dulu!” teriakan maminya kembali terdengar saat dia melewati ruang makan begitu saja. Tujuan saat ini memang ke ruang makan, tapi bukan ruang makan di rumahnya melainkan ruang makan di rumah tetangga yang tepat berada di depan rumahnya.
Kara meniup poninya hingga rambut yang menutupi keningnya itu naik turun terkena hembusan angin. Dengan malas ia menghampiri papi, mami dan adik kesayangannya yang super menyebalkan.
“Tumben lo udah bangun, Wan!” sapanya begitu duduk tepat di samping Ridwan, si jelmaan malaikat penjaga surga tapi kalo ngomong super irit kayak papinya.
“Hm.” Balas Ridwan cuek bebek seperti biasanya.
“Hm hm hm aja terus lo kalo ngomong. Udah kayak cenayang gue kalo ngomong sama lo, mesti nebak-nebak. Lo kalo ngomong irit banget dah. Ngalahin pertamax iritnya.” Cibir Kara.
“Lo kalo ngomong merembet terus kayak pertalite tumpah terus ketemu api, kagak padam-padam dah kecuali dah abis. Nyerocos terus tuh bibir kecuali kalo lagi merem doang baru berhenti.”
“Pi, tuh Ririd nggak sopan sama aku.” Adunya pada Rama yang hanya menghela nafas panjang. Pemandangan seperti ini sudah tak aneh lagi baginya. Bahkan hampir setiap pagi kedua anaknya itu selalu ribut. Kara yang cenderung mirip dengan maminya sangat cerewet, suka mencari perhatian dan tak mau kalah. Sedang putra bungsunya persis seperti dirinya, cuek dan berbicara seperlunya.
CK! Ridwan berdecak dan beranjak berdiri dari tempat duduknya. Laki-laki yang berjarak dua tahun dengan kakaknya itu merupakan siswa di kelas sepuluh salah satu SMA ternama di kota kembang. Dia mengenakan tasnya dan menyalami kedua orang tuanya secara bergantian.
“Woy, sama gue kagak salaman?” protes Kara yang merasa tak dianggap.
“Males banget dah salaman sama santen sachetan.” Jawab Ridwan yang berlalu kabur sebelum sepatu kakaknya melayang.
“Buset dah punya adek kagak ada akhlak banget.” Cibir Kara.
“Tuh, Pi. Gitu akibatnya kalo si Ririd kebanyakan main ke rumah Om Karak, jadi seenaknya aja ngeganti nama orang.” Adunya tak terima, meskipun anak pertama tapi Kara memang cenderung manja.
“Masa aku di samain sama santen sachetan yang cuma tiga ribuan itu, Mi.” Jesi hanya menanggapinya dengan senyuman.
Kara sejak tadi hanya ngoceh-ngoceh tanpa menyentuh makanannya, “Kara berangkat dulu yah Mi, Pi.” Dia menyalami Jesi dan Rama bergantian.
“Tapi kamu belum sarapan, sayang…” teriak Jesi, tapi anak gadisnya itu terus berjalan cepat meninggalkan rumah.
“Kara!” teriaknya lagi.
“Aku makan di rumah calon mertua, Mi.” balas Kara dengan sedikit berteriak, tak kalah keras dengan suara maminya.
Jesi menggelengkan kepala melihat tingkah anak pertamanya.
“Ya ampun dede bayi gemoy kita, udah gede aja. Tapi kok ngeselin yah?”
“Iya kayak maminya dulu.” Balas Rama.
“Canda, Mi.” Rama buru-buru mencubit gemas pipi si mami sebelum mode ngambeknya on. Meski sudah memiliki dua anak, istrinya itu tetap menggemaskan di mata Rama.
Sementara itu di luar sana, Kara berjalan menuju rumah yang tepat berada di depan rumahnya. Rumah mewah yang setipe dengan rumah milik papinya itu memang selalu terbuka lebar untuk dirinya.
