...
Dua gadis kembar itu berpelukan. Denisa dan Dewinta. Mengunci diri di kamar yang tidak juga membuat mereka aman dari serangan suara dari arah luar. Teriakan memaki, tangisan pilu dan suara benda jatuh yang membuat dua anak itu merasa ketakutan. Kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat.
"Nisa, andai orang tua kita berpisah, kamu mau ikut siapa?" tanya Dewinta pada Denisa, adiknya.
"Nisa ikut Bapak."
"Kita ikut Mama aja. Kita bakalan tinggal di kota. Pasti lebih seru daripada tinggal di kampung."
Denisa melepas pelukan, kemudian menatap kakaknya. Dia menggeleng lemah. "Nisa mau ikut Bapak. Bapak ngga banyak menuntut, beda dengan Mama."
Dewinta mengusap puncak kepala adiknya sambil tersenyum. Dia mengangguk dan kembali memeluk Denisa.
"Kamu ikut Bapak dan aku ikut Mama," ucapan Dewinta membuat Denisa mengangguk.
Dewinta dan Denisa, kembar tapi beda. Kembar muka, postur tubuh, tapi beda pemikiran dan kelakuan.
Dewinta, tumbuh menjadi gadis yang kalem, lemah lembut dan feminim, berpakaian layaknya anak perempuan. Sedangkan Denisa, tumbuh menjadi gadis yang mandiri, berpenampilan simple, yang penting pakai topi di balik dan ngunyah perment karet.
Perpisahan si kembar pun tidak bisa di tolak. Seperti kemauan Denisa, dia tetap tinggal di kampung bersama Bapaknya, sedangkan kembarannya pergi ke kota bersama Mamanya.
Lelah melambai, Denisa menarik tangan Bapaknya, mengajak masuk ke dalam rumah. Gadis dua belas tahun itu langsung duduk di sofa.
Bapaknya menautkan alis matanya dan bertanya,
"Kenapa Denisa milih ikut bapak? mama dan Dewinta ke kota, loh? Di sana pasti jauh lebih enak?"
Denisa menatap sang Bapak. "Enakan sama Bapak yang menerima Denisa apa adanya. Kalau ikut Mama--" Denisa menghentikan ucapan kemudian bergidik bahu.
"Kenapa?" tanya Bapaknya.
"Mama itu terlalu mementingkan penampilan. Bapak ingat pas Mama nyuruh Nisa beli gula di kios? Nisa yang keringetan akibat main lari-lari ama Reno dan Joko, di suruh mandi dulu, sisiran, pakek bedak, kan ribet. Takutnya di kota, mau beli gula nanti di suruh dandan kayak mau kondangan. Males, ah!"
Bapak Denisa hanya bisa tersenyum dan mengusap rambut anaknya, penuturan itu menurutnya lucu. Inilah Denisa dengan segala pemikirannya.
...
Untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun berpisah, Dewinta dan Denisa bertemu. Di sebuah cafe di kota.
Mereka bertatapan. Dua wajah yang serupa dengan pesona yang berbeda. Dewinta, yang memang dasarnya feminim, kini terkesan glamour. Banyak perhiasan di tubuhnya juga make up yang terpoles di wajah walaupun tipis. Denisa, tanpa make up, berpakaian seadanya, yang penting dia nyaman.
"Apa kabarmu, Nis?" Dewinta menyeka air matanya. Di luar hujan lebat, sepertinya langit ikut terharu dengan pertemuan ini.
"Baik. Kenapa nangis?" Denisa tidak peka. tidak ada rasa haru untuk pertemuan ini.
"Kamu ngga kangen aku?"
"Kangen. Eh, gue makan, ya?"
Dewinta mengangguk. Adiknya memang begitu, cuek tapi penyayang. Saat dia tiba, harusnya ada adegan mengharukan, berpelukan atau menangis haru, dan tidak sama sekali terjadi. Denisa tidak memeluk saudara kembarnya, malah bilang 'bagi minuman, ya. Gue haus' jus yang masih setengah gelas itu tandas dalam sekali teguk.
"Gimana kabar Bapak?"
"Sehat."
Dewinta menatap sayang. Senyum manisnya terukir. Kerinduannya telah tersalurkan. Di depannya, Saudara kembarnya terlihat sama seperti dulu. Sifat dan penampilan. Kini, gadis itu memakai celana jeans di bagian lutut sobek, kaos putih, rambut cepol asal, anting magnet di satu telinga dan topi yang di balik.
