NovelToon NovelToon

OMAH SIMBAH

BAB 1 . LAHIRNYA PRAMESWARI

Melihat perutnya yang besar dan sudah menunjukkan tanda-tanda kelahiran, masih tengah malam saat terdengar teriakan seorang wanita dari dalam rumah yang besar.

Rumah yang hanya di terangi lampu remang remang dan terlihat sedikit menyeramkan.

Kepanikan terlihat dari dalam rumah

nampak seorang dukun bayi tengah membantu proses persalinan. "Ayo Nur ... sekali lagi," ucap sang dukun beranak.

"Ayo mengejan lagi, jangan di tahan Nur!"

Di sampingnya berdiri seorang wanita tengah menyiapkan air hangat di baskom dan berdiri agak menjauh. Terlihat seorang nenek

nampak menghisap rokoknya yang selalu mengepulkan asapnya, warga sering menyebutnya dengan Mbah Rum.

Keringat mulai membasahi dahi Nur dengan sesekali sang Dukun bayi meraba perut Nur. "Ayo Nur ... sekali lagi, jangan di tahan kasihan bayinya." Kini sang dukun bayi nampak semakin bingung.

"Bagaimana Yem? Kok belum lahiran juga Nur iki !" tanya sang nenek.

"Nur ... sang dukun bayi kembali memegang perut Nur, sedikit mengkerutkan dahinya dan

setelahnya.

"Ambil napas Nur, ayo jangan di tahan."

Mendengar ucapan sang dukun kemudian Nur, hanya mengangguk.

Mulas yang di rasakan makin menjadi

"Ayo ... sekali lagi!! Dengan sekuat tenaga dia berusaha, tangannya kini mengenggam erat lututnya, meringis kesakitan karena sudah hampir menyerah hingga tak berapa lama.

Sang dukun bayi sedikit terkejut mendapati kondisi bayi yang di lahirkan. "Bayinya bungkus Rum, gimana ini?" ucap sang dukun bayi.

"Sudah kerjakan, biarkan aku yang berjaga-jaga," ucap sang nenek sembari mematikan rokoknya dan berjalan keluar kamar.

"Siti, tolong ambilkan beberapa lembar daun sirih di belakang cepat !! pintanya lagi. Dengan tergesa Siti menuju halaman belakang, tak berapa lama Siti sudah kembali membawa beberapa lembar daun sirih .

Siti langsung menyerahkan daun sirih itu, kemudian sang Dukun bayi mengambil dua lembar daun sirih dan di letakkan di bibirnya, untuk melapisi mulutnya dengan daun sirih.

Dengan sedikit merapal mantra, sang dukun bayi kemudian menggigit lapisan pembungkus pada bayi itu, seketika air ketuban yang ada di dalam pembungkus itu merembes keluar dengan cekatan sang dukun bayi membuka pembungkus itu dan menyisihkannya.

Setelah membersihkan sang bayi, kehebohan terjadi lagi, hampir lima belas menit bayi itu belum juga menangis. Mbah Rum, yang merasa aneh langsung masuk ke dalam kamar di lihatnya Nur sedang di rawat oleh Siti. Kemudian pandangannya tertuju pada sang dukun bayi dan saat melihat cucunya dengan sedikit terkejut Mbah Rum langsung duduk bersila hingga beberapa saat turun kabut tipis menyelimuti ruangan kamar.

Mendapati hal aneh sang dukun bayi langsung terkejut. "Ada apa ini Rum?"

Bayi yang awalnya diam, kini mulai menangis perlahan dan lama kelamaan makin kencang.

"Oek ... oek ... oek." Setelah beberapa lama bayi itu menangis, secara perlahan kabut tipis yang menyelimuti ruangan kamar secara perlahan mulai menghilang.

"Bagaimana? Tiba-tiba, sang nenek sudah berdiri di samping keduanya. "Selamat Rum, cucumu perempuan," ucap sang dukun bayi.

Mendengar itu sang nenek tersenyum misterius sembari menyulut rokoknya lagi.