“Assalamu’alaikum…” ucapnya begitu masuk dan langsung berjalan ke ruang makan.
“Pipipip calon mantu datang…” lanjutnya seraya bersenandung mengikuti tren lagu aplikasi tok tok yang booming beberapa waktu kebelakang.
“Eh ada calon mantu mommy, sini duduk sayang.” Miya menepuk kursi di sampingnya.
“Kara duduk di sini aja, mom. Deket my Dirgantara.” Jawabnya setelah mendaratkan diri di samping Dirga. Anak pertama Ardi dan Miya yang sudah dijodohkan dengannya sejak bayi.
“Kamu itu kalo kesini bisa nggak jangan nyanyi papap pipip papap pipip calon mantu terus, Ra. Lama-lama daddy jadi hapal tau.” Ucap Ardi.
“Nggak apa-apa atuh, Dad. Kan beneran calon mantu ini.” Balas Kara dengan senyum mengembang. Dia memang sudah seakrab itu dengan keluarga Dirga. Bagaimana tidak? Mereka tetanggaan dan sejak TK satu sekolahan. Apalagi dengan adiknya Dirga, si micin. Eh Sasa maksudnya, Wah Kara sudah benar-benar satu frekuensi, mereka sama-sama penggila Drakor dan deretan pria tampan anggota boyband negri gingseng. Tapi sayang gadis yang seusia dengan Ridwan itu pagi kini tidak kelihatan, sepertinya sudah berangkat sekolah lebih dulu.
“Kara mau sarapan pake apa? Nasi goreng atau roti, sayang?” Tanya Miya.
“Samaan kayak Dirga aja, Mom.” Balas Kara yang matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Dirga. Dia langsung tersenyum semanis mungkin pada Dirga.
“Ga, gue manis yah?” tanyanya penuh dengan percaya diri.
“Manis banget lah yah, masa nggak sih!” lanjutnya menjawab sendiri.
“Ya kan?” Kara memamerkan lagi senyumannya.
“Ya manis.” Ucap Dirga lirih sambil mengunyah roti tawar yang sudah diolesi selai kacang cokelat.
“Tuh kan…” Kara semakin memamerkan senyumannya.
“Maksud gue rotinya yang manis, bukan senyuman lo! Senyuman lo mah anyeb, Ra. Cengar-cengir nggak jelas doang lo.”
Jawaban Dirga langsung merubah senyum di wajah Kara menjadi mengerucut, bibir mungilnya kian semakin menggemaskan saat dia cemberut. Ardi yang sedang menyeruput kopinya saja sampai tersedak karena tertawa melihat Kara yang sudah melambung penuh percaya diri mendapat pujian dari putranya dan langsung jatuh ke dasar terdalam.
“Daddy ih! Nggak banget deh anak Daddy.” Seperti biasa Kara selalu mengadu setiap kali merasa diejek oleh calon suaminya itu.
“Daddy juga ih malah ikutan ketawa. Kesel dah.” Lanjutnya dengan bibir yang semakin mengerucut manyun.
Dirga yang sejak tadi melihatnya tak sadar tersenyum, “imut.” Batinnya.
“Udah-udah biarin aja, nih calon mantu Mommy makan dulu sarapannya.” Miya yang tau betul mood gadis di depannya itu mudah berubah langsung memanggilnya dengan sebutan calon mantu, sesuai dugaannya gadis itu langsung tersenyum riang lagi.
“Mommy emang paling the best.” Ucap Kara seraya mengacungkan jempolnya.
“Udah jangan ngoceh-ngoceh terus, buruan abisin sarapannya! atau gue tinggal nih?” Dirga sudah beranjak dari tempat duduknya.
“Abisin dulu. Gue tunggu di luar. Jangan lama-lama!” Ucapnya karena melihat Kara yang baru mengigit rotinya satu kali tapi mau ikut beranjak meninggalkan meja makan.