"Kamu ngga berubah," Dewinta menyeka lagi air matanya. Dia melanggar perjanjian dengan sang mama, yang menyuruhnya tidak berurusan lagi dengan bapak juga saudara kembarnya hingga harus menahan rindu. Tapi demi menyelesaikan masalah, dia meminta tolong pada saudaranya itu. Keadaannya sangat amat darurat.
"Gue bukan Power Ranger." Denisa masih memakan nasi ayam pesanan Dewinta.
"Masih pindah dari pohon satu ke pohon lain?"
Denisa mengeleng. "Udah ngga. Udah di tebang pohonnya."
Teringat, saat dia ingin sekali makan mangga. Meminta pada Mama dan Bapak, kata mereka 'ngga ada uang untuk beli' Denisa yang baru pulang main, lihat saudara kembarnya nangis, pun bertanya,
"Kenapa?"
"Kakak pengen makan mangga, tadi habis lihat Lisa makan mangga. Kakak pengan." Dewinta hanya bisa menangis.
Denisa langsung pergi tanpa pamit entah ke mana dan pulang membawa mangga dua buah yang di sembunyikan di dalam baju bagian belakang.
"Ini," ucapnya sembari menyerahkan mangga pada Dewinta yang matanya langsung berbinar.
"Kamu ambil di mana?"
"Minta di rumahnya Lisa."
Dewinta mengerutkan alisnya. Minta? Keluarga Lisa itu pelit, mana boleh di minta.
"Kamu bohong, ya?"
Denisa membuka topi, kemudian berbaring di ranjang dan tersenyum. "Rumahnya ngga ada orang. Aku udah teriak, kok. 'Lisa minta mangga' setelahnya ambil." Dia tertawa pelan. Adiknya sangat nakal tapi sangat sayang padanya.
"Kenapa di tebang?" tanya Dewinta setelah selesai melakukan flashback.
Denisa menghentikan makan. Menatap Dewinta yang sangat cantik. "Kayaknya jengkel, buah yang udah mengkal atau udah masak, pas pagi udah ngga ada."
"Kamu yang ambil?"
Nisa mengeleng. "Ngga ... salah lagi."
Keduanya tertawa.
"Elo ngajak ketemuan ... bukannya kita dilarang--"
"Aku mau kita tukeran."
Nisa menatap Dewi, belum bisa mencerna ucapan saudara kembarnya itu.
"Iya. Kita tukeran. Kamu jadi aku dan ikut Mama, aku jadi kamu dan ikut Bapak."
"Ngga. Gue ngga mau." Nisa menolak. Dia memilih ikut Bapak karna tidak mau masuk ke dunia Mamanya.
"Ayolah. Aku kangen Bapak. Apa kamu ngga kangen Mama?"
"Kangen pasti ada, tapi ngga gini caranya."
"Please, Nis. Aku kangen Bapak. Aku merasa ingin keluar dari zona nyaman dengan semua fasilitas yang Mama kasih."
"Gue ngga mau. Lagian, kok tumben elo kayak gini? Gini, ya, kita udah 5 tahun berpisah, baru ini elo ngajak ketemuan dan sekaligus ngajak tukar tempat, elo ada apa?"
Mungkin karna ikatan saudara kembar itu begitu kuat membuat Dewinta gugup. Tangan yang di bawah meja saling bertaut. Matanya bergerak gelisah. Dia tidak mungkin bilang kalau ada masalah besar dan tidak bisa menghadapi, tapi tidak ada juga alasan yang bisa bikin saudaranya itu percaya dan mau dengan ide gila ini.
"Kenapa?"
"Gue kangen Bapak. Please." Air matanya lolos.
Denisa menghela napas beratnya. Kangen Bapak, dia pun sebenarnya kangen Mamanya. Biarpun sikap Mamanya keterlaluan, tetap itu wanita yang melahirkannya.
"Berapa lama?"
Mata Dewinta berbinar. "Tiga bulan."
"Ok."
Mereka pun bertukar kostum dan segela aksesoris, keluar dari Cafe dan pulang menuju tujuan mereka masing-masing.
...
...