"Rum, ini pembungkus yang tadi, tolong keringkan dan di jemur, kemudian simpan baik-baik, nanti jika cucumu sudah besar dan di hadapkan dalam keadaan darurat ini bisa sebagai jimat dan pelindungnya."

Tak berapa lama, setelah sang dukun bayi membereskan semuanya. "Aku wes mari Rum," ucap sang dukun bayi. "Ee ... sudah selesai, ayo ke ruang tamu Yem," ajak mbah Rum.

Yem yang mengekor di belakang Mbah Rum sedikit tersenyum melihat sosok yang selalu mengikuti Mbah Rum. "Ayo duduk dulu, di minum tehnya."

Sembari menyesap tehnya. "Rum ... tolong ari-arinya di gantung saja, jangan di pendam karena ini cucu mu satu-satunya."

Setelah mengatakan demikian, sesaat kemudian sang dukun bayi berdiri, setelah menghabiskan teh nya.

"Ayo Siti, kita pulang," ajaknya. Kemudian beranjak berdiri, belum sampai kakinya melangkah keluar rumah.

"Hm ... perewanganmu, ngawasi aku terus Rum," ucap sang dukun bayi. Mendadak Mbah Rum terkejut. "Bagaimana kau tahu tentang wanita itu Yem?" sang dukun bayi hanya tersenyum. "Sudah aku pulang Rum," ucap sang Dukun bayi sembari berjalan keluar.

Setelah sang dukun bayi berlalu, sang nenek bergegas masuk ke dalam kamar cucunya, pandangannya kini tertuju pada bayi mungil yang tidur di sisi Nur, sekilas bibirnya tersenyum menatap sang cucu.

Melangkah mendekat. "Hm ... perempuan," ucap Mbah Rum sembari mengangkat sang cucu.

"Nur, panggil Simbah Rum. "Aku beri nama cucu perempuanku ini PRAMESWARI," ucap Simbah Rum sambil tersenyum.

Nur yang sedang berusaha memiringkan tubuhnya sedikit terkejut, sesaat kemudian

"Ya, Bu," jawab Nur, sembari tersenyum.

Mendengar jawaban Nur, simbah Rum kemudian tersenyum sembari meletakkan sang cucu. Kini langkahnya mendekat ke arah Nur mulutnya komat kamit merapal mantra dan selanjutnya, Simbah Rum menutup mata Nur sesaat dan kemudian berpindah kearah sang cucu dan melakukan hal yang sama.

Melihat kelahiran sang cucu dan kondisi sang ibu belum pulih sepenuhnya membuat hati sang nenek sedikit tercubit di usapnya anak semata wayangnya. "Cepat sehat Nur kasian anakmu." Kemudian di lihatnya bayi Prameswari yang tiba-tiba menggeliat, seketika senyumnya tersungging.

"Semoga nanti sifat dan sikapmu seperti arti dari namamu cerdas, kreatif, cerewet dan mungkin sedikit tomboy," ucap simbah Rum dengan tersenyum.

Nur yang terbaring di kasur pun sedikit terkejut mendengar ucapan sang ibu.

" Bu ... panggilnya pelan.

"Sudah tidur Nur, masih subuh," ucap simbah Rum. Kini Nur malah beringsut untuk duduk menyandarkan kepalanya agar lebih tinggi.

"Kenapa Nur?" tanya simbah Rum.

"Nur sedih Bu melihat prameswari lahir tanpa bapaknya, kini terlihat mata Nur sudah berkaca-kaca.

"Jangan nangis Nur!" kasian air susu mu nanti dan itu bisa membuat anakmu juga ikut rewel," ucap simbah Rum sedikit menasehati.

Namun tangis Nur kian menjadi isakannya semakin terdengar jelas.

"Kalau sudah jadi takdir mau gimana Nur?

Sudah, sudah," ucap Simbah Rum sembari tangannya mengusap kepala Nur.

Tak berapa lama bayi Prameswari mulai menggeliatkan tubuhnya, seketika wajahnya memerah dan tak lama.

"Oek ... oek ... oek ... dengan tangisnya semakin kencang.