Kara buru-buru menghabiskan sarapannya kemudian menyalami Ardi dan Miya.
“Kara berangkat sekolah dulu yah.” Pamitnya dan segera menyusul Dirga ke halaman rumah.
Kara bernafas lega mendapati Dirga masih menunggunya dengan sabar meskipun dia pernah beberapa kali ditinggalkan.
“Udah sarapannya?” Tanya Dirga dan Kara mengangguk.
“Bagus deh. Jadi lo nggak punya alesan buat pura-pura pingsan pas upacara ntar!”
“Tapi gue udah rencana mau pura-pura pingsan lagi, Ga. Lo gendong yah ntar kalo gue pingsan.”
“Ogah. Hari ini gue tugas jadi pemimpin upacara, lo jangan pura-pura pingsan dulu dah!” Ucap Dirga.
“Lo kagak bosen apa dua tahun sekolah sering banget pura-pura pingsan pas upacara? Belum lagi kalo pas jadwal si merah, mesti gue ngerondain lo di UKS.” Keluh Dirga.
“Ya itung-itung latihan jadi suami siaga, Ga. Latihan ngejagain calon istri dari sekarang.” Jawab Kara tanpa dosa.
Dirga mengacak gemas rambut Kara, “gue kurang gimana jagain lo selama ini, Ra? Buat gue lo kayak si Sasa, adek gue.”
“Ih kok disamain sama si micin sih? Gue nih calon istri lo, Ga!”
“Adek!”
“calon istri!” balas Kara tak mau kalah.
“Adek!”
“Tau ah, ngambek gue!” Kara melipat tangannya di depan dada sambil menatap kesal pada Dirga yang sudah naik ke atas motornya.
“Ya udah ngambek aja sono. Gue tinggal. Bye!” Dirga langsung menarik gas motornya hingga motor sport terbarunya meninggalkan halaman.
Kara mendengus kesal dia tidak mengira Dirga akan benar-benar meninggalkannya.
“Dirga!!!” Teriak Kara seraya berlari ke luar halaman, dia melepas sepatunya dan melemparkannya pada Dirga namun tak kena. Pemuda itu hanya melirik Kara yang marah-marah di belakang sana melalui spion.
.
.
.
.
Yuk mari temenin Kak Lengkara, si santen sachetan yang sedang berusaha menggurihkan hidup wkwkwkkwk.
Jangan lupa tinggalin jejak kalian.
tampol jempol, lope sama komentarnya!!
Kara yang sudah terlanjur melempar sepatunya bersikap masa bodoh dan memilih kembali ke rumah dari pada mengambil sepatu yang sudah terlempar jauh. Dengan sedikit berjinjit ia masuk ke dalam rumah, wajahnya cemberut kesal.
“Loh kok masih di sini? Bukannya udah berangkat dari tadi?” Tanya Rama yang baru saja keluar dengan diikuti Jesi yang menenteng tas kerjanya.
“Ditinggalin sama Dirga, Pi. Ngeselin ah calon mantu papi!” jawabnya dengan bibir yang masih mengerucut.
“Tungguin, Pi! Aku berangkat sekolah bareng papi aja. Anterin yah?”
“Ya udah ayo berangkat, nanti keburu macet.” Ucap Rama.
“Bentar, Pi. Aku ganti sepatu dulu.” Kara menunjukan kaki kirinya yang tanpa sepatu.
“Lah sepatu sebelahnya kamu kemanain?” kali ini suara Jesi yang bertanya.
“Aku lemparin ke Dirga, tapi nggak kena.” Kara berlalu masuk ke dalam rumah.
Jesi memijit keningnya yang mendadak terasa pusing.
“Nih Pi tas kamu. Mami mau nyari sepatu Kara. Itu anak kebiasaan kalo ngambek suka ngelempar alas kaki. Bisa-bisa ntar sepatu pada ilang semua yang kiri.” Jesi memberikan tas Rama dan buru-buru keluar mencari sebelah sepatu anaknya sambil ngedumel.