Denisa menghentikan motor metic-nya tepat di depan pagar tinggi yang melindungi rumah mewah bercat kuning emas. Entah, dia harus masuk atau putar balik dan membatalkan kesepakatan. Jujur, dia rindu Mamanya dan kasihan pada saudaranya yang sangat merindukan Bapak, tapi masuk dengan cara begini pasti akan menyusahkan dia nantinya. Berperan sebagai Dewinta ... semuanya? Itu sangat merepotkan. Dandanannya kali ini saja membuatnya tidak nyaman. Gaun selutut bermotif bunga, aksesoris seperti anting, kalung, gelang dan cincin yang membuat berat daerah yang di tempati benda-benda emas itu. Belum lagi, rambut yang biasanya asal cepol, ini di sisir serapi mungkin. Dia yang biasanya naik motor laki, harus berganti motor cewek, biar terlihat lebih feminim, dan yang biasanya pakai sendal jepit, ini pakai hak tinggi. Denisa terus mengumpat sepanjang jalan, apalagi saat mendapati mata laki-laki menatapnya penuh minat. Ingin mencolok tapi takut di penjara lagian bukan wilayahnya.
Membayangkan nasibnya selama tiga bulan ke depan membuatnya bergidik ngeri. Dia dan Dewinta tidak sama. Dipaksa, pun jatuhnya pasti aneh. Hidup bebasnya kini di pertaruhkan.
Dia meringis, mengigit bibir bawahnya, bingung.
Setelah berpikir beberapa saat, dia mengambil ponsel di dalam tas dan menempelkan benda pipih itu di telingan kanan.
"Hallo." suara Dewinta dari seberang sana.
"Gue mau kita tukeran lagi." Denisa langsung to the point.
"Ngga bisa gitu. Aku udah di depan rumah, Bapak sudah lihat aku."
Denisa mengusap mukanya kasar. "Gue ngga mau terkurung di sangkar emas. Gue mau bebas."
"Bentaran aja, Nis. Please! Aku kangen Bapak. Udah, ya, Bapak lagi jalan ke arahku."
Dewinta menutuskan komunikasi, membuat Denisa mematung. Apa dia harus menerima nasip? Tidak! Dia harus pergi. Biarlah Dewinta bersama Bapak dan dia ngga akan bersama Mama. Pasti bakalan jadi robot berwujud ondel-ondel.
Saat Denisa mau berbalik, pintu gerbang terbuka, memunculkan sosok pak tua yang memakai baju dinas. Satpam.
"Non, mau ke mana?"
"Eh, itu--"
"Maafkan, mang Diman, ya, Non. Habis ngga ada kode jadi pintunya ngga di buka." Pria tua itu menyengir. Denisa hanya mengangguk mantap. Dia menghela napas dan dengan laju pelan, motor metic masuk pekarangan.
Di sisi lain,
Dewinta turun dari motor, langsung berlari dan memeluk Bapaknya. Pria tua yang kulitnya sudah mengendor tapi senyumnya masih manis. Senyuman yang baru kembali di lihat Dewinta setelah sepuluh tahun. Dia benar-benar merindukan Bapaknya.
"Kamu kenapa, Nis? Kenapa peluk-peluk?" Bambang, bapak Dewinta dan Denisa mengusap punggung anaknya.
"Kangen Bapak," ucap Dewinta disela-sela isakannya.
"Kayaknya baru dua jam ngga ketemu, nangisnya kayak ngga ketemu selama berpuluh-puluh tahun saja."
Dewinta tersenyum, semakin mengeratkan pelukan pada tubuh kurus Bambang.
"Apa ini rayuan? Supaya Bapak ngga marahin karna ulahmu tadi pagi?"
Dewinta menautkan alis matanya. Dia melepas pekukan dan saling tatap dengan wajah Bambang yang menua. Tidak perawatan, sepertinya itu sebabnya.
Bambang tersenyum. Tangannya terulur ke wajah anaknya, mengusap air mata dengan lembut.
"Ya sudah, Bapak ngga akan hukum kamu, karna air mata ini. Setelah sepuluh tahun, Bapak bisa melihat lagi air matamu." Bambang mengecup kening Dewinta.
"Nisa, main, yuk!" teriak Reno dan Joko di luar pagar pembatas rumah sederhana Denisa.
Mata Bambang langsung melotot, sekali gerak, Dewinta sudah berada di belakang Bapaknya dengan mata membulat. Kaget.
"Main sendiri sana! Jangan ajak-ajak Nisa!" bentak Bambang penuh amarah.
"Ya, Pak. Ngga ada Nisa, ngga asik," ucap Reno.