"Eee ... putune simbah kok nangis, ayo-ayo minum susu dulu," ucap Mbah Rum sembari menyerahkan Prameswari pada Nur. Dengan sedikit meringis Nur memberi prameswari asi nya, hingga bayi Prameswari merasa sudah kenyang dan Prames sudah kembali tertidur. Setelah Prameswari tertidur dalam pangkuannya. Kini, Nur yang menatap anaknya dengan sendu, air matanya kembali menitik bersamaan munculnya sinar pagi nan cerah.

Masih dengan termenungnya, nampak simbah Rum sudah masuk ke kamar lagi dengan membawa berbagai menu sarapan dan meletakkan di meja. Melihat ibu nya masuk, Nur segera meletakkan bayi Prameswari.

Kemudian beringsut turun dari ranjang.

"Nur, mandi dulu Bu," ucap Nur sembari berjalan kearah kamar mandi. Simbah Rum, hanya menatap punggung Nur sembari menghembuskan napas kasarnya.

Tak terasa mulutnya bergumam. "Maafkan ibumu ini Nur, yang tak bisa menyelamatkan suamimu." Lamunannya terusik saat bayi Prames bangun dengan tiba-tiba, kini bibirnya kembali tersenyum, seakan melupakan risau hatinya.

"Simbah siapkan air hangat dulu ya? Mau mandi atau sibin biar Prames seger."

Mendengar perkataan ibu nya Nur hanya tersenyum sesaat, ternyata meski ibu yang terlihat garang, tetapi ibu sangat menyukai cucunya terlihat jelas saat ibu beberapa kali tersenyum, saat melihat bayi Prameswari.

Nur melangkah mendekat ke arah bayi Prameswari, kembali Nur tersenyum dan berguman sendiri. "Prameswari," ucap Nur pelan.

Ibu sangat menyukai nama ini dan sesaat tatapannya menatap jauh ke depan. Semoga hal terbaik untuk Prameswari, sesaat Nur untaikan doa untuk bayi Prames. Nur segera sarapan karena merasa lapar sekali dari semalam Nur juga belum makan.

"Sudah Nur cepat sarapan, kamu menyusui jangan sampe lapar, kasian anakmu."

Suara ibu mengejutkan Nur dan ini untuk pertama kali ibu ngomong panjang lebar, sembari makan Nur melihat ibu mulai sibuk mengurus Prameswari sembari sedikit sedikit nembang.

BAB 2 . BAYI PRAMESWARI

Perjalanan waktu sangatlah cepat kini tanpa terasa sudah satu tahun sejak kelahiran Prameswari. Bayi yang sangat sehat, pipi gemul dengan rambut hitam nya serta sorot matanya yang tajam. Bayi yang sudah mulai pandai mengeluarkan kata-kata, tawanya yang keras dan memang tingkahnya sangat aktif.

Genap setahun Preswari sudah mulai bisa berjalan, gigi susunya sudah mulai berjajar rapi empat di atas dan enam di bawah.

Simbah Rum yang biasanya sangat semangat menjaga cucunya, kini sudah mulai tega untuk meninggalakan Prameswari untuk bepergian.

Seperti hari ini, masih pagi simbah sudah berangkat untuk keluar. "Nur, ibu akan pergi mungkin agak lama atau mungkin sampai malam," ucap Simbah sembari mencium cucu kesayangannya.

Mendengar ibu ijin pergi hingga malam membuat hati Nur sedikit resah. "Entalah ... perasaan apa ini, toh pada akhirnya ibu harus berangkat juga meski Nur mengutarakan keberatan."

"Belajar Nur, jangan takut, nanti ibu juga akan sering bepergian," ucap Simbah Rum sembari melangkah pergi.

Dari pagi sampai sore semua masih aman aman saja, namun tetap saja hati Nur semakin resah mendekati menjelang malam. Malam ini, tidak seperti malam biasa biasanya, selepas magrib Prameswari mulai nampak rewel dan menjadi cengeng, semuanya menjadi serba salah.

Tanpa di ketauhi apa yang jadi penyebabnya.