Rama hanya tertawa sambil menggelengkan kepala melihat Jesi yang ngedumel keluar.
“Dasar Mami Jas Jus, nggak nyadar diri aja itu si Kara kayak gitu ngikutin siapa!”
“Papi kenapa ketawa?” Tanya Kara yang sudah kembali dengan sepatunya yang lain.
“Nggak apa-apa, sayang. Ayo berangkat!”
“Mami mana?” Kara celingak celinguk mencari maminya.
“Mami lagi nyari sepatu kamu, yuk berangkat.”
“Oh…” Kara mengangguk paham.
Baru beberapa meter mobilnya melaju, Rama menghentikannya tepat di dekat Jesi yang baru saja mengambil sepatu putrinya.
“Mi, papi berangkatnya.” Rama menurunkan kaca mobilnya hingga Jesi bisa menyalaminya.
“Mi, Kara nggak salim lagi yah. Tadi kan udah.” Ucapnya dari samping sang papi.
“Mi… mami ngapain ngambil sepatu aku ih? Kan di rumah masih banyak. Ntar mami dikira pemulung lagi.” Ledek Kara.
“Euh kalo bukan anak mami udah mami sumpel deh mulut kamu pake sepatu, Ra!” lama-lama Jesi jadi gemas sendiri.
“Kamu tuh kalo ngambek jangan kebiasaan lempar-lempar sepatu deh. Nggak nyadar apa sepatu kamu banyak yang sisa kanan doang!” mode emak-emak cerewet pun mulai on.
“Ya biarin aja, Mi. Kan di rumah masih banyak. Kalo sepatu aku abis tinggal beli lagi, kan papi aku sultan. Ya kan Pi?” Kara melirik Rama seraya menaikan alis meminta dukungan.
“Kara!!!” Jesi nyaris melempar sepatu di tangan kanannya pada dede bayi gemoy kesayangannya yang selalu tak mau kalah. Persis seperti arti namanya Ayudia, tak terkalahkan. Jesi tak pernah menyangka jika dede bayi gemoy kesayangannya tumbuh dewasa menjadi seperti ini, sering nyebelin tapi selalu bikin rame.
“Tuh kan pantes aja aku suka lempar-lempar sepatu, ternyata kebiasaan yang nurun dari Mami nih.” Celoteh Kara membuat Mami Jesi seketika menahan sepatu yang hampir ia lemparkan.
“Pi, buruan berangkat lah. Mami bisa naik darah nih lama-lama ngadepin Kara.”
Rama tersenyum kilas kemudian kembali melajukan mobilnya, “Papi berangkat yah.” Ucapnya sebelum pergi.
Setelah mobil melaju sedikit, Kara membuka kaca di sebelahnya dan menyembulkan kepala melihat ke arah Jesi.
“Mami, love you!” teriaknya sambil melambaikan tangan dan tertawa.
Jesi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, “huh! Dasar Kara!”
Rama memberhentikan mobil yang dikendarainya tepat di depan gerbang sekolah Kara. Suasana sudah cukup sepi karena mereka sedikit terlambat.
“Papi aku sekolah dulu.” Setelah mencium kilas punggung tangan papinya Kara langsung berlari menuju gerbang yang hampir tertutup.
“Huh huh…” dia bahkan sedikit ngos-ngosan hanya karena berlari sedikit.
“Hampir aja.” Ucapnya seraya membuang nafas lega, dia melirik ke jajaran beberapa siswa bersama guru BP yang siap menghukum siapapun yang terlambat.
"Eh mau kamana kamu Lengkara? sini!" Teriakan itu berhasil membuat Kara membuang nafasnya kasar dan berjalan menghampiri bu Irma, satu-satunya guru paling nggak best friend bagi Kara.