"Ngga asik, ngga asik, gundul kalian! Sana! Nisa anak perempuan, mainnya sama perempuan. Kalau kalian mau main sama Nisa, pakek rok dulu."
"Nisa saja ngga pernah pakek rok, Pak," elak Joko.
Bambang semakin kesal. Dua anak remaja yang bandel itu terus saja melawan. "Kalian mau ajak Nisa main apa lagi? Tadi pagi udah kasih mandi motornya orang, sekarang apa lagi?"
Dewinta menautkan alis matanya, kata 'mandikan motornya orang' apa pekerjaan Denisa adalah tukang cuci motor?
"Kali ini mau main bakar-bakaran, Pak. Tadi, Dedek, anak kampung sebelah bakar sampah di wilayah kita, kita mau balas juga dengan bakar rumah di wilayah mereka," ucap Reno mengebu-gebu.
"Anak sableng. Pergi kalian! Pergi!" Bambang membungkuk, mengambil sendal dan melemparnya pada teman anaknya yang lari sambil tertawa. "Dasar nakal!" Sambungnya.
Dewinta cukup kaget dengan penuturan bakar membakar, kenapa terdengar kriminal? Apa jangan-jangan Nisa adalah ketua geng kampung ini? Atau ....
"Kamu masuk. Jangan berulah lagi. Insiden tadi pagi, udah buat Bapak pusing, jangan tambah yang aneh-aneh. Kamu tahu motor yang kamu ceburkan dalam kali itu harganya berapa? Puluhan juta, Nduk. Untung yang punya ngga marah." Bambang memijit pelipisnya dan masuk ke dalam rumah.
Dewinta membulatkan matanya, benar dugaannya, saudaranya bandel, ketua geng, berarti ... preman!
...
Rumah megah, fasilitas lengkap, kamar Dewinta rapi dan nyaman, tapi kenyataan baru dua jam Denisa sudah mulai bosan. Dia ingin mandi di kali bersama Reno dan Joko. Ingin nongkrong di bawah pohon jambu air di samping rumah sambil mendengar omelan sang Bapak tersayang, dan rindu dengan kamarnya yang berantakan.
Kamar luas bernuansa pink ini membuat mata Denisa perih. Semua perabotan, benda-benda bahkan sprai, karpet semua bermotif hello kitty, bukan tipenya. Dia suka warna biru atau hitam. Warna terang yang bikin nyaman dan gelap yang mencekam.
Dia mengambil ponsel milik Dewinta, sesuai perjanjian, mereka bertukar semua, bahkan ponsel, teman dan mungkin nantinya pacar.
"Kamar gue jangan elo rubah-rubah." setelah telpon terhubung, Denisa langsung mengatakan kemauannya.
"Kamar kamu berantakan." Dewinta berbicara sembari merapikan kamar, membuka ikatan ayunan gantung, melipat tenda camping buka otomatis yang di jadikan selambu dan merapikan lemari yang luar biasa acak-acakan.
"Jangan sentuh apapun. Gue ngga nyentuh barang-barang elo."
"Aku ngga bisa tidur dengan kondisi kamar yang kayak kapal pecah ini." Dewinta duduk di kursi belajar. Melihat buku-buku yang berserakan. Ternyata, dari kekurangan saudranya, kelebihannya adalah kecerdasan. Saudaranya itu pandai. Ada beberapa piala bertuliskan Juara 1 yang tersusun di meja belajar bagian pojok.
"Elo lihat apa?" Karna diam, Denisa merasa curiga pada Dewinta.
"Nisa, sepertinya bakalan berat jadi kamu."
"Kenapa?"
"Kamu itu punya kelebihan dan kekurangan yang ngga bisa aku lakukan." Dewinta merasa kalah. Dia cantik dan modis rapi otak pas-pasan, sedangkan, saudaranya yang bandel dan kampungan, sangat pintar.
"Elo kira gue ngga, gue udah bosen jadi elo. Di kamar mulu. Jenuh. Gue belum ketemu Mama, dan kalau ketemu, disitu penderitaan gue baru akan terasa."
"Maaf."
"Ngga papa. Oya, elo jangan ke kali, di rumah aja. Gue punya musuh yang siap membunuh kapan aja."
Dewinta bergidik ngeri. Setelahnya kesal karna Denisa tertawa dan mengatakan 'bercanda'dengan gampangnya. Padahal jantungnya sudah mau copot. Tidak lucu kalau pertukaran pembawa petaka buatnya.