Tiba-tiba, Prameswari menangis dengan kencang, badanya panas dan matanya merah serta menatap tajam. Nur, yang sedari tadi sudah merasa kebingungan, masih mencoba menenangkan Prameswari. Berbagai cara, sudah Nur lakukan untuk menenangkan bayi prameswari. Namun, tetap sama bayi Prameswari masih terus rewel dan menangis, Nur masih berjalan mondar mandir di ruangan kamar sembari menggendong bayi Prameswari.

Di tengah kebingungannya. Tiba-tiba, angin berhembus kencang bersamaan menguarnya aroma melati yang segera menyebar ke seluruh kamar.

Sesaat Prameswari langsung terdiam dari tangisnya, kini matanya menatap sesuatu di sudut kamar, kemudian bayi Prameswari tertawa tergelak, seakan ada yang mengajaknya bermain. Melihat keanehan dari anaknya dengan sigap, Nur langsung mengeratkan pelukannya melangkah dengan perlahan dan hendak mengajaknya keluar kamar. Belum sampai menuju pintu tiba-tiba, pintu kamar tertutup dengan sendirinya serta mengeluarkan suara yang keras. "Jueder ... "

Nur, langsung mundur secara perlahan hingga tubuhnya menabrak tempat tidurnya.

Berdiri dengan rasa takut, ketakutan Nur semakin menjadi saat menyadari sang ibu tak ada di rumah. Di tengah-tengah ketakutannya tiba-tiba, terdengar suara. " Ojo metu soko kamar iki, neng kene wae."

( jangan keluar dari kamar ini , di sini saja )

Dengan aroma melati yang kini sudah kembali menusuk hidung. Angin kembali berhembus dengan kencang serasa ingin menghantam pintu kamar, hingga beberapa kali terdengar suara benturan antara angin dan daun pintu. "Braak, braaak ... hingga berulang kali.

Aroma melati kini makin dekat kearah Nur.

Kabut tipis perlahan mulai turun menyelimuti seluruh ruangan kamar sehingga menutupi tubuh Nur dan bayi Prameswari. Angin masih kencang dan sesekali masih menghantam pintu kamar, sesaat Nur melihat Prameswari seperti tak terusik dengan keributan yang Nur dengar. Dengan heran Nur menatap bayi kecil dalam pelukannya. "Ada apa ini?" ucap Nur pelan.

Semakin lama aroma melati semakin kuat dengan aroma khasnya, seketika Nur merasakan ada bayangan yang berdiri menutupi Nur dan bayi Prameswari. Lama ... hingga terdengar, samar-samar suara ibu yang sedang berbicara dengan seseorang. "Cepat pergi, jangan ganggu cucuku!" Apa minta saya pindah rumah mu hah ... "

Setelah ibu berbicara, tak lama angin masih bertiup dengan kencang, kemudian dengan sedikit perlahan menghilang di sertai dengan suara keras dan berat. "Huaw hahaha haha ..."

Tawa yang keras dan menyeramkan.

Seketika bayangan yang menutupi Nur dan bayi Prameswari perlahan menjauh, bersamaan menghilangnya kabut tipis secara perlahan-lahan, pintu kamar yang tadi tertutup kini perlahan terbuka dengan sendirinya.

Melihat semua kejadian ini seketika badan Nur serasa lemas, tubuhnya langsung oleng ke ranjang bersamaan dengan bayi Prameswari yang di raih dari Nur, sebelum ikut terjatuh bersama tubuh Nur.

Entah, berapa lama Nur tertidur atau pingsan

Nur juga tak tahu, yang jelas saat Nur terbangun ibu masih setia di kamar, duduk di kursi sembari memangku Prameswari, melihat Nur terbangun ibu langsung bangkit dan tersenyum.

"Sudah bangun Nur?" Mendengar pertanyaan ibu, Nur hanya mengangguk.

Dengan ragu Nur menatap ibu dan memberanikan diri untuk bertanya .

"Ada apa ini Bu, siapa tadi? Ibu menatap lekat sembari meletakkan bayi Prameswari di sisiku, ibu menjawab pertanyaan Nur.