"Udah kelas 12 masih belum tobat kamu? kesiangan terus, nggak berubah dari kelas 10. Sebenernya kamu ngapain aja di rumah? kesiangan kok langganan!" Kara hanya komat kamit mengulang kata-kata bu Irma tanpa suara. Ia bahkan hapal betul kata-kata gurunya itu, 2 tahun lebih nggak berubah ceramahnya itu-itu aja terus.
"Nggak langganan juga bu, cuma kadang. Lagian kan barusan gerbangnya belum di tutup."
"Kara!" bu Irma meninggikan suaranya.
"Apa sih bu? ibu nggak cape apa baru awal masuk aja udah nyentak-nyentak aku? Sabar bu nggak sampe 1 tahun lagi aku lulus kok." ucap Kara dengan santainya.
"Lagian nih yah bu, ibu nggak bisa nyalahin aku sepenuhnya. Setiap kejadian itu ada sebab akibatnya, aku kesiangan kayak gini tuh bukan mau aku bu. cius deh bu..."
Kara memanyunkan bibirnya saat tak sengaja bertatapan dengan Dirga, menyebalkan begitu ia mengingat dirinya ditinggal tadi. Ditambah lagi melihat Deva, si centil yang paling so segalanya berdiri di samping Dirga. Huh lengkap sudah perusak moodnya pagi ini. Bukannya Kara tak mampu ikut organisasi kesiswaan dan ekstra kurikuler lainnya, otaknya sangat mampu bahkan beberapa senior sebelumnya berulang kali merekrutnya untuk bergabung tapi dirinya terlalu malas. Kara lebih senang menghabiskan waktu di rumah meski hanya sekedar nonton drama atau sekali jalan-jalan ke mall bersama teman-temannya.
"Ini semua tuh gara-gara Dirga, bu! calon suami nggak ada akhlak, ibu negara di tinggalin." gerutunya seraya melirik Dirga yang membalasnya dengan senyum mengejek.
"Awas aja ntar sampe rumah, Ga. Gue aduin ke mommy." ancamnya.
"Apa lo liat-liat? jangan deket-deket sama calon suami gue!" ucapnya pada Deva yang menatap kesal padanya. Siapa yang tak tau kalo Dirga calon suami Kara? seluruh siswa bahkan guru SMK Persada mengetahuinya karena sejak masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) 2 tahun silam gadis cerewet itu sudah mengklaim dirinya sebagai future wife Dirgantara Rahardian, namun tidak dengan Dirga yang tak pernah menanggapi hal itu dengan serius.
"Calon suami... calon suami.. datang sekolah aja masih terlambat udah bahas calon suami segala. Kasihan Dirga kalo punya istri kayak kamu, bisa-bisa tiap hari makan ati." sela bu Irma.
"Udah jangan kebanyakan ngomong, sapuin tuh bawah pohon mangga bareng yang lain." bu Irma memberikan sapu yang langsung diterima oleh Kara meski dengan wajah cemberut.
"Bu hukumannya yang lain kek jangan nyapuin daun mangga terus, bosen bu dari kelas 10." protesnya sembari menyapu asal.
"Kalo gitu lari 3 putaran!"
"Ya jangan lari juga bu, cape. Udah cukup aku lari-lari di hati Dirga aja bu jangan di lapangan. Mana mulai panas, ntar aku jadi nggak glowing kalo kepanasan." tawarnya lagi.
"Lengkara!!" Bu Irma jadi gemas sendiri, siswanya yang satu ini memang selalu punya banyak alasan untuk menghindar dari hukuman.
Kara merapatkan diri pada gurunya,
"bu jangan dihukum aja yah. Kita damai? ntar aku kirim set perlengkapan makan terbaru dari loveware." bisiknya bernegosiasi.
"Lengkara!!!" bu Irma malah menjewer Kara.
"Kecil-kecil udah belajar kolusi kamu yah! jangan banyak alasan, buruan nyapu!!"