"Ok. Kamu hati-hati juga jadi aku, ya. Dadah!"
"Dadah!"
Komunikasi berakhir.
...
...
Denisa benar-benar jenuh. Dia duduk, kemudian baring, duduk lagi dan baring lagi. Tangannya sibuk memencet tombol warna merah di remot, membuat Televisi mati, nyala, mati, nyala.
"Bosan!" keluhnya. Dia berdiri, melempar remot ke ranjang, dan berjalan ke arah jendela.
Pagar tinggi menutupi jalanan. Dia benar-benar berada di dalam sangkar emas. "Winta kok betah hidup kayak gini, sih!" Setelah berucap, dia tersenyum. "Seperti Rapunsel." sambungnya.
Tidak lama, suara deru mobil masuk pekarangan rumah. Melihat wanita paruh baya yang masih modis dan Glamour, tetiba jantung Denisa berdetak kencang. Itu Mamanya, orang yang meninggalkannya selama sepuluh tahun.
Setelah Mamanya pergi membawa saudara kembarnya, Denisa tidak bersedih lama-lama. Dia aktif, ceria dan cepat tanggap. Gadis itu bisa menyembunyikan kesedihan dengan bermain. Jika teringat Mamanya saat dia mau tidur, dia mencoba menghayal drama romantis yang membuatnya cepat terlelap. Jadi, waktu itu, ada dan tidak ada Mamanya, sama.
Ceklek.
Denisa menoleh ke arah pintu yang terbuka. Mamanya datang dengan wajah lelah. Tidak masuk, hanya berkata,
"Siap-siap. Kita akan makan malam bersama keluarga Devan."
Setelahnya Mamanya pergi. Denisa cengok, baru pulang, sudah mau pergi lagi? Apa mamanya itu tidak punya rasa capek? Tidak takut sakit? Dan mengatakan makan malam dengan keluarga Devan. "Siapa Devan?" tanyanya pelan.
...
Dewinta mual, ingin memuntahkan makanan yang berada dalam mulutnya, tapi ditahan dengan membekap mulutnya. Bambang menatapnya heran.
"Kenapa, Nduk?"
Dewinta menggeleng. Bersusah payah menelan dan akhirnya bisa. Rasa terasi yang menyatu dengan sambal, tenggorokannya seperti tidak menerima.
"Ya udah, makan lagi." Bambang menyendokkan sambal terasi kesukaan anaknya. Menambah lauk tahu dan tempe, juga sayur kangkung ke piring Dewinta. Gadis itu hanya bisa menelan salivanya susah payah. Makanan sederhana ini belum bersahabat dengan lambungnya.
Beda dengan Denisa, dia makan dengan lahap. Bolu coklat, nasi ayam dan jus mangga, dilahapnya sampai tidak tersisa, membuat Devan dan Mamanya mengangga, sedangkan Juwita, Mama Denisa membulatkan matanya.
"Denisa," tegur Juwita, pelan tapi penuh penekanan. Dia tersenyum sungkan pada Mama Devan. "Setan apa yang merasukimu?" tanyanya berbisik. Anaknya beda. Mana imagenya?
"Makanannya enak, Ma," ucapnya pelan sambil tersenyum. Ini makanan terenak yang pernah dia makan dengan porsi banyak. Biasanya makan enak pas ada hajatan dan itu tidak seenak ini, masakan restouran kok dilawan. Tapi sebenarnya dia kangen sama sambal terasi buatan Bapaknya. "Hanya kurang sambel terasinya, Ma. Enak banget pasti kalau daging ayam di cocolin sambel terasi."
Mata Juwita semakin membulat. Anaknya benar-benar dirasuki setan rakus sekaligus kampungan. Sambel terasi? Astaga!
"Maaf, jeng," ucapnya pada Mama Devan yang hanya menangguk dengan senyuman paksaan. Ini kali pertama mereka bertemu membawa anak dan langsung terkejut melihat tingkah Denisa. Anak orang kaya dengan tingkah ajaib.
"Ngga papa, anak sehat itu makannya kuat," ucap Mama Devan.
"Benar Tante, kan Deni--" Mata Denisa membulat. Hampir, hampir saja dia keceplosan siapa dirinya. Astaga! Dia buru ingat, dia ini dalam masa penyamaran, harusnya mengikuti aturan. "Dewinta masih dalam masa pertumbuhan, jadi harus makan banyak. Benarkan si kurus?" Denisa bertanya pada pria di depannya. Devan, orang yang mau di jodohkan dengan Dewinta.