"Itu yang ada di pohon sawo, coba-coba mau menyapa cucu ibu." Kini sembari menyulut rokoknya, tatapannya jauh memandang ke depan. "Untung Srikanti sudah ibu beritahu, jadi bisa melindungi kalian," ucap ibu tenang.

Seketika bulu kuduk Nur kembali meremang mendengar cerita ibu, melihat Prameswari sudah tidur dengan tenangnya.

Masih dengan heran, kembali Nur bertanya. "Siapa Srikanti itu Bu?"

"Hm ... iku rewang Ibu, yang ibu suruh jaga kamu dan Prameswari," kembali ucap ibu dengan tenang dengan menghembuskan asap rokoknya.

Kembali bulu kuduk Nur meremang. "Jadi, selama ini yang berbicara dengan ibu?" tanya Nur terputus begitu saja. Kemudian melihat ibu tersenyum.

"Ya, perempuan itu Nur! Jangan takut, Srikanti itu baik anaknya."

Setelah berbicara seperti itu, Ibu lalu berdiri mendekat. Entah, apalagi yang ibu lakukan pada Nur, setelahnya ibu menutup mata Nur dan merapal mantra yang Nur sendiri tak paham dan mengerti artinya. Hingga beberapa menit kemudian ibu membuka tangannya.

"Lihatlah itu yang namanya Srikanti," ucap ibu sembari menunjuk ke arah sudut kamar.

Kini jelas terlihat di sudut kamar berdiri seorang wanita cantik berkebaya, rambutnya di sanggul dengan hiasan ronce melati. Saat Nur melihat, sosok ini tersenyum menatap Nur, seketika aroma melati kembali tercium oleh Nur.

Nur langsung menoleh ke ibu, ibu hanya tersenyum menatap sembari tangan ibu meracik kinangnya. "Jangan heran Nur, itu memang penjaga untukmu dan Prameswari, mau tidak mau kamu harus menerimanya," ucap ibu dengan masih mengunyah kinangannya dan meludahkan di wadah yang sudah di siapkan ibu.

"Tidur Nur, sudah malam, jangan sampai kau tidak tidur," ucap ibu sambil berlalu keluar dari kamar Nur dan menutup pintunya.

Selepas ibu keluar dari kamar banyak pertanyaan yang menganggu benak Nur. 'Jadi selama ini, Nur dan Prameswari ada yang melindungi?' Antara percaya dan tidak tapi nyata jelas Nur melihatnya. Malam ini Nur membuktikan sendiri dan benar ada di rumah Nur sendiri.

Mata Nur masih belum bisa dipejamkan, hingga subuh menjelang. Ayam tetangga pun sudah mulai berkokok saling menyahut, membuat keributan sendiri, sedikit menguap.

"Huam ... sejenak Nur membaringkan tubuhnya di ranjang sembari tangannya masih memeluk tubuh Prameswari, akhirnya mata Nur terlelap juga saat subuh datang."

Entah, sudah berapa lama Nur tertidur mendengar panggilan ibu membangunkan dengan suaranya yang sedikit keras, membuat kepala Nur sedikit pusing, karena Prameswari pun ikut terbangun dan menangis.

Masih di atas kasur, Nur kembali sesekali menguap . "Huuaam, berkali-kali Nur menguap hingga ibu menatap dengan heran. "Masih ngantuk Bu," ucap Nur lagi.

"Kenapa Nur, semalam kamu tidak tidur?"

"Sudah ibu bilang tidur, karena pagi ini ibu juga mau keluar, kalau begini kan ibu nggak jadi keluar Nur. Sudah tidur dulu barang sejam dua jam," ucap ibu sembari mengganti baju Prameswari.

Mendengar omelan ibu membuat kantuk Nur seketika jadi hilang, terdengar tawa Prameswari membuat mata Nur langsung terbuka lebar. "Ibu, pergi saja, tapi tunggu Nur selesai mandi," ucap Nur sembari berlalu ke kamar mandi.

Tak berapa lama mandi Nur keluar dari kamar mandi. Nur samar-samar mendengar ibu sedang nembang lagu jawa, yang Nur sendiri tak tahu apa artinya yang Nur ingat hanya sedikit syair nya. Lagu lingsir wengi.