Kara berjalan santai menuju kelasnya yang baru. Hari ini memang awal tahun ajaran baru dimana ia menginjak kelas 12. Tingkat paling akhir di masa-masa sekolahnya, dia sesekali meniup poninya karena gabut berjalan sendiri di lorong kelas. Hari pertama di tahun ajaran baru memang belum seefektif hari biasanya karena para siswa lebih dulu harus mencari kelas mereka yang baru. Namun kedisiplinan tetap ketat, siapapun yang pukul tujuh belum melewati gerbang otomatis dia akan berakhir di tangan anggota OSIS alay yang so disiplin ikut-ikutan ngebantu guru BP menangani siswa yang terlambat, alhasil di awal tahun ajaran baru yang sudah diniatkan pensiun jadi kang sapu daun mangga masih tetap berlanjut.
"Cih!! Semua gara-gara Dirga nih. Lama-lama gue pecat jadi calon suami dah!" Gerutunya.
Kara sedikit malas membayangkan teman-teman barunya, rasanya baru kemarin dia mulai akrab dengan teman-teman eh sekarang harus adaptasi dari awal lagi. Kebiasaan sekolah ini yang selalu merotasi anggota kelas membuat Kara selalu mendapatkan teman baru dari kelas lain setiap tahun.
“Ra… Ra…” Teriak Dila dan Selvia heboh sambil berjalan dari arah yang berlawanan pada dirinya.
"Lo lama banget sih datangnya? Jangan bilang lo abis jadi kang sapu daun mangga lagi?"
“Yups seratus buat lo, Sel. Gue abis meningkatkan keimanan nih, lo tau kan kata guru agama kita kalo kebersihan itu sebagian dari iman. Makanya gue nyapuin daun mangga dulu sebelum masuk biar dapat pahala, secara gue kan anak baik."
"Halah bilang aja lo telat lagi. Lo bilang semalem mau tobat nggak bakal telat lagi." Kali ini suara Dila yang mencibir.
"Lo berdua lari-lari barusan ada apaan sih heboh banget?"
“Gue sama lo satu kelas lagi, Ra.” Ucap Dila yang sudah menggaet tangan kiri Kara sementara Selvi juga menggaet tangan kanannya, jadilah mereka bertiga jalan berjajar memenuhi jalan.
“Tapi gue pisah nih.” Ucap Selvi dengan lesu.
“Tenang aja, Bebs. Meskipun pisah kita masih satu sekolahan ini oke?” Kara menengahi.
“Btw kita kelas mana, La?” lanjutnya pada Dila.
“12 AKL 1, Ra. Nggak sekelas lagi kita sama Dirga. Gila sampe mau tamat aja kita nggak pernah sekelas sama Dirga yah.” Gerutu Dila.
“Sampe mampus juga kita nggak bakal sekelas sama Dirga, Dila! Please deh jangan lola, Dirga tuh anak Multimedia lah kita Akuntansi keuangan lembaga, beda bebs beda!" Ujar Selvia menjelaskan.
"Nah tuh dengerin, lagian ngebet banget dah pengen sekelas sama Dirga. Gue yang calon istrinya aja kagak ngarep." Ucap Kara.
"Kenapa, Ra? Udah cape ngejar Dirga?" Tebak Selvia.
"Tau ah kesel gue sama dia.” Ucap Kara.
“Weyo… weyo… weyo…?” Tanya Dila dan Selvi kompak dengan Bahasa korea satu-satunya yang mereka pahami setelah bertahun-tahun nonton drakor.
“Weya..weyo…weya…weyo…” Kara mencibir kedua sahabatnya yang so Korea.
“Kesel gue, ditinggalin sama Dirga!”
“hahaha…” kedua sahabatnya tertawa.
“Seneng banget yah lo pada kalo gue menderita.” Kara pura-pura kesal dan melepaskan pegangan keduanya, berjalan dengan cepat meninggalkan mereka.