"Dewi," tegur Juwita. Wanita itu mencubit pinggang Denisa. Mulut anaknya kenapa keterlaluan. Perjodohan ini harus terjadi demi sebuah kesepakatan kerja.
"Maafkan Dewinta ya, Jeng."
Mama Devan lagi-lagi hanya mengangguk. Dia baru lihat wanita ajaib kayak anak Juwita. Pada biasanya, gadis-gadis akan jaga image supaya lamaran diterima.
"Jadi gimana?"
"Saya sih setuju. Gimana dengan kamu, Devan?"
Pria itu terus menatap Denisa dan yang ditatap malah asik menatap ke segala arah. Matanya liar.
"Devan setuju, Mi."
"Syukurlah!" Juwita bersorak, membuat Denisa menatapnya.
"Syukur kenapa, Ma?"
"Kalian bakal lamaran," ucap Juwita senang.
Mata Denisa membulat. Lamaran? Loh!
"Mama mau nikah lagi?"
Juwita langsung kicep. Dia natap kesal ke arah Denisa yang menurutnya malam ini aneh.
"Kamu. Masak Mama."
"Aku?" Juwita mengangguk. "Sama siapa?"
"Devan."
"Devan siapa?"
"Itu." Juwita menunjuk pria kurus di depannya.
"Aku mau dilamar dia?" Denisa menunjuk dirinya kemudian Devan yang tersenyum manis. Anggukan dari Juwita dan mama Devan membuat Denisa mengumpat jahat pada saudara kembarnya yang menempatkan dia di situasi seperti ini.
...
Juwita dan mamanya Devan memberi waktu Denisa dan Devan untuk saling mengenal, dengan menyuruh mereka jalan-jalan naik motor gede milik Devan.
Denisa awalnya tidak mau, tapi paksaan membuatnya mau. Malas mendengar ceramah Mamanya yang ternyata tidak berubah dari dulu. Lama dan membuat merah telinga.
Karna pakai gaun dan hak tinggi, Denisa duduk miring di boncengan. Devan mengendarai dengan kecepatan pelan. Pria tampan tapi kurus itu sangat berhati-hati dalam berkendara.
"Bisa cepetan dikit? Pantat gue keram," ucap Denisa dengan suara agak keras.
"Kita ngga pakek helm, kalau jatuh kepala bisa pecah." Suara Devan lembut. Dia juga terlihat pendiam, banyak senyum dan sepertinya anak mami.
"Loe mikir kejauhan."
"Sedia payung sebelum hujan. Jangan balap-balap kalau ngga mau kecelakaan."
Denisa memutar bola matanya.
"Kenapa elo mau nikah sama gue?" tanyanya.
"Kepaksa. Gue di cubit ama Mama tadi."
Devan tersenyum. Denisa yang dia kira Dewinta itu begitu lucu. Blak-blakan. "Kalau gue, karna gue suka elo."
"Suka? Secepat ini? Elo waras?"
"Kenapa? Ngga boleh?"
"Lucu aja. Suka pada pandangan pertama? Ngga yakin."
"Yakinlah. Rasa itu ada."
"Serah! Eh ... beneran ngga bisa cepetan dikit." Denisa menoleh ke kanan, melihat ada Nenek Kakek boncengan motor, lajunya itu lebih cepat dari laju motor yang dia naiki, rasanya kesal. Masak kalah ama yang tua.
"Biar lambat asal selamat."
"Ituu elo. Gue kagak! Berhenti!" Denisa memukul pundak Devan berulang-ulang sampai motor itu berhenti. Denisa turun dan menyerobot tempat di depan Devan.
"Heh, elo mau ngapain?" Devan bingung saat Denisa sudah mulai menyetater motornya.
"Gue mau ajarin elo cara naik motor yang seru. Nih pegang." Menyerahkan sendal hak tingginya.
Greng!
Denisa menyentak gas motor, membuat motor seperti melompat ke depan, membuat Devan kaget, langsung memeluk pinggang ramping calon istrinya.
"Siap, ya!" Sebelum Devan bilang iya atau memprotes kelakuan Denisa, motor melaju dengan kecepatan tinggi. Menyalip banyak motor dan mobil. Devan hanya bisa memejamkan mata, mempererat pelukannya dan berteriak 'MAMI TOLONG' berulang-ulang.
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!