"Jadi yang selama ini ibu nembang dengan Prameswari ternyata lagu ini? Nur sedikit cemberut saat mendekat, tapi ini aneh saat Nur melihat yang nembang. "Deg," kini dada Nur terasa berdenyut kencang.

Dengan tatapan heran, Nur mendekati sosok ini, melihat Nur datang sosok ini sedikit menepi dan sedikit menjauh dari Prameswari.

"Mana Ibu, Srikanti?" tanya Nur tak sabar."

"Maaf, Simbah putri pergi karena ada urusan yang penting. Setelah membalas pertanyaan Nur kemudian Srikanti sudah menghilang.

Aneh pikir Nur. 'Ibu ini juga aneh kenapa pula Prameswari di titipkan ke Srikanti,' kembali batin Nur berucap lagi. Mengangkat Prameswari dari teras belakang menuju kamar.

Dengan gemas Nur mencium seluruh wajah Prameswari, kini Prameswari semakin tertawa keras dengan kakinya ikut di ayun-ayunkan.

Menatap Prameswari tersenyum, membuat hati Nur sedikit sakit, melihat senyum Prameswari sejenak Nur teringat pada suami Nur. "Mas Sipun," ucap Nur pelan .

Mengikis air matanya sesaat dan mencoba untuk menidurkan Prameswari.

BAB 3 . TEMAN KECIL PRAMESWARI

Perjalanan waktu lambat laun merambat naik Seperti halnya masa tumbuh kembang anak Nur. Prameswari bayi kecilku kini sudah berusia empat tahun. Memasuki usia balita dengan tingkahnya yang aktif dan bahasanya yang lancar dan gayanya yang ceplas ceplos membuat tetangga kanan kiri Nur yang mempunyai anak sepantaran dengan Prameswari kadang salah paham dengan apa yang di maksud.

Usia empat tahun, sudah pantas masuk sekolah play group, sekolah titipan untuk anak Nur, namun nyatanya Nur masih ragu untuk mendaftarkan Prameswari. Melihat tingkahnya sehari-hari di rumah.

Nur sedikit ragu dan semakin bingung saat mendapati Prameswari bertingkah aneh di rumah, tersenyum, kadang tertawa sendiri hingga tergelak, tak jarang berbicara sendiri serta bermain dengan riangnya serasa memiliki teman di sampingnya.

Pikiran Nur tertuju pada Srikanti. "Apa mungkin?" ucap Nur pelan. Tapi segera Nur tepis pikiran jahat yang tiba-tiba muncul.

Akhirnya Nur memutuskan untuk mengajarinya sendiri di rumah dengan perlahan dan yang Nur bisa. 'Toh, Nur juga masih lulusan SMA pikir Nur.'

Seperti pagi ini, saat sedang asyik memasak di dapur dan Prameswari duduk di samping Nur dengan kursi kecil yang biasa untuk duduk saat menemani Nur di dapur.

Mendadak Prameswari tertawa tergelak kemudian berujar. "Jangan begitu nanti ibu marah," ucapnya . Seketika Nur menoleh dan berjongkok mendengar ucapan Prameswari.

"Prameswari bicara dengan siapa?" tanya Nur penasaran, namun yang Nur tanya hanya menggeleng.

Nur kembali berdiri melanjutkan memasak.

Sedetik kemudian Nur mendengar Prameswari sudah tertawa terkikik, sambil berucap.

"Boleh," ucap Prameswari Sedikit mendekat kearah Nur sembari menyeret kursinya, kemudian menarik rok bawahan Nur.

"Bu ... mau kenalan sama temen Prameswari? Mendengar ucapan Prameswari Nur langsung menghentikan memasak.

"Teman siapa Prameswari?"

"Ada! Ibu mau kenalan?" ucapnya lagi.

"Teman Pram bilang, dia mau kenalan sama ibu!"

Nur diam beberapa saat. "Itu dia Bu berdiri di pojok kan dekat kaki ibu," ucap Prameswari lagi.