“Kara tungguin!” teriak keduanya, tapi Kara hanya berbalik dan menjulurkan lidah mengejek dan kembali berlari hingga tanpa sengaja ia menabrak laki-laki tinggi yang baru pertama kali ia temui di sekolah ini.
“Eh sorry… sorry… gue nggak sengaja.” Ucap Kara.
“Nggak apa-apa.” Jawab laki-laki itu.
“Kenapa, Ra?” kedua sahabatnya yang baru tiba langsung heboh.
“Eh murid baru yah?” tebak Dila.
“Iya kayaknya kita belum pernah liat deh.” Sambung Selvia.
Laki-laki tinggi itu hanya tersenyum ramah menanggapi ucapan Dila dan Selvia, dia lalu mengulurkan tangannya pada Kara yang tampak biasa saja tidak seantusias Dila dan Selvia pada dirinya.
“Pratama Arhan.” Ucapnya.
“Panggil aja Tama.” Lanjutnya.
Kara membalas uluran tangan itu, “nama gue!” dia menunjuk name tag nya sendiri, “panggil aja Kara.”
“Oke, Kara.” Ucap Tama yang masih terpaku menatap wajah imut Kara dan enggan melepas jabatan tangannya.
“Kalo gue, Dila.” Dila paling gercep langsung menarik paksa tangan Tama supaya menjabat tangannya.
“Dia Selvia.” Lanjutnya menunjuk Selvi.
“Oh iya.” Balas Tama.
“Kara, bisa anterin gue ke ruang guru? Gue murid baru belum tau ruang gurunya dimana.”
“Tinggal lurus aja, ntar mentok lo belok kanan. Nah disitu ruang guru. Ada nama ruangannya kok.” Jawab Kara.
“Sorry nggak bisa nganter, gue mau nyari tempat duduk ternyaman dulu. Kalo kelamaan bisa-bisa gue dapat kursi paling depan. Males banget dah!” Lanjutnya kemudian pergi berlalu.
Kara sudah berjalan santai ke depan sementara Dila dan Selvia masih sesekali menengok ke belakang, melihat murid baru yang menyegarkan mata.
“Ah lo mah nggak asik, Ra! Harusnya kita anterin dia. Ganteng, Ra!” ucap Dila.
“Iya tau, bening banget ih… setara lah sama calon suami lo yang nggak pernah nganggep itu.” Imbuh Selvi.
“Kayaknya dia suka sama lo deh, Ra. Keliatan banget terseponah gitu.” Ucap Dila.
“Terpesona, Dila. Terpesona!” Ralat Selvi.
“Iya deh, Sel. Pokoknya gitu lah.” Jawab Dila.
“Sikat aja, Ra. Lumayan.” Imbuhnya.
“Sikat… sikat… lo kira WC!” Ujar Kara.
“Lo berdua tuh kelamaan jomblo makanya kalo ada yang natap gue kayak tadi aja di kira suka. Pada baperan banget.” Lanjutnya.
“Elah dia kagak nyadar, Sel. Sendirinya aja jomblo.” Cibir Dila, dia mengibas-ngibaskan tangannya.
“Eh gue nggak jomblo yah, udah punya jodoh dari lahir.” Kara tak terima.
“Maksud lo Dirga? Calon suami rasa kakak itu?” Dila dan Selvia langsung berlari begitu mendapat tatapan kesal dari Kara.
“Dila!!!” teriak Kara, dia ikut berlari mengajar kedua sahabatnya.
“Pokoknya mulai sekarang kita nggak best friend.” Teriaknya lagi namun kedua sahabatnya hanya mengejeknya sambil menjulurkan lidah.
Di belakang sana Tama yang belum beranjak satu langkah pun tersenyum simpul melihat tingkah Kara, katanya tadi mau ke kelas nyari tempat ternyaman tapi nyatanya mereka malah kejar-kejaran di lorong kelas.
.
.
.
Jangan lupa tampol like, komen dan favoritkan!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!