Seketika Nur menoleh ke arah yang di tunjuk Prameswari. "Siapa Nak? Nggak ada siapa siapa?"

"Ada Bu, nah senyumkan!" ucap, Prameswari.

"Mau kan Prameswari kenalin, dia itu yang tiap hari nemani Prameswari," sembari menunjuk ke arah samping Nur.

"Itu yang tiap hari menemani Prameswari setiap hari," ulang Prameswari berucap.

"Deg," terjawab sudah ketakutan Nur selama ini.

Seketika Nur mematikan kompornya, alat penggorengan Nur taruh begitu saja, mendadak pikiran Nur menjadi kongslet. Meraih tubuh Prameswari jangan macam-macam yo Nduk?" ucap Nur sambil berlalu keruang tengah.

Prameswari yang Nur gendong masih tertawa sembari meledek sosok yang entah di mana keberadaannya. Begitu tiba di ruang tengah dengan sedikit tergopoh Nur duduk, melihat tingkah Nur yang aneh, ibu langsung bertanya.

"Kenapa Nur?"

Tak menjawab pertanyaan ibu, tetapi Nur langsung duduk di samping ibu. Dengan heran ibu melihat, kemudian ibu langsung tersenyum kemudian menatap Nur.

"Lah, anaknya baik Nur, jadi ibu biarkan supaya prameswari ada temennya, kasian di rumah sendiri Nur! Kamu sendiri juga sibuk kerja.

Mendengar ucapan ibu, Nur langsung protes.

"Bu, saya ingin, Prameswari itu seperti teman temannya, agar dia bisa sekolah Bu! Kasian Prameswari," ucap Nur sedikit keras.

Sembari membenahi cara Nur duduk di kursi jati, ibu hanya diam mendengar ucapan Nur dan tersenyum, hingga sesaat kemudian.

"Lha ... Prameswari itu sudah menjadi takdir nya bisa melihat yang begitu-begitu Nur, nggak bisa di ubah nanti malah bisa-bisa berimbas ke anakmu Nur."

"Ya, tolong di usahakan Bu, kasihan," ucap Nur lagi.

"Ya, sudah besok ibu usahakan Nur, tapi ini tidak untuk selamanya Nur," ucap ibu.

Terhenti sejenak, kemudian menghisap rokoknya dan membuang asapnya berkali-kali.

Tatapan ibu kini menerawang jauh. "Nanti kalau Prameswari sudah berumur lima belas tahun apa yang menjadi kelebihannya akan kembali dengan sendirinya Nur, ibu hanya bisa melindunginya bukan menutup atau menghilangkannya."

"Sudah takdir Nur," ucap ibu sembari mengepulkan asap rokoknya lagi.

Nur termenung beberapa saat mengartikan ucapan ibu. "Ya, nggak apa-apa Bu, asalkan saat ini Prameswari bisa berbaur dengan teman-temannya Bu."

"Andaikan besar nanti dia pasti bisa mengendalikan," ucap Nur sedikit menghibur.

Melihat Prameswari kini sudah bermain-main

di ruang tengah sambil sesekali tertawa.

"Coba lihat Bu, kasian anak itu, Nur jadi takut Bu kalau nanti terus begitu," ucap Nur sembari menatap Prameswari.

Ibu hanya manggut-manggut, kemudian sedikit beringsut dan kembali mengambil rokoknya dan menyesap kembali kopinya, masih diam sambil sesekali tersenyum melihat tingkah Prameswari.

"Tapi, Ibu nggak jamin Nur, itu sudah jadi takdirnya Prameswari bisa lihat yang begitu-begitu."

Entalah, Nur tak ingin banyak berfikir untuk saat ini, paling tidak untuk sepuluh tahun kedepan Prameswari masih aman, bisa bermain dengan wajar bersama teman-temannya.

Melihat Prameswari berjalan ke kamar, sementara Nur kembali ke dapur untuk mengerjakan apa yang belum selesai tadi.

Hingga pukul tiga sore Nur baru selesai, mencuci semua peralatan dapur dan menyimpannya lagi dengan rapi. Berhenti sejenak di ruang tengah melihat Ibu tengah melakukan entah apa itu, hanya kepulan asap dupa yang sudah menyebar ke seluruh ruangan.

"Apa, lagi yang Ibu lakukan," mendengar ocehan Nur Ibu hanya melirik dan kembali melanjutkan ritualnya.

Memilih kembali ke kamar, untuk mandi. Setelah mandi, melihat Prameswari masih tidur tiba-tiba, Nur melihat Srikanti sudah duduk di sisi Prameswari sambil memandangnya dalam.

Nur sedikit berdehem untuk mengalihkan pandangannya ke arah Prameswari. Melihat Nur datang dan berdehem Srikanti langsung bergegas pergi dengan senyum tersungging.

"Terima kasih Srikanti," ucap Nur pelan.

Mendengar kata-kata Nur, seketika Srikanti langsung menghilang begitu saja. Bersamaan

terdengar suara adzan maqrib, Nur bergegas membangunkan Prameswari.

"Ayo, bangun maqrib Nduk," ucap Nur sembari menggoyang goyang tubuhnya.

Lama belum terbangun juga. Nur langsung mengangkatnya dan mengganti memangku tubuh Prameswari, tak berapa lama matanya mulai terkejab dan matanya trebuka lebar-lebar, menatap sesaat kemudian tersenyum.

"Prameswari shalat yuk," ajak Nur berharap Prameswari mau ikut, Nur hanya melihat Prameswari mengangguk kan kepalannya.

"Ayo ... ajak Nur sembari ke kamar mandi mengajarinya cara berwudhu.

Setelah shalat Nur melihat Prameswari masih menguap beberapa kali. "Masih ngantuk?" tanya pelan.

Tak ada jawaban hanya tubuhnya saja yang kemudian di rebahkan ke kasur, Nur kembali tersenyum melihatnya. Tak lama Nur pun kemudian ikut menyusul naik ke ranjang merangkul tubuhnya yang kecil sembari memandang wajahnya. Ini adalah wajah Mas Sipun dan sedikit mirip dengan kakek buyutnya. Sesaat hati Nur menjadi sedikit melo, tak terasa air mata Nur turun juga.

"Mas, maafkan Nur, kini semakin sesak dada Nur jika semua bukan keinginan Nur pasti Mas Sipun masih ada, bisa menggendong Prameswari mengajaknya kemanapun," ucap Nur lirih.

Hingga tengah malam Nur masih belum bisa memejamkan mata, Nur kemudian sedikit menggeser tubuh dan menyandarkan tubuh di sandaran ranjang. Tanpa sengaja, mata Nur tiba- tiba tertuju pada sekelebat bayangan di balik jendela kamar dengan sedikit takut Nur mencoba untuk bangkit dan melihat ke luar jendela, melongokkan kepala menoleh ke kanan dan ke kiri dan tiba-tiba bayangan itu sudah berdiri tepat di depan Nur.

Melihat sosoknya Nur sedikit tergagap dengan menyebut namanya.

"Mas- Mas, Si-Sipun," ucap Nur tergagap.

"Nggak mungkin, ini nggak mungkin, Mas Sipun sudah tiada, ini nggak mungkin ... teriak Nur histeris dan keras dan itu membuat Ibu langsung datang ke kamar.

"Nur ... panggil ibu, melihat Nur masih terisak dan duduk di bawah jendela kamar, hanya tangis yang terdengar kian menjadi.

"Nggak mungkin Bu ... ini semua nggak mungkin, kembali Nur berucap seakan tak percaya dengan yang Nur lihat dan hanya ini yang terus terucap dari mulut Nur.

Ibu melihat Nur seperti ini. "Nur ... tenang jangan seperti ini, lihat Prameswari dia juga bingung, melihatmu menangis seperti ini," ucap ibu lagi.

Ibu langsung memeluk Nur. "Maafkan ibu Nur

ibu terlambat menolongnya."

Tangis Nur makin menjadi. "Bu ... tak berapa lama Nur tak ingat apapun dan kembali pingsan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!